Kehidupan Venina Anastasya berubah selamanya ketika dia melakukan kesalahan satu malam dengan atasannya, Erlangga Krisdiantoro. Sejak malam itu, Venina terjebak dalam pesona atasannya hingga sulit baginya untuk melepaskan diri. Gairah yang bergejolak dalam dirinya membuat Venina lupa perbedaan di antara mereka. Hasrat terlarang itu seolah mengaburkan fakta jika Erlangga telah menjadi milik wanita lain. Venina tidak menyadari jika hubungannya dengan pria itu berisiko menimbulkan skandal terbesar dalam hidupnya. Tetapi semuanya sudah terjadi, dia telah terjebak dalam jaring yang dirancang oleh kesalahannya sendiri. Dan sekarang, dia harus menghadapi konsekuensinya. Sementara itu, Erlangga menghadapi dilema. Di mana dia harus memilih Venina atau wanitanya yang akhirnya kembali setelah meninggalkannya. Apakah benar selama ini Venina hanyalah objek pelariannya saja? Benarkah tidak ada cinta di hati Erlangga untuk wanita itu?
Lihat lebih banyak"Jangan, Pak...," bisik Venina dengan suara gemetar, tetapi suaranya tenggelam dalam keheningan ketika bibirnya dipagut kasar oleh Erlangga. Seolah mematikan segala keberatan yang hendak diutarakan.
Tubuh Venina bergetar, tak hanya oleh sentuhan kasar atasannya itu, tetapi juga oleh rasa takut yang melumpuhkannya. Aroma alkohol semakin terasa menusuk, merayap ke dalam setiap pori-porinya. "Maafkan aku, Lia," bisik Erlangga di tengah-tengah serangkaian ciuman yang ganas.
Tapi aku bukan Lia, teriak Venina dalam hatinya. Tenaganya terasa habis saat itu juga. Sementara lututnya lemas, seperti tak bertulang.
Tiba-tiba dia menyesali keputusannya untuk memeriksa ruang atasannya sebelum pergi tadi. Seharusnya dia langsung pulang ketika sudah mengambil ponselnya yang tertinggal. Bukannya malah sibuk mencari tahu kenapa lampu di ruangan pria itu masih menyala.
"Jangan tinggalkan aku, Lia," gumam Erlangga dengan suara yang hampir putus asa, namun dipenuhi oleh hasrat yang meluap-luap.
"S-saya… saya… Venina, Pak," suara gemetar itu terdengar lirih, hampir tenggelam oleh deru nafas Erlangga yang bergelora. Entah atasannya itu bisa mendengarnya atau tidak. Yang bisa Venina lakukan hanyalah memejamkan matanya, berharap pria itu menyadari siapa dirinya.
Namun, harapannya pupus ketika Erlangga mendorongnya ke dinding, membelenggu pergelangan tangannya ke atas. Satu tangannya yang bebas dengan gegabah melemparkan kacamatanya dan mengurai rambutnya.
Venina menggelengkan kepalanya, menolak keras saat merasakan tangan Erlangga menyelinap di balik blusnya yang longgar. “Saya mohon, Pak. Tolong jangan lakukan ini,” pintanya dengan susah payah. Namun, semuanya sia-sia, karena pria itu tak menghiraukannya.
Dengan gerakan yang cepat dan kasar, Erlangga melucuti pakaian Venina, menelanjangi tubuhnya tanpa ampun. Dipandanginya tubuh wanita itu dengan penuh kekaguman. “Tubuhmu semakin indah, Lia,” bisiknya sebelum melepas pakaiannya sendiri.
"Pak Angga—" Venina mencoba memanggil namanya, membuat Erlangga menoleh sejenak. Namun, pandangannya buram, dan dia kembali menyerbu bibir wanita itu dengan ciuman liar.
"Sabarlah, Sayang," desah Erlangga, mencoba meredakan kegugupan yang melanda Venina. Bibir Erlangga kembali merengkuh bibirnya, sementara tangannya menjelajahi setiap lekuk tubuhnya.
Venina terkesiap, kilatan petir dan hujan deras di luar seolah membingungkan pikirannya, meredakan suara lenguhannya. Seharusnya dia melawan lebih keras, bukan malah terbius pesona atasannya yang sejak lama dikaguminya.
