“Entahlah, gue enggak tahu pacar gue bisa ketemu orang apa enggak. Dia sibuk.”
Naya menatapnya dengan tajam. Gadis yang sekarang mendekatinya sambil tersenyum manis dengan tatapannya yang tampak sinis. Keduanya menunjukkan sifat sama-sama tak suka.
“Ah, gitu. Dia sibuk tapi bisa pacaran sama lo, ya? Bukannya lo juga harusnya sibuk? Kalian sama-sama sibuk tapi saling meluangkan waktu. Manis banget. Gue harap, lo enggak terlalu pakai hati. Soalnya, hati itu bisa mempengaruhi kualitas kerja. Lo enggak mau kan, kalau lo turun dari kursi manager?” Gadis itu kini mendekati Naya dan memberikan pengaruh buruk padanya.
Naya menatapnya dengan tatapan tajam. Dia berusaha tak terintimidasi karena gadis bernama Cherly yang menjadi saingan ketatnya sejak semasa SMA dulu. Mereka selalu ditakdirkan bersaing.
Naya dan Cherly memiliki dendam tersembunyi. Ini dikarenakan Cherly yang terus tak ingin kalah dari Naya. Bermula dari Naya yang dipilih untuk mengikuti olimpiade, dan Cherly menggunakan ayahnya untuk memaksa gurunya dan menunjuk Cherly.
Gadis yang dicurangi itu tahu dirinya dicurangi, lantas tak diam saja dan menunjukkan nyalinya. Namun, semakin Naya menunjukkan kemampuan dan bakat dalam dirinya, Cherly semakin menunjukkan kekuasaannya. Dia memiliki apa yang tidak dimiliki Naya, koneksi.
“Tentu gue enggak mau. Karena orang yang menjadi direktur, harus duduk di kursi manager.”
“Lo masih berharap kursi direktur? Lo masih enggak belajar sesuatu, ya? Kursi itu sudah dipesan. Lo lagi lihat pemesannya.” Gadis itu tersenyum penuh kemenangan sambil menunjuk dirinya sendiri.
Naya masih tak menunjukkan bagaimana dirinya terintimidasi.
Cherly sekarang melirik ke arah lain. Di mana sekarang sebuah mobil terparkir di depan lobi. Dan membuatnya langsung menghampirinya. Naya menatap ke arahnya.
Yang mana sesosok pria yang kini tengah memegang kuasa di perusahaan mereka. Pria tua itu keluar dari mobilnya sambil tersenyum senang. Dan Cherly di sana mendekatinya seraya memeluk tangan pria paruh baya itu dengan manis dan akrab.
Naya yang menyaksikan itu langsung mendengus kasar dan berbalik. Gadis itu berjalan cepat pergi dari sana dan menuju ke kantornya. Dia tampaknya kesal karena kelakuan saingannya itu.
***
“Lo mau tau dia kayak gimana? Dia senyum dengan centil dan mendekat, lalu dia peluk Pak Andrew. Itu bikin gue frustasi karena itu berarti kursi direktur memang sudah dipesan sebelum waktunya penunjukkan direktur selanjutnya.” Naya bercerita dengan heboh.
Di depannya, ada sosok sahabatnya, Fely yang sekarang mendengarkan cerita Naya.
“Itulah yang mau gue bicarakan sama lo. Si Kadal Racun itu, dia pacaran sama cowok yang iya, usianya udah akhir 30-an. Dan kemungkinan dia itu Pak Andrew yang lo sebut,” jawab Fely.
Naya mendengus sebal. Dia tampaknya ingin menangis karena persaingan yang tak ada ujungnya di antara dirinya dan Fely. Kecuali jika dirinya memutuskan untuk berhenti membalas dendam.
Bahkan sempat satu tetes air matanya turun. Yang mana membuat Fely langsung mengambil tisu dan segera memberikannya. Akhirnya, Naya hanya bisa mengusap air matanya itu.
