Minggu pagi yang dingin.
Perut bergejolak sakit, tenggorokan terasa sakit merasakan mual menyakitkan. Pagi sekali rasa mual menyerang Gina. Tumbenan ia tidak dapat menahan perasaan mual menyakitkan ini.
Kehamilan Gina kini memasuki usia kandungan ke 4 bulan. Tubuh rampingnya mulai memperlihatkan perut membesar. Ia usap lembut sambil tersenyum meski perasaan pusing juga mual masih terus menyerang.
Huek!
Huek!
Ia berlari menuju kamar mandi sambil menahan mualan yang rasanya ingin ia tumpahkan sekarang juga.
Gina pun memuntahkan semua isi perut yang ada meski hanya cairan saja yang keluar dari mulutnya. Gejolak yang teramat menyakitkan, hingga perut perih memaksa muntah terusan. Kenapa pagi ini ia begitu mual?
Huek!
Bruuk!
Seseorang mencengkram erat lengannya sambil menggeram marah.
Untuk pertama kali dalam hidup Gina, ia di dalam mobil bersama Revan tak lain pria asing yang baru saja ia kenal. Hatinya bergemuruh antara takut, nyaman, tidak enak hati dan juga debaran jantung tidak stabil.Jangan sebut namanya Revan Alexander jika ia tidak mampu menundukkan semua karakter wanita termasuk Gina Syakilla.Sepanjang perjalanan Revan memasang senyum penuh kemenangan atas keberhasilannya. Pada akhirnya, ia berhasil meluluhkan keras hati Gina yang terusan menolak Revan."Revan, apakah yang kau lakukan ini tidak terlalu berlebihan?" Tanya Gina pelan."Gina ... kita berteman dan aku hanya mengajakmu ke perayaan saja. Ada masalah? Aku pikir itu bukanlah masalah yang serius.""Tap-tapi aku ...," Gina berhenti, tidak melanjutkan kata.Revan menatap Gina sekilas lalu menyetir santai, "Aku tidak akan menyakitimu Gina, kau percaya denganku 'kan? Aku tid
Chenni melepas pelukan itu lalu menatap kembali luka memar pada dada Gina."Apa kau tidak merasakan sakit pada tubuhmu?" Tanya Chenni merasakan dadanya kian sesak.Gina mengepalkan tangan, tidak ingin membuat siapapun melihat ia merasa kasihan atas nasib menimpanya saat ini. Chenni menunduk lalu ia menangis sesunggukan membuat Gina kaget dan tak henti menatap Chenni."Mba Chenni, m-maaf?! Apa aku melakukan hal yang salah? Maaf Mba ...," ucap Gina tidak enak hati.Chenni mengusap air mata yang membasahi pipi, lalu tersenyum kecut."Bagaimana mungkin ada orang yang tega melakukan kekerasan pada wanita hamil sepertimu?" Tanya Chenni bernada serak.Gina memelow, "Aku merasa ini tidak sakit kok."Chenni menarik napas panjang lalu menatap kembali kehamilan Gina, "Berapa usia kandunganmu?""4 bulan, Mba Chenni." 
"Oke, baiklah ... mari kita pergi?!" Revan membuyarkan lamunan.Gina tersenyum kecil, "Baiklah."Revan kembali menatap Gina lalu menatapn Chenni, wanita itu mengangguk seolah kini telah menyadari jika hidup Gina memang pantas diperlakukan berbeda."Mba Chenni, terimakasih sudah memolesku dengan jemari luar biasanya."Chenni tersenyum, "Kalau kau mau, datang saja aku akan memberikanmu potongan harga terbaik dari rumah kecantikanku."Gina mengangguk sambil tertawa kecil."Ingat! Jangan terlalu kecapaian. Kau sedang hamil, pikirkan kehamilanmu.""Iya, terimakasih."Chenni mengangguk. Gina dan Revan pun segera bergegas dan pergi meninggalkan rumah kecantikan Chenni.Gina begitu berbahagia atas kebaikan orang sekitarnya. Walaupun baru mengenal namun Chenni memahami kehidupan Gina, dia sangat baik
