"Dad, aku ingin es krim!”
“Es krim? Putriku ingin es krim? Tentu, segera … Daddy akan membawakan apa yang kamu inginkan.”Bocah itu tampak senang menanggapinya, “Yeay! Terima kasih, Dad!”Pria itu pergi dan kembali dengan membawa es krim untuknya. Anak perempuan tadi yang merengek, menerimanya dan menjadi gembira. Dia dengan senang meraih cone es krim."Terima kasih, Dad! Aku sangat menyukainya! Daddy adalah pahlawan untuk Lula!”“Ya, tentu saja.”Samar - samar, memori yang cukup lama itu hadir. Kenapa juga dia harus merindukannya? Oh ayolah, pria itu jelas sudah membuang darah dagingnya. Untuk apa masih merindukannya?Lula memalingkan wajahnya. Dia tak bisa terus merindukan masa lalunya. Dia harus bergerak. Dia tak membutuhkan siapun dalam hidupnya, termasuk pria tua itu. Dia bisa hidup sendiri.Lula bangkit dan memutuskan untuk pergi. Namun, saat langkahnya bergerak, suara televisi membuatnya terhenti.[Saya sangat bangga dengan putri saya. Margareth begitu menyayangi saya. Dia putri tunggal, yang sangat saya cintai. Pertunangannya membuat kebahagiaan untuk saya juga, sebagai Ayahnya.][Apa karena itu, Pak Edhi merogoh miliyaran rupiah untuk pertunangan Margareth sendiri?][Tentu. Saya bekerja untuk putri saya. Kebahagiaan Margereth adalah kebahagiaan saya.]Lagi - lagi hati Lula memanas. Berita mengenai pria tua itu bertebaran di sumber mana pun. Dia, sangat membencinya!Lula segera meraih remote, dan akan mematikan channel televisi. Wanita itu sudah akan menekan tombol off. Tapi, tiba - tiba saja, sorotan yang di televisi berganti menjadi sosok wanita dengan balutan dress putih di atas lutut dengan senyum manis."Margareth Gladys? Ck!" ujarnya sambil berdecih.Gladys sangat beruntung. Tidak seperti dirinya, anak buangan. Bolehkan dia iri dengan wanita yang bahkan tak memiliki tali darah sekali pun dengan Ayahnya?—"Berikan aku satu gelas!"Pelayan bar dengan senang hati menuangkan segelas alkohol lagi untuknya.Lula cukup muak dengan kehidupannya yang sial. Di satu sisi dia sangat membenci Ayahnya. Tapi, di sisi lain, dia iri dengan kebahagiaan pria itu. Kenapa hidup sungguh tak adil untuknya?Wanita itu meraih alkohol dan meneguknya. Dengan sekali teguk isi gelas tersebut tandas tak tersisa. Kepalanya terasa berat perlahan. Lula tertawa. Dia menertawakan dirinya. Puingan masa lalu masih terus saja menghantui dirinya."Kau, bukan hero untukku. Aku membencimu. Sangat membencimu. Aku membencimu!!" teriak Lula dengan sangat frustrasi.Merasa tak kuasa menanggung seorang diri, pergi ke bar merupakan pilihan terbaik untuk Lula. Setidaknya, dengan alkohol dia bisa sedikit mengangkat beban, meski hanya sekejap.Dari kejauhan, sepasang mata mengamati Lula yang bergumam tidak jelas. Entah kenapa wanita itu begitu menarik perhatiannya."Berikan aku segelas lagi, Paman! Aku— ingin mabuk! Berikan aku, cepat!" Lula mengangkat gelasnya, merengek berharap pelayan bar akan menuangkan kembali alkohol untuknya.Saat pelayan bar akan kembali menuangkan, sebuah tangan menahannya."Hiks … kenapa aku menangis untuk hidupku yang berantakan! Menggelikan."Setelah mengatakannya, wanita itu tak sadarkan diri, sehingga kepalanya terjatuh begitu saja di meja bar. Jika saja tangan pria itu tak langsung menahan Lula, sudah pasti kepala Lula akan terbentur keras mengenai meja.