Resa, seorang janda miskin, harus mengemis pada mantan suaminya saat susu sang anak habis. Dia memohon, tetapi Angga, sang mantan malah menyuruhnya untuk mencium kaki terlebih dahulu. Resa tak terima. Dia sakit hati luar biasa dan bertekad untuk membalas dendam pada sang suami. Dapatkah Resa menjadi ratu seusai bercerai dari Angga?
View MoreBAGIAN 1
“Mas, susu Naya habis. Gajiku udah habis. Boleh aku minta bantuannya?”
“Enak banget hidup kalian, Res! Apa-apa tinggal nelepon. Apa-apa tinggal minta. Apa nggak malu?” Mas Angga, mantan suami yang telah menceraikanku sebulan setelah Naya lahir, malah ngamuk-ngamuk. Apa salahnya aku minta uang untuk beli susu Naya? Naya darah dagingnya, meskipun anak itu hadir sebelum kami resmi menikah.
“Mas, Naya itu anakmu. Tanggung jawab kamu untuk nafkahin dia!”
“Bacot! Ya, udah. Datang sini ke rumah. Ambil duitnya ke sini!”
Meskipun rasanya sakit, tapi senyum tipisku mulai mengembang. Hatiku lega. Akhirnya Naya bisa menyusu juga.
“Oke. Aku ke sana.”
Telepon langsung diputuskan oleh Mas Angga. Lelaki kasar itu memang selalu begitu. Sinis dan kejam. Saat pacaran dulu tak begitu. Aku heran, mengapa laki-laki selalu manis di awal, lalu mencampakkan di akhir?
“Mak, aku titip Naya dulu. Aku mau ke tempat Angga, ambil uang susu,” ujarku pada Mamak yang sedang menggendong cucu pertamanya. Hari memang sudah malam, tapi aku tak punya pilihan lain.
“Hati-hati, Res.” Mata Mamak seperti berkaca. Dia tenangkan Naya yang umurnya baru enam bulan itu. Gadis kecil itu rewel sekali, padahal baru dikasih air tajin. Pasti tidak sepuas minum susu formula.
“Sabar ya, Nak. Bunda minta uang ke ayahmu dulu,” ujarku sambil mengecup pipi gembul bocah 9 kilogram tersebut.
“Sudah, pergi sana. Nanti kemalaman.” Mamak mengusirku dengan kibasan tangannya. Aku pun langsung setengah berlari dan menyambar helm di pojok ruang tamu.
Bukan aku tak mau memberi ASI. Ketika kembali bekerja sebagai penjaga toko pakaian empat bulan lalu, ASI-ku langsung seret dan lambat laun malah berhenti. Sudah minum berbagai jamu, ramuan, makan sayur juga, tapi tetap tidak ada perubahan. Gajiku sebulan pun hanya dua juta kurang lima puluh ribu. Sudah sangat tak cukup untuk beli susu dan diapers Naya yang makin hari makin meningkat kebutuhannya.
Dua puluh menit berkendara dengan motor bututku, akhirnya tiba juga aku di kediaman Mas Angga. Lelaki yang menghamiliki, lalu menikahi hanya tiga bulan lamanya saja. Bercerai dengan alasan keluarganya tak suka padaku. Sebab orang miskin dan tak punya daya upaya, aku yang bodoh ini cuma bisa menerima takdir saja.
Rumah bertingkat dua dengan cat putih itu tampak lengang. Wajar, sudah pukul sembilan malam saat kucek di layar ponsel. Orang-orangnya sudah pada tidur, kayanya.
Kuketuk pintu beberapa kali, sambil menahan embusan angin malam yang dingin. Kurapatkan jaket jin yang memang tak lagi muat dikancing itu. Berharap Mas Angga lekas membukakan pintu.
“Ada apa lagi, Ji*g!”
Aku kaget. Mas Angga muncul tiba-tiba sambil memaki. Mukanya tampak geram.
“Mana uang untuk susu Naya?” Aku malas basa basi. Sudah jengkel dengan sikap tidak sopannya.
“Uang, uang! Makanya kerja! Jangan tahu enak aja!”
