Share

Berdebar

Di atas kasur, Lula meregangkan tubuh. Semalam suntuk, dia harus menyelesaikan pekerjaannya. Karena Rey, sudah berkicau membuat kepalanya pening. Dia meminta pekerjaan di selesaikan malam itu juga, dengan kabar yang mendadak.

Wanita itu bangkit, dan membenahi rambutnya yang berantakan. Menjepit rambutnya dengan jepit jedai berwarna putih, dan mengarah ke atas. Lalu, wanita itu turun dari kasur, mengenakan sandalnya menuju ke dapur.

Mengingat hari ini adalah hari Minggu, Lula tak memiliki rencana apapun selain merebahkan diri bersantai di apartemennya. Namun, itu hanya wacana saja, sebelum dia menemukan isi kulkas yang kosong, dan hanya terdapat beberapa botol mineral yang dia simpan.

"Ah, sial. Aku belum berbelanja rupanya."

Niat hati untuk bersantai. Namun, di luar dugaan. Tak ada bahan yang bisa dia masak. Dia harus terpaksa mencari sarapan, dan berbelanja bulanan nantinya.

Wanita itu kembali naik ke atas, membersihkan diri sebelum pergi berbelanja nantinya. Dia berendam di bath up, dan membasuh rambutnya yang sudah mulai lepek. Tiga puluh menit selesai. Wanita itu berganti pakaian yang tak terlalu formal, hanya hoodie dan jeans pendek di atas lutut.

Baru saja dia keluar dari apartemennya, Lula berpapasan dengan Rey, yang menjadi tetangga apartemennya sekarang.

"Pagi."

Lula yang melihat Rey, tersenyum tipis, "Pagi Pak Rey. Bapak sudah mulai pindah?"

Rey terlihat mengangguk, "Kemarin. Saya kebetulan baru saja jalan - jalan di sekitar. Kamu mau ke mana, membawa tas sebesar itu?"

Lula melirik kelarah tas yang dia pegang, "Oh ini, saya mau belanja kebutuhan bulanan Pak. Sekalian mau cari sarapan."

"Kebetulan sekali. Saya juga belum sarapan. Bagaimana kalau kita cari sarapan bersama? Saya tadi lihat di ujung sana ada bubur ayam. Kamu suka?"

Lula tersenyum canggung, “Em, suka, Pak."

"Ya sudah, ayo!"

Lula menahan Rey untuk bergerak dari posisinya. Dia menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Pak, sepertinya saya tidak bisa. Saya akan berbelanja terlebih dahulu. Baru sarapan."

"Ya sudah. Lagian saya juga bisa ikut belanja juga. Saya kan habis pindah ke apartemen, La. Sekalian saja. Kita naik mobil saya saja. Ayo!"

Rey pergi meninggalkan Lula yang terbengong.

"Kok malah jadi begini?"

Di dalam mobil, Lula terdiam. Sungguh rasa canggung menyelimutinya, meski Rey mencoba mengajak sesekali dua kali untuk berbincang. Pikirannya masih memikirkan situasi yang menjebaknya seperti ini.

"Saya minta maaf."

Lula menoleh ke sisi kanan, tepat di mana Rey mengemudikan mobil, "Minta maaf kenapa Pak?"

"Membebani kamu. Semalam saya terus mendesak kamu untuk menyelesaikan proposal."

Lula tersenyum tipis, "Jangan minta maaf Pak. Itu sudah tugas saya untuk menyelesaikan pekerjaan saya. Saya di gaji kan buat bekerja. Wajar sih Pak."

Mendengar jawaban Lula, Rey tersenyum. Lula melihat senyuman pria itu sangat manis. Terlebih, kedua lesung pipit yang pria itu miliki. Rey, atasannya itu sangat tampan. Lula tak bisa munafik untuk tak mengatakan bahwa atasannya sangat tampan. Meski pun pria itu memiliki issue menyebalkan, saat bekerja.

"Sudah sampai."

Lula yang masih menatap Rey, tak mengidahkan pria itu berbicara. Melihat wanita itu melamun, Rey mendekatkan tangannya di depan wajah Lula, dan menggerakkan ke atas bawah seperti melambai.

"Kamu melamun?"

Teguran Rey, berhasil membuat Lula tersadar. Dia menggaruk tengkuknya dan memalingkan wajah yang pastinya memerah.

"Ah, maaf, Pak. Saya sedikit kurang fokus."

"Tidak apa - apa. Ayo, turun. Sudah sampai."

"Iya, Pak."

Keduanya turun dan mulai masuk ke dalam mall. Lula bergerak mendekati troli, dan akan mengambilnya. Namun, saat dia mencoba menarik, dia mengalami kesulitan.

Rey, melihat Lula mengalami kesulitan sigap mendekat. Tangan pria itu begitu tanggap mengambil alih troli, dan menariknya. Sehingga terlihat dari satu sisi, Ray mengukung tubuh Lula ketika pria itu membantunya.

Lula tertegun, karena menyadari posisi mereka yang begitu dekat. Dia, meneguk salivanya dengan gugup.

"Lain kali, bilang ketika merasa kesulitan. Jangan sungkan, La."

Senyuman itu, senyuman yang sangat manis. Bahkan, debaran menggelayar di dada. Semua karena ulah Rey, dia merasa gugup dan salah tingkah seperti ini.

Rey yang masih setia tersenyum, tertawa tipis melihat Lula menegang. Dengan gemas, Rey mengelus surai Lula pelan, "Jangan terlalu sering melamun. Tidak baik."

Lalu, pria itu menarik diri dan mengambil trolinya. Mendorong masuk lebih dahulu pergi meninggalkan Lula.

"Gawat. Pak Rey bisa buat aku gila!" gumam Lula khawatir.

Wanita itu menggelengkan kepalanya. Dia harus sadar, tak seharusnya dia merona karena seorang Rey?

Lula melangkah dan menyusul pria itu dengan trolinya. Terlihat, Rey sedang mengambil beberapa barang dan memasukkan ke dalam trolinya. Begitu juga dengan Lula, dia melakukan hal yang sama.

Saat Lula sedang melihat harga barang, Rey mendekat. Pria itu menyodorkan kedua produk di depan Lula.

"Menurut kamu, lebih harum yang kanan atau kiri? Saya ingin mencoba wangi yang berbeda. Parfume yang lama sudah bosan."

"Parfume Pak? Boleh saya coba hirup aromanya?"

"Tentu."

Rey memberikan salah satu parfume terlebih dahulu kepada Lula. Wanita itu menerimanya dan menyemprotkan ke tangannya, lalu mencium aromanya.

Parfume pertama yang Rey berikan Harumnya begitu enak. Lula menyukainya.

"Bau parfume ini sangat enak. Saya suka, aroma kayu cendanya kuat. Terkesan sangat maskulin jika Bapak menggunakannya. Apa lagi, tidak hanya itu. Saya menghirup aroma mint yang tidak membuat pusing ketika di gunakan. Pasti Bapak juga akan su-"

Belum selesai Lula berbicara, tangannya sudah di tarik oleh Rey. Rey mendekatkan tangan wanita itu dua centi di depan hidungnya. Dan menghirupnya.

"Benar kata kamu. Saya suka."

Bisa Lula rasakan sapuan napas milik pria itu di kulitnya. Sapuan yang Rey berikan, membuat Lula menahan napasnya sejenak.

Rey menarik dirinya, melepaskan tangan Lula. "Saya ambil yang ini saja."

"Tapi yang satunya—"

Rey mengembalikan parfume satunya, dan memasukkan parfume yang pertama ke dalam troli.

"Saya terlanjur suka, La. Saya tidak akan membandingkan yang lainnya dengan apa yang saya suka. Karena percuma. Saya akan kembali ke opsi pilihan pertama."

Lula mengerjapkan mata. Rey, cukup aneh baginya. Kalau dia menyuruh wanita itu membandingkan, lalu kenapa hanya satu yang dia coba hirup? Bukan kah itu bukan sebuah opsi?

***

Sebelum pulang, memang Rey memaksa Lula ke tempat makan. Kebetulan mereka berhenti di salah satu restoran Nusantara, yang cukup nyaman dan tak terlalu ramai. Duduk saling berhadapan, hanya tersekat oleh hidangan yang sudah tersaji di antara keduanya.

"Kamu sudah berapa lama bekerja di perusahaan saya?" tanya Rey yang tiba - tiba.

Lula yang sedang meminum, menoleh ke arah Rey, "Bapak tanya ke saya berapa lama?"

Rey dengan santai mengangguk, “Iya."

"Serius? Bapak tidak tau? Saya karyawan Bapak loh. Masa tidak ingat," balas Lula.

"Pekerja saya kan tidak hanya kamu saja. Tapi ribuan. Masa iya saya harus menghapal berapa lama kalian mengabdi di perusahaan saya? Tidak kan?"

"Saya sudah lumayan lama. Dari sebelum kenaikan gaji, sampai gajinya akhirnya naik," kata Lula menyengir di sela - sela makannya.

"Oh iya? Berarti sudah ada dua tahunan, La?"

"Lebih sih, Pak."

"Kamu suka saya?" tanya Rey tiba - tiba.

"Uhuk!"

Lula mendengarnya pun tersedak.

"Su— suka?"

Rey tersenyum, "Maksud saya, kamu suka saya jadi atasan kamu?"

Lula menggigit bibir bawahnya, dan tersenyum. Baru saja di akan salah paham. Tapi, Rey sudah menjelaskan terlebih dulu.

"Oh, suka - suka aja sih Pak."

"Terima kasih. Silakan lanjutkan makanan kamu. Maaf, sambil menyela," ujar Rey, sambil tersenyum.

Lula yang merasa canggung hanya menunduk, dan kembali melanjutkan makannya, "Engga apa - apa, Pak," ujarnya pelan.

"Pak Rey emang kadang buat jantungan. Heran..."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status