—Sepanjang perjalanan, Lula terus saja terisak menitikkan air mata. Pria, yang bersama dengannya menatap Lula dengan tatapan iba. Entah kenapa, dia juga tidak tahu.Setelah sampai di apartemennya, dia menggendong tubuh Lula dan membawanya masuk. Dibaringkanlah tubuh wanita itu di atas ranjang dengan pelan. Lalu, menutupi tubuhnya dengan selimut.Membawa wanita itu bersamanya, apakah itu pilihan yang tepat? Sebelumnya dia tak suka ikut campur dengan urusan orang lain, namun kali ini berbeda.Sepanjang malam, dia terus terjaga di atas sofa. Dia memberikan ranjangnya untuk wanita itu. Wanita asing yang bahkan tak dia kenal sama sekali.Cukup lama menunggu, hingga akhirnya wanita itu pun tersadar. Dia perlahan membuka mata, merasakan kepalanya pening. Dia bergumam sambil memegang kepalanya."Argh ... kepalaku sakit," gumamnya.Lula mengubah posisi dirinya menjadi duduk. Masih dengan kepala yang merunduk, sambil sesekali memijatnya."Kamu sudah sadar?"Lula menegakkan kepalanya. Samar - samar, dia melihat seorang pria yang berdiri tegak di depannya. Dia, sama sekali tak mengenalnya."Anda siapa?"Pria itu tak menjawab, tetapi malah mengambil segelas air yang ada di atas meja. Lalu mendekat dan memberikan kepada Lula."Saya melihat kamu mabuk, dan tidak sadar. Melihat bar akan tutup, saya mencari identitas milikmu, tetapi tak menemukannya."Mendengar apa yang pria itu katakan, Lula sadar. Dia terlalu kalut sehingga pasti dia menjatuhkan dompetnya di kamar mandi saat itu. Wanita itu merasa bodoh, setelah menyadarinya."Maaf, saya sudah merepotkan Anda, Tuan. Sepertinya, kemarin dompet saya tertinggal di kamar mandi."Tak ada jawaban. Pria itu malah memunggungi Lula, dan bergerak pergi dari sana untuk keluar kamar. Saat satu jengkal akan pergi, pria itu berhenti."Kamu bisa gunakan kamar saya untuk beristirahat. Untuk dompet kamu, saya akan menghubungi orang klub, untuk segera mengembalikan."Setelah mengatakannya, pria itu pergi dan menutup pintu kamar. Lula, yang melihat hanya diam. Dia, pria yang baik.—Keesokan harinya, Lula mencoba mencari pria itu. Setidaknya dia harus mengucapkan terima kasih, karena dia sudah menolongnya. Karena semalaman, Lula tak melihat batang hidungnya.Apartemen milik pria itu kosong. Hanya ada dirinya seorang."Di mana dia, aku harus mengucapkan terima kasih sebelum aku pergi," ujar Lula sambil melihat sekitar.“Ting tung!”Lula mendengar bel apartemen yang berbunyi. Wanita itu segera menuju ke pintu apartemen, dan membukanya. Dia membuka pintu, dan mendapati seorang wanita yang berdiri di depan dengan mengenakan baju formal."Selamat pagi, Nona. Saya asisten dari Pak Jack, Adinda."Lula terdiam, Jadi nama pria itu adalah Jack?"Saya datang membawa beberapa baju yang bisa Nona gunakan. Pak Jack meminta saya untuk mengirim kepada Nona pagi hari."Adinda memperlihatkan paper bag yang dia bawa bersamanya. Wanita itu kemudian, lanjut untuk membuka suara, "Saya tidak mengetahui berapa ukuran baju Nona, jadi saya membawa semua ukuran untuk Anda coba. Anda bisa melihatnya."Lula