MasukSuaraku membelah keributan di kedai kecil itu, tajam dan dingin, kontras dengan udara malam yang hangat.Si Preman Gemuk yang baru saja menendang meja menghentikan gerakannya. Dia menoleh perlahan ke arahku, matanya melotot seolah tak percaya ada seseorang di kedai kumuh ini yang berani menantang otoritasnya."Heh?" dengusnya kasar. Dia berjalan menghampiriku dengan langkah lebar yang disengaja untuk mengintimidasi. Kalung rantai di lehernya berdencing setiap kali dia bergerak. "Barusan ngomong apa kau, bangsat? Coba ulangin."Aku tetap duduk tenang di kursi plastik, menyesap sisa kopi hitamku dengan santai. Bagiku preman di hadapanku ini hanyalah seekor lalat pengganggu."Aku bilang, sopan sedikit sama orang tua," ulangku datar tanpa menatap matanya. "Telingamu bermasalah atau otakmu yang terlalu lambat memproses bahasa manusia?"Hening.Seluruh pengunjung kedai menahan napas. Bahkan Pak Jo dan Bu Ina mematung dengan wajah pucat pasi. Mereka tahu, memancing amarah preman di wilayah i
Aku memacu motor tua-ku membelah kemacetan sore, menjaga jarak aman sekitar tiga mobil di belakang sedan mewah Livia. Jantungku berdegup kencang, otakku sudah menyusun berbagai skenario terburuk.Mobil itu berhenti di lobi Gedung Wijaya Group. Aku melihat Amanda keluar dari gedung, lalu masuk ke mobil Livia."Ternyata memang kalian merencanakan ini. Oke, permainan dimulai," gumamku di balik helm.Mereka keluar dari area perkantoran. Aku terus membuntuti. Pikiranku liat. Ke mana mereka? Hotel? Apartemen? Atau tempat pertemuan dengan lain?Namun, setelah dua puluh menit berkendara, mobil Livia justru berbelok ke sebuah pelataran parkir gedung bergaya klasik yang elegan. Di depannya terpampang tulisan besar berwarna emas: "Aura Sanctuary - Exclusive Women's Spa & Aesthetic Clinic".Aku mengerem mendadak di seberang jalan, menatap gedung itu dengan bingung."Spa?"Aku melihat Livia dan Amanda turun dari mobil. Tidak ada gelagat mencurigakan. Mereka berjalan santai masuk ke dalam gedung ya
Suara desahan tertahan memenuhi ruangan VVIP yang sunyi dan dingin itu.Di atas ranjang pasien yang mewah, pemandangan gila sedang terjadi tepat di depan mataku. Siska, wanita yang baru kukenal kurang dari satu jam yang lalu, sedang menundukkan kepalanya di pangkuan Haris. Kepalanya bergerak naik turun dengan irama yang membuat seprai rumah sakit itu berantakan.Haris memejamkan mata, tangannya meremas selimut dengan kuat. Wajahnya yang penuh lebam kini memerah, campuran antara rasa sakit fisik dan kenikmatan duniawi.“Hhh... Gila...” desis Haris dengan napas memburu. Matanya terbuka sedikit, menatapku dengan sorot mata yang sudah kabut oleh nafsu. “Sedotan Siska kenceng banget, Rey... Enak parah... Sumpah, kamu harus coba.”Siska tiba-tiba menghentikan aktivitasnya sejenak. Dia menoleh ke arahku, bibirnya basah dan berkilat. Matanya sayu, penuh dengan undangan maksiat.“Kalau kamu mau, Rey...” tawarnya dengan suara serak yang menggoda. “Aku bisa ganti ke kamu sekarang. Mumpung aku la
Aku membuang pandangan dari Siska. Dan hal ini menyadari ku kalau di kamar rawat inap kelas 3 ini, ruangannya sempit, pengap, dan berisi enam pasien yang dipisahkan hanya dengan tirai kusam. Kipas angin di langit-langit berputar lambat, tidak mampu mengusir udara panas.Haris yang terluka karena permasalahanku, tidak pantas dirawat di tempat seperti ini.“Aku keluar sebentar,” kataku pada Haris dan kedua tamunya.Tanpa menunggu jawaban, aku melangkah keluar menuju meja administrasi perawat.“Suster,” panggilku. “Saya mau pindahkan pasien atas nama Haris ke kamar VVIP. Presidential Suite kalau ada.”Perawat itu menatapku dari atas sampai bawah. Seragam hotelku mungkin membuatnya ragu.“Maaf, Pak. Kamar VVIP biayanya sangat mahal. Depositnya saja sepuluh juta, dan per malamnya—”Aku tidak membiarkannya menyelesaikan kalimat. Aku mengeluarkan kartu debit hitam hadiah dari paman Julian dan kemudian meletakkannya di meja.“Pakai ini untuk biaya seminggu penuh. Sekalian obat-obatan terbaik
Livia terdiam sejenak. Namun, bukannya panik atau ketakutan, dia justru tertawa kecil. Tawa yang terdengar meremehkan, seolah pertanyaanku adalah lelucon paling konyol yang pernah dia dengar.Dia menyentuh tanda merah di lehernya dengan ujung jari, bukan untuk menutupinya karena malu, tapi seolah sedang memamerkan sebuah trofi.“Kamu mikirnya kejauhan, Rey,” jawabnya tenang, matanya menatapku lurus. “Kamu pikir aku dan istriku bisa berkhianat? Jangan konyol.”Dia memajukan tubuhnya sedikit. “Suamiku, Arya... dia sedang ‘ganas-ganasnya’ semalam setelah dia pulang. Mungkin dia cemburu melihatku bicara denganmu, jadi dia ingin menandai miliknya. Wajar, kan?”Livia kembali bersandar di kursinya, memasang wajah bosan.“Jangan berpikiran yang aneh-aneh apalagi sampai menuduh istriku yang macam-macam. Itu menyakitkan buatnya. Sekarang, tolong keluar. Jangan bikin malu departemen kita dengan gosip murahan.”Aku terdiam. Penjelasannya masuk akal. Arya adalah suaminya, mereka berhak melakukan a
Waktu seolah membeku di ruang makan itu.Di bawah meja, tangan Lydia masih menangkup asetku yang menegang keras di balik celana jeans. Sentuhannya berani, panas, dan menuntut. Dia tidak hanya memegang, tapi ibu jarinya mengusap pelan ujung gundukan itu, membuat darahku berdesir liar hingga ke ubun-ubun.Mata kami terkunci. Napas Lydia memburu, bibirnya sedikit terbuka, memancarkan gairah terlarang yang selama ini dia sembunyikan di balik statusnya sebagai ibu mertua yang anggun."Besar sekali… Apa boleh aku mencobanya?” tanya Lydia.Lidahku kelu, tidak bisa menjawab pertanyaan itu.Namun, momen gila ini hancur berantakan dalam sekejap.BIP! CEKLEK!Suara kunci digital pintu depan terbuka, diikuti langkah kaki sepatu pantofel yang tegas menghantam lantai."Ma! Kamu masih di rumah?"Itu suara Surya.Lydia terlonjak seperti disengat listrik. Dia menarik tangannya secepat kilat dari selangkanganku. Wajahnya yang tadi penuh nafsu kini memucat pasi.Aku pun tidak kalah panik. Dengan refleks







