"Lulaa! Berhenti!"
Baru saja Lula menginjakkan kaki ke dalam apartemennya, seorang wanita dengan rambut pirang berlari menahannya.Napasnya tersengal akibat berlari ke arahnya, membuat Lula mengerutkan kening melihatnya."Emil? Kamu kenapa di sini?”Emil, dia berdecih sambil berkacak pinggang, "Aku yang seharusnya tanya dengan kamu. Semalam kamu berada di mana? Kamu tidak pulang, kan?""Kamu tau dari mana kalau semalam aku tidak pulang?" tanyanya penasaran."Siapa lagi kalau bukan Pak Rey."Lula terkejut mendengarnya. Rey, mencari dirinya? Untuk apa?"Ha? Pak Rey?""Dia semalam nelponin terus. Tanya kamu ke mana. Dikira aku tahu. Orang kita ngga satu rumah. Aneh banget."Lula terdiam. Bagaimana atasnya tahu bahwa dia tidak pulang semalam? Dari mana pria itu tahu dan berakhir mencarinya?Melihat Lula yang melamun. Emil menerobos masuk ke dalam apartemen. Wanita itu langsung menghempaskan bokongnya di sofa."Gila, ya! Gara-gara si Bos, semalam aku belum tidur. Setiap jam ditelepon cuma buat tanya kamu udah balik belum. Sumpah, nyebelin!"Lula, wanita itu berbalik dan masuk ke dalam, mendekati Emil. Sementara Emil, melihat Lula terdiam, malah gencar melontarkan pertanyaan, "Semalam beneran ngga balik?"Lula menghela napas. Mengambil duduk di depan Emil, dan menatapnya, "Mabuk," singkatnya. Tak ada penjelasan lebih dari ujarnya. Toh, dia tak ingin berbicara panjang lebar dengan Emil mengenai hal semalam."Mabuk? Terus, semalam tidur di mana. Jangan bilang ONS sama stranger?"Bola mata Lula memutar malas, "ONS? Jangan gila deh, Mil. Ngga ada!" bantah Lula."Terus?" tanyanya sambil menaik turunkan alis menggoda."Serius, aku memang mabuk. Tapi, aku ngga sampai ONS segala. Semalam, pikiranku kalut, dan kamu tau, aku butuh minum. Aku butuh pelampiasan. Akhirnya, aku memutuskan untuk datang ke bar malam itu juga."Lula menghela napas panjang. Dia kembali menjelaskan, "Malam itu, benar - benar di luar kendali. Aku terlalu banyak minum, sampai ngga sadar. Karena udah mau pagi juga, dan bar mau tutup. Aku yang hang over, engga sadar sampai akhirnya pria itu membawa aku bersamanya.""Nolong atau nolong sih?" tanyanya dengan mencecar."Ya nolong! Dia bawa aku ke apartemennya. Dompet aku sialnya jatuh di kamar mandi. Pria itu bilang, dia tidak bisa menemukan identitasku, Mil. Jadi, ngga ada yang bisa di hubungi untuk menjemput aku."Emil terlihat tertarik dengan topik pembicaraan. Dia tersenyum dan mendekat, mencondongkan tubuh ke arah Lula, "Terus, terus? Kalian kenalan ngga?""Jangan kan sempat kenalan. Kata asistennya, dia ada urusan mendadak ke luar Kota. Jadi, setelah malam itu aku ngga ketemu lagi sama dia. Udah lah, ngapain sih pakai di bahas segala. Capek," dengus Lula.“Oh sial! Aku sudah membayangkan seperti adegan di film. Semua alur yang aku dengar terlihat seperti garis cerita yang aku tonton,” kata Emol sambil mendengus.“Kita hidup di dunia nyata. Bukan di sebuah film, Mil.”“Tentu aku setuju dengan pikiranmu. Bagaimana pun, kita tidak tau takdir seseorang. Mungkin saja alur takdirmu seperti garis sebuah film,” canda Emil.Lula memutar bola matanya, “Terserah. Sekarang mending kamu pergi, karena aku harus beristirahat.”Emil memutar bola matanya, "Baru aja sampai. Udah di usir segala. Ya udah deh, balik. See you di kantor besok!"Emil bangkit dan meninggalkan apartemen milik Lula. Sementara wanita itu masih terdiam, untuk apa Rey- pria itu mencarinya? Apa ada suatu hal yang penting?