“Kalau lo capek, lebih baik akhiri, Nay! Lo juga udah nikah, sekarang hidup lo tanggungan suami lo. Lo hebat dalam banyak hal. Lo better dari pada dia.” Fely berusaha menghiburnya.
Namun Naya sekarang malah semakin sesenggukan karena dirinya sendiri memang sudah merasa lelah jika harus bekerja dua kali lebih giat dari yang lain untuk menyaingi Cherly. Sementara Cherly, bahkan bekerja pun tak perlu, dia hanya perlu mengandalkan sikap genitnya.
Handphonenya Naya berdering. Membuat Naya menatap ke arah handphonenya. Siapa yang mengganggunya dengan menelepon saat dirinya tengah sedih. Dan itu suaminya. Dia hampir lupa jika dirinya sudah menikah dan sekarang menjelang malam, namun dirinya belum pulang.
“Suami lo tuh!” ucap Fely seraya menatap Naya yang tangisnya langsung berhenti.
Naya segera mengangkatnya. Sambil mengusap air matanya dan menggosok hidungnya yang agak gatal.
[“Kamu di mana? Kamu lagi di kafe?”]
Naya langsung mengernyitkan dahinya dan menoleh ke kanan dan ke kiri. Dia mendapati suaminya yang sekarang tengah berdiri di depan kafe. Tengah berdiri sambil memegangi telepon.
“Loh? Ah, suami gue di sini. Lo jangan ngomong apa-apa, jangan ngomong yang aneh-aneh. Ngomong sewajarnya aja!” Naya tampak panik menatap Fely yang kini menatap ke arah Ghiyas.
Ghiyas mematikan teleponnya dan kemudian memasuki kafe. Kelihatannya dia sedang ingin memastikan itu Naya apa bukan. Dia tampak tersenyum semringah melihat istrinya.
Naya tampak tegang dan gugup saat Ghiyas menghampirinya. Karena di sana ada Fely yang bisa bicara apa saja tanpa berpikir panjang. Naya menatap ke arah Fely dengan waswas dan gelisah.
“Benar, ternyata kamu. Kamu kayaknya sering datang ke sini, ya? Sejak sebelum nikah sampai habis nikah?” Ghiyas tersenyum dan duduk di kursi sebelah Naya.
“Naya emang sering ke sini. Makanya kalian bisa bertemu di sini, waktu itu. Karena Naya suka banget Red Velvet di sini.” Fely menjawabnya dengan antusias dan ingin menggoda Naya di sana.
“Oh, gitu. Kirain sengaja ke kafe sini buat ngawasin Mas. Mas enggak akan selingkuh di tempat kerja, kok,” gurau Ghiyas seraya menatap Naya yang kini hanya tersenyum menatapnya.
“Temen Naya?” Ghiyas menatap Fely.
“Iya. Sahabat dari SMP lebih tepatnya, Fely. Kalau mau tahu tentang kebiasaan Naya, sikap baik sama buruknya sekalipun, bisa tanya saya. Saya paling tahu soal Naya,” jawab Fely dengan bangga.
Naya menatap Fely tajam. Kakinya langsung menginjak kaki Fely di bawah sana lantaran geram dengan sahabatnya itu. Memang benar, yang paling mengetahui tentang Naya itu Fely.
Setelah beberapa saat berbincang di sana, Fely memilih pulang lebih dulu karena pacarnya sudah menjemput. Dan Naya keluar kafe bersama dengan Ghiyas saat hari telah gelap.
“Mas masih istirahat?” tanya Naya sambil menatap Ghiyas.
“Iya. Habis ini Mas masih praktik. Kamu mau pulang sekarang? Mas cariin taksi,” ucap Ghiyas.
Naya menganggukkan kepalanya pelan. Ghiyas lantas membantu Naya untuk mendapatkan taksi. Dia tampak senang bisa berduaan sebentar dengan istrinya di depan kafe tempat pertama mereka bertemu.