menerima paper bag, dengan merasa aneh. Pria itu benar - benar memperhatikan penampilannya."Terima kasih sebelumnya, maaf saya jadi merasa merepotkan.""Tidak merepotkan sama sekali, Nona. Ini memang perintah Pak Jack langsung kepada saya. Nona bisa berganti sekarang sebelum pulang."Lula tersenyum sambil mengangguk. Dia kembali naik ke kamar yang semalam dia tempati. Wanita itu berganti pakaian di sana.Di kamar, Lula membuka isi paper bag yang Adinda bawa. Bukan main - main, berbagai ukuran dan berbagai model ada di sana. Bahkan, tak hanya baju dan celana saja, melainkan pakaian dalam wanita tersedia dengan berbagai ukuran, membuat rona merah di pipi Lula timbul tiba - tiba.Dia juga memperhatikan hal sekecil ini? Astaga ...Selesai berganti pakaian, Lula turun ke bawah untuk menemui Adinda— wanita yang mengatakan asisten Jack.Melihat Lula yang turun dari tangga, Adinda tersenyum tipis, "Sepertinya baju itu sesuai dengan ukuran Anda, Nona.""Terima kasih," balas Lula."Setelah ini, saya yang akan mengantar Anda, untuk kembali pulang.""Apa ini juga perintah pria itu kepada kamu?""Tentu. Silakan."Lula tak habis pikir. Dia merasa beruntung bertemu dengan pria sebaik itu. Bisa saja dia bertemu dengan pria yang buruk semalam. Pasti dia akan merasa buruk saat bangun di pagi harinya. Tuhan memang masih menyayanginya.Keduanya masuk ke dalam mobil. Lula duduk di sisi kemudi, sementara Adinda lah yang menyetir."Di mana pria itu?"Adinda yang sedang menyetir, melirik ke arah Lula yang duduk di sampingnya."Pak Jack sedang berada di luar kota. Maka dari itu, beliau meminta saya untuk mengurus Anda, Nona.""Luar kota?""Ya, pagi petang, saya dengar beliau mendapat urusan yang mendadak. Entah, saya juga tidak mau mencampuri kehidupan pribadi atasan saya.""Ah, saya mengerti."Pantas saja, dia menghilang. Ternyata, dia pergi ke luar kota rupanya ..."Lulaa! Berhenti!"Baru saja Lula menginjakkan kaki ke dalam apartemennya, seorang wanita dengan rambut pirang berlari menahannya.Napasnya tersengal akibat berlari ke arahnya, membuat Lula mengerutkan kening melihatnya."Emil? Kamu kenapa di sini?”Emil, dia berdecih sambil berkacak pinggang, "Aku yang seharusnya tanya dengan kamu. Semalam kamu berada di mana? Kamu tidak pulang, kan?""Kamu tau dari mana kalau semalam aku tidak pulang?" tanyanya penasaran."Siapa lagi kalau bukan Pak Rey."Lula terkejut mendengarnya. Rey, mencari dirinya? Untuk apa?"Ha? Pak Rey?""Dia semalam nelponin terus. Tanya kamu ke mana. Dikira aku tahu. Orang kita ngga satu rumah. Aneh banget."Lula terdiam. Bagaimana atasnya tahu bahwa dia tidak pulang semalam? Dari mana pria itu tahu dan berakhir mencarinya?Melihat Lula yang melamun. Emil menerobos masuk ke dalam apartemen. Wanita itu langsung menghempaskan bokongnya di sofa."Gila, ya! Gara-gara si Bos, s
