Share

BAB 7 Pembicaraan yang belum selesai

“Berengsek! Apa-apaan ini?” 

Erlangga duduk di belakang meja kerjanya dengan wajah yang berkerut kesal, menatap surat pengunduran diri Venina yang tergeletak di depannya. Tangannya meremas-remas kertas itu dengan gerakan kasar seolah-olah ingin menghancurkannya. Pikirannya masih terus memutar balik momen saat dia menyadari Venina telah menghilang dari kamar hotelnya. Rasa kecewa dan amarah bercampur aduk dalam dirinya.

"Sialan!" bentak Erlangga, membuang surat itu dengan kasar ke dalam kotak sampah di sebelah meja. Tapi bahkan ketika surat itu lenyap dari pandangannya, perasaan kecewa tak kunjung pergi.

Alfian, yang duduk di sudut ruangan dengan santainya, mengangkat cangkir kopinya sambil menatap Erlangga dengan rasa pengertian yang dalam.

“Sudahlah, Ngga. Jangan terlalu dipikirkan,” ucap Alfian sambil menyesap kopinya. “Mungkin memang inilah yang terbaik untuk kalian berdua.”

Kata-kata itu hanya membuat api kemarahannya semakin berkobar. "Aku tidak bisa menerimanya begitu saja! Dia tidak bisa menghindar seperti ini!" serunya dengan penuh ketegasan.

Erlangga benar-benar tak habis pikir dengan pikiran wanita itu. Jika saja dia berurusan dengan wanita lain, dia yakin mungkin saja saat ini dirinya sudah diperas dan diancam untuk bertanggung jawab. Namun, Venina berbeda… dia pikir wanita itu akan kembali, tetapi nyatanya tidak.

Semua pasti ada alasannya. Mungkin Venina juga punya alasan tersendiri. Kalau memang itu keinginannya… ya biarkan saja. Untuk apa kesal begini? Toh masih banyak sekertaris yang lebih kompeten dan menarik dari gadis itu,” lanjut Alfian, mencoba meredakan kemarahan Erlangga.

Erlangga hanya mendengus, tidak puas dengan jawaban itu. Baginya, alasan apa pun yang mungkin dimiliki oleh Venina tidak bisa menghapuskan rasa kecewa dan amarah yang merajalela dalam dirinya. Dia masih merasa diabaikan.

“Kenapa kau tidak menghalanginya?” tuntut Erlangga dengan jengkel. “Atau setidaknya tahan dia sampai aku datang!”

Alfian hanya menggelengkan kepala dengan tegas.“Aku tidak bisa menghalanginya, Ngga,” balasnya dengan tenang. “Wajah gadis itu sudah sangat pucat dan tertekan.”

Wajah Erlangga semakin memerah, kekesalannya semakin meluap saat mendengar penjelasan Alfian. "Sialan!" erangnya dengan penuh frustrasi. Pikirannya berkecamuk, membayangkan bagaimana putus asanya wanita itu.

Tanpa ragu lagi, Erlangga meraih kunci mobilnya dan bangkit dari tempat duduknya. Dia merasa tidak bisa tinggal diam lagi di balik meja kerjanya. 

“Kau mau pergi ke mana?” tanya Alfian sambil terus memandangi gerak-gerik Erlangga.

“Kalau kau mau menemuinya, aku sarankan kau tidak memaksanya,” sambung Alfian ketika sahabatnya itu sampai di ambang pintu.

Erlangga menatap Alfian dengan pandangan tajam sebelum berbicara dengan nada tegas, “Kalau memang kau tidak ada pekerjaan lagi. Uruslah semua pekerjaanku yang tertunda.” 

Alfian hanya tersenyum penuh arti saat Erlangga melangkah keluar dari ruangan dengan langkah yang mantap. 

 ***

Venina duduk di tepi ranjangnya, matanya menerawang ke langit-langit kamarnya. Suasana hening di kamarnya terputus oleh suara ketukan pintu yang tiba-tiba. Ia menoleh ke arah pintu dan melihat ibunya masuk dengan wajah yang tampak agak cemas.

"Ada apa, Bu?" tanya Venina dengan nada penasaran, mencoba membaca ekspresi wajah ibunya.

