Home / Romansa / Hasrat Terlarang dengan Atasan / BAB 6 Mengundurkan diri

Share

BAB 6 Mengundurkan diri

Author: Prisma
last update Last Updated: 2024-04-18 22:00:02

"Apa yang kamu lakukan, Nina?" suara itu tiba-tiba terdengar, mengoyak keheningan dan membuat bulu kuduknya merinding.

Venina terperanjat mendengar suara itu. Mulutnya setengah terbuka dan napasnya tercekat ketika tatapannnya berserobok dengan mata Alfian. 

“Kamu sedang apa?” ulang Alfian lagi dengan wajah tenangnya. Matanya tidak terlepas dari wajah Venina.

Venina menoleh dengan lambat, napasnya tercekat ketika mata bertemu dengan sosok Alfian. Tatapannya terpaku pada wajah tenang pria itu, namun tubuhnya bergetar dalam ketegangan yang tak terlukiskan.

"Saya.. saya harus pulang, Pak," ucap Venina dengan suara yang terbata-bata, mencoba menahan kecemasan yang melanda dirinya. Kehadiran Alfian membawa sedikit kelegaan, namun ketegangan masih menguasai dirinya.

Alfian mengernyitkan dahinya. “Pulang?” tanyanya sambil bersedekap.

Venina menganggukan kepalanya sambil mengalihkan pandangannya.”Saya… saya harus pergi sekarang, Pak.”

“Apa yang terjadi, Nina? Kenapa harus terburu-buru seperti ini? tanya Alfian yang kini melangkah mendekat ke arah Venina. “Bukankah masih ada beberapa pekerjaan yang harus dikerjakan di sini?” 

Venina terdiam sejenak, mencoba merumuskan jawaban yang tepat. Namun, sebelum dia bisa mengatakannya, Alfian sudah menariknya menjauh ke tempat yang lebih sepi.

"Tunggu sebentar di sini," bisik Alfian sambil memberikan jaketnya kepada Venina sebelum melangkah pergi.

Terdiam dan bingung, Venina berdiri di tempatnya dengan hati yang berdebar kencang. Dia tidak tahu apa yang terjadi atau mengapa Alfian menariknya menjauh. Tetapi ketika dia mendengar suara Erlangga yang datang dari kejauhan, dia mulai memahami situasinya.

Dengan perasaan yang tercampur aduk, Venina merasa bahwa dia harus segera pergi dari sana dan menghilang secepatnya. Dia tidak ingin bertemu dengan Erlangga lagi setelah apa yang terjadi semalam. Rasa malu dan kecemasan mencampuri pikirannya saat dia melangkah menjauh dengan langkah cepat.

Tanpa berpikir panjang, Venina bergegas mencari taksi untuk membawanya ke bandara secepat mungkin. Matanya terus memantau sekitar, khawatir Erlangga akan muncul kapan saja. Setiap suara yang terdengar membuat hatinya berdebar lebih kencang.

Taksi akhirnya tiba, dan Venina segera melompat masuk dengan gerakan canggung.

"Ke bandara, secepatnya," ucapnya pada sopir taksi dengan suara yang bergetar, sementara dia memasuki kendaraan dengan hati yang berdebar kencang.

Taksi segera melaju meninggalkan hotel itu jauh di belakang, tetapi Venina masih merasa seperti dia tidak bisa bernafas. Pikirannya terus-menerus berputar, mencoba memahami betapa cepatnya semuanya berubah, betapa cepatnya hidupnya berubah menjadi seperti dalam mimpi buruk.

Dia menutup mata, berusaha menenangkan diri, tetapi bayangan Erlangga masih menghantui pikirannya. 

***

Venina berdiri di depan meja Erlangga dengan tangan gemetar, menatap surat pengunduran dirinya yang dia letakkan di atasnya. Rasanya seperti sebuah akhir dari babak hidupnya yang lama, tempat di mana dia telah berjuang, berusaha, dan terjebak dalam hubungan yang rumit dengan atasannya sendiri.

