Home / Romansa / Hasrat Wanita Kedua / Bab 7 - Lingkar kesempatan

Share

Bab 7 - Lingkar kesempatan

Author: Gumi Gula
last update Last Updated: 2022-04-21 05:31:31

Lula merutuk pelan dalam hati, merasa malu ketika baru menyadari bahwa kaus yang ia kenakan terlalu tipis, memperlihatkan bayangan bra-nya dengan jelas. Apa Eve tidak salah meminjamkan pakaian? Rasa tidak nyaman menggelayuti dirinya saat ia melangkah keluar dari kamar mandi, menundukkan pandangan ketika kembali ke sofa di ruang tamu.

Eve masih duduk di sana, tampak asyik menonton televisi tanpa menyadari kegelisahan yang dirasakan Lula. Merasa sofa di sebelahnya bergoyang, Eve menoleh santai dan tersenyum lebar. "Sudah selesai ganti baju?"

"Iya, terima kasih," jawab Lula, mengusap wajahnya yang sedikit lembab. 

"Besok aku akan mengembalikannya setelah mencucinya," lanjutnya dengan nada ragu.

Eve tertawa kecil. "Tidak perlu buru-buru. Santai aja, kamu bisa kembalikan kapan pun sebisa kamu."

Lula tersenyum canggung. "Baiklah," katanya, meski rasa tidak nyaman itu belum sepenuhnya hilang.

Dia mencoba mengalihkan perhatian dengan menonton film yang diputar di televisi. Namun, suasana tetap terasa canggung. Seakan memahami situasi, ponsel Eve tiba-tiba bergetar di atas meja, menarik perhatian mereka. Eve melirik layar sebentar, lalu tersenyum lebar.

"La, aku harus angkat telepon sebentar. Tunggu di sini, ya?" katanya sambil meraih ponselnya dan berjalan keluar ruangan.

Lula hanya mengangguk, meskipun di dalam hati ia merasa semakin kikuk ditinggalkan sendirian. Dia menatap layar televisi, berusaha fokus pada film horor yang masih berlangsung. Tapi beberapa menit kemudian, perhatiannya teralihkan oleh meja di depannya yang penuh dengan camilan. Ia mengambil satu dan mengunyahnya pelan.

Namun, tiba-tiba ia tersedak. Entah karena camilan yang ditelannya terlalu cepat atau karena kecanggungan yang semakin menjadi. Dengan cepat, ia meraih segelas air dan meminumnya untuk meredakan tenggorokan yang terasa kering.

Ketika Lula kembali memusatkan perhatian pada layar, ekspresi wajahnya berubah. Film yang tadinya penuh ketegangan kini bergeser ke adegan yang jauh lebih intim. Pasangan di layar mulai bertukar tatapan penuh arti, dan suasana yang sebelumnya mencekam berubah menjadi sensual. Lula mengerutkan kening, merasa tak nyaman dengan perubahan tiba-tiba itu.

"Apa-apaan ini?" gumamnya pelan. "Kenapa film horor jadi begini?"

Dia mencoba mencari remote untuk mengganti saluran, tapi tidak menemukannya. Mungkin Eve membawanya saat pergi.

Lula menghela napas, mencoba mengabaikan layar televisi. Namun, suasana semakin tidak nyaman ketika suara langkah kaki terdengar dari arah tangga. Ia mendongak dan melihat Jack turun ke ruang tamu. Pria itu berhenti sejenak, tatapannya jatuh pada layar televisi yang kini menampilkan adegan yang jelas tidak pantas untuk ditonton bersama orang lain.

Jack mengernyit, ekspresinya datar tetapi terlihat sedikit jengah. Lula langsung merasa panas di wajahnya. Dia yakin pria itu pasti berpikir yang macam-macam tentang dirinya.

"Sial, kenapa aku harus ada di sini saat ini?" batinnya panik.

Jack tidak mengatakan apa pun, hanya menghela napas pelan sebelum berbalik dan kembali menaiki tangga. Lula hanya bisa menatapnya dari sudut mata, berharap pria itu tidak menilainya buruk.

