Aku tidak pernah tahu jika Ruri memiliki tenaga sebesar itu. Sering memang ia menunjukkan sisi kelakian saat di hadapan para pekerja lainnya. Namun, jarang sekali ia menunjukkan kekuatan yang ia punya. Aku speechless dibuatnya.“Gimana?” Aku masih menunggu jawaban dari Ruri.“Aman, orang cuma dipukul pelan kok.” Ia mulai lebih santai dari sebelumnya setelah ia tahu kondisi wanita itu.Syukurlah, aku membatin. Sebab takut jika terjadi hal yang tidak diinginkan.Ruri membawa Viona ke dalam gendongan, kemudian melangkah menuju keluar ruangan. Aku mengekor di belakang. Para pekerja lain yang melihat, bertanya-tanya tentang apa yang tengah terjadi.Viona dibaringkan di atas sofa. Kami duduk menunggu di sofa yang lain. Menanti sambil mengamati, barangkali ia hanya pura-pura pingsan. Sebab, aku yakin fisiknya tidak selemah itu. Meskipun bekas hantaman Ruri masih meninggalkan jejak di wajahnya.Terdengar suara ponsel dari atas meja. Aku meraih, berpikir jika itu adalah ponselku. Barangkali De
Aku merasakan ciuman di kening, juga elusan lembut di ubun-ubun. Dengan malas kubuka mata yang terasa berat. Ada Dewangga yang tengah duduk di tepian ranjang. Ia tersenyum saat aku menatap. Ternyata ia telah pulang, pertanda jika hari telah malam. Aku tidak sadar ketika terjatuh dalam dunia mimpi saat menangis tadi siang. Bahkan aku telah melewatkan dua kali jadwal makan.“Kau menangis karena masalah tadi siang? Matamu terlihat bengkak, kau bahkan tidak mengganti pakaianmu.” Lelaki itu memberikan komentar.Aku hanya diam dengan wajah datar, masih kesal padanya karena ia menolak untuk percaya. Aku berbalik setelah menyingkirkan tangannya dari kepala.“Maafkan aku.” Ia naik ke atas ranjang, ikut rebahan dengan posisi tanpa jarak. Tangan kanannya melingkar di atas perutku.Lagi, aku menjauh dengan melepaskan pelukannya. Ia kembali melakukan hal yang sama. Aku kembali menjauh, hal itu berulang hingga beberapa kali.“Jangan buat aku marah, Sya.” Ia memberikan peringatan. Aku tidak ingin me
“Perih, Yank.” Aku berkomentar ketika Dewangga menggigit dan menarik bagian puting buah dadaku. Kurasakan ia telah membuat lecet di area itu. Namun, lelaki berstatus suamiku itu seolah tidak ingin mendengar keluhan sama sekali. Ia tetap saja melakukan itu. Bahkan mulai memompa dengan kecepatan penuh seraya giginya terus menancap di dadaku.Kuremas kuat-kuat rambut Dewangga, bahkan menjambak dengan sadar. Berharap jambakan itu akan sedikit mengurangi kebrutalannya di saat bercinta. Ternyata salah, semakin aku membalas dengan kasar, semakin ia terlihat begitu menikmati.Aku tidak bisa merasakan apa-apa. Bahkan tubuhku mulai mati rasa. Hal yang kini menjadi hal lumrah ketika kami tengah mengadu kasih di atas peraduan. Dewangga melepas gigitan di dada, ia menatap dengan sorot penuh nafsu ketika kami saling membalas pandang. Sementara pinggangnya terus bergerak. Sesekali maju-mundur, sesekali ia berikan gerakan menggoyang.Segurat senyum terukir di bibir manisnya, detik berikutnya ia memej
Aku beranjak menuju lemari untuk memilih baju dengan asal, yang terpenting bisa menutupi seluruh badan. Sementara Dewangga masih terbaring dengan lelah di lantai. Kedua matanya tengah terpejam, mungkin ia telah tertidur karena kelelahan.Sesaat setelah aku berpakaian, terdengar ketukan di pintu kamar dengan suara Ruri yang memanggil dengan pelan. Aku segera beranjak untuk membukakan.“Ada apa?” Ia bertanya dengan mata yang masih tampak mengantuk. Suaranya juga terdengar serak, seperti orang yang baru terbangun dari tidurnya.“Bawa aku ke rumah sakit sekarang, cari dokter obgyn terbaik.” Aku memberikan perintah.“Loh, kamu hamil?” Suaranya terdengar setengah berbisik seraya melongok menatap ke dalam. Menatap Dewangga yang tengah terbaring lelah di lantai kamar dengan tubuh polos tanpa pakaian.Aku menggeleng dengan pelan.“Dia semakin brutal dan aneh, aku takut.” Aku berucap dengan suara sedikit bergetar. Sebab aku benar-benar merasa takut sekarang.“Aku gak bisa bawa kamu keluar kalau