—"Ting!"Kedua gelas saling bertemu menimbulkan suara dentingan yang samar terdengar. Disambut dengan suara pengiring biola, yang melantun indah sebagai pengiring."Kamu suka?"Manik mata hitam itu terbuka, menatap lawan bicara di depannya sambil tersenyum, "Thank you. Ini semua bener - bener indah! Speechless banget kamu siapin dinner kayak gini, aku terharu, Jack."Pria yang di panggil dengan nama Jack tersenyum, "Dis, waktu buat kita ketemu itu singkat. Aku berusaha buat kamu bahagia dengan pertemuan kita.""Thank you, Jack. Aku sangat senang.""Aku senang jika kamu menyukai semuanya yang aku lakukan."Gladys menikmati makan malamnya dengan binar yang bahagia. Semua itu terlihat jelas di wajahnya. Karena memang akhir - akhir ini, wanita itu sibuk dengan pemotretannya. Untuk makan malam seperti ini saja, dia harus membatalkan, beberapa jadwal pemotretannya.Di tengah makan malamnya, Jack sesekali mencuri pandang ke arah Gladys, tunangannya. Dia merindukan wanita itu, sangat. Sementara wanita itu, memergoki Jack memandanginya, dan tersipu malu."Jangan memandangiku seperti itu. Kau membuat aku malu, Jack."Jack tertawa mendengarnya, "Aku memandangi calon istriku sendiri. Aku rasa dia tidak keberatan.""Jack ... kita akan menghabiskan malam bersama. Apa itu tidak cukup untukmu?" rengek Gladys."Satu hari tentu saja tidak cukup untukku, Dis. Kamu lupa, bahkan dalam setahun, pertemuan kita bisa terhitung dengan jari, Gladys Pramono.""Terus? Kamu mau bagaimana? Keadaan kita memang seperti ini, Jack."Tangan Jack bergerak menggenggam tangan Gladys dengan lembut. Pria itu menatap manik mata tunangannya dengan lekat, "Apa kamu tidak bisa berhenti bekerja? Aku rasa, uang milikku cukup untuk menghidupmu nantinya, Dis."Pria itu membuat Gladys tersenyum tipis, "Kamu pikir aku tidak punya uang sendiri? Aku memiliki uang, dan kekayaan pribadi, Tuan Aderson. Tapi kamu tau sendiri, bagaimana aku mencintai pekerjaanku. Aku masih belum siap untuk melepaskannya. Aku masih menyayangi profesiku sebagai model. Aku mohon kamu untuk mengertilah ..."Jack, pria itu dengan berat hati mengangguk dan tersenyum tipis. Dia meraih gelas wine di depannya, dan meneguknya.—Di depan layar laptopnya, seorang wanita dengan rambut yang di kuncir satu di ikat, terlihat meregangkan tubuhnya. Jam menunjukan sore hari, sudah waktunya dia untuk pulang."Akhirnya ... Kelar juga kerjaan," ujarnya dengan sangat lega.Wanita itu lalu menutup laptopnya. Baru saja dia akan berbenah untuk pulang. Namun, seseorang datang."Setelah ini kamu jangan pulang dulu. Saya ingin berbicara dengan kamu."Dia mendongak, menatap Rey di depannya, “Ada apa ya Pak?"Rey, menatap jam yang berada di pergelangan tangannya, dia lalu mendengus lesu, dia baru ingat sesuatu yang tak bisa dia tinggal."Saya akan kembali lima belas menit lagi. Kamu jangan pulang dulu.""Tapi ini sudah waktunya saya pul—"Belum sempat Lula meneruskan ucapannya, Rey sudah pergi terlebih dahulu. Melihat Rey yang sudah pergi, dia menghela napas, "Seharusnya udah mulai balik. Tapi pakai acara di tahan. Kenapa lagi sih, Pak Rey? Bos aneh!" gumamnya.Menunggu Rey, Lula meletakan kepalanya di atas meja. Menekuk wajahnya dengan lesu. Dia terpaksa menunggu Rey lebih lama.Wanita itu menunggu hingga lima belas menit berlalu seperti apa yang Rey katakan tadi. Tapi, wanita itu masih belum juga melihat batang hidung Rey. Apa Rey lupa, dia menyuruh wanita itu untuk menunggu?Lula menarik diri, dan mengambil ponsel di dalam tas. Dia mencari nomor ponsel Rey, dan kemudian mencoba mengirim pesan singkat untuknya.[Pak, saya masih belum pulang. Ini sudah lima belas menit sejak Bapak pergi. Bapak tidak lupa kan, kalau menyuruh saya menunggu di kantor? Saya ngga mau jadi tahanan kantor kalau Bapak ada hutang ya, sama rentenir.]*Sent*"Awas aja sampai Pak Rey lupa," gumamnya.Lula mendengus sebal. Lagi - lagi dia harus menunggu untuk hal yang tak pasti seperti ini. Rey, memang menyebalkan.Sudah hampir setengah jam, namun Rey tak kunjung datang. Pesan singkat yang Lula kirimkan juga tak di balas oleh pria itu. Sebenarnya, dia ada di mana? Untuk apa menyuruhnya menunggu?Wanita itu dengan lesu bangkit dari duduknya. Waktu sudah menunjukkan hampir petang. Dia sejak tadi berdiam diri di sudut ruangan, menunggu pria itu untuk datang, sesuai dengan janji."Mending balik, ngga ada gunanya nunggu Pak Rey."Dia meraih tasnya dan pergi. Berjalan menyusuri lobi, dengan perasaan yang dongkol. Sudah pasti jika dia pulang dari tadi, dia sudah memanjakan diri di atas ranjang empuk sambil memejamkan mata.Nasi sudah menjadi bubur, tidak perlu dia sesali. Karena yang pasti dia lebih baik pulang segera sampai apartemennya.Basement kantor terlihat sepi. Tak heran, karena semua orang kantor sudah pulang sejak tadi. Ya, meski hanya satu dua orang yang Lula lihat belum pulang. Namun, tetap saja tak seramai saat jam kantor berlangsung.Wanita itu menaiki mobil
Mata Lula bertemu dengan pria yang familiar di ingatannya. Dia terkejut, melihat siapa yang datang.“Jack! Kenapa kamu terlambat? Mom pikir kamu tidak akan datang karena sibuk bekerja.”Pria itu tersenyum tipis, “Sorry Mom, tadi memang aku sempat lupa. Namun, Ben mengingatkan aku untuk segera pulang. Benar kan Ben?”“Ya tentu! Aku selalu menjadi pengingatnya, Mom. Dia benar - benar sudah bau tanah rupanya,” ejek Ben.Jack berdecih, “Tutup mulut omong kosongmu, Ben.”Eve terkekeh dengan interaksi keduanya.Jack, pria itu menyadari kehadiran sosok orang lain di meja makan keluarganya. Dia mengerutkan kening, mengingat seseorang. Dia hanya diam, namun tak lepas pandang ke arah Lula.Eve, yang melihat Jack menatap Lula menjadi heran, “Jack, apa kamu mengenalnya? Aku rasa kamu berlebihan menatap temanku.”Jack kembali menatap Eve, “Tidak.”“Ah, aku kira kamu mengenalnya. Dia temanku. Aku yang menabrak mobilnya,” jelas Eve.“Lalu kenapa dia berada d
Sial!Bagaimana bisa dia tak melihat bahwa bra miliknya tercetak jelas di kaosnya. Pasti ini karena minuman yang Eve tumpahkan, membuat terlihat jelas.Dengan malu, Lula keluar dari kamar mandi. Dia menuju ke sofa, bergabung kembali pada Eve yang asik menonton.Merasa kursi sofa bergoyang, Eve menoleh, “Sudah selesai berganti?”“Iya. Terima kasih. Besok aku akan mengembalikannya setelah mencucinya.”Eve terkekeh lalu berkata, “Kenapa terburu - buru? Santai. Aku tidak memaksa harus mengembalikan segera. Kamu bisa mengembalikan jika waktu senggang.”“Ah, baiklah.”*Dret*Ponsel Eve bergetar. Dia melihat panggilan di atas meja dan tersenyum merekah.“La, aku harus mengangkat panggilan sebentar. Kamu bisa tunggu di sini.”Dia bangkit dari sana. Tinggallah Lula sendiri bersama televisi yang menyala dengan tayangan horror di sana.Lula, menonton sendiri sambil sesekali memakan cemilan yang sudah di sediakan oleh Eve untuknya.Tak seling bebe
Malam itu, Lula pulang bersama dengan Jack. Pria itu mengantarnya sesuai dengan permintaan Camelia dan juga Eve.Di dalam mobil, Jack fokus menyetir ke depan. Jangankan mengobrol, pria itu bahkan tak menoleh ke sisi kiri untuk melihat Lula. Pria itu bagai patung hidup.Melihat Jack yang tak mencoba berinteraksi, Lula berinisiatif. Dia membuka suaranya, “Terima kasih atas tumpangannya.”Tak ada jawaban dari Jack, dia memilih diam.Karena merasa aneh, wanita itu menutup mulutnya.Dia lebih baik diam karena sepertinya Jack tak suka dengan kehadiran dirinya.Oleh sebab itu, Lula memilih bersandar dan menatap ke jendela mobil. Setidaknya, dia dapat melihat jalanan yang mereka lalui di tengah malamnya gemerlap lampu ibu kota.Namun, saat hampir setengah perjalanan mereka, tiba - tiba mobil yang di kendarai keduanya terhenti di jalanan. Lula, yang sadar menjadi khawatir.“Eh?”Sama dengan Jack, pria itu juga panik dan melihat mobil yang mereka