Jatuhlah dua lembar uang pecahan seratus ribu dari tangan Mas Angga. Uang itu dilemparkan tepat di atas kedua kaki miliknya. Aku mau menangis. Namun, kutahan.
“Ambil itu, Ji*g! Jangan diam aja kau!”
Dengan mata berkaca, aku memungut uang-uang tersebut dengan menjongkokkan tubuh. Belum beres kugenggam uang itu, kaki Mas Angga malah mendarat di wajahku.
“Cium kakiku! Biar kau tahu, cari duit itu susah! Bukannya tinggal telepon, tinggal ambil aja!”
Air mataku menetes. Naya, Bunda rela diperlakukan bagai anj*ng begini, hanya demi perutmu kenyang, Nak. Bunda ikhlas diperlakukan sehina ini, asal kamu tidak menangis lagi di rumah.
“Nangis aja bisamu, Resa! Perempuan payah!” Mas Angga hendak mendorong tubuhku saat aku baru saja berhasil bangkit. Namun, kutangkap tangan kurusnya, lalu kupilas sekuat tenaga. Dia sampai mengaduh dan mukanya meringis kesakitan.
“Suatu hari nanti, kamu yang akan mencium kakiku, Angga!” Kudorong laki-laki cungkring itu sampai dia terhuyung ke belakang. Matanya menyala. Mukanya jengkel. Sebelum dia marah, saat itu juga aku kabur dengan menaiki motorku yang terparkir di teras.
Ya, nanti, suatu hari nanti. Akan kubuat mantan menyesal. Akan kubuat dia berbalik menciumi kakiku dan memohon-mohon agar dimaafkan. Meskipun rasanya begitu sulit membalikan nasib ini, aku tetap yakin bahwa roda kehidupan bakal berputar.
***
Pernah dihina dan direndahkan, membuat aku bekerja lebih keras dari sebelumnya. Tidur hanya dua jam per hari. Kuhabiskan tiap waktu untuk bekerja dan memperbaiki diri. Berbagai macam usaha kulakukan, asal halal.
Mulai dari jualan peyek kacang, pakaian, kuota internet, keliling komplek menawarkan sayur hidroponik yang kutanam di halaman rumah, sampai belajar menjahit dan akhirnya memberanikan diri untuk banting setir dari penjaga toko menjadi penjahit pakaian khusus wanita.
Tak sekali pun aku mengemis kepada Angga. Malam itu adalah hari terakhir di mana aku menghubunginya. Bahkan, dia tak pernah tahu bahwa dua tahun setelah kejadian cium kaki tersebut, aku sudah sukses dengan karier baruku sebagai penjahit plus desainer pakaian.
Dalam asuhanku, Naya tumbuh jadi gadis yang cantik. Usianya sudah 2,5 tahun. Pintar bicara dan bernyanyi. Hafal huruf hijaiyah dan huruf latin. Siapa yang tak bangga?
Namun, suatu petaka yang kutakutkan, tiba-tiba datang. Bagaikan terjangan badai, kehadiran Angga dengan seorang perempuan ke studio jahitku yang berada di rumah kontrakan sekitar 3 kilometer dari rumah Mamak, begitu membuatku kaget luar biasa.
“Resa,” ujarnya saat mengantar perempuan gendut yang sebelumnya sudah kontak via W******p denganku, minta diukurkan tubuhnya untuk dibuatkan kebaya nikah.
Aku pura-pura tak akrab dengannya. “Iya. Sudah lama tak jumpa,” kataku sambil tersenyum sinis.
“Saling kenal, Mbak? Ini calon suamiku Mbak, Mas Angga,” ujar perempuan gendut yang mengenakan celana jin super ketat dan baju kaus berbahan jersey yang sempurna mempertontonkan lemak tubuhnya.
“Lupa-lupa ingat, sih. Angga yang mana, ya? Banyak banget temanku nama Angga soalnya.” Aku memandangnya sinis. Penuh senyum kemenangan. Oh, seperti ini bentukan yang akan kau nikahi? Rasanya aku ingin tertawa lebar-lebar. Bukan maksud untuk menghina fisik orang lain, tapi rasanya lucu saja. Aku yang langsing saja bisa ditendang olehnya. Semoga yang lebih seksi dariku bisa disayangi oleh Angga sampai maut memisahkan mereka.
