LOGINSejak ayah meninggal, aku hidup pas-pasan dari pekerjaan videografer sambil kuliah, mengandalkan kamera SLR tua warisan studio ayah. Tapi saat ibu jatuh dan dirawat di rumah sakit, tagihan menumpuk tanpa ampun. Aku mengambil semua proyek yang bisa, dari video pernikahan hingga acara murahan, sampai akhirnya seorang produser menawarkan pekerjaan dengan bayaran tiga kali lipat. Awalnya kupikir ini rezeki tak terduga—sampai ia menyebut jenis videonya: dewasa. Aku sempat menolak, tapi bayangan ibu di ranjang rumah sakit membuatku diam. Lalu ia menambahkan satu kata yang mengubah segalanya. “Konsepnya POV. Kau yang pegang kamera... dan ikut bermain.”
View More“Ah… lebih cepat!”
“Gini? Hm?” “Jangan berhenti… ya, di situ…” Suara mereka berkelindan, menggema di kamar kos yang sempit dan pengap. Kamera bergoyang, memperlihatkan tubuh perempuan itu menunduk dengan rambut berantakan, sementara pria di bawahnya menahan napas, menatapnya dengan mata liar. “Aku nggak tahan lagi…” desis si perempuan, suaranya nyaris tenggelam oleh derit ranjang. “Sebentar lagi… tahan sedikit…” jawab pria itu, suaranya berat dan tertahan. Cahaya layar ponsel menyorot wajah lelaki yang menonton–rahang menegang, bibir setengah terbuka. Ia tak lagi sadar waktu, hanya terpaku pada suara dan gerakan di layar, tubuhnya perlahan menegang mengikuti ritme yang sama. Jemarinya mulai turun ke bawah, menyingkap selimut yang sudah berantakan… “Woy!” Pintu terbuka keras, suara itu memecah semuanya. Beni tersentak–panas yang tadi mendidih di dadanya mendadak berubah jadi rasa malu yang menyesakkan. “Aku kira kamu masih tidur!” seru Bagas, teman satu kosnya sudah terlanjur masuk. Matanya menyipit, menatap layar laptop Beni yang masih memamerkan adegan mesum, lalu ke posisi Beni yang kaku. “Wah, lagi latihan untuk cabang olahraga lima jari untuk Olimpiade, Bro? Apa gak lecet kalau pakai tangan?” “Kamu bisa nggak sih kasih tau dulu kalau mau masuk?” gerutu Beni sambil menutup laptopnya dengan kasar, wajahnya memerah. “Kan biasanya begini, Lagipula harusnya kamu kasih tulisan di depan–sedang latihan,” sahut Bagas sambil mengambil kerupuk dari meja berantakan. “Ngomong-ngomong, Ibu Kos tadi ngamuk. Katanya kita nunggak sewa tiga bulan dan akan mengusir kita. Uang kos kita yang kamu pakai sudah ada, kan?” “Iya gampang, bilang aja aku akan bayar minggu ini,” gumam Beni, mencoba terdengar meyakinkan padahal di dompetnya hanya tinggal recehan. “Minggu ini?” Bagas menyeringai. “Duitnya dari mana? Dari hasil nonton itu terus dijual screen-recording-nya?” candanya yang getir. “Banyak bacot kamu. Aku masih ada proyek,” bantah Beni lemah, menatap ponselnya yang tergeletak di atas kasur. Dalam lamunan, Beni tak menyadari bahwa Bagas sudah berdiri di belakang pintu. “Ya udah deh, aku pergi dulu. Tapi saranku,” ucap Bagas sambil membuka pintu, “mending kamu cari pacar yang kaya. Lumayan, bisa dapat uang dengan cepat, dan...” Ia melirik ke arah laptop Beni yang baru saja ditutup, “…barangmu gak akan lecet karena sering dimainin pake tangan sendiri.” Senyumnya lebar sebelum pintu tertutup, meninggalkan Beni dalam keheningan yang menyiksa. Beni menarik napas dalam. “Aku harus menagih,” gumamnya pada diri sendiri. Dia membuka ponselnya dan membuka aplikasi pesan, mulai menghubungi klien-klien yang masih menunggak pembayaran. “Pak Andi, maaf mengganggu. Bagaimana dengan pembayaran video pernikahan anak Bapak? Sudah lewat dua minggu dari janji.” Balasannya datang beberapa menit kemudian. “Maaf, Beni. Uangnya lagi dipakai buat tambahan sewa rumah anak saya.” Dia mencoba yang lain. “Bu Sari, untuk pembayaran video dokumentasi