Share

Bab 3 - Mabuk

Penulis: Gumi Gula
last update Terakhir Diperbarui: 2022-04-05 19:39:52

Lula menyandarkan kepalanya ke sofa, membiarkan matanya menatap langit-langit apartemen yang temaram. Samar-samar, kenangan itu kembali berputar di benaknya.

"Dad, aku mau es krim!"

"Es krim? Putriku mau es krim? Tentu saja. Daddy akan segera membawakannya."

"Yeay, terima kasih, Dad!"

Pria itu pergi, lalu kembali dengan es krim di tangannya. Wajah kecil yang tadi merengek kini berseri-seri saat menerimanya. Dengan penuh semangat, ia meraih cone es krim yang masih dingin.

"Terima kasih, Dad! Daddy adalah pahlawan untuk Lula!" serunya, matanya berbinar-binar.

Pria itu tersenyum, mengusap kepala anak perempuannya dengan lembut. "Ya, tentu saja."

Lula mengerjapkan matanya, kembali ke realita. Memori itu seharusnya sudah terkubur lama, namun mengapa masih terasa begitu nyata? Mengapa hatinya masih merindukan sosok yang telah membuangnya?

Dengan napas berat, ia bangkit dari sofa. Tidak. Dia tidak boleh terus-terusan seperti ini. Dia tidak membutuhkan siapa pun dalam hidupnya. Dia bisa hidup sendiri. Namun, saat ia hendak melangkah pergi, suara dari televisi membuatnya terhenti.

"Saya sangat bangga dengan putri saya. Margareth sangat menyayangi saya. Dia adalah putri tunggal saya, yang sangat saya cintai. Pertunangannya adalah kebahagiaan saya juga, sebagai ayahnya."

"Apakah karena itu, Pak Edhi mengeluarkan miliaran rupiah untuk pertunangan Margareth?"

"Tentu. Saya bekerja keras untuk putri saya. Kebahagiaan Margareth adalah kebahagiaan saya."

Lula membeku di tempatnya. Jari-jarinya mencengkeram remote dengan erat. Hatinya kembali memanas, amarah yang telah lama ia tekan menyeruak tanpa bisa dikendalikan.

Edhi Pramono, sosok yang dengan bangga menyebut dirinya sebagai ayah yang penuh kasih. Seorang pria yang menghabiskan miliaran untuk kebahagiaan anaknya. Semua itu palsu!

Lula berdecak, matanya menatap layar televisi yang kini menampilkan wajah seorang wanita dalam gaun putih. Senyum manisnya begitu anggun, begitu sempurna. "Margareth Gladys?" Lula tertawa sinis. "Beruntung sekali kau. Bolehkah aku iri padamu?"

Tanpa berpikir panjang, ia mematikan televisi. Suara itu, senyum itu, semua membuat dadanya semakin sesak. Tidak ingin berdiam diri lebih lama, Lula meraih tasnya dan keluar dari apartemen.

------

Lampu-lampu kota berpendar di sepanjang jalan, menciptakan kilauan yang seharusnya indah. Namun bagi Lula, semua itu terasa hampa. Langkah kakinya membawanya ke sebuah bar. Tempat yang sama yang selalu ia kunjungi saat pikirannya terlalu penuh.

Ia berjalan ke arah counter, menarik napas dalam sebelum berbicara. "Berikan aku satu gelas."

Pelayan bar menatapnya sejenak sebelum mengangguk dan menuangkan minuman ke dalam gelas. Dengan gerakan pelan, Lula meraih gelas itu dan meneguk isinya. Cairan pahit itu mengalir di tenggorokannya, meninggalkan sensasi panas yang anehnya membuatnya merasa lebih ringan.

Namun satu gelas tidak cukup.

"Berikan aku segelas lagi," ucapnya, suaranya sedikit bergetar.

Pelayan itu tidak menolak dan kembali menuangkan alkohol untuknya. Lula tersenyum miring, menatap bayangannya sendiri di permukaan cairan bening dalam gelasnya. Dia tertawa kecil, tertawa untuk dirinya sendiri yang begitu menyedihkan.