“Kafe ini punya sejarah tentang kita. Di sini pertama kali kita bertemu, kamu ingat?” Ghiyas tersenyum membahasnya.
“Iya, siapa yang lupa hari di mana ketemu sama suaminya sendiri? Mas tertarik sama Naya sejak itu, kan? Gadis ini menarik perhatian seorang dokter bedah.” Naya tersenyum sambil menyisipkan rambutnya ke belakang telinga.
Ghiyas langsung tertawa atas apa yang dilakukan Naya.
“Memang benar. Ngomong-ngomong, waktu Mas datang, kamu kelihatannya lagi nangis. Ada apa?” Ghiyas memperhatikan Naya yang sebelumnya.
“Enggak ada. Cuman capek. Mungkin sebentar lagi haid, makanya bawaannya moody,” jawab Naya.
“Ah, sebentar lagi jadwal haid. Kalau kamu telat, berarti?”
Teriakan Naya menggema di lorong rumah sakit. Dan di ruang persalinan, Naya memegang kuat brankar. Dengan Ghiyas yang berada di sisinya, mengusap halus kepala Naya. Pandangan Naya menuju ke arah kakinya yang terbuka lebar. Membuka jalan lahir untuk bayinya yang sudah tak sabar ingin keluar. Dengan keringat yang membanjiri kening bahkan hingga menetes ke pipinya.Begitu tangis bayi memecah keadaan yang mencekam itu, Ghiyas menengadahkan kepalanya. Untuk melihat bayi yang sekarang dipegangi dokter yang membantu persalinan saat itu.Senyum pria itu mengembang lebar. Matanya melirik ke arah sang istri yang kini menghela nafasnya dan berusaha menstabilkan nafasnya lagi. Kecupan mendarat berkali-kali di kepala Naya begitu Ghiyas merasakan perasaan lega dan melepaskan rasa bahagia yang dia rasakan.“Fadelico Sangga Donzello Eduardo. Itu, kan?” Ghiyas menatapi Naya yang masih terengah.Sorot mata Naya menatap Ghiyas dan menganggukkan kepalanya sambil
Ghiyas menenangkan Naya sampai Naya akhirnya tenang, setelah setengah jam. Dan dia bisa kembali berbaring untuk memejamkan matanya. Sambil mendekap Naya yang masih sesenggukan, Ghiyas berusaha untuk tidur lagi. Sementara Naya terus menatapi Ghiyas.“Naya tanyain Gabby, loh. Awas aja, kalau ternyata Mas enggak ke rumah sakit,” ancam Naya.“Iya, tanya aja sana! Orang catatan panggilannya Gabby juga masih ada di handphone Mas. Kamu mau tanya pihak rumah sakit juga boleh. Mau lihat catatan kerja Mas juga boleh.”“Naya mimpi Mas ninggalin Naya, buat orang lain. Mas bakal kayak gitu sama Naya?”“Enggak, Nay. Sama siapa, coba? Mas udah tua, siapa lagi yang mau sama Mas kalau bukan kamu?”“Banyak. Mas ganteng, kok. Mas awet muda, makanya Naya demen. Pasti banyak juga yang demen sama Mas di luar sana. Bukan Naya doang.”“Enggak, Sayang. Jangan ngajak ngobrol dulu, dong! Mas ngantuk, ni
Naya tengah menunggu Ghiyas pulang, karena Ghiyas akan membawakan beberapa makanan yang sedang ingin dia makan. Ya, dia tengah mengidam dan baru saja menghubungi suaminya yang sedang dalam perjalanan pulang, untuk menitip beberapa makanan.“Assalamu’alaikum.” Ghiyas datang membawakan pesanan istrinya yang tengah mengidam.“Wa’alaikumsalam,” jawab Naya seraya menghampiri Ghiyas dan salim padanya.Ghiyas langsung menyodorkan apa yang dia bawa, membuat Naya tersenyum lebar. Naya menerimanya dan menyajikannya di meja. Ghiyas duduk di sofa sambil menatapi Naya yang belakangan ini kehilangan nafsu makannya, namun punya keinginan yang kuat untuk mencicipi berbagai makanan.“Makannya sedikit-sedikit, nanti mual lagi kalau kebanyakan,” ujar Ghiyas.“Enggak akan. Soalnya Naya mau banget makan ini semua,” jawab Naya dengan yakin.Naya memakan setiap makanan yang dibawakan Ghiyas. Dan Ghiyas se
