Siang itu, Darren dan Laura akhirnya berangkat ke luar kota dengan menggunakan mobil. Mereka akan menempuh perjalanan selama tiga jam dan Laura tidak tahu harus melakukan apa selama berada di dalam mobil berdua dengan Darren. "Kau sudah membawa semua dokumen yang tadi kuminta kan?" tanya Darren memecah keheningan. "Sudah.""Bagus! Begitu tiba di sana kita akan langsung bertemu klien sekaligus makan malam." "Aku tahu." Darren mengangguk dan kembali menyetir sambil mengangkat teleponnya yang berdering. Oscar meneleponnya. Mereka membicarakan bisnis dengan begitu serius dan Laura pun bernapas lega karena ia tidak harus berbasa-basi dengan pria itu. Laura sendiri memilih memalingkan wajahnya ke jendela, sampai sebuah pesan masuk ke ponselnya. Itu pesan dari Darwis. Darwis: "Aku tidak melihatmu di kantor, katanya kau pergi perjalanan dinas dengan Darren." Laura melirik Darren yang masih sibuk menelepon dan ia pun membalas pesan Darwis. Laura: "Iya, aku pergi dengan Darren." Darwis
"Pangsit rebusnya sebanyak apa? Aku akan menambahkan setengah porsi pangsitnya di setiap mangkuknya ya. Mie ayamnya segera datang. Tunggu sebentar!" seru sang penjual dengan antusias. Namun, Laura tidak mendengarnya karena tatapannya masih terpaku pada Darren. "K-kau ...." Laura menelan saliva dan menghapus air matanya. "Bagaimana kau tahu ...." Darren hanya diam menatap Laura, menunggu apa yang akan wanita itu katakan. Namun, mendadak Laura menggeleng, mengurungkan niatnya untuk bicara. "Bagaimana aku tahu apa?" tanya Darren hati-hati. Laura kembali menggeleng. "Tidak. Lupakan saja! Aku ... aku hanya sedang lapar. Aku sangat ingin makan mie ayam." Darren terdiam, menatap ekspresi Laura sedikit lebih lama, sebelum penjual mie ayam datang dengan cepat dan memecah keheningan di antara mereka. "Mie ayamnya datang! Silakan makan!"Satu mangkuk mie ayam favoritnya tersaji di hadapan Laura dan aromanya membuatnya terharu. Perlahan ia mengambil sumpitnya dan saat ia merasakan mie aya
Seorang wanita paruh baya berkacamata hitam melangkah masuk ke gedung perusahaan. Penampilannya cukup anggun dan gayanya modis, tapi tatapannya begitu waspada mencari ke sekelilingnya. Dan wanita itu adalah Ayudia yang sengaja ke Luxterra untuk menemui anak tirinya. Ayudia pun langsung duduk di lobby sambil menelepon Claudia. "Ibu sudah di lobby. Mana dia, Claudia?" "Tunggu saja! Saat jam pulang kantor tiba, Ibu akan melihatnya." Ayudia menyeringai. "Akhirnya kita menemukan wanita sialan itu dan kita bisa segera menyerahkannya pada Pak Bono." "Tapi Ibu harus hati-hati! Jangan sampai Pak Darren tahu aku terlibat atau dia akan memecatku." "Ibu bukan pemain amatiran, Claudia. Kau tenang saja! Tapi cepat kau turun duluan dan arahkan Laura pada Ibu." "Baiklah, tunggu di sana, Ibu!" Claudia langsung bergerak untuk mengintip ke ruangan Laura, tapi ia baru tahu kalau Laura pergi menemani Darren bertemu klien sejak sore. "Apa? Laura tidak ada? Lalu mengapa kau menyuruh Ibu ke sini, h
Sejak pembicaraan dengan Darwis, Laura menjadi terus melamun karena memikirkan fakta tentang Yusak. Yusak sering memberinya permen dulu, tapi kalau diingat lagi, Laura memang tidak pernah melihat Yusak memakannya. Setelah menikah, Laura malah tidak pernah lagi melihat permen susu madu. Awalnya semua terasa biasa saja. Laura menganggap permen susu madu hanya bagian dari kenangan tentang Yusak. Namun, tiba-tiba permen itu muncul lagi dari tangan pria yang lain. "Laura? Laura?"Suara Nada menyentak Laura dari lamunannya siang itu."Ah, iya, Nada?" "Kau baik-baik saja? Apa kau sakit?" "Tidak, aku baik-baik saja." "Syukurlah. Kau terus melamun sejak Pak Darwis pergi. Tapi apa waktu itu kau benar-benar terkunci di toilet, Laura? Itu mengerikan sekali terkunci saat lampu mati." Laura memaksakan senyum singkatnya. "Syukurlah Pak Darren menemukan aku." "Syukurlah. Tapi kata mereka, Pak Darren menggendongmu keluar. Oh, itu mengejutkan sekali! Kupikir Pak Darren itu dingin pada semua or
"Aku tidak akan ada di kantor sepanjang hari. Tapi nanti saat jam pulang, aku akan menjemputmu. Tetap di kantor dan jangan ke mana-mana! Kau dengar itu?" Oscar menghentikan mobilnya di depan perusahaan dan sebelum Laura keluar, Darren memberinya banyak pesan. Laura yang tadinya canggung sendiri pun langsung mengembuskan napas panjang mendengar nada Darren yang otoriter. "Aku dengar! Aku tidak akan ke mana-mana." "Bagus! Kalau ada apa-apa, aku harus menjadi orang pertama yang kau beri tahu, kau mengerti?" Laura menganga sejenak, tapi karena ia tidak ingin ribut, akhirnya ia mengangguk. "Aku mengerti," jawab Laura lagi. Darren memicingkan matanya, tidak biasa dengan Laura yang terlalu penurut. Darren pun mengulurkan tangannya ke arah Laura. "Berikan ponselmu!" Kali ini, Laura mengernyit. "Untuk apa memberikan ponselku?" "Berikan saja!" Sambil mengembuskan napas kesal, Laura memberikan ponselnya. Darren segera menerimanya dan menyimpan nomor ponselnya sebagai speed dial agar Lau
Laura terbangun dari tidurnya malam itu. Hawa dingin menusuk karena angin berembus kencang mengibarkan tirai jendela di kamarnya. Rasanya dingin, sampai Laura memeluk tubuhnya sendiri, mendambakan pelukan yang menghangatkan. Lalu tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Debar jantung Laura memacu kencang melihat Darren masuk mengenakan kemeja putih dengan dua kancing terbuka di bagian atas. Wajahnya datar, tapi dalam tatapannya ada sesuatu yang membakar.Langkahnya pelan, tapi matanya terkunci pada Laura, seolah tidak ada hal lain yang penting di dunia ini.Darren berjalan menghampirinya, duduk di sampingnya, mengangkat tangan dan menyentuh pipi Laura dengan punggung jari. Sentuhannya begitu lembut, tapi terasa seperti percikan api yang menyambar kulit Laura."Akhirnya kau mengundangku masuk," ucap Darren dengan suara rendah dan dalam."Aku ... tidak—" bibir Laura bergetar, tapi Darren menempelkan telunjuk di sana, memintanya diam."Sstt, kau sudah terlalu sering berlari, Laura ...." Darr