seminar. Sudah ditransfer?” “Oh, Beni. Kantor tidak mau membayar videomu karena mereka kurang puas dengan hasilnya. Maaf ya, nanti aku coba untuk menegosiasi untuk pembayaranmu.” Satu per satu, pesan serupa berdatangan. Alasan yang beragam, tapi intinya sama: tidak mau untuk membayar jasanya. Kepalanya mulai pusing, tangan mengepal. “Bangsat! Semua tidak bisa diandalkan!” hardiknya pada layar ponsel, rasa frustrasinya memuncak. Matanya tertuju pada kamera SLR tua di sudut kamar, warisan satu-satunya dari ayahnya. “Kamera ini bukan sekadar alat, Nak,” bayangan suara ayahnya terngiang. “Dia adalah mata yang jujur, yang menangkap momen terpenting dalam hidup orang-orang.” Ayah Beni adalah seorang fotografer yang ramah dan profesional. Para pelanggan selalu puas dengan pelayanan sang ayah, jika ada komplain sang Ayah selalu siap bertanggung jawab. Dulu, di studio foto kecil ayahnya, kamera itu digunakan untuk mengabadikan senyum bahagia pengantin baru, sorak sorai keluarga yang berkumpul, cahaya kebahagiaan yang tulus. Kini, di tangannya, kamera yang sama hanya menjadi alat mengais recehan, merekam pernikahan-pernikahan yang ujung-ujungnya tak dibayar, atau dia tak mampu memenuhi permintaan pelanggan. Begitu jauh dari idealisme ayahnya yang mengutamakan visi artistik pribadi. Dengan napas berat, Beni mencoba menenangkan diri. “Mungkin masih ada proyek yang bisa diselesaikan,” gumamnya berusaha percaya diri. Dia membuka kembali laptop yang sempat ditutup akibat kedatangan Bagas. Tapi tiba-tiba layarnya menyala menjadi biru pekat—BLUESCREEN—dipenuhi kode-kode putih yang tak dipahaminya. Darah di kepalanya seakan membeku. “Tidak... jangan sekarang!” tangannya gemetar menekan-nekan keyboard dengan sia-sia. Semua data proyek yang sedang dikerjakan, file mentah video pernikahan klien, backup pekerjaan selama berbulan-bulan—semua ada di dalam sana. Tanpa laptop, ia benar-benar tak bisa menyelesaikan apapun untuk mendapat uang. “Sialan!” teriaknya, meninju bantal di sampingnya dengan segenap rasa frustasi yang memuncak. Kepalanya tertunduk dalam keputusasaan, sementara di sudut ruangan, kamera SLR tua ayahnya seolah menatapnya dengan pandangan penuh kekecewaan. Dunia terasa seperti runtuh sepenuhnya. Kemudian, dari tengah kepanikan dan kemarahannya yang membara, sebuah nada dering standar dari ponselnya memecah kesunyian. Getarannya terasa seperti sengatan listrik di atas meja. Dengan masih diselimuti emosi, ia menyambar ponselnya. Nama Lintang berkedip di layar. Ada perasaan tidak enak yang langsung mencekam. Kemudian, dari tengah kepanikan dan kemarahannya yang membara, sebuah nada dering dari ponselnya memecah kesunyian. Getarannya terasa seperti sengatan listrik di atas meja. Dengan masih diselimuti emosi, ia menyambar ponselnya. Nomor tak dikenal berkedip di layar. “Halo! Benar ini Beni Visual.” Suara rendah seorang pria di seberang telepon. Beni langsung mengesampingkan amarah dan berganti dengan senyum harapan karena mengira penelepon itu seorang pelanggan. “Iya benar, ada yang bisa dibantu.” Jawab Beni dengan ramah menyambut pelanggan seperti biasanya. “Aku Rendra, Aku ingin membuat sebuah video dokumentasi. Untuk konsep dan detailnya bisakah kita bertemu? Aku tak suka membicarakan lewat telepon.” “Si..siap pak. Sekarang saya sedang luang.” Beni kegirangan karena angin keberuntungan berhembus ke arahnya. “Bagus sekali! Aku menunggumu di Kafe Miranti.” “Baik saya akan ke sana sekarang.” Mendengar nama kafe itu Beni tanpa pikir panjang langsung mengiyakan dan menutup telepon dengan tergesa-gesa karena sudah tak sabar. Beni bergegas menuju ke kafe Miranti yang memang kebetulan