Sudah hampir setengah jam, namun Rey tak kunjung datang. Pesan singkat yang Lula kirimkan juga tak di balas oleh pria itu. Sebenarnya, dia ada di mana? Untuk apa menyuruhnya menunggu?Wanita itu dengan lesu bangkit dari duduknya. Waktu sudah menunjukkan hampir petang. Dia sejak tadi berdiam diri di sudut ruangan, menunggu pria itu untuk datang, sesuai dengan janji."Mending balik, ngga ada gunanya nunggu Pak Rey."Dia meraih tasnya dan pergi. Berjalan menyusuri lobi, dengan perasaan yang dongkol. Sudah pasti jika dia pulang dari tadi, dia sudah memanjakan diri di atas ranjang empuk sambil memejamkan mata.Nasi sudah menjadi bubur, tidak perlu dia sesali. Karena yang pasti dia lebih baik pulang segera sampai apartemennya.Basement kantor terlihat sepi. Tak heran, karena semua orang kantor sudah pulang sejak tadi. Ya, meski hanya satu dua orang yang Lula lihat belum pulang. Namun, tetap saja tak seramai saat jam kantor berlangsung.Wanita itu menaiki mobil
Mata Lula bertemu dengan pria yang familiar di ingatannya. Dia terkejut, melihat siapa yang datang.“Jack! Kenapa kamu terlambat? Mom pikir kamu tidak akan datang karena sibuk bekerja.”Pria itu tersenyum tipis, “Sorry Mom, tadi memang aku sempat lupa. Namun, Ben mengingatkan aku untuk segera pulang. Benar kan Ben?”“Ya tentu! Aku selalu menjadi pengingatnya, Mom. Dia benar - benar sudah bau tanah rupanya,” ejek Ben.Jack berdecih, “Tutup mulut omong kosongmu, Ben.”Eve terkekeh dengan interaksi keduanya.Jack, pria itu menyadari kehadiran sosok orang lain di meja makan keluarganya. Dia mengerutkan kening, mengingat seseorang. Dia hanya diam, namun tak lepas pandang ke arah Lula.Eve, yang melihat Jack menatap Lula menjadi heran, “Jack, apa kamu mengenalnya? Aku rasa kamu berlebihan menatap temanku.”Jack kembali menatap Eve, “Tidak.”“Ah, aku kira kamu mengenalnya. Dia temanku. Aku yang menabrak mobilnya,” jelas Eve.“Lalu kenapa dia berada d
Sial!Bagaimana bisa dia tak melihat bahwa bra miliknya tercetak jelas di kaosnya. Pasti ini karena minuman yang Eve tumpahkan, membuat terlihat jelas.Dengan malu, Lula keluar dari kamar mandi. Dia menuju ke sofa, bergabung kembali pada Eve yang asik menonton.Merasa kursi sofa bergoyang, Eve menoleh, “Sudah selesai berganti?”“Iya. Terima kasih. Besok aku akan mengembalikannya setelah mencucinya.”Eve terkekeh lalu berkata, “Kenapa terburu - buru? Santai. Aku tidak memaksa harus mengembalikan segera. Kamu bisa mengembalikan jika waktu senggang.”“Ah, baiklah.”*Dret*Ponsel Eve bergetar. Dia melihat panggilan di atas meja dan tersenyum merekah.“La, aku harus mengangkat panggilan sebentar. Kamu bisa tunggu di sini.”Dia bangkit dari sana. Tinggallah Lula sendiri bersama televisi yang menyala dengan tayangan horror di sana.Lula, menonton sendiri sambil sesekali memakan cemilan yang sudah di sediakan oleh Eve untuknya.Tak seling bebe
Malam itu, Lula pulang bersama dengan Jack. Pria itu mengantarnya sesuai dengan permintaan Camelia dan juga Eve.Di dalam mobil, Jack fokus menyetir ke depan. Jangankan mengobrol, pria itu bahkan tak menoleh ke sisi kiri untuk melihat Lula. Pria itu bagai patung hidup.Melihat Jack yang tak mencoba berinteraksi, Lula berinisiatif. Dia membuka suaranya, “Terima kasih atas tumpangannya.”Tak ada jawaban dari Jack, dia memilih diam.Karena merasa aneh, wanita itu menutup mulutnya.Dia lebih baik diam karena sepertinya Jack tak suka dengan kehadiran dirinya.Oleh sebab itu, Lula memilih bersandar dan menatap ke jendela mobil. Setidaknya, dia dapat melihat jalanan yang mereka lalui di tengah malamnya gemerlap lampu ibu kota.Namun, saat hampir setengah perjalanan mereka, tiba - tiba mobil yang di kendarai keduanya terhenti di jalanan. Lula, yang sadar menjadi khawatir.“Eh?”Sama dengan Jack, pria itu juga panik dan melihat mobil yang mereka
