Mag-log in“Ada apa, Kak?” tanya Lintang yang muncul dari kamar ibu.
Dengan cepat Beni menyembunyikan surat itu. “Tidak ada. Cuma brosur sedot wc,” bohongnya, tapi tangannya gemetar.Dia masuk ke kamarnya dan mengunci pintu. Mengeluarkan kedua benda itu—kartu dari rumah sakit dan surat kaleng yang baru saja diterima.“Siapa yang meninggalkan pesan ini? Apa ada hubungannya dengan pria botak tadi?”Dari balik jendela kamarnya, Beni memandang jalanan yang sepi. Di tangannya, dua benda terasa membara: kartu dari rumah sakit dan surat ancaman yang baru saja ditemukannya. Simbol ular dan pedang itu terus mengusik pikirannya.“Ini seperti simbol yang berhubungan dengan mafia,” batinnya tiba-tiba tersadar. “Nadia! Dia pasti tahu sesuatu tentang simbol ini.”Dengan cepat, Beni menyimpan kedua benda itu di saku dalam jaketnya. Dia berjalan menuju pintu.“Lintang!” panggilnya sambil membuka pintu kamar.Lintang yang sedang menyiapkan30 menit berlalu…Keringat membasahi tubuh mereka. Nafas mereka tersengal-sengal, tubuh saling terkait dalam pelukan yang tak mau terlepas.“Ah... Beni!” erang Afika, kuku-kukunya meninggalkan bekas di punggung Beni. Tubuhnya bergetar hebat, menandakan ujung gelora yang tak terbendung.“Aku... aku...” desah Beni, sebelum akhirnya melepas segala hasratnya dalam-dalam.Puncak kenikmatan akhirnya datang, membuat mereka lemas dan terkulai di kasur yang berantakan.Beberapa saat kemudian, mereka berbaring bersebelahan di tempat tidur yang berantakan. Nafas mereka masih terengah, namun pikiran Beni mulai jernih kembali.“Tadi siang... barang apa yang mau kau berikan ke Reza?” tanya Beni perlahan, memecah keheningan.Afika menghela napas. “Sebenarnya aku hanya ingin menikmati berhubungan dengan pelangganku.”Dia memutar badannya, menghadap Beni. "Tapi sekarang mereka memaksaku mengantarkan barang yang bahkan tidak aku mengerti."Beni bisa melihat ketakutan di mata Afika. “Apa kau tidak tahu
Dengan cepat, Afika melongok ke koridor kosong, matanya waspada. Sebelum Beni sempat berkata apapun, tangannya menarik laki-laki itu masuk ke dalam kamar. Pintu terkunci dengan cepat.“Kamu gila! Kenapa kamu datang ke sini sekarang?” desis Afika, punggungnya menempel di pintu. “Orang yang tadi memukulmu baru dari sini dan bisa kembali kapan saja.”Beni menarik napas dalam. “Aku melihat kunjunganmu ke kawasan kumuh tadi siang. Apa yang kau lakukan di sana?”Afika mengerutkan kening. “Jadi kamu tahu aku ke sana?”“Kamu tahu itu tempat berbahaya. Aku hanya ingin—“"Cukup!" potong Afika tajam. "Jangan ikut campur dengan urusanku. Dan jangan pernah lagi mendekati kawasan kumuh itu."Wajahnya menunjukkan campuran ketakutan dan kekhawatiran. "Ini bukan main-main, Beni. Urusan ini jauh lebih berbahaya daripada yang kamu bayangkan."“Aku tahu apa yang ada di sana,” tukas Beni, tak mau mundur. “Itu markas organisasi mafia Ular Hitam, dan aku ke sana atas kemauanku sendiri untuk menyelidiki.”Me
