Seorang wanita paruh baya berkacamata hitam melangkah masuk ke gedung perusahaan. Penampilannya cukup anggun dan gayanya modis, tapi tatapannya begitu waspada mencari ke sekelilingnya. Dan wanita itu adalah Ayudia yang sengaja ke Luxterra untuk menemui anak tirinya. Ayudia pun langsung duduk di lobby sambil menelepon Claudia. "Ibu sudah di lobby. Mana dia, Claudia?" "Tunggu saja! Saat jam pulang kantor tiba, Ibu akan melihatnya." Ayudia menyeringai. "Akhirnya kita menemukan wanita sialan itu dan kita bisa segera menyerahkannya pada Pak Bono." "Tapi Ibu harus hati-hati! Jangan sampai Pak Darren tahu aku terlibat atau dia akan memecatku." "Ibu bukan pemain amatiran, Claudia. Kau tenang saja! Tapi cepat kau turun duluan dan arahkan Laura pada Ibu." "Baiklah, tunggu di sana, Ibu!" Claudia langsung bergerak untuk mengintip ke ruangan Laura, tapi ia baru tahu kalau Laura pergi menemani Darren bertemu klien sejak sore. "Apa? Laura tidak ada? Lalu mengapa kau menyuruh Ibu ke sini, h
Sejak pembicaraan dengan Darwis, Laura menjadi terus melamun karena memikirkan fakta tentang Yusak. Yusak sering memberinya permen dulu, tapi kalau diingat lagi, Laura memang tidak pernah melihat Yusak memakannya. Setelah menikah, Laura malah tidak pernah lagi melihat permen susu madu. Awalnya semua terasa biasa saja. Laura menganggap permen susu madu hanya bagian dari kenangan tentang Yusak. Namun, tiba-tiba permen itu muncul lagi dari tangan pria yang lain. "Laura? Laura?"Suara Nada menyentak Laura dari lamunannya siang itu."Ah, iya, Nada?" "Kau baik-baik saja? Apa kau sakit?" "Tidak, aku baik-baik saja." "Syukurlah. Kau terus melamun sejak Pak Darwis pergi. Tapi apa waktu itu kau benar-benar terkunci di toilet, Laura? Itu mengerikan sekali terkunci saat lampu mati." Laura memaksakan senyum singkatnya. "Syukurlah Pak Darren menemukan aku." "Syukurlah. Tapi kata mereka, Pak Darren menggendongmu keluar. Oh, itu mengejutkan sekali! Kupikir Pak Darren itu dingin pada semua or
"Aku tidak akan ada di kantor sepanjang hari. Tapi nanti saat jam pulang, aku akan menjemputmu. Tetap di kantor dan jangan ke mana-mana! Kau dengar itu?" Oscar menghentikan mobilnya di depan perusahaan dan sebelum Laura keluar, Darren memberinya banyak pesan. Laura yang tadinya canggung sendiri pun langsung mengembuskan napas panjang mendengar nada Darren yang otoriter. "Aku dengar! Aku tidak akan ke mana-mana." "Bagus! Kalau ada apa-apa, aku harus menjadi orang pertama yang kau beri tahu, kau mengerti?" Laura menganga sejenak, tapi karena ia tidak ingin ribut, akhirnya ia mengangguk. "Aku mengerti," jawab Laura lagi. Darren memicingkan matanya, tidak biasa dengan Laura yang terlalu penurut. Darren pun mengulurkan tangannya ke arah Laura. "Berikan ponselmu!" Kali ini, Laura mengernyit. "Untuk apa memberikan ponselku?" "Berikan saja!" Sambil mengembuskan napas kesal, Laura memberikan ponselnya. Darren segera menerimanya dan menyimpan nomor ponselnya sebagai speed dial agar Lau
Laura terbangun dari tidurnya malam itu. Hawa dingin menusuk karena angin berembus kencang mengibarkan tirai jendela di kamarnya. Rasanya dingin, sampai Laura memeluk tubuhnya sendiri, mendambakan pelukan yang menghangatkan. Lalu tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Debar jantung Laura memacu kencang melihat Darren masuk mengenakan kemeja putih dengan dua kancing terbuka di bagian atas. Wajahnya datar, tapi dalam tatapannya ada sesuatu yang membakar.Langkahnya pelan, tapi matanya terkunci pada Laura, seolah tidak ada hal lain yang penting di dunia ini.Darren berjalan menghampirinya, duduk di sampingnya, mengangkat tangan dan menyentuh pipi Laura dengan punggung jari. Sentuhannya begitu lembut, tapi terasa seperti percikan api yang menyambar kulit Laura."Akhirnya kau mengundangku masuk," ucap Darren dengan suara rendah dan dalam."Aku ... tidak—" bibir Laura bergetar, tapi Darren menempelkan telunjuk di sana, memintanya diam."Sstt, kau sudah terlalu sering berlari, Laura ...." Darr
"Hei, mengapa kau kembali secepat ini, Darren? Bukankah kau mau memberikan permen itu untuk Laura?" Oscar menyambut Darren di ruang kerjanya begitu Darren kembali. "Apa dia tersentuh dan memelukmu, hmm? Bukankah dia sangat menyukai permen itu? Ceritakan padaku apa yang terjadi!" Oscar terus bertanya, tapi ekspresi Darren yang datar dan dingin membuat senyuman Oscar perlahan menghilang. Setiap kali menyangkut Laura, Oscar benar-benar tidak bisa menebak mood Darren. "Err, apa dia sudah tidak menyukai permennya? Dia menolaknya?" tanya Oscar lagi. Brak! Darren menggebrak mejanya sampai Oscar melonjak kaget. "Sial! Entah apa yang dikatakan Yusak saat memberikan permen itu dulu! Laura mengamuk dan menuduhku meniru cara Yusak untuk mendekatinya!" Darren menyatukan kedua tangan di meja dan menempelkannya di dahinya. Ia ingin bersikap lebih lembut pada Laura, tapi istrinya itu sangat pintar menyulut emosinya. "Apa? Dia menuduhmu meniru gaya Yusak? Setelah menuduhmu membunuh Yusak, seka
Darren mengepalkan tangannya geram. Alih-alih tenang, permen susu madu yang seharusnya menjadi favorit Laura malah membuat wanita itu meradang. Bukannya tidak mengijinkan istrinya itu marah, tapi kemarahan itu melecut kemarahan yang lebih besar di dada Darren. "Itukah yang dia katakan padamu, Laura? Hanya dia yang tahu di mana harus membeli permennya? Apa karena pemberian itu, kau jatuh cinta padanya?" Laura yang sudah diliputi rasa sakit hatinya tidak bisa memikirkan apa pun dan hanya menggeleng. Air mata sudah berkumpul di pelupuk matanya, tapi ia tidak mau menangis di depan Darren dan membiarkan pria itu melihat kelemahannya. "Tidak usah bicara omong kosong dan segera pergi dari sini, Darren! Aku tidak mau melihatmu!" Buru-buru Laura mendorong pintunya, berniat menutupnya, tapi Darren menahannya dengan tangannya. "Apa yang kau lakukan? Sudah kubilang pergi! Aku tidak mau melihatmu!" Ekspresi Darren mengeras saat ia mendekatkan wajahnya. "Dengarkan aku, Laura! Aku tidak pernah