Ketika Erlangga menuntunnya ke sofa, Venina hanya bisa menggantungkan kaki dan tangannya di tubuh pria itu. Dalam keadaan pengap dan panas yang mengaburkan pikirannya, dia hanya mampu mengucapkan nama pria itu.
“Oh, Lia…!” Erangan kenikmatan yang keluar dari bibir Erlangga menyadarkan Venina dari lamunan buruknya. Kesadaran pahit melanda saat menyadari bahwa bukan dirinya yang ada dalam benak pria itu. Dan sekarang, semuanya sudah terlambat. Dia sudah menyerahkan sesuatu yang paling berharga tanpa perlawanan yang berarti.
***
Venina terbangun keesokan paginya dan menemukan dirinya sudah berada di dalam kamarnya dengan rasa sakit yang terasa asing di sekujur tubuhnya.
Dia sudah tidak mau mengingat bagaimana caranya pulang semalam. Karena bayangan percintaan yang panas dengan atasannya itu lebih dulu menyeruak dalam benaknya. Membuat wajahnya panas seketika.
“Dasar bodoh! Kenapa harus menggali lubang kubur sendiri, sih?” umpatnya pada dirinya sendiri. Diremasnya rambutnya dengan kasar. Berharap ingatan itu segera hilang.
Venina memaklumi bahwa keadaan Erlangga yang mabuk berat pada malam itu bisa menjadi alasan sebagian besar untuk apa yang terjadi. Tetapi rasa bersalah yang merayap di dalam dirinya tidak bisa diabaikan begitu saja. Dia tahu, bahkan dalam keadaan seperti itu, tidak seharusnya dia menikmati percintaan itu.
Dia tahu perasaan itu sangatlah keliru. Erlangga adalah atasannya. Dan Venina harus melupakannya.
Bodoh, bodoh, bodoh!
Venina turun dari ranjangnya dengan lemah. Dia melangkah perlahan menuju kamar mandi untuk menyegarkan diri.
Beberapa saat kemudian, Venina keluar setelah selesai bersiap. Butuh waktu lebih lama baginya untuk menyiapkan diri. Terlebih dia harus menyamarkan beberapa tanda percintaan di lehernya. “Nina pergi ya, Bu,” pamitnya ketika ibunya muncul dari arah dapur.
“Loh, kamu nggak sarapan dulu, Nina?” Nadia menghampiri putrinya dengan kerutan di keningnya.
“Nggak sempat, Bu. Nina kesiangan bangunnya,” sahutnya sambil mencium pipi ibunya.
“Lembur lagi semalam?” tanya Nadia dengan penuh perhatian.
Venina hanya bisa menggigit bibirnya sambil menganggukan kepalanya pelan. Dia tidak berani menatap mata ibunya.
Nadia menghela napas berat sembari mengusap rambut putrinya dengan lembut. “Maafkan Ibu ya, Nina. Ibu nggak bisa bantu apa-apa untuk meringankan bebanmu.”
Mata Venina berembun, tetapi dia menahan diri agar air matanya tidak menetes. Dia berharap agar ibunya tidak mengetahui apa yang telah terjadi semalam. Kesalahannya akan menjadi beban yang terlalu berat bagi Nadia.
"Sudahlah, Bu. Sudah tugas Nina untuk membahagiakan Ibu dan Gina," kata Venina setelah beberapa saat hening.
Namun, bayangan malam sebelumnya terus menghantui pikirannya. Ketika Nadia mencoba memperpanjang percakapan, Venina memotongnya dengan cepat.
"Maaf, Bu, Nina harus buru-buru. Takut telat kalau kelamaan ngobrol," ujarnya sambil memeriksa jam tangannya dengan cepat. "Ibu tenang aja. Nanti Nina sarapan di kantor."
Secepat kilat Venina berlalu dari hadapan ibunya. Dia takut wanita itu menyadari kesalahannya jika tidak segera menyingkir.
Sepanjang perjalanan ke kantor, Venina terus merapalkan doa-doa kecil, berharap agar hari ini tidak ada yang mengingatkan Erlangga pada malam sebelumnya. Namun, ketika disadari ada sesuatu yang berbeda, jantungnya berpacu lebih cepat.
Kacamatanya. Bagaimana mungkin dia bisa begitu ceroboh melupakannya?
“Tamatlah sudah riwayatmu, Nina! Kau memang bodoh!” umpatnya lagi sambil mempercepat langkahnya.