Wanita itu berhasil membuat dadanya berdegup kencang. Jack menegang di tempat dengan posisi yang masih menggendong Lula dalam dekapannya.Sementara itu, Lula masih memejamkan mata dan mendekap erat pria itu. Dia tak berani membuka mata, merasa takut.“Sampai kapan kamu akan seperti ini?”Lula yang masih belum sadar akan posisinya, hanya menggelengkan kepala sebelum berkata, “Aku menunggu di sini saja, aku tidak mau melanjutkan untuk mencari bengkel. Aku takut dengan petir. Aku tidak mau.”Jack mendengus mendengarnya, “Jika tidak ingin melanjutkannya setidaknya lepaskan saya. Kamu memeluk saya begitu erat.”Lula membuka mata dan seketika sadar bahwa dia berada dalam gendongan Jack.Dia memegang kedua bahu Jack lalu menarik diri turun.Lula yang malu menggaruk tengkuknya yang tak gatal, “Ah, maafkan aku. Aku tidak bermaksud untuk digendong.”Jack yang sama salah tingkahnya memalingkan wajah, “Hm.”Keduanya terjebak pada rasa malu dan
Di atas kasur, Lula merasa aneh. Kenapa dia terus terbayang pada Jack? Pertemuan mereka begitu singkat. Namun, pria itu membuatnya tertarik.Setelah ciuman panas itu, dia diantar pulang ke apartemennya.Pria itu tak banyak bicara kepadanya, begitu pun dengan dirinya.Mereka nyaris dalam keheningan jika tidak ada musik di mobil.Meski begitu, entah kenapa pertemuan yang tak menyenangkan itu membekas untuknya.Pertemuan dengan Eve, apakah itu termasuk takdir yang baik karena Lula jadi dapat bertemu kembali dengan Jack?Lula kemudian menutup matanya. Dia mencoba untuk segera beristirahat.***“Kring!!!”Lula terkejut dengan jam yang berbunyi nyaring. Dia lebih awal bangun pagi ini. Dengan malas, dia mematikan bunyi alarm yang membisingkan itu dan bersiap menuju kantor.Lula berdiri di cermin sambil merapikan rambutnya. Dia menginginkan tampilan yang sedikit berbeda pagi ini. Dia meng— curly ujung rambut pirangnya dan membiarkan rambutnya terurai.
Matanya mengerjap, bayangan itu kembali muncul. Pipinya merona, bersemu merah. Apa dia merasa malu? Tapi kenapa, itu sudah berlalu.Wanita itu menghempaskan kepalanya di atas meja. Dia menghela napas panjang, dengan mata bergerak terpejam. Kenapa dia harus mengingatnya kembali? Itu ciuman yang tak sengaja. Bahkan tak di rencanakan. Keduanya mungkin terbawa suasana.*Ting!Ponselnya berdering. Lula menarik diri dan merogoh sakunya. Dia melihat ponselnya. Sebuah nomor tak di kenal masuk di notifikasi ponsel."Nomor siapa ini yang mengirim pesan?" gumamnya.Dia menekan isi pesannya, untuk melihat lebih.[Apa kau memiliki waktu? Aku ingin mengajakmu ke luar membeli hadiah untuk Eve.]Isi pesan itu singkat. Matanya mengerjap. Apa, itu dari Jack?Lula membalas pesan tersebut karena penasaran. Dia butuh memastikan apa pria itu benar - benar Jack, adik Eve.*Ting![Iya, Jack Adderson. Pukul sebelas, aku akan datang menjemput. Bersiap lah.]Membacanya debaran jantung Lula meningkat. Apa kah dia