Dengan langkah gontai dan tubuh yang masih merintih, Beni dibantu Nadia masuk ke dalam kamar kosnya. Ruangannya yang biasanya berantakan kini terasa seperti oasis yang sunyi setelah badai. “Duduklah dulu, Ben!” Nadia mendudukkannya di kasur, lalu dengan sigap mengambil air mineral dari dispenser kecil di sudut ruangan.“Minum dulu,” ucap Nadia, suaranya lembut namun tegas.Beni meminumnya, rasa pedih di perutnya perlahan mereda menjadi nyeri tumpul. “Aku tidak menyangka kalau orang yang tadi kita kejar adalah orang yang aku kenal.”Nadia duduk di sampingnya, matanya penuh perhatian. “Manusia punya banyak sisi, Ben. Mungkin itu cara dia bertahan hidup, atau mungkin dia terjebak dalam situasi yang tidak bisa dia hindari.”“Tapi dia pernah bekerja sama denganku dalam sebuah proyek. Dia terlihat... normal,” bantah Beni, mencoba mencari logika di tengah kekacauan ini.“Dan itulah yang membuatnya berbahaya. Dia bisa menyama
Nadia menyentuh lengan Beni, matanya tajam mengamati setiap gerak-gerik wanita itu. “Ini bukan kebetulan, Ben. Aku punya firasat... di balik dinding kampus ini, ada seseorang yang terlibat. Atau mungkin, justru dalang dari semua ini bersembunyi di sini.”Tanpa bicara lagi, mereka berdua melangkah masuk, menyamar di antara kerumunan mahasiswa yang sedang berlalu-lalang. Wanita itu berjalan cepat, melewati halaman parkir.Wanita itu tidak pernah menengok, seolah sangat yakin dengan tujuannya. Namun, alih-alih menuju salah satu gedung, dia justru melangkah menuju sebuah sudut taman kampus yang sepi, dekat dengan gazebo yang jarang dikunjungi.Di sana, sudah menunggu seorang pria muda. Jantung Beni berdebar kencang. Itu adalah Reza, teman satu jurusannya.“Kenapa dia menemui Reza?” gumam Beni, bingung.Dari kejauhan, mereka melihat wanita itu mengangguk dan mengeluarkan sebuah bingkisan kecil berwarna hitam dari saku jaketnya. Tangan Reza ter
“Kita harus ke sana,” desis Beni. “Sekarang juga.”Nadia mengangguk, matanya penuh tekad. “Tapi hati-hati. Jika pemerintah sampai terlibat, berarti permainannya jauh lebih besar dari yang kita kira.”Beni dan Nadia meninggalkan keramaian festival dengan langkah cepat. Suara gamelan dan sorak-sorai pengunjung perlahan memudar, digantikan oleh kesunyian jalan yang mereka lalui menuju kawasan kumuh.“Kita harus melalui jalan itu untuk sampai ke sana,” bisik Nadia sambil menunjuk gapura sederhana di depan.Beni mengamati sekeliling dengan waspada. Transisi dari kemewahan festival ke kemiskinan kawasan kumuh begitu kontras. Hanya dipisahkan oleh beberapa ratus meter, namun seolah dua dunia yang berbeda.Beni dan Nadia mendekati kawasan kumuh dengan hati-hati. Yang mengejutkan mereka, kawasan yang seharusnya terbuka itu justru dijaga ketat. Beberapa lelaki berpakaian preman—kaus ketat, celana jeans, dan sepatu boots—berdiri di mulut gerbang yan
Nadia yang awalnya berdiri di belakang, tiba-tiba mendekat dengan sikap hormat. "Tuan Muda Rafael? Maaf, kami tidak tahu Anda datang hari ini."Rafael menyeringai, memperbaiki dasinya. "Nadia. Kau selalu cantik seperti biasanya. Aku hanya sekedar memeriksa kinerja para karyawan menggantikan ayahku.”"Harusnya Tuan muda bisa menunggu di ruangan Tuan besar saja. Tidak perlu sampai—”“Itu membuatku bosan,” potong Rafael dengan angkuh. “Kalau aku berkeliling seperti ini bisa membuatku lebih dekat dengan para pekerja. Seperti pekerja baru seperti dia.” Rafael mengalihkan pandangannya ke Beni dengan senyum merendahkan.Beni tertegun, melihat interaksi antara Nadia dan Rafael. “Kau... anak pemilik media ini?”Rafael memandang Beni dengan tatapan mengejek. “Betul. Aku putra tunggal dari pemilik sekaligus pendiri Media Metropolitan.” Dia menyapu pandangannya pada kamera di tangan Beni. “Aku tak menyangka kenapa kamu bisa diterima di perusahaan seb