Angga tampak terhenyak. Matanya seperti tak percaya dengan apa yang dia lihat saat ini. Apa dia kaget melihat wujudku yang sudah berbusana muslimah ini?
“Kamu putihan, Res. Berubah total,” lirihnya sambil menatapku dengan dua bola mata yang tak berkedip.
“Makasih. Uang yang bikin begitu.” Aku tertawa kecil. Mengajak customerku yang namanya Dewi tersebut untuk masuk ke dalam.
Tampak wajah calon istri Angga cemberut. Mukanya langsung geram. Mulutnya tak henti mengerucut. Sepanjang aku mengukur tubuhnya dengan meteran khusus, sepanjang itu juga mukanya jengkel.
Saat Dewi sudah selesai diukur dan memilih model kebaya, Angga yang mengeluarkan uang. Tidak dipanjar lagi, tapi langsung lunas. Wow, hebat sekali dia. Kaya raya, ya. Lima juta langsung cash. Mantap jiwa, nih. Sering-sering saja dapat pelanggan begini.
“Dew, kamu masuk dulu ke mobil. Mas mau bicara sebentar sama teman lama Mas ini.” Angga memerintahkan calon istrinya dengan nada ketus. Herannya, si Dewi mau-mau saja disuruh begitu. Meskipun mukanya ditekuk.
Saat kami hanya berdua, rasanya aku ilfeel sekali dan ingin cepat-cepat mengusirnya.
“Sukses kamu sekarang ya, Res. Pantas sudah tidak mau lagi menghubungiku.” Angga yang masih cungkring dan tambah jelek itu berujar dengan suara sinis.
“Iya, Alhamdulillah. Doa orang terzalimi memang cepat diijabah.”
“Boleh aku minta nomormu yang baru? Nomor lamamu kuhubungi tidak aktif-aktif.”
“Boleh.”
Aku pun cepat menuliskan angka-angka di atas secarik kertas yang kuambil dari buku catatan ukuran baju pelanggan. Setelah selesai, kertas tersebut kuremas-remas menjadi gulungan bola, lalu kulemparkan ke lantai.
“Maaf, jatuh,” kataku sambil tersenyum manis.
Angga tak banyak bicara. Dia langsung mengambil bola kertas yang tergeletak di dekat kaki kanan berkaus kaki milikku. Angga tampak mengambil dengan gerakan cepat, tapi aku masih sempat untuk menempelkan telapak kaki ini ke mukanya.
“Bagaiamana rasanya, Angga? Enak?”
Betapa bahagianya bahwa dendam lamaku bisa terbalaskan. Angga lekas menegakkan tubuhnya. Menatapku tajam dengan wajah yang kesal.
Ternyata, pembalasan kepada mantan itu memang nikmat rasanya. Namun,tentu ini belum selesai. Masih ada pembalasan yang akan kusiapkan untuknya. Penasaran?
