LOGINMama Lydia masih berdiri di samping ranjangku dengan napas yang memburu, matanya yang biasa penuh dengan kilat penghinaan kini hanya menyisakan ketakutan murni. Dia menatapku seolah-olah aku adalah bom waktu yang siap meledak kapan saja.Aku tidak lagi menghindar. Aku membalas tatapannya dengan mata yang dingin, tatapan yang selama ini kusembunyikan di balik topeng menantu sampah yang tak berdaya."Ma..." suaraku rendah, hampir menyerupai bisikan maut. "Paman Julian memang memiliki aura yang sangat kuat. Itu karena dia berasal dari lingkungan bawah tanah yang sangat gelap. Dia bukan hanya mengendalikan dunia hitam, tapi dia juga memiliki pengaruh besar terhadap orang-orang penting di kota ini, bahkan di negeri ini."Lydia menelan ludah dengan susah payah. Aku bisa melihat lehernya bergerak naik turun."Jadi..." lanjutku sambil mencondongkan sedikit tubuhku ke arahnya, mengabaikan rasa perih di rusuk. "Saran aku, lebih baik Mama melupakannya. Anggap saja Mama nggak pernah bertemu denga
Mendengar kalimat terakhir Paman Julian, aku tidak bisa menahan senyum tipis di bibirku yang masih terasa kaku. Ada rasa bangga sekaligus getir yang merayap di dadaku. Darah memang tidak pernah berbohong. Di balik akting menantu tertindas ini, ada DNA seorang pemangsa yang diwariskan langsung oleh Lucas Morales."Sepertinya begitu, Paman. Buah jatuh memang tidak jauh dari pohonnya," sahutku pelan.Paman Julian tidak membalas senyumku. Wajahnya tetap kaku, seolah-olah dia sedang menatap papan catur yang penuh dengan langkah berbahaya."Masalahnya bukan soal kemiripan itu, Rey," suara Julian merendah, memberikan tekanan yang membuat suasana kamar VIP ini terasa semakin sesak. "Jika tikus-tikus semalam memang benar-benar anggota Dominus Noctis, mereka tidak akan diam saja. Mereka akan bergerak untuk membalas dendam. Dan di saat perang itu pecah, ayahmu pasti akan tahu. Itulah resiko dari tindakan impulsifmu semalam."Jleb.Kalimat itu menghantamku tepat di ulu hati. Aku terdiam. Benar ju
Pertanyaan Lydia yang dibisikkan tepat di lubang telingaku itu membuat sekujur tubuhku menegang. Jantungku berdegup kencang, memberikan sensasi berdenyut pada rusukku yang retak.Lydia menatapku dengan mata sayu yang penuh selidik, jemarinya masih bergerak nakal di balik selimut, menuntut jawaban yang tak kunjung keluar dari mulutku."Dia... dia teman lama, Ma," jawabku akhirnya dengan suara yang sedikit bergetar. "Dan dia orang yang sangat keras. Tidak suka basa-basi. Mungkin lebih baik Mama keluar kamar sebentar, karena dia akan segera sampai."Mendengar jawabanku, Lydia bukannya takut, malah menyunggingkan senyum remeh yang menyebalkan. Alih-alih menarik tangannya, dia justru semakin berani mengelus tongkat ajaibku dari bagian luar celana pasien yang tipis."Teman lama atau kekasih lama, Rey?" godanya dengan nada seksi yang dibuat-buat. "Apa dia benar-benar pria... atau jangan-jangan wanita dari masa lalumu? Kamu sampai ketakutan begini, seolah-olah simpananmu mau datang menggerebe
Kehangatan keluarga yang tadi sempat terasa, kini lenyap tak berbekas, digantikan oleh kesunyian yang mencekam. Suara detak jarum jam dinding terdengar begitu nyaring, seolah menghitung mundur sisa kewarasanku.Lydia berdiri perlahan. Dia berjalan mengelilingi ranjangku dengan langkah pelan, matanya menyapu seisi kamar, memeriksa fasilitas mewah yang ada, sebelum akhirnya pandangannya terkunci padaku.Dia kembali duduk di kursi samping ranjang. Gerakannya begitu elegan dan terukur. Dia menyilangkan kakinya, membuat belahan dress sutra selututnya sedikit tersingkap, memperlihatkan betis putih mulus yang terawat dengan biaya mahal."Makanlah," ucapnya pelan.Tangannya yang lentik mengupas jeruk mandarin dengan telaten, lalu menyodorkan sepotong ke depan mulutku. Aku membuka mulut sedikit, menerima suapannya.Namun, saat menarik jarinya kembali, ujung telunjuknya dengan sengaja menyentuh sudut bibirku yang sobek dan baru saja dijahit."Sshhh..." Aku mendesis, refleks memundurkan kepala k
Sentuhan tangan Amanda yang lembut namun menuntut di bawah sana membuat hasratku bergejolak Napasnya yang hangat menggelitik tengkukku, membisikkan kata-kata rindu yang biasanya akan membuatku langsung berbalik dan menerkamnya.Namun, kali ini situasinya berbeda. Jantungku berdegup kencang bukan hanya karena gairah, tapi karena panik yang luar biasa."Amanda..." desisku tertahan.Otakku berputar cepat. Bagaimana caranya bercinta tanpa menatap wajah? Ini bukan film, ini kehidupan nyata. Jika aku berbalik, dia akan melihat wajahku yang lebam seperti samsak tinju."Kenapa, Sayang?" bisik Amanda dengan suara serak yang menggoda. Tangannya tidak berhenti, justru semakin lincah memainkan ritme yang membuat lututku lemas. "Kamu nggak mau? Katanya tadi mau benerin motor, pasti capek kan? Biar aku yang servis kamu..."Dia tidak memberiku kesempatan untuk menjawab. Dengan gerakan tiba-tiba, Amanda menarik bahuku agar berputar menghadapnya."Liat aku dong, Rey.""Jangan, Amanda! Aku—"Terlambat.
Dua raksasa di hadapanku tidak memberi waktu untuk basa-basi. Pria dengan tato kalajengking di lehernya bergerak lebih dulu. Tubuhnya masif, tapi kecepatannya mengerikan. Sebuah pukulan hook kanan melayang ke arah kepalaku, membawa deru angin yang mematikan.Insting lamaku berteriak untuk menghindar, tapi tubuhku bereaksi sepersekian detik lebih lambat.Bugh!Tinjunya tidak menghantam rahangku, tapi menyerempet bahu kiriku dengan keras. Aku terhuyung mundur, keseimbanganku goyah. Belum sempat aku menapakkan kaki dengan benar, si Kepala Plontos sudah menyapu kakiku dengan tendangan rendah, disusul sebuah lutut yang menghujam telak ke ulu hati."Ugh!"Darah segar menyembur dari mulutku. Pandanganku memutih sesaat. Paru-paruku seolah diperas hingga kering. Tubuhku terlempar ke belakang, menghantam tumpukan peti kayu hingga hancur berkeping-keping."Cuma segini kemampuan Tuan Muda Veleno?" ejek si Tato Kalajengking sambil meludah ke lantai.Aku mencoba bangkit, menyeka darah di dagu. Namu







