Share

Bangkai Telah Tercium

Ghiyas sudah ada di samping Naya pagi itu. Tidur memeluk Naya yang asyik memeluk gulingnya. Dan pagi itu, Naya bangun lebih dulu. Karena Ghiyas mungkin kelelahan setelah bekerja hingga tengah malam. Naya menyadari kehadirannya Ghiyas yang memeluk dirinya pagi itu.

“Mas Agi, bangun!” Naya menepuk pelan tangannya Ghiyas untuk membangunkannya.

“Mm,” gumam Ghiyas seraya memeluk istrinya itu dengan lebih erat, membuat Naya merinding.

“Mas Agi, sakit.” Naya mengeluh saat pelukan Ghiyas terlalu kencang di perutnya.

Ghiyas langsung melonggarkannya dan kemudian membuka matanya. Dia menatapi Naya yang tampak merona karena ditatap olehnya dari jarak yang nyaris punah.

“Mas Agi pulang jam berapa semalam? Kok enggak bangunin?” tanya Naya.

“Sekitar jam 23.30 udah di tempat parkir. Mana ada yang bangunin istrinya tengah malam. Ngapain coba?” Ghiyas terkekeh sambil memeluk Naya lagi.

“Buat bukain pintu?” Naya agak berpikir keras memikirkannya.

“Pintu apartemennya pakai pin otomatis, kan? Semalam jadi agak kepikiran juga, Mas udah ngasih tahu pin apartemennya apa belum, ya? Gara-gara itu Mas enggak fokus semalam,” cerita Ghiyas.

“Mas enggak ngasih tau, tapi Naya lihat waktu Mas bukain pintu apartemen waktu itu. Jadi, Naya perhatiin waktu Mas mau buka pintu. Jadinya tahu,” jawab Naya.

“Syukurlah. Takutnya enggak tahu, terus nanti kamu kalau ada apa-apa mau keluar gimana.” Ghiyas terkekeh sambil mengendus-endus bahunya Naya.

“Tok, tok, tok!”

Naya tampak menegang dan kemudian menepuk tangannya Ghiyas beberapa kali. Ghiyas sendiri langsung menoleh ke arah pintu kamar sambil mendudukkan dirinya. Naya juga mendudukkan dirinya, penasaran siapa yang datang pagi-pagi buta seperti itu.

“Kamu udah pesan delivery?” Ghiyas menatap Naya.

“Naya mau bangun aja susah, ditahan Mas dari tadi. Gimana mau pesan delivery?”

“Terus, siapa ya?”

Ghiyas lantas bangun dari kasurnya dan kemudian segera keluar dari kamar. Ghiyas lantas membukakan pintu apartemennya. Naya bangkit dari kasur dan berjalan ke pintu kamar.

“Lama banget buka pintunya, dasar pengantin baru!” Sesosok wanita muncul di pintu.

“Kak Arin? Kak Arin ngapain ke sini pagi-pagi gini?” Ghiyas mengernyitkan dahinya heran.

“Nganterin makanan. Kamu sama istri kamu itu, susah banget buat dihubungi dari semalam. Mama sampai cemas gara-gara itu. Ya ampun, berantakan banget! Kalian enggak beres-beres berapa hari?”

Sosok wanita yang merupakan kakak dari Ghiyas itu memasuki apartemen sambil membawa beberapa barang. Yang mana dia kemudian mendecak melihat ruang tengah hanya karena ada jas Ghiyas dan beberapa perlengkapan kerjanya yang berantakan.

“Aduh, mentang-mentang pengantin baru. Cepat rapikan! Jorok banget kalian ini! Naya, kamu di apartemen, enggak kerja, ngapain aja, sih? Kok, rumah berantakan diam aja?”

Wanita itu menatap ke arah Naya yang masih berdiri di pintu kamar dengan mengernyit.

“Kamu ngapain masih di sana? Kamu nunggu saya yang bersih-bersih?”

“Kak, biar aku aja.” Ghiyas menghela nafasnya dan menghampiri Naya.

“Kamu istirahat aja, di kamar. Barang kali masih sakit. Jangan buka pintu kamar. Kakak Mas OCD, enggak tahan lihat berantakan sedikit aja.” Ghiyas meminta Nata masuk dan menutup pintunya.

Naya menurut dan duduk di kasur lagi. Dia kemudian menatap ke arah sebuah tas kecil yang dia gantungkan. Naya mendekat dan kemudian mengeluarkan obat pencegah kehamilan yang disembunyikannya. Setidaknya, dirinya harus rutin mengonsumsinya.