tak jauh dari tempat kosnya. Langkahnya terasa ringan karena dia akan mendapat klien baru untuk membayar sewa kosnya. Lima belas menit kemudian Beni tiba di Kafe, dia memperhatikan kondisi kafe yang memang saat itu sangat sepi. Seorang pria paruh baya duduk di sudut ruangan dekat jendela mengenakan jaket kulit dan topi berwarna hitam. Naluri Beni mengatakan bahwa pria itu adalah orang yang meneleponnya barusan. Dia mendekati pria tersebut meski ada sedikit keraguan. “Permisi! Apa benar anda Pak Rendra?” “Kamu Beni? Silahkan duduk!” Pria itu tersenyum ramah sambil menjabat tangan Beni. “Kamu sudah memesan minum?” “Nanti saja, Pak.” Balas Beni dengan senyum tak kalah ramah. “Baiklah, kita langsung saja menyambung pembicaraan di telepon tadi.” Rendra langsung berubah menjadi serius. Beni hanya mengangguk dengan berusaha mempertahankan senyum ramahnya. “Aku ingin membuat video. Aku butuh orang dan akan membayar 10 juta untuk satu video.” Beni mengerutkan kening seolah masih belum percaya apakah orang di hadapannya ini benar-benar serius. “Anda mau membuat video apa, Pak? Sampai berani membayar semahal itu.” Rendra tersenyum sambil mencondongkan badannya ke depan. “Aku ingin kau menjadi kameramen untuk video dewasa…”Beni di bawa ke sebuah klinik kecil yang tak jauh dari minimarket.“Beruntung lukanya tidak terlalu dalam,” kata dokter klinik dengan suara parau sambil membersihkan luka di lengan Beni.Maya yang mendengarnya juga memperhatikan luka di lengan Beni dengan perasaan khawatir. “Apa lukanya perlu dijahit, Dok?”“Tidak perlu.” Jawab Dokter dengan tenang sambil membalut luka dengan perban yang lebih rapi dari sebelumnya.“Tapi area yang luka harus dijaga kebersihannya,” lanjut Dokter itu dengan ramah sebelum beranjak ke ruangan belakang meninggalkan Beni dan Maya berdua saja.Suasana Klinik itu tampak sepi, hanya diterangi lampu neon yang berkedip-kedip. Bau obat dan desinfektan memenuhi ruang tunggu yang sempit.Maya duduk di samping Beni, tangannya masih sedikit gemetar. Di bawah cahaya lampu yang pucat, wajahnya terlihat lebih tirus dan lelah. Tanpa riasan, ia tampak lebih muda, dan lebih rapuh.“Kameramu...” ucap Maya lirih, matanya menatap perban di lengan Beni. “Aku... aku tidak tahu
“Kalian sampah masyarakat yang meresahkan!”Teriakan Beni memecah kesunyian minimarket. Dia menerjang perampok yang mencengkeram Maya, tubuh mereka bertubrukan dan jatuh terpelanting. Rak minuman kaleng di samping mereka roboh, puluhan kaleng berhamburan dan bergulingan di lantai bagai letusan peluru.“Kurang ajar!” raung perampok itu sambil bangkit dengan muka merah padam. Pisau di tangannya berkilat diterangi lampu neon.Beni menggapai pemadam api dari dinding. “Maya, lari!” teriak Beni sambil menyemprotkan busa putih ke arah mereka.Tapi perampok kedua sudah bergerak cepat, menangkap Maya dari belakang.“Jangan macam-macam!” bentak perampok kedua sambil menahan leher Maya.“Tolong! Tolong!”Pelanggan lain menjerit-jerit ketakutan. Seorang ibu dengan anak kecil bersembunyi di balik rak, sementara pria tua berusaha memecahkan kaca jendela dengan kursi plastik.“Diam kalian semua!” geram perampok pertama sambil mengelap wajahnya yang penuh busa. Pisau di tangannya mengayun ke arah Ben