Nadia menghela napas ringan sebelum menjawab, "Ada yang mencari kamu, Nina. Katanya dari kantor."

Wajah Venina langsung memperlihatkan ekspresi keheranan. "Siapa, Bu?"

“Ibu juga nggak tahu. Ibu lupa tanya namanya. Tapi tadi dia bilang kalau ada hal peting yang mau dibicarakan sama kamu,” jelas Nadia.

Venina meremas-remas jari-jemarinya. Dia menggelengkan kepala, mencoba menyingkirkan pikiran negatif yang mulai merayapi benaknya.

“Yang datang laki-laki, Bu?”  tanya Venina, mencoba mempersempit kemungkinan.

Nadia mengangguk. “Lebih baik kamu temui dulu saja, Nina. Siapa tahu memang penting.”

Setelah ibunya keluar dari kamarnya, Venina duduk diam, mencoba meredakan ketegangan yang mulai menghimpit dadanya. Siapa yang bisa datang mencarinya? Seingatnya, ia tidak memiliki hubungan dekat dengan siapapun di kantor.

Venina merasa semakin gelisah. Tiba-tiba, pikirannya melayang pada Erlangga. Namun, dia menepis pikiran itu dengan cepat. Tidak mungkin, kan? Dia menggelengkan kepala, mencoba mengusir pikiran-pikiran yang tidak diinginkan.

"Dia nggak mungkin ada di sini, kan?" gumamnya pada dirinya sendiri, berusaha meyakinkan bahwa Erlangga tidak mungkin datang mencarinya di sini.

Namun, meskipun dia mencoba mengusir pikiran itu, bayangan Erlangga tetap menghantui pikirannya. Dengan hati yang masih berdebar kencang, Venina mengambil nafas dalam-dalam sebelum akhirnya keluar dari kamarnya untuk menemui tamunya.

Venina merasakan detak jantungnya berdegup kencang begitu tatapannya bertemu dengan mata Erlangga. Tubuhnya seketika menegang, dan ia merasakan denyutan di sepanjang urat nadinya. Matanya membelalak, mencoba mencerna kenyataan di depannya. Ini tidak mungkin. Erlangga di sini, di rumahnya.

Refleks, dia memejamkan matanya, berharap ketika membuka mata lagi, Erlangga akan menghilang seperti ilusi.

“Nggak mungkin,” teriaknya dalam hati.

Namun, ketika matanya kembali terbuka, sosok Erlangga masih ada di hadapannya. Matanya menatapnya dengan tajam, seakan mencoba menembus setiap pikiran dan perasaannya. Venina merasa dadanya terasa sesak, dan napasnya tersengal-sengal.

"Venina..." suara Erlangga memecah keheningan yang mencekam ruangan. "Ada beberapa hal yang harus kita bicarakan."

Napas Venina terasa tersangkut di tenggorokannya. Dia merasa ingin berteriak, ingin mengusir Erlangga dari hadapannya, tetapi kata-kata itu terjebak di dalam dadanya. Tubuhnya seolah-olah membeku di tempat.

Venina menelan ludah dengan susah payah, mencoba menemukan keberanian untuk menjawab. "Tidak… tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Semuanya sudah berakhir," ujarnya dengan suara yang gemetar, mencoba menahan getar kecemasan yang melanda tubuhnya.

Erlangga tidak menyerah begitu saja. Dia melangkah mendekati Venina, menempatkan dirinya di depannya dengan wajah yang tetap serius. "Kita harus bicara, Venina. Ada hal-hal yang perlu kita selesaikan," kata Erlangga dengan nada yang datar, namun terdengar begitu tegas.

Venina menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sendiri meskipun kecemasan masih menyelimuti dirinya. “Kita tidak bisa bicara di sini," bisiknya dengan tegang. 

Erlangga menatapnya dengan ekspresi serius. "Baiklah. Kita bisa bicara di tempat lain."

Tubuh Venina menegang ketika Erlangga mengulurkan tangannya untuk meraih bahunya, tapi dia tetap diam, membiarkan tangan itu menyentuhnya. Hatinya berdebar kencang saat pria itu membimbingnya keluar dari rumah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status