Naya berbaring di brankar. Matanya tertuju pada dokter yang sekarang menyingkap bajunya dan agak menurunkan sedikit celananya. Ghiyas menemani Naya di ruangan itu, untuk mengecek bayinya. Naya melihat ke arah monitor, tak sabar untuk melihat bayinya.Dokter menuangkan gel di atas perut Naya dan mengusapnya dengan alat ultrasound. Dan tampak kondisi rahim Naya di monitor. Dengan kantung janinnya yang sudah terlihat.“Usia kandungannya masih sekitar 4 minggu, belum terdeteksi detak jantungnya,” kata dokter.Ghiyas menganggukkan kepalanya membenarkan. Ghiyas tersenyum sambil melirik Naya yang menatap ke arah monitor terus. Ghiyas tahu bagaimana perasaan Naya sekarang, sejak rahimnya bersih lagi, Naya sudah menantikan kehadiran bayinya. Hingga sekarang, dia muncul.Setelah dari ruangan dokter, Naya menunggu vitamin yang telah diresepkan di farmasi sambil membaca jurnal kehamilan. Dia sudah pernah membacanya, namun entah kenapa rasanya senang memba
“Nay?!” Fely menatap Naya dengan tak percaya, dan melirik ke arah perutnya sendiri yang buncit.“Ini apa?” Ghiyas terkekeh bingung sambil menatapi dua potongan kain yang tak dikenalinya.Naya hanya tersenyum geli melihat reaksi Ghiyas. Sementara yang lainnya sekarang juga demikian, dengan perasaan gemas karena Ghiyas masih belum menyadari apa yang ingin Naya katakan dari hadiahnya itu. Bahkan Kevin sekarang mengerti apa yang menjadi hadiah ulang tahun Ghiyas.“Lebih jelasnya, lihat apa lagi yang ada di bagian bawahnya,” ucap Naya sambil tersenyum.Ghiyas mengernyit dan menarik kertas lain yang menghalangi. Dan dia menemukan sesuatu yang membuat ekspresinya langsung hilang seketika. Ghiyas meraih benda yang sudah lama tak ia lihat lagi. Dan alat seukuran stik es krim itu kini berada di genggaman Ghiyas lebih cepat.“Oh?!” Ghiyas kemudian menatap ke arah Naya dengan penuh keterkejutan.Naya terta
Ghiyas yang ingin tahu apa yang sebenarnya dilakukan Naya, kini hendak membuka pintu. Namun, pintunya terkunci. Dan membuat Ghiyas menggedor-gedor pintunya secara tidak ramah.“Naya! Naya, buka pintunya!” ucap Ghiyas dengan suara yang tinggi.Namun, belum ada yang membukakan pintu untuknya. Akhirnya Ghiyas bahkan memukul pintu dengan perasaan marah. Mengeluarkan segala yang dia pendam belakangan ini. Rasa lelahnya yang datang entah dari mana, emosinya yang mendadak tak lagi stabil.“Naya! Naya, dengar Mas?! Naya, buka pintunya, sekarang!” sentak Ghiyas.Gabby di sana termangu, menatapi Ghiyas. Dia jadi agak khawatir sekarang pada Naya. Dan dalam benaknya bertanya, kenapa Ghiyas seperti ini dan apakah Naya selama ini baik-baik saja?Dan begitu seseorang membuka kunci rumahnya, tanpa membukakan pintu, Ghiyas langsung membukanya. Dan secara tak langsung membanting pintu itu. Perasaan seperti waktu itu, saat memergoki Naya bersa