“Bodoh! Bodoh sekali kau Beni!” Kalimat itu yang terus terlintas di pikiran Beni saat ini. Batinnya kacau seolah menyalahkan dirinya sendiri karena telah terjebak dalam situasi yang aneh.Malam harinya setelah syuting, Beni berbaring sendirian di kamar kos yang kini terasa seperti penjara. Dinding-dindingnya seakan mendesak, mengingatkannya pada kejadian tadi sore—tatapan Maya, senyum Rendra, dan bayangan kamera ayahnya yang menyaksikan semua kehancuran moralnya. Beni memutuskan keluar, berharap udara malam bisa membersihkan pikirannya.Dengan tas kamera yang mengalung di lehernya, dia menyusuri jalanan yang sepi. Lampu jalan yang redup menciptakan bayangan-bayangan panjang di aspal basah. Angin malam berhembus dingin, membuatnya menarik kerah jaketnya lebih rapat. Setiap langkah kakinya terasa berat, seolah masih membawa beban rasa malu dari apartemen mewah tadi sore.Harusnya aku menolak. Harusnya aku kabur, bisik hatinya, sambil menunduk melihat bayangannya sendiri yang terdistorsi
Dunia Beni runtuh. Pertanyaan sederhana itu terasa seperti pisau yang menancap di dadanya. Di satu sisi, ada keinginan primitif yang mulai membakar nalarnya, dipicu oleh kedekatan dan godaan yang terencana. Di sisi lain, ada jeritan hati nurani, bayangan ayahnya, dan rasa bersalah yang mencekik.Kameranya bergetar hebat. Di balik lensa, dia merekam segala ekspresi ketakutan dan kebingungannya sendiri.Namun, tepat saat jari Maya mulai menarik gesper sabuknya, suara keras memecah kesunyian ruangan.Brakkk!Suasana tegang yang tercipta langsung pecah. Maya mendongak, ekspresi genitnya hilang digantikan kewaspadaan. Dari belakang, Rendra mendengus kesal.“Siapa lagi ini?!” geramnya, wajahnya merah karena gangguan tak terduga.Seorang kru muda dengan kaos band rock lusuh dan wajah panik muncul, napasnya terengah-engah.“Bos! Maaf ganggu!” katanya setengah berteriak, lalu tersedak melihat adegan di depan matanya. Matanya berputar cepat antara Rendra yang berdiri dengan angkuh, Maya yang se
“Tunggu... tunggu dulu!” protes Beni, suaranya serak dan nyaris tercekik. Tubuhnya menegang bagai batu, setiap otot memberontak. Tangan Maya masih mencengkeram pergelangannya, menariknya lebih dalam ke dalam frame kamera yang justru dia pegang sendiri. Getaran di tangannya semakin menjadi, membuat gambar yang tertangkap lensa bergoyang liar.“Aku... aku Cuma kameramen!” bantahnya, mencoba menarik lengannya, namun cengkeraman Maya kuat dan berpengalaman.Rendra, yang mengawasi dari belakang monitor, tidak terkesan. Suaranya terdengar datar dan dingin, seperti mesin, “Sudah kubilang, perhatikan gerakanmu. Buat seakan-akan penonton yang merasakan apa yang kau rasakan! Ingat, konsepnya adalah POV. Kau adalah mata mereka.”Kata-kata itu seperti pentungan. 'POV, Kau adalah mata mereka.' Artinya, dia tidak bisa lagi bersembunyi di balik lensa. Dia harus menjadi bagian dari adegan yang menjijikkan ini."Lari." Itu satu-satunya kata yang berteriak dalam kepalanya. "Lepaskan kamera ini dan lari
Pagi itu, langit kelabu seolah mencerminkan kondisi hati Beni. Di atas motor menuju lokasi syuting, dia terus mengusap lembut kamera ayahnya sambil berusaha meyakinkan diri sendiri.Ini hanya sekali. Aku Cuma akan memegang kamera, merekam, lalu pergi. Uangnya bisa untuk biaya Ibu seminggu ke depan. Ayah, maafkan aku...Lokasi syuting yang diberikan Rendra ternyata bukan studio profesional, melainkan sebuah apartemen mewah di kawasan yang sama dengan tempat mereka bertemu kemarin. Saat pintu terbuka, suasana remang-remang langsung menyergapnya.“Masuk, masuk!” sambut Rendra dengan ramahnya yang terasa palsu. “Kami sudah menunggumu.”Beni melangkah pelan, matanya menyapu ruangan. Hanya ada beberapa lampu video yang menyala, menciptakan bayangan-bayangan aneh di dinding. Kru-nya pun hanya terdiri dari dua orang: seorang pria kurus yang mengatur pencahayaan dengan ekspresi datar, dan seorang wanita yang sedang merias wajah seorang pria muda di sofa.“Kok... seperti ini tempatnya?” tanya B
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments