LOGIN"Tapi bagaimana kondisimu, Tuan Muda?" tanya Jonathan, matanya tertuju pada bekas suntikan infus di punggung tanganku yang kini berdarah dan membiru. Darah segar itu merembes, membentuk noda merah kecil di lengan kemejaku, tapi aku sama sekali tidak merasakan perih.Aku melirik ke arah ponselku yang masih terhubung dengan aplikasi pengawas. Di layar itu, aku melihat balasan dari Amanda muncul, sebuah balasan yang membuat ulu hatiku terasa seperti ditikam belati berkarat.'Ayo. Aku langsung ke apartemenmu sepulang kerja nanti.'Jawaban yang begitu ringan. Tanpa beban. Tanpa rasa bersalah sedikit pun terhadap suaminya yang sedang terbaring di rumah sakit.Aku mengangkat wajah, menatap Jonathan dengan tatapan dingin yang kosong. "Kondisiku baik, Jo... kecuali hati. Bagian itu sudah hancur tak berbentuk."Jonathan terdiam. Dia mengangguk paham, sorot matanya menunjukkan rasa hormat sekaligus keprihatinan yang mendalam."Aku antar, Tuan Muda," ucap Jonathan tegas, mengambil kunci mobil dar
Jonathan terdiam sejenak, wajahnya yang biasanya tenang kini memancarkan kegelisahan yang nyata."Tuan Muda, Anda tahu sendiri bagaimana Paman Julian," Jonathan memulai dengan suara rendah, hampir berbisik. "Aturan adalah aturan. Di Veleno, melompati wewenang pusat adalah dosa besar. Tidak ada yang boleh melanggar jika masih ingin menghirup udara esok hari. Paman Julian menganggap privasi keluarga sebagai hal sakral yang tidak boleh diusik tanpa alasan yang mutlak."Aku menyandarkan punggungku ke bantal rumah sakit, menatap langit-langit ruangan dengan tatapan kosong namun tajam. Rasa sakit di dadaku akibat pengkhianatan Amanda jauh lebih perih daripada luka fisik yang sedang dibalut perban ini. Harga diri? Julian mungkin akan kecewa melihat keponakannya dikhianati, tapi aku jauh lebih kecewa pada diriku sendiri karena telah memelihara ular di dalam rumah."Lakukan saja, Jo," kataku dengan nada final yang tidak menerima bantahan. "Sadap ponsel Amanda sekarang juga. Jika Paman Julian m
Aku melirik layarnya. Nama Jonathan berkedip di sana. Di samping ranjang, Lydia sedang sibuk merapikan dress sutranya yang berantakan.Aku menggeser tombol hijau dan menempelkan ponsel ke telinga.‘Ya, Jo?’ kataku dingin.‘Tuan Muda, maaf mengganggu waktu Anda,’ suara bariton Jonathan terdengar di seberang sana, formal dan penuh hormat seperti biasa. ‘Saya sudah berada di rumah sakit. Jika Anda mengizinkan, saya ingin menjenguk dan berbicara beberapa hal secara langsung.:Aku melirik Lydia yang kini sedang mengancingkan bagian belakang pakaiannya sambil sesekali mencuri pandang ke arahku dengan tatapan memuja sekaligus lapar.‘Aku tunggu!’ jawabku singkat sebelum memutus panggilan.Lydia menoleh, alisnya bertaut. "Ada apa, Rey? Ada tamu lagi? Siapa sekarang?"Aku bangkit, merapikan baju pasienku dengan gerakan tenang, tidak memedulikan rasa perih di luka jahatku yang seolah berteriak protes akibat aktivitas panas tadi. Aku menatap Lydia tajam, membuat wanita itu sedikit tersentak."Ma
Bau parfum floral yang menyengat dari tubuh Lydia menyerang indra penciumanku, berusaha menggantikan aroma sabun bergamot milik Amanda yang masih membekas di ingatanku."Terasa lebih enak, Rey?" bisik Lydia. Suaranya rendah, serak, dan penuh undangan.Aku memejamkan mata, tapi bukan karena menikmati pijatannya. Aku sedang memanggil kembali setiap detak suara dari rekaman semalam. Suara desahan Amanda, tawa mengejek Livia, dan kalimat laknat itu: "...Rey juga lagi sakit, dia nggak bisa gituan. Aku udah gatel banget."Gatel, ya?Kemarahan yang mendidih di dalam dadaku kini menjalar ke seluruh saraf. Luka di wajah dan dadaku memang masih berdenyut nyeri, tapi adrenalin Veleno yang mengalir di nadiku jauh lebih kuat. Amanda pikir aku sudah patah? Dia pikir suaminya ini sudah menjadi seonggok daging tak berguna hanya karena beberapa jahitan?"Ma..." panggilku, suaraku kini lebih berat, dalam, dan penuh ancaman."Ya, Sayang?" Lydia mencondongkan tubuhnya. Dress sutra tipis yang dia kenakan
Dengan tangan sedikit gemetar, bukan karena takut, tapi karena amarah yang kutahan, aku membukanya.Video itu menampilkan lobi apartemen Skyline Residence. Aku melihat Amanda dan Livia melangkah masuk dengan santai, mengobrol seolah mereka hanya ingin minum teh sore. Sepuluh menit kemudian, rekaman beralih ke koridor. Mereka berdua masuk ke unit Livia.Hanya mereka berdua. Tidak ada sosok pria.Aku mengerutkan dahi. Nggak ada suami Livia? Jadi mereka main berdua doang? Tapi semalam mereka membicarakan itu dengan jelas kalau mereka main bertiga.Aku mengirim pesan lagi kepada Jonathan.‘Jo, cek lebih teliti. Cek rekaman satu jam sebelum mereka sampai atau kapanpun itu sampai ada rekaman sosok pria yang masuk ke unit itu.’Aku meletakkan ponsel di dada, menatap plafon kamar rumah sakit yang putih pucat. Kegelapan malam ini terasa begitu menyesakkan. Amanda, wanita yang kupikir adalah pelabuhan terakhirku, ternyata hanyalah badai yang menghancurkan segalanya.Sepuluh menit kemudian, pons
Hening sejenak menggantung di udara setelah pertanyaan Livia meluncur. Jantungku berdegup kencang di balik selimut, menanti jawaban yang akan keluar dari mulut wanita yang selama ini tidur di sampingku."Nggak mungkin, Liv. Kamu tenang aja," suara Amanda terdengar begitu yakin, nada suaranya santai seolah dia sedang membicarakan menu makan malam, bukan pengkhianatan. "Rey itu polos banget. Dia selalu percaya apa pun yang aku omongin. Lagian, dia nggak punya nyali buat curiga sama aku."Terdengar suara tawa Livia yang tertahan. Tawa itu terdengar seperti gesekan pisau karatan di telingaku."Aduh, sumpah ya, Man. Kadang aku kasihan sama dia. Rey itu kelihatan cinta mati sama kamu, tulus banget lagi. Tapi kamunya malah menusuk dia dari belakang kayak gini. Jahat banget sih kamu, hahaha...""Eh, jangan salahin aku dong," sanggah Amanda cepat, nada suaranya berubah menjadi defensif namun manja. "Hitung-hitung ini balas budi ke kamu aja. Kan kemarin-kemarin kamu udah bantu aku penuhi fantas