“Sya.” Dewangga memanggil dengan suara parau. Kami baru saja kembali dari luar. Ia mengajak untuk keliling kota Jakarta sehabis kami pulang dari rumah sakit tadi pagi. Aku merasa lelah dan tidak semangat untuk melakukan apa pun.“Nasya!” Ia kembali memanggil, sebab aku hanya diam setelah panggilan pertama.Aku berbalik, menatap lelaki yang tengah menatapku dengan tajam. Sepasang mata itu tampak nyalang, seolah aku adalah mangsa yang siap untuk ia terkam.“Kenapa?” Aku bertanya dengan kening berkerut, sebab ia hanya diam setelah aku menatap untuk waktu yang lama.Tidak ada jawaban, Dewangga naik ke atas ranjang. Ia merangkak agar mampu menggapaiku yang tengah duduk di tepian ranjang sisi kanan.“Kau mau apa?” Aku langsung menatap dengan tajam saat kedua tangannya memegang bahuku, sementara napasnya mulai terdengar memburu. Naik turun dengan ritme yang tidak teratur.Aku menolak, menyingkirkan tangannya dari kedua bahuku. Lalu bangkit berdiri seraya beranjak menjauh dari ranjang. Sebab,
Setelah Ruri keluar dari kamar, Dewangga kembali ke ranjang. Ia duduk di tepian, perlahan membuka borgol yang mengunci kaki kananku. Ia memilah anak-anak kunci yang berada dalam genggamannya. Mencoba beberapa kali hingga kaki kananku terlepas.Aku bisa menarik napas sedikit lebih lega dari sebelumnya, sebab salah satu kuncian telah terbuka. Dewangga tampak santai beralih pada sisi ranjang yang lain. Melakukan hal yang sama pada kaki kiriku, melepas borgolan. Ia tidak terlihat panik ataupun khawatir sama sekali melihat bekas merah karena sabetan cambuk yang ia lakukan puluhan kali.Di mana letak cinta yang selalu ia kumandangkan? Lelaki mana yang tega menyiksa wanita yang ia cintai seperti yang Dewangga sampaikan?Akhirnya aku terlepas dari semua borgol yang mengunci pergerakan. Kedua borgol di tangan juga ikut ia lepas. Aku menatap sekitar dengan penuh hati-hati, membaca setiap pergerakan yang dilakukan olehnya. Barangkali ia akan melakukan hal yang lebih sadis dari ini.“Kau pasti la
Tepukan lembut di pipi membuatku terbangun. Cahaya matahari langsung menyambut dengan tajam saat aku membuka mata. Bukan Dewangga yang kudapati ketika mata terbuka, tapi Ruri. Lelaki 35 tahun itu tengah duduk di tepian ranjang.“Akhirnya kau bangun juga.” Ruri langsung berucap sebelum aku sempat menanyakan banyak hal.Aku tidak tahu apa yang terjadi tadi malam saat aku terjatuh pingsan. Namun, aku bisa mengingat dengan samar saat Dewangga merangkak di atas tubuhku sebelum aku benar-benar kehilangan kesadaran.Aku hendak bangkit untuk duduk, tapi pergerakanku terkunci dengan kedua tangan kembali terborgol di kedua sisi ranjang. Aku bahkan tidak bisa menyentuh wajahku. Sekadar menutup mulut saat menguap pun tanganku tidak bisa menjangkau. Untung saja kedua kakiku dibiarkan terbebas.“Lepaskan aku!” Aku memberikan perintah pada Ruri. Sebab, sudah tidak tahan lagi untuk tinggal berlama-lama di sini. Aku sudah menyerah dengan semua siksaan yang telah ia berikan. Aku ingin pergi ke suatu te
Pintu terbuka secara mendadak, terdengar kasar saat daun pintu terbanting pada dinding. Wajah tampan Dewangga muncul di baliknya. Di wajah tampan itu terlukis amarah yang begitu besar. Wajahnya masam, tatapannya nyalang. Tidak ada lagi cinta yang bisa kulihat di kedua manik matanya. Yang ada hanya nafsu dan amarah yang ingin dilampiaskan.Lelaki berkaki jenjang itu melangkah dengan pasti menuju ranjang. Tatapannya begitu tajam mengikat, ia tidak melepas tatapan sama sekali. Kubalas tatapan itu dengan sorot lebih tajam. Ingin menunjukkan pada dirinya bahwa aku tidak takut sama sekali. Aku bukan lagi Nasya yang hanya akan pasrah saat disiksa. Kini saatnya aku melawan, sebab sudah tidak ada alasan untuk bertahan.“Tarik kata-kata yang sudah kau ucapkan tadi pagi!” Ia langsung berucap dengan kasar. Rahangku dicengkeram dengan erat olehnya.Aku hanya tersenyum, senyum sebagai bentuk perlawanan.“Jangan pernah mengucap kata pisah, aku tidak suka!” Ia menegaskan.“Aku tidak peduli kau suka a