Mobil pun melaju semakin menjauhi lokasi butik Gewa. Gina masih tidak menyangka wajah polos tanpa pernah polesan make up akan terlihat begitu sempurna bahkan sepanjang perjalanan Gina hanya bisa meremat tangan gugup."R-Revan, bagaimana dengan pakaian dan sepatuku?" Tanya Gina pelan."Tenang saja, serahkan urusan itu pada Gewa. Dia akan menyimpan dengan baik.""Terimakasih, Revan."Revan menatap Gina sekilas lalu kembali fokus menyetir.Hingga akhirnya, mereka telah sampai di tempat yang dimaksud. Sebuah gedung pencakar langit menjulang tinggi, Gina menatap dari dalam mobil sambil bibirnya terkatup ragu."A-apakah ini?" Tanya Gina.Apartemen Pranaja, tertulis pamplet nama tersebut."Ya, sesuai namanya.""Ini besar sekali, aku pikir aku tidak akan cocok Revan berada di perayaan itu."&
"Ayo?" Revan mengajak kembali."K-kemana? Apa kita akan pulang?" Tanya Gina ragu."Ikut saja denganku."Gina menurutinya, kali ini Revan tidak sungkan menggenggam erat tangan Gina. Seolah tidak memerdulikan pandangan orang terhadap mereka lagi.Mereka kembali memasuki apartemen, Rey menatap aneh masih dengan kernyitan. Apa yang terjadi dengan mereka saat ini? Revan melepaskan tangan Gina sejenak lalu ia menuju Rey."Kau bisa memberikan kunci kamarmu?"Rey menatap semakin bingung, "Kau mau berbuat apa?""Jangan banyak tanya Rey! Kau pasti paham."Rey sedikit mengatupkan bibir lalu ia merogoh kantong celana memberikan kunci kamar pribadinya."Kau sudah gila!" Tekan Rey pelan dan sarkas.Rey semakin mempertajam pandangannya, sangat serius bahkan tatapan Rey seolah memperingatkan
Vero keluar dari mobilnya, mengejar waktu ke butik Gewa."Gewa, kamu sudah tutup?" Vero bertanya buru-buru.Tampak Gewa membawa sepatu dan juga pakaian, namun Vero tidak bertanya tentang pakaian yang sedang Gewa rapikan."Vero? Hei ... kau kemalaman?" Gewa terlihat kaku."Ya, aku tadi sehabis makan malam bersama calon Mama mertua-lah."Gewa terdiam, tampak bengong."Gew, kau kenapa? Ada masalah?" Vero menatap Gewa dalam."Eh, tidak. Aku hanya berpikira tentang gaun pengantinmu saja. Kau mengatakan ingin melihat konsepnya seperti apa bukan?"Vero langsung terdiam. Ia terlihat sangat murung, bahkan senyum anggun yang ia tunjukan sedari datang terlihat memudar. Rasanya Gewa tidak tahu harus apa sekarang apalagi mengingat perilaku Revan bersama wanita asing."Tunda saja."Gewa men
Mobil hitam garang Revan berhenti beberapa meter dari rumah Gina. Terlihat dari raut wajah Gina tampak takut, merasa sesuatu hal mengganjal perasaan. Mereka diam sejenak sambil memikirkan hal entah apa. Gina menunduk, meremati tangan dengan ragu bahkan bibirnya inging mengucapkan sesuatu masih terbungkam entah keenapa. Hatinya cemas, mengingat jika ia pulang dan Aston bertanya tentang kenapa tidak pulang semalaman. Alasan apa yang akan Gina sampaikan lagi. Revan menyadari ketika Gina menatap jalanan dengan gelisah. "Gina?" Panggil Revan pelan. Gina segera menoleh, "Ya, kau memanggilku?" "Ada suatu hal mengganjal hatimu?" "M-memangnya wajah seperti apa yang aku tunjukan?" "Terlihat pucat, gelisah dan tidak tenang. Katakan, apa Aston akan menyakitimu?" Gina l
Mentari pagi telah kembali menyinari cerah dengan suasana kamar yang tampak menggelap tanpa lampu menerangi. Tanpa malu-malu sang mentari membuat siapa saja akan bahagia menyambut kehadirannya.Dulu, Gina menyukai mentari terbit. Akan tetapi matahari saja sudah tidak mampu lagi membuat hati Gina seperti dulu atau sekadar berbahagia, hatinya kini sangat miris. Gina masih ingat perlakuan Aston semalam.Semalaman ia tidak bekerja, memilih menghabiskan waktu di kamar merenungi nasib na'as yang kini harus ia jalani dengan hati perih.Gina memaksa diri terbangun dari tidur tidak nyenyak. Ia menatap terusan brokat pemberian Revan terobek bahkan meninggalkan luka pada sudut bibir atas tamparan keras Aston. Gina merasakan tubuhnya bak dipukul orang sekampung.Letih dan melelahkan.Sambil menahan kesakitan, Gina pun menujun kaca rias kamar. Ia menatap wajah serta tubuhnya yang kini acakkan