BAGIAN 24ENDING Deret ujian yang terjadi sebelum hari pernikahan, nyatanya tak membuat aku dan Arfan menjadi patah semangat. Lelaki saleh itu membuktikan kekuatan hatinya dalam menseriusi hubungan kami dengan perhatiannya yang wajar sekaligus hangat. Dia pantang mundur saat Angga beberapa kali muncul kembali untuk memohon balikan kepadaku. Arfan pun dengan sangarnya mengancam akan mempolisikan Angga bila dia kembali ke hadapan kami lagi dan itu ternyata terbukti ampuh. Angga tak muncul-muncul lagi sampai hari ini, hari di mana kami akan melangsungkan ijab kabul di KUA. Duduk di mobil yang disopiri oleh Jefry, aku kini merasa begitu deg-degan sekaligus nervous. Bagaimana tidak, sebentar lagi aku akan sah menjadi seorang istri dari Arfan Ramadhan. Lelaki yang akan kupanggil sayang atau mas. Rasanya,
BAGIAN 23 “Naya, masuk kamar dulu, ya? Bunda harus ke depan.” Aku buru-buru memasukkan Naya ke kamar Mamak. Gadis kecil yang masih menangis itu kini mulai meredakan isaknya. Dengan disogok ponsel dan disetelkan video musik kartun, anak semata wayangku akhirnya mau anteng di kasur sambil duduk bersandar di bantal. “Bunda ke depan, ya?” tanyaku sambil mengusap rambutnya. “Iya.” Naya masih menatap ponselnya. Wajahnya kini tampak ceria. Aku pun tak banyak menunggu lagi. Langsung keluar dari kamar Mamak dan menutup pintunya rapat. Bergegas ke ruang tamu dan membuka pintu rumah. Tampak kedua mantan mertuaku bersama
BAGIAN 22 “Kalau dari kami pribadi, inginnya bulan depan untuk akad.” Ucapan bapaknya Arfan yang bernama Pak Ahmad tersebut membuat mataku membulat. Sambil mengusap-usap kepala Naya yang tengah berada di pangkuan Arfan, lelaki paruh baya yang tampak segar dan maskulin itu lalu menatap ke arah aku dan Mamak dengan tatapan yang riang. “Mak,” lirihku sambil menatap wanita itu dengan wajah yang semringah. “Bulan depan, Mak!” Aku benar-benar tersentak senang. Bagaimana tidak, ternyata keinginanku sebentar lagi akan terwujud. Segera menikah dengan Arfan, anak buahku sendiri, demi menghindar dari gangguan Angga. &ldq
BAGIAN 21 Mataku membulat sempurna saat menatap halaman rumah yang sudah terparkir dua buah sepeda motor bebek di depannya. Tentu itu bukan motor keluargaku. Bukan motor Mamak juga. Aku pun membatin dalam hati. Itu pasti milik Arfan dan kedua orangtuanya. Motor kulesatkan sampai ke halaman yang pagarnya memang dibuka lebar. Semakin yakin aku bahwa di dalam sana ada Arfan dan calon mertuaku, sebab sandal-sandal yang tergeletak di depan teras salah pasangnya adalah milik Arfan. Jantungku makin berdegup keras, bersamaan dengan perasaan buncah yang luar biasa. Sampai aku sempat lupa bahwa di belakang sana ada sosok Angga yang memang mengikuti sejak dari studio tadi. Aku langsung menghentikan motor matikku. Melepaskan helm dan menyang
BAGIAN 20 Keesokan harinya, entah mengapa suasana studio jadi lain. Bukan sebab ramai yang mengukur pakaian, tapi sebab perubahan sikap Nisa dan Arfan. Baik antara mereka berdua, maupun kepadaku. Arfan tampak malu sekaligus sungkan padaku, sedangkan Nisa lebih banyak diam dan menghindar. Tentu saja, ada tanda tanya besar dalam kepala ini mengenai perubahan sikap karyawan perempuanku. Apakah dia sungguh sedang patah hati? Total ada tiga orang klien yang datang dari pagi hingga sore hari. Semuanya ingin mengukur pakaian pengantin. Dua kebaya, sedang satunya gaun modern bertema princess. Tiga-tiganya kami sanggupi. Deadline memang masih lama. Sebulan lagi. Kurasa semua tetap bisa kami handle, meskipun aku juga tengah memikirkan konsep yang cocok untuk pernikahan kami kelak. Duh, maaf, ya. M
BAGIAN 19 “Jadi, kamu siap buat menikah dengan anak tunggalku itu?” Raut wajah Mamak lagi-lagi tampak galak. Wanita paruh baya yang mengenakan daster lengan panjang motif bunga-bunga kecil warna marun dan jilbab instan bahan jersey warna senada tersebut melempar pandagan sengit ke arah Arfan. Lelaki yang telah bertukar pakaian dengan koko putih dan celana ¾ warna abu gelap itu tampak duduk menghadap ke arah kami berdua dengan keringat yang membasahi pelipisnya. Naya sengaja sudah kutitipkan ke rumah sebelah, agar pembicaraan ini bisa berjalan tanpa gangguan. “Iya, Mak. Insyaallah,” jawabnya sambil mengangguk sopan. “Kamu tahu kan, kalau anakku sudah janda. Anaknya satu. Siap kamu mene
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments