‘Damien?!’ batin Ariella menerka saat mengenali mobil tersebut.Benar saja, sosok tinggi dengan setelan jas hitam yang keluar kendaraan itu memang Damien Rudwick. Dia berhasil tiba di lokasi Lucas usai melacaknya dari panggilan tadi malam. Agaknya dia terus begadang untuk menemukan Ariella karena wajahnya tampak kusut.“Ariella!” Damien berujar antusias.Lelaki itu bergegas menghampiri Ariella, tapi sialnya Lucas malah menarik sang wanita di belakangnya.“Sekali kau mendekat, aku akan mematahkan kakimu, Damien!” dengus Lucas penuh ancaman.Alih-alih berhenti, Damien justru mempercepat langkahnya dan langsung menghajar wajah Lucas dengan berangnya.Gerakan tiba-tiba itu seketika membuat Lucas terhuyung, bahkan melepaskan cekalan dari Ariella sebab tak mau wanitanya ikut terserang.“Brengsek!” umpat Lucas pelan.Namun, Damien yang dikuasai emosi langsung merengkuh bahu Lucas dan hendak melayangkan tinjunya lagi. Beruntung manik Lucas terus waspada. Dirinya berhasil menghindar dan balik
‘Benarkah kita melakukannya?’ batin Ariella menatap Lucas bingung.Namun, begitu melirik dirinya dan menyadari pakaian masih lengkap, Ariella yakin Lucas tidak melakukan apapun padanya.Dia coba memutar memori. Dirinya ingat samarr-samar ketika Lucas membopongnya naik tangga, tanpa sadar bahwa dia juga muntah di bahu pria tersebut.‘Sepertinya itu tidak terjadi, tapi kenapa dia tidur telanjang? Ini bukan kebiasaannya ‘kan?’ sambung wanita itu menerka.“Apa yang kau pikirkan? Kau mengharap hal itu terjadi?” ujar Lucas yang sekejap membuyarkan lamunan Ariella.Sang wanita mengernyit sembari menyahut cepat. “Hah! Apa yang kau maksud?!”Dia menyibak selimut lebih lebar, berniat turun. Akan tetapi, Lucas dengan sigap mencekal tangan Ariella dan langsung menariknya hingga wanita itu kembali ambruk.Tangan Ariella tepat bertumpu pada bidang dada Lucas yang telanjang. Posisi itu sungguh membuatnya canggung, bahkan memicu pipinya bersemu merah.Sialnya Lucas malah memeluk pinggang Ariella deng
“Apa yang kau tanyakan tiba-tiba?!” Ariella mendecak sengit. Dia berniat menarik diri, tapi Lucas malah bersikukuh menguatkan cekalan. “Jawab aku, Ariella!” tukas pria itu mendesak. ‘Brengsek! Kau sendiri dalang kejadian itu, tapi berlagak tidak tahu apapun? Apa kau seperti ini karena gagal membunuhku?!’ batin Ariella memicing tajam. Dengan gigi terkatup, wanita itu pun mendengus, “apa hubungannya denganmu? Jika aku mengatakannya, tidak akan memengaruhi apapun, termasuk—”“Karena aku tidak bisa menemukanmu!” sahut Lucas yang seketika membuat Ariella mengernyit. ‘Menemukanku?’ batin wanita itu bertanya-tanya. Rasanya dia salah dengar. Namun, detik selanjutnya Lucas kembali berkata, “hari saat kau menghilang, aku dengar memang ada kecelakaan. Aku pikir itu dirimu, tapi Peter tidak bisa menemukan tubuhmu jika itu benar-benar kau.”“Tunggu! Kau … mencariku?!” Ariella berujar ragu. Alih-alih menjawab, Lucas malah bungkam sekarang. Entah mengapa mulutnya jadi berat bicara. “Katakan!
“Lepaskan Ariella! Aku tau kau menyembunyikannya!” Suara Damien terdengar berang dari seberang telepon. Ya, dia mati-matian melacak Lucas. Sialnya tidak punya petunjuk apapun mengenai keberadaannya. Hingga dia berhasil menemukan nomor pribadi Lucas dan lekas menghubunginya. Sekali Lucas mengangkat panggilan, Damien pasti bisa menemukan lokasi pria itu dari IP perangkatnya. Lucas juga tahu itu, tapi dirinya malah sengaja memprovokasi. “Datanglah jika kau siap untuk mati, bajingan!” dengus Lucas pelan, tapi setiap katanya penuh tekanan. Mendengar umpatan itu, Ariella langsung menoleh padanya. Dengan iris lebar, dia menerka dalam batin, ‘mungkinkah itu Damien?’ Tapi Lucas yang menyadari tatapan Ariella, kini meliriknya tajam. Tanpa segan dia mengakhiri panggilan, bahkan mematikan ponselnya. ‘Hah … harusnya aku merebut ponsel itu dan bilang pada Damien. Entah kenapa aku sangat khawatir pada Ava. Aku merasa harus segera pulang,’ batin Ariella was-was. “A-apa yang kau lihat?!” Wanita
“Apa ada masalah?” tanya Dokter di hadapan Peter.Dirinya penasaran mengamati perubahan iras muka asisten Lucas tersebut.“Dokter, kenapa bagian riwayat kesehatan dan diagnosa tidak tertulis di sini?” Peter balik bertanya saat mengangkat pandangan.Dokter Esteban sudah tidak terkejut.Dengan tatapan tenang, dia lantas menimpali, “beberapa pasien memang melakukan itu. Mereka tidak ingin ada pihak luar yang tahu tentang kondisi kesehatan mereka.”Benar, Ariella sudah mengantisipasi hal itu. Dengan bantuan Damien, dirinya ingin pihak rumah sakit La Fosa menutupi pasal penyakit Ava. Terlebih kala itu Ariella berpapasan dengan Richard. Pihak Baratheon bisa langsung merebut Ava dengan dalih Ariella tak mampu merawatnya dengan baik.Peter tak bisa mendesak lagi.Dirinya menutup rekam medis tersebut, seraya berujar, “baiklah. Kalau begitu saya harus pergi, Dokter. Terima kasih bantuan Anda hari ini.”Dia pun mangkir usai sang dokter mengangguk. Langkah panjangnya menderap menuju luar rumah sak
“Benar, Tuan. Pasien yang baru masuk, Ava Edelred!” ujar sang Suster menjelaskan.“Bukankah gadis kecil itu anak keluarga Rudwick?” Peter menimpali bingung.Melihat perubahan ekspresi pria tersebut, suster tadi langsung paham bahwa dia bukan wali Ava.“Mohon maaf, Tuan. Karena Anda bukan wali pasien, kami tidak bisa memberitahukan informasi pribadinya. Saya permisi,” tukas Suster tadi undur diri.Peter mendapukkan alisnya curiga. Di dataran San Carlo, tak banyak keluarga menyandang marga Edelred. Satu-satunya yang pernah dia temui hanya Ariella dan mendiang ayah wanita itu.‘Aku dengar adik Damien ini memang pernah menikah, tapi suaminya meninggal kecelakaan. Jika gadis kecil itu bukan putrinya, mungkinkah dia anak … Ariella?!’ batin Peter menerka kesimpulan. “Ya! Itu tidak mustahil karena Ariella berhubungan dekat dengan keluarga Rudwick!’Dirinya beralih menatap Ava yang kini berbaring di brankar, tapi sayangnya sang suster langsung menutup tirai agar orang luar tak bisa mengganggu.
‘Bukannya dia asisten Lucas Baratheon?!’ batin Jane tertegun. Ya, Peter memang hendak mendatangi Lucas di vila De Forte. Dia yang tak sengaja melihat Jane dikerubungi para berandal, tak mungkin mengabaikannya. “Bajingan! Siapa kau berani ikut campur?!” sambar pemuda jas navy geram. Alih-alih menyahut dengan ucapan, Peter malah berlari ke arahnya dan langsung menendang dada pemuda itu amat keras. Lawannya seketika ambruk menatap bemper mobilnya. “Sialan!” Pemuda bertindik memaki penuh emosi. Dia melepaskan Jane dan berniat menghajar Peter. Namun, gerakan amatirnya sangat mudah terbaca, hingga Peter bisa menghindar. Tanpa segan lantas melayangkan tinju kerasnya ke wajah pemuda tersebut. Dia memberi pukulan lebih kencang, sampai-sampai pemuda itu kelimpungan. “Brengsek! Berani sekali kau—” Ucapan pemuda jas navy yang hendak melawan langsung terhenti, begitu Peter mengacungkan pistol padanya. Dia bergidik dan baru sadar bahwa Peter bukan sembarang orang. “Pergi!” decak Pete
“Aish, sial! Kau cantik, kenapa harus galak?” tukas seorang pemuda bersetelan jas navy. Dasinya amat berantakan, beberapa kancing kemeja atasnya juga terbuka. Bahkan aroma alkohol sangat menyengat dari tubuhnya. Jelas sekali pemuda ini mabuk. Mungkin juga baru kembali dari club, setelah semalaman tidak pulang. Sebab di belakang ada dua teman yang penampilannya sama-sama kacau. Begitu melirik mobil di belakang pemuda itu, Jane baru sadar kalau itu kendaraan yang nyaris menabraknya. ‘Brengsek! Bajingan ini mau mencari ribut denganku?!’ batin Jane memicing dongkol. Dia berusaha menyabit ponselnya seraya mendecak. “Kembalikan dan enyahlah!” Sial sekali, pemuda tadi dengan cepat meninggikan tangannya, hingga Jane tak bisa meraih ponsel itu. Tindakan tersebut seketika memicu tawa dua teman di belakangnya. “Hei, sepertinya wanita ini boleh juga. Bagaimana kalau kita ajak main bersama?” tukas seorang pemuda dengan tindik di telinganya. Temannya yang berambut pirang pun menimpali antusi
“Uhh … Bibi, hidung Ava kenapa berdarah?” Anak perempuan itu bertanya bingung.Jane yang berada di hadapannya seketika memeriksa dengan buncah. Dia menyabit tisu dari meja, lalu mengusap gelenyar merah yang mengalir.“Tidak apa-apa. Bibi ada di sini. Ava akan baik-baik saja,” tutur Jane berupaya menenangkan.Dia menyumbat lubang hidung bocah tersebut, lalu menekannya lembut untuk menghentikan darah yang keluar.“Bibi, apa Ava akan sakit lagi?” Bocah itu bertanya dengan tatapan getir.Membayangkan tidur berhari-hari di rumah sakit, sangatlah sesak. Ava tidak menyukainya.“Siapa bilang Ava sakit? Ava baik-baik saja. Bibi akan membawa Ava berobat, pasti tidak terjadi apa-apa pada Ava,” sahut Jane menyembunyikan rasa khawatirnya.Dia pun mengangkat Ava dalam gendongannya. Meski sudah menahan dengan tisu, tapi darah mimisan Ava tetap jatuh ke bahu Jane.Wanita itu lantas keluar menuju mobilnya. Mengingat penyakit Ava, Jane tak bisa diam saja. Dia bergegas membawanya ke rumah sakit agar dokt