Naya menghampiri handphonenya yang dia matikan dari semalam dan menyalakannya. Benar, orang tua Ghiyas meneleponnya beberapa kali dari semalam. Dan sekarang, temannya menelepon. Naya lantas mengangkat telepon dari Fely tersebut.

[“Naya! Gue punya berita hot tentang si Kadal Racun. Kita harus ketemu, pokoknya kita harus ketemu. Di mana? Di rumah lo? Oh, no! Lo udah nikah sekarang, apa lo di rumah suami lo? Atau lo sama suami lo punya rumah baru untuk kalian berdua?”]

“Gue tinggal di apartemen suami. Berita apa, by the way?”

Naya tertarik dengan temannya yang selalu membawa berita-berita penting. Dan sosok yang dibicarakan adalah sosok yang perlu diawasi oleh Naya karena tindakan nekatnya.

[“Ada, pokoknya kita harus ketemu dulu. Di mana? Kafe dekat RS yang biasa?”]

“No, gue enggak bisa ketemu lo dulu. Gue sakit. Gue mau istirahat sebelum gue balik kerja besok.”

[“Sakit? Sakit apa? Oh my God, pengantin baru enggak seharusnya sakit. Atau, wait! Lo sakitnya di area tertentu apa sakitnya sebadan-badan? Sakit karena luka atau sakit karena penyakit? Bakteri, virus atau apa?”]

Naya mendesis. Teman dekatnya ini harus selalu tahu secara intim.

“Gue enggak enak badan. Suami gue bilang cuman kecapean, mungkin karena acara kemarin.”

[“Oh, get well soon, babe!”]

Suara cempreng dan berisik itu memang khas sosok Fely, sahabat Naya sejak SMP, hubungan mereka sangat langgeng dengan lika-liku kehidupan yang tak main-main juga.

[“By the way, gue dengar dari sepupu gue, temennya kerja di kantor yang sama dengan lo. Katanya mereka enggak mengizinkan cewek yang punya jabatan nikah, ya? Temennya ini undur diri sebelum nikah. Kok, lo enggak? Tadi lo bilang lo masih kerja.”]

Rahang Naya langsung mengeras seketika. Baru tiga hari pernikahannya, sahabatnya sudah mencium bangkai. Naya tentunya mulai khawatir jika kantor atau Ghiyas mengetahui kelakuannya.

“Fel, lo masih selalu bisa jaga rahasia, kan?” Naya mulai gelisah sendiri.

[“Sure, what is it?”]

“Gue enggak bilang sama orang-orang kantor kalau gue nikah,” bisik Naya ke telepon.

[“Lo gila?!”] Terdengar jelas sahabatnya itu langsung menjerit kencang.

“Please, Fel. Gue enggak nyangka lo jadi orang yang pertama ngeh tentang ini. Tapi, gue punya alasan. Gue masih harus bersaing sama si Kadal Racun,” ucap Naya dengan waswas.

Naya menatap ke arah pintu, khawatir jika Ghiyas tiba-tiba masuk kamar.

[“Okay, i see. Terus kemarin lo enggak dapat cuti nikah, dong? Terus, suami lo tahu?”]

“Gue enggak dapat cuti nikah. Suami gue enggak tahu, gue harap enggak akan tahu.”

[“Lo nekat, Nay. Lo hampir senekat si Kadal Racun.”]

“Untuk bisa menang, bukankah meniru lawan bisa jadi sebuah usaha?”

Naya menghela nafasnya. Rasanya senang juga, ada yang mengerti alasannya melakukan suatu hal gila.

[“Lo ada benarnya.”]

“Nay, ayo makan dulu!”

Ghiyas tiba-tiba masuk ke kamar dan itu berhasil membuat Naya hampir melepaskan handphonenya. Naya langsung menangkapnya dan memeluknya dengan panik.

Ghiyas memperhatikan Naya yang tampak gelagapan.

“Ayo, sarapan!” ajak Ghiyas.

“Iya, sebentar. Ini lagi ada telepon.” Naya menunjuk handphonenya dengan kaku.

Ghiyas menghampiri Naya dan kemudian memeluk Naya. Membuat Naya hanya bisa menengadah dan memberikan akses untuk Ghiyas. Ghiyas mengecup wajahnya juga dengan tiba-tiba.

“Ih, Mas ngapain?” Naya tampak risi namun tak bisa melawan atau menolak.

“Telepon siapa, sih? Kok kamu gugup banget? Cowok?” Ghiyas langsung menatap ke arah handphonenya Naya. 

Naya langsung menggeleng dan menunjukkan handphonenya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status