Dengan napas yang terengah-engah, dia mencoba menenangkan diri, mengingat keputusannya untuk berhenti dari pekerjaan yang telah menjadi bagian dari hidupnya selama ini. Meskipun ada rasa lega karena Erlangga tidak ada di ruangannya saat ini, Venina tetap merasa cemas dengan langkah yang akan dia ambil selanjutnya.

"Sudahlah, Nina. Ini yang terbaik," bisiknya pada dirinya sendiri, mencoba menguatkan hatinya.

Dia memutuskan untuk berhenti sejenak, menatap sekeliling ruangan kantor yang telah menjadi saksi bisu dari banyak cerita dan perjuangannya. Sementara itu, perasaannya terus bergolak, mencoba memproses semua yang telah terjadi dalam waktu singkat.

Saat dia hampir akan meninggalkan ruangan itu, terdengar langkah kaki yang mendekat. Venina memalingkan pandangannya dan melihat Alfian berdiri di ambang pintu. Hatinya berdebar keras, dan dia merasa seperti dunia di sekitarnya berhenti berputar untuk sejenak.

Alfian melangkah masuk dengan langkah mantap, matanya menatap Venina dengan tajam, seolah-olah mencoba mencari jawaban atas kehadirannya yang tiba-tiba. "Venina," sapanya dengan suara yang tenang, tetapi penuh dengan ketegasan.

Venina mencoba untuk tidak menunjukkan betapa terkejutnya dia dengan kemunculan Alfian. "Pak Alfian," jawabnya dengan suara yang sedikit gemetar, mencoba menutupi rasa cemas di dalam dirinya.

Alfian mendekati Venina dengan langkah yang mantap, tatapannya tidak berubah dari sebelumnya. "Akhirnya kamu kembali juga.”

Venina merasa tegang. Dia merasakan tubuhnya menjadi kaku, tidak tahu apa yang harus dikatakan pada Alfian. Dia hanya ingin pergi dan melupakan semuanya.

Alfian melangkah mendekati Venina, menyadari kegelisahan yang terpancar dari wajah wanita itu. “Apa kamu baik-baik saja, Nina?” tanyanya dengan suara yang masih lembut. “Saya khawatir karena kamu menghilang begitu saja kemarin dan tidak ada kabar setelahnya.”

Venina menelan ludah, mencoba untuk menemukan kata-kata yang tepat. "Saya… saya baik-baik saja, Pak. Dan maaf karena saya pergi begitu saja.”

Alfian menatapnya dengan tatapan yang penuh pengertian. "Saya mengerti. Tapi, bolehkah saya tahu apa yang terjadi? Apa yang membuatmu begitu terburu-buru?" tanyanya dengan lembut.

Venina merasakan napasnya tersangkut di tenggorokan. “Tidak… tidak ada apa-apa, Pak. Saya hanya tidak bisa bekerja lagi di sini?”

“Jadi, kamu mau mengundurkan diri?” desak Alfian dengan wajah tenangnya yang semakin membuat Venina merasa tak nyaman.

“Maaf karena saya membuat keputusan yang tiba-tiba, Pak,” tambah Venina, mencoba untuk tetap tenang meskipun jantungnya berdegup kencang dalam kecemasan yang meluap-luap.

Alfian mengangguk, tetapi ekspresinya masih penuh tanda tanya. “Kamu yakin akan pergi begitu saja seperti ini tanpa bertemu dengan Erlangga dulu?” 

Tubuh Venina semakin menegang dan lidahnya terasa kelu. Dia ingin cepat keluar dari situasi ini secepatnya.

Alfian menatap Venina dengan ekspresi yang berubah-ubah. "Baiklah," lanjutnya akhirnya setelah beberapa saat terdiam. "Saya tidak bisa memaksamu untuk tetap tinggal  kalau memang kamu sudah membuat keputusan."