Namun, semuanya sudah terlambat. Ketika dia sedang menggeledah ruangan Erlangga. Tiba-tiba pria itu muncul di ambang pintu dan Venina tersentak dengan napas terengah-engah. Sudah tidak ada lagi harapan baginya untuk lolos.
"Sedang mencari sesuatu?" suara dingin Erlangga membuyarkan keheningan. Venina menoleh, menemukan pria itu menatapnya dengan tajam.
“Saya… saya….” Venina kesulitan bicara, menatap Erlangga dengan perut terlilit. Pria itu tampil segar dan menawan, membuatnya sulit berkonsentrasi. Dia berusaha fokus, mengusir bayangan tubuh pria itu yang sangat menggoda dari benaknya.
Erlangga mendekatinya dengan langkah pasti, menimbulkan rasa ketidaknyamanan yang semakin menggelayuti Venina. "Maaf, Pak. Saya hanya ingin mengambil dokumen ini," ujarnya gemetar, mengangkat sebuah file dari atas meja atasannya itu.
Erlangga menatapnya dengan tajam. "Kamu yakin?"
Venina mengangguk, merasa semakin takut dengan setiap detik yang berlalu. Dia ingin pergi dari situ secepat mungkin.
“Kenapa harus terburu-buru?” Venina tercengang mendengar pertanyaan itu. Langkahnya terhenti sebelum mencapai pintu.
“Saya… saya harus bekerja, Pak.” Venina berusaha menyudahi percakapan, memalingkan wajahnya saat merasakan tatapan intens Erlangga.
Erlangga terdiam sejenak, lalu tiba-tiba menariknya dan mendorongnya ke dinding. Venina menahan napas, menggenggam erat berkas di tangannya.
“Bagaimana kamu bisa bekerja tanpa menggunakan ini?” Venina membuka mata saat merasakan kacamatanya kembali di wajahnya.
Venina menelan ludahnya dengan susah payah. Dia mengalihkan pandangannya, mencoba menenangkan diri saat menyadari betapa dekatnya Erlangga padanya.
Namun, Erlangga tidak berhenti di situ. Dia semakin merapatkan tubuhnya ke arah sekretarisnya itu. “Bisa kamu jelaskan kenapa benda itu ada di ruangan saya?” suara itu terdengar dingin.
Venina hanya bisa menggelengkan kepalanya. Keringat dingin mulai membasahi keningnya ketika Erlangga mendekat lagi sampai wajah mereka sangat dekat.
“Ada sesuatu yang mau kamu jelaskan pada saya, Nina?”
Keheningan langsung menyelimuti ruangan itu. Dan Venina merasakan pandangan Erlangga tidak terlepas dari wajahnya sedetik pun. Membuatnya semakin sulit bernapas. Terlebih setelah mendengar pertanyaannya.
“Kalau begitu biar saya yang bertanya?” Venina merasakan napas Erlangga di wajahnya, menyadari bahwa dia tidak akan bisa melarikan diri dari kenyataan yang membelenggunya. “Apa kamu wanita itu?” desis pria itu dengan tegas.