Wanita itu berhasil membuat dadanya berdegup kencang. Jack menegang di tempat dengan posisi yang masih menggendong Lula dalam dekapannya.Sementara itu, Lula masih memejamkan mata dan mendekap erat pria itu. Dia tak berani membuka mata, merasa takut.“Sampai kapan kamu akan seperti ini?”Lula yang masih belum sadar akan posisinya, hanya menggelengkan kepala sebelum berkata, “Aku menunggu di sini saja, aku tidak mau melanjutkan untuk mencari bengkel. Aku takut dengan petir. Aku tidak mau.”Jack mendengus mendengarnya, “Jika tidak ingin melanjutkannya setidaknya lepaskan saya. Kamu memeluk saya begitu erat.”Lula membuka mata dan seketika sadar bahwa dia berada dalam gendongan Jack.Dia memegang kedua bahu Jack lalu menarik diri turun.Lula yang malu menggaruk tengkuknya yang tak gatal, “Ah, maafkan aku. Aku tidak bermaksud untuk digendong.”Jack yang sama salah tingkahnya memalingkan wajah, “Hm.”Keduanya terjebak pada rasa malu dan
Di atas kasur, Lula merasa aneh. Kenapa dia terus terbayang pada Jack? Pertemuan mereka begitu singkat. Namun, pria itu membuatnya tertarik.Setelah ciuman panas itu, dia diantar pulang ke apartemennya.Pria itu tak banyak bicara kepadanya, begitu pun dengan dirinya.Mereka nyaris dalam keheningan jika tidak ada musik di mobil.Meski begitu, entah kenapa pertemuan yang tak menyenangkan itu membekas untuknya.Pertemuan dengan Eve, apakah itu termasuk takdir yang baik karena Lula jadi dapat bertemu kembali dengan Jack?Lula kemudian menutup matanya. Dia mencoba untuk segera beristirahat.***“Kring!!!”Lula terkejut dengan jam yang berbunyi nyaring. Dia lebih awal bangun pagi ini. Dengan malas, dia mematikan bunyi alarm yang membisingkan itu dan bersiap menuju kantor.Lula berdiri di cermin sambil merapikan rambutnya. Dia menginginkan tampilan yang sedikit berbeda pagi ini. Dia meng— curly ujung rambut pirangnya dan membiarkan rambutnya terurai.
Matanya mengerjap, bayangan itu kembali muncul. Pipinya merona, bersemu merah. Apa dia merasa malu? Tapi kenapa, itu sudah berlalu.Wanita itu menghempaskan kepalanya di atas meja. Dia menghela napas panjang, dengan mata bergerak terpejam. Kenapa dia harus mengingatnya kembali? Itu ciuman yang tak sengaja. Bahkan tak di rencanakan. Keduanya mungkin terbawa suasana.*Ting!Ponselnya berdering. Lula menarik diri dan merogoh sakunya. Dia melihat ponselnya. Sebuah nomor tak di kenal masuk di notifikasi ponsel."Nomor siapa ini yang mengirim pesan?" gumamnya.Dia menekan isi pesannya, untuk melihat lebih.[Apa kau memiliki waktu? Aku ingin mengajakmu ke luar membeli hadiah untuk Eve.]Isi pesan itu singkat. Matanya mengerjap. Apa, itu dari Jack?Lula membalas pesan tersebut karena penasaran. Dia butuh memastikan apa pria itu benar - benar Jack, adik Eve.*Ting![Iya, Jack Adderson. Pukul sebelas, aku akan datang menjemput. Bersiap lah.]Membacanya debaran jantung Lula meningkat. Apa kah dia
“Terima kasih. Sudah mengantar pulang.”Lula menoleh ke sisi sampingnya, di mana Jack duduk di kemudi mobil. Pria itu tak menoleh, tapi menganggukan kepala. Lula semakin memaklumi bahwa pria itu memang memiliki sikap yang dingin. Tak membuang waktu wanita itu membuka seat belt yang dia gunakan, dan kemudian turun dari mobil pria itu. Lula tersenyum sambil melambaikan tangan mengantar ke pergian mobil Jack. Setelah rasa mobil Jack sudah pergi menjauh, Lula masuk ke dalam apartemennya. Saat dia berbalik badan. Dia di kejutkan oleh Rey yang ada di belakang dirinya secara tiba - tiba. “Astaga! Pak Rey ?!”Rey mengerjapkan mata. Dia tersenyum tipis ke arah Lula, “Kenapa terlihat terkejut, La? Padahal saya tidak mengejutkan kamu.”Lula yang terkejut, memegang dadanya. Matanya membulat. Bagaimana bisa tidak mengejutkan? Rey seperti hantu yang muncul secara dadakan. “Pak Rey tepat di belakang saya tiba - tiba. Saya kaget, Pak.”“Maafkan saya kalau memang membuat kamu terkejut. Kamu habi