Venina merasa lega mendengar kata-kata itu, tetapi masih ada rasa cemas yang menghantuinya. "Terima kasih, Pak Alfian," ucapnya dengan suara yang bergetar.

Alfian mengangguk, lalu melangkah mendekati Venina. "Semoga kamu mendapatkan apa yang kamu cari, Venina," ucapnya dengan lembut sambil menepuk bahu wanita itu. “Dan ingatlah kalau terkadang ada saatnya kita harus bersenang-senang dan tidak menganggap suatu hal dengan terlalu serius.”

Venina menelan ludahnya dengan susah payah, mencoba mencerna perkataan Alfian yang terasa sangat tersirat untuknya. Entah khayalannya saja atau bagaimana, dia merasa jika pria itu baru saja tersenyum dengan penuh arti padanya. 

“Baik, Pak,” ucap Venina setelah cukup lama diam. “Sekali lagi terima kasih,” tambahnya sebelum melanjutkan langkahnya, meninggalkan Alfian di ruangan itu.

“Sampai jumpa lagi, Nina. Saya punya firasat kalau kamu akan segera kembali lagi!” seru Alfian ketika Venina sampai di ambang pintu.

Venina hanya menoleh sebentar sambil tersenyum kecil. Dia tidak tahu apa maksud perkataan pria itu yang terdengar sangat lantang di telinganya.   

Mungkinkah sebenarnya Alfian sudah tahu apa yang terjadi antara dirinya dan Erlangga? Atau mungkin pria itu hanya sedang mengujinya? Entah kemungkinan mana yang benar, tetapi Venina bertekad dengan sepenuh hati jika dirinya tidak akan kembali lagi.

Setidaknya itulah keyakinannya saat ini, tanpa tahu apa yang akan terjadi…

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hasrat Terlarang dengan Atasan   BAB 129 (Final Chapter)

    Venina sedang menyiapkan teh di dapur ketika Erlangga menghampirinya dengan wajah serius. "Nina, kita harus bicara soal Erna," ujarnya dengan nada tegas.Venina menghela napas panjang, sudah menduga arah pembicaraan ini. "Ada apa lagi, Mas?""Saya rasa kita harus lebih tegas. Erna harus menggugurkan kandungannya," Erlangga berkata tanpa basa-basi.Cangkir teh di tangan Venina hampir terlepas. Dia menatap suaminya dengan tatapan tak percaya. "Apa? Mas bercanda, kan?""Saya serius, Nina. Ini demi masa depan Erna. Dia masih terlalu muda, belum siap jadi ibu," Erlangga bersikeras.Venina menatap suaminya dengan tajam, "Mas, aku nggak nyangka kamu bisa ngomong kayak gitu. Erna itu anak kita, darah daging kita sendiri. Gimana bisa

  • Hasrat Terlarang dengan Atasan   BAB 128 Gejolak Perasaan 3

    Erlangga berdiri kaku di depan ruang pemeriksaan, matanya tak lepas dari pintu yang tertutup rapat, seolah-olah bisa menembus dinding untuk melihat keadaan putrinya. Kekhawatiran terukir jelas di wajahnya, campuran antara rasa takut akan kondisi Erna dan amarah yang masih bergolak dalam dadanya.“Erna…," bisiknya berulang-ulang, suaranya serak oleh emosi yang tak terbendung. Tangannya mengepal dan mengendur secara bergantian, menunjukkan pergulatan batin yang hebat di dalam dirinya.Venina berdiri di sampingnya, berusaha menenangkan suaminya dengan kata-kata lembut di tengah kecemasannya sendiri. "Erna akan baik-baik saja, Mas. Dia gadis yang kuat."Erlangga menoleh tajam, rahangnya mengeras. Dia masih belum bisa memaafkan Venina yang telah menyembunyikan kehamilan Erna darinya. "Baik-baik saja?" desisn

  • Hasrat Terlarang dengan Atasan   BAB 127 Gejolak Perasaan 2

    Erlangga dengan mata berkilat penuh amarah, menerobos masuk ke ruang rapat tanpa peduli tatapan kaget karyawan di sekelilingnya. Fokusnya hanya tertuju pada satu orang: Arya Prasetya.Tanpa basa-basi dan tanpa peduli dengan kehadiran orang lain di ruangan itu, Erlangga mencengkeram kerah kemeja Arya dengan kekuatan yang bahkan mengejutkan dirinya sendiri."Brengsek kau!" desis Erlangga, giginya bergemeletuk menahan amarah yang sudah di ujung tanduk.Arya, yang biasanya tampil penuh wibawa, kini hanya bisa pasrah. Dia tahu hari ini akan tiba, hari di mana Erlangga akan datang padanya.Begitu berada di luar, Erlangga melepaskan cengkeramannya hanya untuk melayangkan pukulan telak ke wajah Arya. Suara debuman keras terdengar ketika tubuh Arya terhempas ke dinding. Namun, Ar

  • Hasrat Terlarang dengan Atasan   BAB 126 Gejolak Perasaan

    "Mama, cukup!" teriak Erlangga, suaranya bergetar menahan amarah. "Berhentilah menyakiti Venina dan menghancurkan keluarga saya!"Amita mendengus keras, matanya menyipit penuh kebencian. "Menghancurkan keluargamu? Justru wanita itu yang menghancurkan segalanya!" Dia menunjuk Venina dengan jari gemetar. "Kamu tidak bisa memperlakukan Mama seperti ini hanya karena wanita penghasut seperti dia, Angga!"Erlangga menarik napas dalam, berusaha mengendalikan emosinya. "Mama, please. Hentikan semua ini."Namun Amita seolah kerasukan. Dia melanjutkan dengan suara melengking, "Kamu tidak bisa menjadi anak durhaka hanya karena membela wanita penggoda yang telah membunuh Nathalia dan membuat Erna kehilangan kasih sayang!"Kata-kata itu menjadi pemicu yang menghancurkan pertaha

  • Hasrat Terlarang dengan Atasan   BAB 125 Kilatan Kemarahan 2

    Mobil melaju dalam keheningan yang mencekam. Venina mencengkeram setir erat, sesekali melirik ke arah Erna yang duduk diam di sampingnya. Putrinya itu tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri, matanya kosong menatap jalanan yang bergerak cepat di luar jendela.Venina ingin sekali memecah kesunyian ini, ingin memeluk Erna dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun, dia tahu ini bukan saat yang tepat. Luka dan kebencian yang selama ini tertanam di hati gadis itu tidak bisa begitu saja hilang dalam sekejap.Erna, di sisi lain, merasakan pergolakan batin yang hebat. Selama ini dia selalu percaya bahwa ibunya adalah wanita jahat yang telah menghancurkan keluarganya. Tapi hari ini, untuk pertama kalinya, dia melihat sisi lain dari Venina. Sisi seorang ibu yang rela berjuang melawan dunia demi anaknya.Setel

  • Hasrat Terlarang dengan Atasan   BAB 124 Kilatan Kemarahan

    Ketegangan memenuhi ruangan itu seperti listrik statis yang siap meledak. Amita, dengan wajah merah padam dan mata berkilat-kilat penuh amarah, menatap Venina seolah-olah ingin menghancurkannya di tempat."Berani-beraninya kamu datang ke sini!" desis Amita, suaranya penuh kebencian. "Kamu pikir kamu siapa, tiba-tiba muncul dan merusak segalanya?"Venina, yang berdiri tegak di ambang pintu, tak gentar menghadapi tatapan membunuh mertuanya. Matanya terfokus pada Erna yang terbaring pucat di ranjang pemeriksaan."Erna, Sayang," panggil Venina lembut, mengabaikan Amita. "Kamu nggak apa-apa?"Amita mendengus keras. "Jangan pura-pura peduli, dasar wanita jalang! Kamu tidak punya hak atas Erna!"Venina menoleh tajam ke arah Amita, m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status