Venina sedang menyiapkan teh di dapur ketika Erlangga menghampirinya dengan wajah serius. "Nina, kita harus bicara soal Erna," ujarnya dengan nada tegas.Venina menghela napas panjang, sudah menduga arah pembicaraan ini. "Ada apa lagi, Mas?""Saya rasa kita harus lebih tegas. Erna harus menggugurkan kandungannya," Erlangga berkata tanpa basa-basi.Cangkir teh di tangan Venina hampir terlepas. Dia menatap suaminya dengan tatapan tak percaya. "Apa? Mas bercanda, kan?""Saya serius, Nina. Ini demi masa depan Erna. Dia masih terlalu muda, belum siap jadi ibu," Erlangga bersikeras.Venina menatap suaminya dengan tajam, "Mas, aku nggak nyangka kamu bisa ngomong kayak gitu. Erna itu anak kita, darah daging kita sendiri. Gimana bisa
Erlangga berdiri kaku di depan ruang pemeriksaan, matanya tak lepas dari pintu yang tertutup rapat, seolah-olah bisa menembus dinding untuk melihat keadaan putrinya. Kekhawatiran terukir jelas di wajahnya, campuran antara rasa takut akan kondisi Erna dan amarah yang masih bergolak dalam dadanya.“Erna…," bisiknya berulang-ulang, suaranya serak oleh emosi yang tak terbendung. Tangannya mengepal dan mengendur secara bergantian, menunjukkan pergulatan batin yang hebat di dalam dirinya.Venina berdiri di sampingnya, berusaha menenangkan suaminya dengan kata-kata lembut di tengah kecemasannya sendiri. "Erna akan baik-baik saja, Mas. Dia gadis yang kuat."Erlangga menoleh tajam, rahangnya mengeras. Dia masih belum bisa memaafkan Venina yang telah menyembunyikan kehamilan Erna darinya. "Baik-baik saja?" desisn
Erlangga dengan mata berkilat penuh amarah, menerobos masuk ke ruang rapat tanpa peduli tatapan kaget karyawan di sekelilingnya. Fokusnya hanya tertuju pada satu orang: Arya Prasetya.Tanpa basa-basi dan tanpa peduli dengan kehadiran orang lain di ruangan itu, Erlangga mencengkeram kerah kemeja Arya dengan kekuatan yang bahkan mengejutkan dirinya sendiri."Brengsek kau!" desis Erlangga, giginya bergemeletuk menahan amarah yang sudah di ujung tanduk.Arya, yang biasanya tampil penuh wibawa, kini hanya bisa pasrah. Dia tahu hari ini akan tiba, hari di mana Erlangga akan datang padanya.Begitu berada di luar, Erlangga melepaskan cengkeramannya hanya untuk melayangkan pukulan telak ke wajah Arya. Suara debuman keras terdengar ketika tubuh Arya terhempas ke dinding. Namun, Ar
"Mama, cukup!" teriak Erlangga, suaranya bergetar menahan amarah. "Berhentilah menyakiti Venina dan menghancurkan keluarga saya!"Amita mendengus keras, matanya menyipit penuh kebencian. "Menghancurkan keluargamu? Justru wanita itu yang menghancurkan segalanya!" Dia menunjuk Venina dengan jari gemetar. "Kamu tidak bisa memperlakukan Mama seperti ini hanya karena wanita penghasut seperti dia, Angga!"Erlangga menarik napas dalam, berusaha mengendalikan emosinya. "Mama, please. Hentikan semua ini."Namun Amita seolah kerasukan. Dia melanjutkan dengan suara melengking, "Kamu tidak bisa menjadi anak durhaka hanya karena membela wanita penggoda yang telah membunuh Nathalia dan membuat Erna kehilangan kasih sayang!"Kata-kata itu menjadi pemicu yang menghancurkan pertaha
Mobil melaju dalam keheningan yang mencekam. Venina mencengkeram setir erat, sesekali melirik ke arah Erna yang duduk diam di sampingnya. Putrinya itu tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri, matanya kosong menatap jalanan yang bergerak cepat di luar jendela.Venina ingin sekali memecah kesunyian ini, ingin memeluk Erna dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun, dia tahu ini bukan saat yang tepat. Luka dan kebencian yang selama ini tertanam di hati gadis itu tidak bisa begitu saja hilang dalam sekejap.Erna, di sisi lain, merasakan pergolakan batin yang hebat. Selama ini dia selalu percaya bahwa ibunya adalah wanita jahat yang telah menghancurkan keluarganya. Tapi hari ini, untuk pertama kalinya, dia melihat sisi lain dari Venina. Sisi seorang ibu yang rela berjuang melawan dunia demi anaknya.Setel
Ketegangan memenuhi ruangan itu seperti listrik statis yang siap meledak. Amita, dengan wajah merah padam dan mata berkilat-kilat penuh amarah, menatap Venina seolah-olah ingin menghancurkannya di tempat."Berani-beraninya kamu datang ke sini!" desis Amita, suaranya penuh kebencian. "Kamu pikir kamu siapa, tiba-tiba muncul dan merusak segalanya?"Venina, yang berdiri tegak di ambang pintu, tak gentar menghadapi tatapan membunuh mertuanya. Matanya terfokus pada Erna yang terbaring pucat di ranjang pemeriksaan."Erna, Sayang," panggil Venina lembut, mengabaikan Amita. "Kamu nggak apa-apa?"Amita mendengus keras. "Jangan pura-pura peduli, dasar wanita jalang! Kamu tidak punya hak atas Erna!"Venina menoleh tajam ke arah Amita, m
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen