Home / Romansa / Hasrat Wanita Kedua / Bab 4 - Menunggu

Share

Bab 4 - Menunggu

Author: Gumi Gula
last update Last Updated: 2022-04-05 19:42:09

Lula baru saja membuka pintu apartemennya ketika suara langkah cepat terdengar dari lorong. Dalam hitungan detik, Emil muncul dengan napas tersengal, rambut pirangnya sedikit berantakan seperti habis berlari tanpa henti.

"Lula! Tunggu sebentar!" serunya, berusaha mengatur napas.

Lula mengerutkan kening, terkejut dengan kedatangan Emil yang tiba-tiba. "Emil? Kenapa kamu di sini? Ada apa?"

Emil menegakkan tubuhnya, kedua tangannya bertumpu pada pinggang. Wajahnya menunjukkan ekspresi campuran antara khawatir dan kesal. "Seharusnya aku yang tanya. Semalam kamu di mana? Kamu enggak pulang, kan?"

Lula menatap Emil dengan heran. "Dari mana kamu tahu kalau aku enggak pulang?"

Emil mendengus. "Siapa lagi kalau bukan Pak Rey," katanya cepat.

Mata Lula melebar. "Pak Rey?"

Nama itu membuat pikirannya langsung dipenuhi tanda tanya. Mengapa bosnya sampai mencarinya?

"Iya! Pak Rey nelepon aku berkali-kali semalam, nanya kamu ada di mana. Aku sampai bingung jelasinnya." Emil menggeleng kesal. "Aku sudah bilang ke dia kalau aku enggak tahu, tapi dia tetap aja nelepon terus. Aku sampai susah tidur karena ditelepon mulu."

Lula menutup pintu apartemen dan berjalan mendekati Emil yang sudah masuk lebih dahulu. Wanita itu dengan santainya menjatuhkan diri di sofa, seolah apartemen ini miliknya. "Jadi, kamu beneran enggak pulang semalam?" Emil bertanya lagi, kali ini nadanya lebih menuntut.

Lula menghela napas dalam. "Aku mabuk," jawabnya singkat.

Emil memicingkan mata penuh selidik. "Terus, kamu tidur di mana? Jangan bilang ONS sama orang asing!" godanya dengan nada menggoda.

Lula mendengus, jelas tak tertarik dengan lelucon itu. "ONS? Enggak, Emil. Otakmu bisa enggak usah ke mana-mana dulu?"

"Ya udah, terus gimana ceritanya?"

Lula bersandar di kursi, menatap Emil yang terlihat semakin penasaran. "Aku pergi ke bar, minum sampai hilang kendali, terus enggak sadar lagi. Pas hampir pagi dan bar mau tutup, ada seorang pria yang membawaku pergi."

"Pria?" Emil mengangkat alis. "Siapa dia? Apa dia nolong atau pura-pura nolong?"

"Dia nolong," jawab Lula tegas. "Dia bawa aku ke apartemennya karena dompetku jatuh di kamar mandi. Katanya, dia enggak menemukan identitasku, jadi enggak tahu harus menghubungi siapa."

Emil bersandar di sofa, wajahnya semakin tertarik. "Terus, kalian sempat kenalan?"

Lula mengangkat bahu. "Enggak sempat. Pagi-pagi dia sudah pergi karena ada urusan mendadak ke luar kota. Setelah itu, aku juga langsung pulang."

Emil mendecih kecewa. "Oh sial! Aku kira bakal ada kisah cinta mendadak di sini. Semua adegan yang kamu ceritakan tadi kayak plot film romantis!"

Lula tertawa kecil, menggeleng pelan. "Ini bukan film, Mil. Ini dunia nyata."

"Tapi siapa tahu? Mungkin hidup kamu memang punya plot dramatis seperti di film," kata Emil sambil terkekeh.

Lula hanya menggeleng, tersenyum tipis. "Terserah kamu deh. Sekarang aku capek banget. Mending kamu pulang."

Emil memasang wajah pura-pura tersinggung. "Baru sampai sudah diusir. Oke deh, besok kita ketemu di kantor. Bye!" katanya sambil bangkit berdiri, melambaikan tangan sebelum melangkah keluar dari apartemen.

Lula tetap duduk di tempatnya, pikirannya melayang. Apa yang sebenarnya diinginkan Rey? Kenapa dia begitu peduli sampai menelepon Emil berkali-kali? Semakin Lula memikirkannya, semakin banyak pertanyaan yang muncul di benaknya.

————-

Malam itu, di sebuah restoran mewah yang diterangi cahaya lilin, dua gelas wine beradu pelan, menghasilkan dentingan lembut yang berpadu dengan alunan musik biola. Suasana yang romantis terasa begitu kental, seolah dunia hanya milik mereka berdua.

Jack menatap wanita di depannya dengan penuh kelembutan. "Kamu suka?" tanyanya, senyuman hangat menghiasi wajahnya.

Gladys mengangkat kepalanya, menatap Jack dengan binar kebahagiaan di matanya. "Terima kasih, Jack. Ini benar-benar indah," ucapnya dengan suara lembut. "Aku sampai enggak tahu harus bilang apa."

Jack tersenyum kecil. "Aku hanya ingin setiap momen kita bersama terasa spesial, Dis. Kita jarang bertemu, jadi aku ingin malam ini berkesan buatmu."

Gladys menggigit bibirnya pelan sebelum tersenyum. "Dan kamu berhasil. Aku benar-benar menghargai semua ini."

"Selama kamu bahagia, itu sudah cukup buatku," ujar Jack, suaranya sarat ketulusan.

Mereka melanjutkan makan malam, menikmati hidangan yang tersaji dengan obrolan ringan. Namun, sesekali Jack mencuri pandang ke arah Gladys, mengagumi wanita yang telah lama mengisi hidupnya. Gladys, yang menyadari tatapan itu, menghela napas kecil sebelum menundukkan wajahnya, rona merah mulai muncul di pipinya.

"Jangan menatapku seperti itu, Jack. Aku jadi malu," katanya sambil tersenyum, menyelipkan helaian rambutnya ke belakang telinga.

Jack tertawa kecil. "Apa salahnya kalau aku ingin melihat tunanganku sendiri?"

Gladys mendesah pelan, tetapi senyumnya tetap mengembang. "Kita akan menghabiskan malam ini bersama, Jack. Apa itu belum cukup?"

Jack meletakkan garpunya, menatap Gladys lebih dalam. "Satu malam tentu saja tidak cukup, Dis. Kita terlalu jarang bertemu. Bahkan dalam setahun, kita bisa menghitung pertemuan kita dengan jari," nada suaranya mengandung sesuatu yang lebih dari sekadar keluhan. Ada kerinduan yang begitu nyata di sana.

Gladys terdiam sejenak sebelum akhirnya menunduk, merasakan beratnya kenyataan yang harus mereka jalani. "Aku tahu keadaan ini sulit," ucapnya lirih. "Tapi kamu tahu aku belum bisa berhenti bekerja. Aku mencintai pekerjaanku, Jack. Aku tidak mungkin tiba-tiba meninggalkan semuanya."

Jack menghela napas panjang, menyesap wine-nya sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Aku mengerti, Dis." Suaranya lebih lembut kali ini. "Aku hanya, merindukanmu."

Gladys menggigit bibirnya, hatinya berdesir mendengar kata-kata itu. Ia tahu Jack bukan tipe pria yang mudah mengungkapkan perasaannya, dan saat dia melakukannya, itu selalu datang dari hati yang paling dalam.

Perlahan, Gladys mengulurkan tangannya, menyentuh tangan Jack di atas meja. "Aku juga merindukanmu, Jack."

Jack menggenggam jemari Gladys dengan erat, seolah tidak ingin melepaskannya. Di antara mereka, kata-kata tak lagi diperlukan. Hanya ada tatapan yang berbicara lebih dari segalanya.

—------------

Lula menatap layar laptopnya dengan lega. Setelah beberapa jam berkutat dengan angka dan laporan, akhirnya pekerjaannya selesai. Ia meregangkan tubuhnya yang terasa kaku, bersiap untuk berkemas dan pulang.

Namun sebelum sempat memasukkan laptop ke dalam tas, suara langkah kaki terdengar mendekat. Ia mengenali suara itu—tegas dan penuh keyakinan. Tak lama kemudian, sosok Rey muncul di ambang pintu.

“Setelah ini, jangan pulang dulu. Saya ingin bicara,” kata Rey tanpa basa-basi.

Lula mengerutkan kening, sedikit terkejut. “Ada sesuatu yang penting, Pak?”

Rey menatapnya sekilas, ekspresinya tetap dingin seperti biasa. “Saya akan kembali dalam lima belas menit. Tunggu di sini.”

Tanpa menunggu jawaban, pria itu berbalik dan pergi begitu saja, meninggalkan Lula yang hanya bisa mendesah panjang.

“Seharusnya aku sudah di rumah sekarang,” gumamnya kesal. Ia menoleh ke arah jam dinding. Lima belas menit. Seharusnya tidak terlalu lama, tapi dengan rasa lelah yang sudah menumpuk, menunggu pun terasa melelahkan.

Lula menyandarkan kepalanya ke meja, mencoba mengisi waktu dengan menggulir layar ponselnya. Lima belas menit berlalu. Lalu dua puluh. Rey masih belum kembali.

Dengan perasaan jengkel yang mulai menguasai, ia akhirnya mengetik pesan.

Pak, ini sudah lebih dari lima belas menit. Saya masih di kantor, menunggu instruksi. Jangan sampai saya jadi tahanan kantor, ya.

Ia menekan tombol kirim dan meletakkan ponselnya di meja. Menghela napas, Lula melipat tangan di depan dada. Ia sudah sering berurusan dengan Rey yang seenaknya sendiri, tapi kali ini ia benar-benar ingin pulang dan beristirahat. Apa sebenarnya yang diinginkan bosnya itu?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 43 - Aku milikmu, Kamu milikku

    Jack berdiri diam beberapa saat, menatap balkon tempat sosok itu baru saja melambaikan tangan. Debur ombak di belakangnya seolah sirna, tergantikan oleh detak jantung yang menegang.Ia tidak menunggu lama.Langkah-langkahnya tegas, menyusuri jalur batu yang memisahkan villa mereka dengan unit lainnya.Begitu sampai di depan pintu kaca yang terbuka sebagian, Lula sudah berdiri di sana. Dia berdiri dengan santai. Dengan menggunakan gaun linen putih melekat pada tubuh rampingnya. Angin pantai meniup rambut panjangnya ke belakang, menjadikannya sosok yang terlalu mencolok untuk disebut sebagai ‘kebetulan’.“Bagaimana bisa kau di sini?” suara Jack rendah dan mengeras, mencoba menahan amarah yang mulai mendidih.Lula tersenyum, tenang dan seperti biasa, sedikit menggoda. Ia melangkah pelan ke arah Jack, jarinya menyentuh dada pria itu dengan ringan.“Memangnya kenapa?” katanya lembut. “Aku hanya sedang menghabiskan uangku unt

  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 42 - Sebuah Kejutan

    Uap hangat menyembur dari balik pintu kamar mandi yang terbuka perlahan. Jack keluar hanya dengan celana panjang hitam, tubuh bagian atasnya telanjang. Air masih menetes dari ujung rambutnya. Napasnya terdengar berat, seperti seseorang yang memikul sesuatu yang tak kasat mata. Dia berjalan mendekat, menaiki ranjang. Gladys berdiri membelakangi jendela, tubuhnya dibawah siluet cahaya temaram lampu gantung. Dia menatap Jack dengan tersenyum, malam ini adalah puncaknya. Gaun tidur yang tadi dia pakai, kini sudah dia lepas, dan tergantung rapi di kursi. Sekarang, hanya selembar renda putih tipis yang membalut tubuhnya, halus, nyaris menyatu dengan kulitnya.Saat Jack mendongak, pandangannya sempat berhenti sejenak. Hanya menatapnya sekejap, tapi cukup membuatnya gugup.“Jangan menatapku seolah aku akan menculikmu, Jack.”“Tidak ada yang mengatakan hal tersebut.”Gladys semakin mendekat. Bahkan bisa Jack rasakan hembusan n

  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 41 - Kau bisa mengakhirinya

    Hotel Brington, Kamar 2905 Langit malam menggantung kelabu, mengintip lewat tirai tipis kamar hotel yang mewah dan remang. Satu-satunya cahaya berasal dari lampu gantung kristal di sudut ruangan, memantulkan bayangan emas pucat ke lantai marmer. Jack Adderson berdiri di dekat minibar, menuang dua gelas wine merah ke dalam kristal bening. Tangannya gemetar halus, nyaris tak terlihat oleh siapa pun kecuali dirinya sendiri. Wajahnya lelah, bukan karena hari yang panjang, tapi karena keputusan yang menggantung di kerongkongan. Pintu kamar diketuk satu kali. Lalu dua kali. Ia menoleh, menarik napas dalam, dan berjalan membuka pintu. Di sana berdiri Lula. Angin dari lorong luar mengibarkan sedikit ujung mantel panjangnya, memperlihatkan siluet dress hitam dengan belahan samar di sisi pahanya. Rambutnya tergerai sempurna, dan bibir merahnya terlihat mencolok di antara pencahayaan yang lembut. Ia tak berkata apa pun, hanya menatap Jack seolah seluruh dunia tidak ada di antara mereka,

  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 40 - Pernikahan

    Lula duduk di ruang tamu apartemennya, televisi menyala tanpa suara. Pancaran cahaya dari layar memantul di permukaan meja kaca, menari di dinding putih yang tenang. Di layar itu, terpampang wajah-wajah bahagia, Gladys Pramono dan Jack Adderson, berdiri berdampingan di altar yang megah, dikelilingi taman bunga yang dibuat seperti negeri dongeng.Serangkaian gambar bergerak cepat. Senyum Jack yang khas, tangan Gladys yang digenggam erat, sorakan para tamu penting, dan kalimat penutup dari pembawa berita. "Hari ini, pernikahan antara pewaris Pramono Corporation, Gladys Pramono, dan miliarder muda Jack Adderson resmi digelar. Selamat kepada Tuan dan Nyonya Adderson atas pernikahan mereka."Lula menyandarkan tubuhnya ke sofa. Rambutnya sedikit berantakan, satu tangan menopang dagunya, sementara jemarinya yang lain mengetuk perlahan lengan kursi. Tak ada air mata. Tak ada teriakan. Yang ada hanya satu senyum kecil—halus, menghina, seperti duri manis di pinggir bibir.“Akhirnya mereka meni

  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 39 - Kabar Burung

    Lula duduk sendirian di tepi ranjang, selimut tipis melingkari tubuhnya. Punggungnya tegak, tetapi matanya kosong menatap lampu gantung yang berayun perlahan di langit-langit kamar. Bayangan tubuh Jack masih terasa di kulitnya—sentuhannya, erangannya, bisikannya yang meresap sampai ke relung yang terdalam.Namun sekarang, hening. Dan hampa.Jack sudah pergi sejak satu jam lalu. Katanya ada rapat mendadak, tapi Lula tahu, itu hanya alasan yang mudah diucapkan oleh seorang pria yang terlalu pandai bersembunyi. Tidak ada ciuman perpisahan. Tidak ada pelukan. Hanya pintu yang tertutup pelan dan langkah yang menjauh.Pikirannya tidak berkutat di sana. Ia mengingat kembali bagaimana semuanya bermula—bukan dari tawaran pekerjaan sebagai sekretaris Jack, tapi jauh sebelum itu. Dari saat dunia seolah berhenti mengakuinya sebagai seorang anak.Ia anak dari Edhi Pramono. Anak kandungnya.Tapi setelah ibunya meninggal, pria itu menikah lagi, dan melupakannya. Dan sejak saat itu, Lula tak punya te

  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 38 - Persiapan Pernikahan

    Pagi itu, Gladys sudah sibuk dengan berbagai persiapan. Ia tidak ingin membuang waktu. Jika ini harus terjadi, maka semuanya harus sempurna. Di sebuah butik eksklusif, ia berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun pengantin putih dengan desain klasik yang elegan. Sofia duduk di sofa, mengamati putrinya dengan kritis. “Gaun ini bagus, tapi aku rasa kita bisa mencari yang lebih istimewa,” katanya akhirnya. “Sesuatu yang lebih… berkelas.” Gladys hanya tersenyum kecil. Ia tidak terlalu peduli gaun seperti apa yang akan ia kenakan, karena pikirannya jauh dari sini. Jack. Ia memikirkan pria itu—reaksinya saat ia setuju untuk menikah lebih cepat. Ada sesuatu dalam tatapannya yang tidak bisa ia artikan. Keraguan? Atau rasa bersalah? Gladys mengalihkan pandangannya ke cermin. Tidak, ia tidak bisa membiarkan pikirannya dipenuhi oleh hal-hal yang tidak perlu. Ia percaya bahwa Jack mencintainya. Salah satu pegawai butik mendekat, membawa beberapa pilihan gaun lain. “Nona Gladys, kami

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status