"Kau bukan pahlawan untukku," gumamnya. "Aku membencimu... sangat membencimu... Aku membencimu!"

Suasana bar tetap riuh, namun bagi Lula, semuanya terasa seperti gema yang jauh. Alkohol di perutnya mulai bekerja, kepalanya terasa berat. Dia ingin melupakan semuanya, meski hanya untuk malam ini.

Saat ia mengangkat gelas untuk minum lagi, tiba-tiba sebuah tangan menahan pergerakannya. "Sudah cukup."

Lula mengerjapkan matanya, menatap sosok pria yang kini berdiri di sampingnya. Wajahnya samar-samar familiar, namun pikirannya yang berkabut membuatnya sulit mengenali siapa dia.

"Hiks... kenapa aku menangis untuk hidupku yang berantakan... Menggelikan." Suaranya terdengar lirih, sebelum akhirnya tubuhnya ambruk, tak sadarkan diri.

Pria itu dengan sigap menangkapnya sebelum kepalanya terbentur meja. Dengan satu isyarat, pelayan bar mengangguk dan membiarkannya membawa Lula pergi. Malam ini, Lula tidak akan sendirian.

--------

Sepanjang perjalanan, Lula terus terisak menitikkan air mata. Pria yang bersamanya menatap Lula dengan tatapan iba, meski dia sendiri tidak tahu kenapa dia merasa begitu.

Setelah sampai di apartemennya, pria itu menggendong tubuh Lula dan membawanya masuk. Dia membaringkan wanita itu di atas ranjang dengan pelan, lalu menutupi tubuhnya dengan selimut.

Membawa wanita itu bersamanya, apakah itu pilihan yang tepat? Sebelumnya, dia tidak suka ikut campur dalam urusan orang lain, namun kali ini kenapa dia merasa berbeda.

Sepanjang malam, dia terus terjaga di atas sofa. Dia memberikan ranjangnya untuk wanita itu, seorang asing yang bahkan tidak dia kenal sama sekali.

Cukup lama menunggu, hingga akhirnya wanita itu pun tersadar. Dia perlahan membuka mata, merasakan kepalanya pening. Dia bergumam sambil memegang kepalanya.

"Argh... kepalaku sakit," gumamnya.

Lula mengubah posisinya menjadi duduk, masih dengan kepala yang merunduk sambil sesekali memijatnya.

"Kamu sudah sadar?"

Lula menegakkan kepalanya. Samar-samar, dia melihat seorang pria yang berdiri tegak di depannya. Dia sama sekali tidak mengenalnya.

"Dimana aku?"

Pria itu tidak menjawab, tetapi malah mengambil segelas air yang ada di atas meja. Lalu mendekat dan memberikannya kepada Lula.

Lula membuka matanya perlahan, kepalanya masih terasa berat. Cahaya redup dari lampu kamar menyambutnya, dan suara jam dinding berdetak terdengar samar. Dia berusaha mengingat apa yang terjadi tadi malam.

"Saya menemukanmu dalam keadaan mabuk. Bar sudah hampir tutup, tapi saya tidak menemukan identitas atau kontak siapa pun di barang-barangmu."

Lula mengerjap, mengangkat tubuhnya dengan sedikit ragu. Dia menatap pria di hadapannya—sosok tinggi dengan sorot mata tajam yang kini menatapnya tanpa ekspresi.

Saat ucapan pria itu meresap ke dalam pikirannya, Lula mendesah. Dia ingat betul betapa kalutnya dia semalam. Mungkin dompetnya jatuh di kamar mandi saat itu.

"Terima kasih. Saya sudah merepotkan Anda, Tuan," ucapnya pelan. "Sepertinya, dompet saya tertinggal di kamar mandi klub."

Pria itu tidak langsung menjawab. Dia hanya menatapnya sesaat sebelum berbalik menuju pintu. Langkahnya terhenti sejenak di ambang pintu, tanpa menoleh, dia berkata dengan suara datar, "Kamar ini bisa kamu gunakan untuk beristirahat. Saya akan menghubungi pihak klub untuk mencari dompetmu."

Tanpa menunggu tanggapan, pria itu melangkah keluar dan menutup pintu di belakangnya. Lula menatap pintu yang kini tertutup rapat. Ada sesuatu dalam cara pria itu berbicara—dingin, namun terasa samar-samar ada perhatian di dalamnya.

Dia menarik napas panjang. Entah siapa pria itu, setidaknya dia sudah menolongnya malam ini.

—--------

Keesokan paginya, Lula terbangun dengan perasaan yang bercampur aduk. Kepalanya masih sedikit berat, tetapi kesadarannya mulai pulih sepenuhnya. Ia melirik sekeliling ruangan yang asing, mengingat-ingat kejadian semalam. Ia tidak ingat bagaimana ia sampai di sini, tetapi jelas seseorang telah menolongnya.

Ia turun dari tempat tidur, berjalan menuju pintu, dan mengintip ke luar kamar. Suasana apartemen itu sunyi. Tidak ada tanda-tanda keberadaan pria yang telah menolongnya. Lula menghela napas pelan, merasa sedikit kecewa. Ia ingin setidaknya mengucapkan terima kasih sebelum pergi.

Saat ia tengah mencari tahu apakah pria itu masih ada di apartemen, suara bel berbunyi, memecah kesunyian. Lula menoleh ke arah pintu depan dan segera melangkah untuk membukanya.

Di ambang pintu, berdiri seorang wanita dengan pakaian formal. Raut wajahnya tenang dan profesional.

"Selamat pagi, Nona. Saya Adinda, asisten Pak Jack," katanya dengan nada sopan.

Lula terdiam sejenak. Jadi, pria itu bernama Jack?

"Saya datang untuk mengantarkan beberapa pakaian yang bisa Anda gunakan. Pak Jack meminta saya untuk mengirimkannya pagi ini," lanjut Adinda sambil mengulurkan paper bag besar.

Lula menerima tas itu dengan sedikit bingung. Saat melihat isinya, ia semakin terkejut. Beberapa set pakaian dalam berbagai ukuran dan model telah dipilih dengan cermat. Tidak hanya pakaian kasual, tetapi juga pakaian dalam yang lengkap. Pipi Lula memanas tanpa sadar.

Dia bahkan memperhatikan hal sekecil ini? Astaga...

"Terima kasih. Maaf, saya sudah merepotkan," ujar Lula dengan sedikit canggung.

Adinda menggeleng pelan. "Tidak perlu merasa merepotkan. Ini adalah instruksi langsung dari Pak Jack. Nona bisa mengganti pakaian sebelum pulang."

Lula hanya bisa mengangguk dan kembali ke kamar untuk berganti pakaian. Semua pakaian yang disediakan terasa nyaman dan pas di tubuhnya. Setelah selesai, ia turun kembali untuk menemui Adinda.

"Sepertinya pakaian itu cocok untuk Anda," komentar Adinda dengan senyum tipis.

"Ya, terima kasih," jawab Lula.

"Saya akan mengantar Anda pulang sekarang."

Lula mengerutkan kening. "Apakah ini juga instruksi dari pria itu?"

"Benar. Pak Jack ingin memastikan Anda kembali dengan selamat."

Lula terdiam. Pria itu benar-benar memperhatikannya. Ia merasa beruntung karena bertemu dengan seseorang seperti Jack. Bisa saja ia bertemu dengan pria yang memiliki niat buruk semalam. Ia mungkin tidak akan bangun dalam keadaan baik seperti sekarang.

Setelah itu, keduanya masuk ke dalam mobil. Adinda yang mengemudi, sementara Lula duduk di kursi penumpang. Ia masih memikirkan pria itu.

"Di mana Pak Jack sekarang?" tanya Lula akhirnya.

Adinda melirik sekilas ke arahnya sebelum menjawab, "Beliau sedang berada di luar kota. Pagi tadi beliau mendapat urusan mendadak. Karena itu, beliau meminta saya untuk mengurus Anda."

Lula mengangguk pelan. "Aku mengerti."

Ternyata, itu alasan pria itu tidak terlihat. Jack pergi tanpa menunggu untuk berbicara dengannya. Entah mengapa, perasaan aneh muncul dalam dirinya. Sebuah rasa penasaran yang semakin besar tentang pria yang telah menolongnya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 42 - Sebuah Kejutan

    Uap hangat menyembur dari balik pintu kamar mandi yang terbuka perlahan. Jack keluar hanya dengan celana panjang hitam, tubuh bagian atasnya telanjang. Air masih menetes dari ujung rambutnya. Napasnya terdengar berat, seperti seseorang yang memikul sesuatu yang tak kasat mata. Dia berjalan mendekat, menaiki ranjang. Gladys berdiri membelakangi jendela, tubuhnya dibawah siluet cahaya temaram lampu gantung. Dia menatap Jack dengan tersenyum, malam ini adalah puncaknya. Gaun tidur yang tadi dia pakai, kini sudah dia lepas, dan tergantung rapi di kursi. Sekarang, hanya selembar renda putih tipis yang membalut tubuhnya, halus, nyaris menyatu dengan kulitnya.Saat Jack mendongak, pandangannya sempat berhenti sejenak. Hanya menatapnya sekejap, tapi cukup membuatnya gugup.“Jangan menatapku seolah aku akan menculikmu, Jack.”“Tidak ada yang mengatakan hal tersebut.”Gladys semakin mendekat. Bahkan bisa Jack rasakan hembusan n

  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 41 - Kau bisa mengakhirinya

    Hotel Brington, Kamar 2905 Langit malam menggantung kelabu, mengintip lewat tirai tipis kamar hotel yang mewah dan remang. Satu-satunya cahaya berasal dari lampu gantung kristal di sudut ruangan, memantulkan bayangan emas pucat ke lantai marmer. Jack Adderson berdiri di dekat minibar, menuang dua gelas wine merah ke dalam kristal bening. Tangannya gemetar halus, nyaris tak terlihat oleh siapa pun kecuali dirinya sendiri. Wajahnya lelah, bukan karena hari yang panjang, tapi karena keputusan yang menggantung di kerongkongan. Pintu kamar diketuk satu kali. Lalu dua kali. Ia menoleh, menarik napas dalam, dan berjalan membuka pintu. Di sana berdiri Lula. Angin dari lorong luar mengibarkan sedikit ujung mantel panjangnya, memperlihatkan siluet dress hitam dengan belahan samar di sisi pahanya. Rambutnya tergerai sempurna, dan bibir merahnya terlihat mencolok di antara pencahayaan yang lembut. Ia tak berkata apa pun, hanya menatap Jack seolah seluruh dunia tidak ada di antara mereka,

  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 40 - Pernikahan

    Lula duduk di ruang tamu apartemennya, televisi menyala tanpa suara. Pancaran cahaya dari layar memantul di permukaan meja kaca, menari di dinding putih yang tenang. Di layar itu, terpampang wajah-wajah bahagia, Gladys Pramono dan Jack Adderson, berdiri berdampingan di altar yang megah, dikelilingi taman bunga yang dibuat seperti negeri dongeng.Serangkaian gambar bergerak cepat. Senyum Jack yang khas, tangan Gladys yang digenggam erat, sorakan para tamu penting, dan kalimat penutup dari pembawa berita. "Hari ini, pernikahan antara pewaris Pramono Corporation, Gladys Pramono, dan miliarder muda Jack Adderson resmi digelar. Selamat kepada Tuan dan Nyonya Adderson atas pernikahan mereka."Lula menyandarkan tubuhnya ke sofa. Rambutnya sedikit berantakan, satu tangan menopang dagunya, sementara jemarinya yang lain mengetuk perlahan lengan kursi. Tak ada air mata. Tak ada teriakan. Yang ada hanya satu senyum kecil—halus, menghina, seperti duri manis di pinggir bibir.“Akhirnya mereka meni

  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 39 - Kabar Burung

    Lula duduk sendirian di tepi ranjang, selimut tipis melingkari tubuhnya. Punggungnya tegak, tetapi matanya kosong menatap lampu gantung yang berayun perlahan di langit-langit kamar. Bayangan tubuh Jack masih terasa di kulitnya—sentuhannya, erangannya, bisikannya yang meresap sampai ke relung yang terdalam.Namun sekarang, hening. Dan hampa.Jack sudah pergi sejak satu jam lalu. Katanya ada rapat mendadak, tapi Lula tahu, itu hanya alasan yang mudah diucapkan oleh seorang pria yang terlalu pandai bersembunyi. Tidak ada ciuman perpisahan. Tidak ada pelukan. Hanya pintu yang tertutup pelan dan langkah yang menjauh.Pikirannya tidak berkutat di sana. Ia mengingat kembali bagaimana semuanya bermula—bukan dari tawaran pekerjaan sebagai sekretaris Jack, tapi jauh sebelum itu. Dari saat dunia seolah berhenti mengakuinya sebagai seorang anak.Ia anak dari Edhi Pramono. Anak kandungnya.Tapi setelah ibunya meninggal, pria itu menikah lagi, dan melupakannya. Dan sejak saat itu, Lula tak punya te

  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 38 - Persiapan Pernikahan

    Pagi itu, Gladys sudah sibuk dengan berbagai persiapan. Ia tidak ingin membuang waktu. Jika ini harus terjadi, maka semuanya harus sempurna. Di sebuah butik eksklusif, ia berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun pengantin putih dengan desain klasik yang elegan. Sofia duduk di sofa, mengamati putrinya dengan kritis. “Gaun ini bagus, tapi aku rasa kita bisa mencari yang lebih istimewa,” katanya akhirnya. “Sesuatu yang lebih… berkelas.” Gladys hanya tersenyum kecil. Ia tidak terlalu peduli gaun seperti apa yang akan ia kenakan, karena pikirannya jauh dari sini. Jack. Ia memikirkan pria itu—reaksinya saat ia setuju untuk menikah lebih cepat. Ada sesuatu dalam tatapannya yang tidak bisa ia artikan. Keraguan? Atau rasa bersalah? Gladys mengalihkan pandangannya ke cermin. Tidak, ia tidak bisa membiarkan pikirannya dipenuhi oleh hal-hal yang tidak perlu. Ia percaya bahwa Jack mencintainya. Salah satu pegawai butik mendekat, membawa beberapa pilihan gaun lain. “Nona Gladys, kami

  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 37 - Aku siap

    Lula menyisipkan rambutnya ke belakang telinga, pandangannya sekilas menyapu ke arah restoran yang ramai. Suara alat makan beradu dengan piring bercampur percakapan pelanggan lain, menciptakan suasana makan siang yang tampak wajar. Namun, tidak baginya. Ada sesuatu yang mengganggu, sesuatu yang membuatnya sulit menikmati hidangan di hadapannya. Perlahan, ia meletakkan garpunya dan menatap pria di hadapannya. “Jack, aku rasa kita sedang diawasi,” bisiknya tanpa mengubah ekspresi. Jack tidak langsung merespons. Ia hanya mengangkat cangkir kopinya dengan santai, menyesapnya seolah tak terjadi apa-apa. Tetapi, Lula tahu pria itu tengah mengamati pantulan kaca besar di belakangnya. Dari sana, dua sosok terlihat duduk tak jauh dari mereka—Eleanor dan Jennie. Jack menaruh cangkirnya, bibirnya melengkung samar. “Kamu benar, entah bagaimana mereka bisa datang disini.” “Aku curiga, mereka datang untuk mengawasi. Tidak ada kemungkinan kebetulan didunia ini.” “Aku pikir kamu benar. Jika b

  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 36 - Selingkuh?

    Lula merasa hubungannya dengan Jack semakin membaik. Tidak ada lagi pertengkaran tak perlu atau tatapan penuh ketegangan di antara mereka. Setidaknya, Jack tidak lagi berusaha mencari masalah dengannya setiap saat, dan Lula pun mulai merasa lebih nyaman berada di dekat pria itu.Hari ini, Jack tiba-tiba mengajaknya makan siang di luar. Biasanya, Lula akan menolak atau mencari alasan untuk menghindar, tapi entah kenapa, kali ini ia mengiyakan tanpa banyak berpikir.Mereka memilih restoran dengan suasana tenang, duduk di meja dekat jendela yang menghadap ke jalanan kota. Percakapan mereka mengalir ringan—tidak lagi dipenuhi sindiran atau debat kusir yang melelahkan.Namun, saat obrolan mereka mulai mereda, Jack tiba-tiba mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku jasnya dan meletakkannya di atas meja. Lula mengernyit, merasa curiga.“Apa ini?”Jack hanya menyodorkan kotaknya. “Buka saja.”Dengan sedikit ragu, Lula membuka kotak itu dan mendapati sebuah kalung perak dengan liontin berbent

  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 35 - Aku akan menemuimu

    Lula masih terengah, dadanya naik turun dengan cepat. Tangannya mengepal di atas pangkuan, berusaha menenangkan diri setelah ciuman yang mencuri napasnya barusan. Jack tetap di tempatnya, menatapnya dengan intens, seolah menantang setiap emosi yang bergejolak di mata Lula. “Kau sudah selesai marah?” Jack bertanya, nada suaranya masih datar, tapi sorot matanya tidak bisa menyembunyikan api yang membakar di dalamnya. Lula mengatupkan rahangnya. “Kau tidak bisa seenaknya, Jack.” “Aku tidak sedang bermain-main,” balas Jack tanpa ragu. “Kalau aku mau bermain, aku bisa melakukan jauh lebih dari ini.” Lula menelan ludah, berusaha menepis panas yang merayap di kulitnya. Ia menggeleng pelan, mencoba mencari celah untuk mengendalikan situasi. “Aku lelah,” katanya akhirnya, suaranya melemah. Jack tidak langsung menanggapi. Ia hanya menatap Lula dengan sorot mata yang dalam, penuh sesuatu yang sulit ditebak. Namun kemudian, ia bersandar ke kursinya, ekspresinya sedikit melunak. “Aku tahu.”

  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 34 - Kegilaan Jack

    Lula mengetik cepat di depan layar komputernya, jemarinya bergerak lincah di atas keyboard. Matanya terpaku pada data yang harus ia rapikan sebelum laporan diserahkan ke Jack. Ruangan kantor terasa sunyi, hanya suara ketikan dan sesekali bunyi kertas yang dibalik. Tiba-tiba, suara langkah terburu-buru mendekat, disusul suara Emil yang setengah terengah-engah. “Lula! Tolong banget, kali ini aja!” Lula mengangkat kepala dengan kening berkerut. “Kenapa lagi, Mil?” Emil menjatuhkan beberapa dokumen di meja Lula dengan ekspresi putus asa. “Aku butuh banget tanda tangan Pak Jack. Sejam lagi kalau ini nggak beres, bisa mampus aku, La. Aku beneran lupa.” Lula mendesah, menatap dokumen-dokumen yang berserakan. “Pak Jack baru saja keluar makan siang.” Emil hampir menangis. “Please, La. Tau sendiri kalau yang kejar Pak Jack aku, dia nggak bakal mau. Tapi kamu… kamu kan sekretarisnya. Kamu pasti bisa!” Lula memijat pelipisnya. “Jadi aku harus ngejar dia sekarang?” Emil mengangguk

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status