Share

Pulang Bersama Jack

Malam itu, Lula pulang bersama dengan Jack. Pria itu mengantarnya sesuai dengan permintaan Camelia dan juga Eve.

Di dalam mobil, Jack fokus menyetir ke depan. Jangankan mengobrol, pria itu bahkan tak menoleh ke sisi kiri untuk melihat Lula. Pria itu bagai patung hidup.

Melihat Jack yang tak mencoba berinteraksi, Lula berinisiatif. Dia membuka suaranya, “Terima kasih atas tumpangannya.”

Tak ada jawaban dari Jack, dia memilih diam.

Karena merasa aneh, wanita itu menutup mulutnya.

Dia lebih baik diam karena sepertinya Jack tak suka dengan kehadiran dirinya.

Oleh sebab itu, Lula memilih bersandar dan menatap ke jendela mobil. Setidaknya, dia dapat melihat jalanan yang mereka lalui di tengah malamnya gemerlap lampu ibu kota.

Namun, saat hampir setengah perjalanan mereka, tiba - tiba mobil yang di kendarai keduanya terhenti di jalanan. Lula, yang sadar menjadi khawatir.

“Eh?”

Sama dengan Jack, pria itu juga panik dan melihat mobil yang mereka tumpangi berhenti di tengah jalan.

“Sial! Mobilnya mogok,” gumam Jack.

Dia lalu ke luar, dan membuka mesin mobil. Dia harus memastikan apa yang terjadi pada mobilnya.

Saat Jack membuka mesin, pria itu terbatuk. Bagaimana tidak? Uap yang keluar dari mesin langsung mengenai wajahnya. Uapnya begitu kencang menamparnya.

Melihat Jack terbatuk di luar, Lula merasa khawatir. Dia lalu turun dari mobil, dan mendekati pria itu.

“Apa ada yang rusak pada mesinnya?” tanya Lula.

Jack, sekilas melirik Lula, “Sepertinya kehabisan aki.”

Jack kembali memeriksa mesin mobil. Dari sekian banyaknya mobil yang dia pilih, kenapa justru mobil yang habis akinya?

Sementara itu, Lula yang berada di dekat Jack mulai merasa ngeri. Jalanan yang menjadi perhentian mereka sangat sepi dan minim penerangan. Dia takut ada orang jahat yang mengepung mereka.

“Sepertinya, kita harus segera menemukan bengkel. Jalanan sepi sekali,” ujar Lula.

“Tanpa kamu memberitahu pun, saya juga paham.”

Jack menuju ke mobil, dan merogoh ponselnya di dashboard. Tapi sialnya ponsel miliknya lowbath dan mati.

“Sial! Dalam keadaan seperti ini, malah tidak bisa di harapkan! Ponsel sialan.”

Melihat Jack yang marah - marah Lula mendekatinya, “Ada apa?”

“Ponsel saya mati, saya tidak bisa menghubungi mekanik untuk kemari. Apa kamu membawa ponsel?”

“Ponsel?”

Lula merogoh sakunya dan mencari ponselnya. Tapi, naasnya, dia malah meninggalkannya di ruang tamu mansion Jack.

Wanita itu meringis menatap Jack, “Aku sepertinya meninggalkan ponsel di mansion keluargamu. Maaf.”

Jack memejamkan mata, sambil memijat pangkal hidungnya. Harapan setitik tadi langsung sirna atas kebodohan dari Lula.

“Lalu bagaimana? Hari semakin malam, dan aku takut,” cicit Lula.

“Jalan satu - satunya adalah mencari bengkel terdekat,” jelas Jack.

“Tapi, bagaimana dengan mobilmu?” tanyanya.

“Jika kamu sanggup mengangkat bersamamu, tidak masalah,” sarkas Jack.

Pria itu lalu pergi dari sana. Melihat Jack yang berjalan, Lula pun berlari membuntuti pria itu.

“Hey! Tunggu!”

Lula berlari mengikuti Jack bersamanya. Mobil milik Jack di tinggal, dengan keadaan mogok. Sementara keduanya berjalan menyusuri malam mencari bengkel terdekat.

Lula, berjalan dengan langkah lebar menyesuaikan langkah kaki milik Jack yang panjang. Dia sedikit kesulitan, namun menyesuaikan dirinya.

Sepanjang mereka berjalan, belum juga menemukan bengkel. Yang ada malah jalanan yang sepi tanpa ada aktivitas manusia yang terlihat.

“Di mana bengkelnya? Apa mereka tidak membuka di daerah sini? Kenapa sepi sekali?” gumam Lula.

*Duar!*

Saat keduanya sedang berjalan, ada suara petir terdengar menggelegar.

“Argh!” Lula lalu menutup mata dan telinga secara bersama.Dia berjongkok dengan ketakutan.

Jack, menghentikan langkah dan melihat Lula yang ketakutan.

“Apa kamu masih akan terus berjongkok di sini?” tanya Jack.

Pria itu merasa lelah.

Baru saja pulang dari kegiatan kantornya, malah terjebak pada mobil mogok dan kini menguras tenaganya untuk mencari bengkel.

“Aku takut …” cicit Lula.

Dia masih terus memegangi telinga dan memejamkan mata.

Jack melihatnya mendengus. Dia lalu mendekati Lula, memegang bahu wanita itu dan sambil berjongkok.

“Jika kamu berdiam diri di sini, apa ada jaminan bahwa petir tidak akan menyambar kamu?”

Lula samar mendengar pertanyaan Jack, menggeleng.

“Tidak. Tapi aku sungguh takut sekarang. Suaranya membuat kakiku lemas. Mengerikan.”

“Itu hanya suara petir saja. Lagian, seharusnya kamu tidak perlu takut dengan suara petir. Mereka tidak akan menyambar.”

“Aku takut karena merasa dia akan menyambarku jika aku membuka mata,” cicit Lula.

“Tidak. Dia tak akan menyambar kamu selama kamu tidak berteduh di bawah pohon.”

Lula pun mendongak. Dia mengerjapkan mata, melihat maniknya bertemu dengan manik milik Jack yang bernetra abu.

Lula terdiam. Begitu sama dengan Jack. Jarak keduanya lumayan dekat untuk keadaan yang saling tatap.

Lambat laun, kenapa Lula merasa pergerakan nadinya cepat. Bahkan, degupan jantungnya serasa disco seperti di kelab malam.

“Sepertinya, kita harus kembali berjalan mencari bengkel agar bisa pulang.”

Setelah mengatakannya Jack bangkit bangun, dan berdehem. Lula pun yang merasa salah tingkah berdiri dan memalingkan wajah ke arah yang lain.

“Sepertinya kita memang harus lanjut.”

“Ayo!”

“Iya.”

Lula akan melangkah untuk kembali menyusuri jalan, namun, suara petir kembali terdengar dan bahkan lebih kencang terdengar.

“Duaar!!”

Lula yang terkejut refleks meloncat, dan memegang erat di sekitarnya.

“Astaga!! Aku takut …”

Tanpa Lula sadari, dia meloncat dalam dekapan Jack. Mata pria itu membalak ketika Lula meloncat pada dekapannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status