Setelah beberapa saat, Lula memutuskan untuk bangkit dari sofa. Mungkin lebih baik baginya untuk menjauh sejenak dari ruangan ini. Dia berjalan menuju kamar mandi, membasuh wajahnya untuk menenangkan diri. Ketika keluar, rambutnya setengah basah dan ia memutuskan untuk mengikatnya ke atas.

Saat kembali ke ruang tamu, dia mencoba meregangkan tubuhnya yang terasa tegang. Namun, di tengah gerakan itu, ia merasakan tatapan dari arah tangga. Lula menoleh dan mendapati Jack berdiri di sana, menatapnya tanpa suara. Tatapannya datar, tapi cukup jelas bahwa dia menyadari setiap gerakan Lula.

Pria itu sempat ragu sejenak sebelum akhirnya memalingkan wajah dan kembali naik ke lantai atas. Lula hanya bisa menghela napas, perasaan canggung itu kembali muncul.

Belum sempat suasana benar-benar tenang, suara pintu depan terbuka. Eve kembali dengan langkah tergesa-gesa, wajahnya tampak sedikit panik.

"La, aku harus pergi sebentar. Bisa nggak kamu tunggu di sini?" katanya dengan nada cemas.

"Oh, iya, nggak masalah," jawab Lula, meski sedikit terkejut dengan sikap terburu-buru Eve.

"Kalau kamu nggak bisa mengantarku pulang, aku bisa naik taksi kok."

"Nggak!" seru Eve, suaranya nyaring. "Aku nggak akan biarin kamu pulang sendirian. Ini sudah malam. Taksi? Nggak aman. Tunggu aku sebentar aja, oke?"

Sebelum Lula bisa membalas, Eve sudah berlari keluar. Lula menghela napas panjang, menatap pintu yang tertutup cepat. "Kenapa semua jadi rumit begini? Pulang dengan taksi bukan masalah besar, kan?" pikirnya sambil menggelengkan kepala.

Ia kembali duduk di sofa, berusaha mengabaikan rasa canggung yang masih menyelimuti dirinya. Namun, langkah kaki kembali terdengar dari arah tangga. Jack turun dari kamarnya, kali ini dengan kunci mobil di tangan.

"Jack, kamu harus antar Lula pulang," suara Camelia terdengar dari arah dapur. Wanita itu muncul dengan senyum ramah di wajahnya.

"Mom, aku ada urusan. Aku tidak bisa membawanya," jawab Jack tanpa melihat ke arah ibunya.

Camelia menghela napas. "Jack, apa susahnya mengantar Lula terlebih dahulu?"

Lula menatap mereka dengan canggung. Ia tidak ingin merepotkan siapa pun. "Mom, tidak perlu repot. Aku bisa naik taksi saja."

Camelia menggeleng. "Tidak, sayang. Jack yang akan mengantarmu. Sudah malam, aku ingin kamu pulang dengan aman."

Jack tampak kesal, tapi tidak berdebat lebih jauh. Lula semakin merasa tidak enak.

"Mom, aku naik taksi saja. Aku terbiasa naik taksi kalau mobilku sedang di bengkel. Aku benar-benar nggak mau merepotkan," ujar Lula, berusaha mencari jalan keluar.

"Tidak, Jack yang akan mengantarmu," tegas Camelia. "Jack, Mommy mau kamu antar Lula dengan selamat. Tidak ada bantahan."

Jack hanya berdehem, terlihat enggan tetapi tak berkata apa-apa.

Lula menghela napas dalam. Malam ini benar-benar terasa lebih panjang daripada yang ia duga.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 43 - Aku milikmu, Kamu milikku

    Jack berdiri diam beberapa saat, menatap balkon tempat sosok itu baru saja melambaikan tangan. Debur ombak di belakangnya seolah sirna, tergantikan oleh detak jantung yang menegang.Ia tidak menunggu lama.Langkah-langkahnya tegas, menyusuri jalur batu yang memisahkan villa mereka dengan unit lainnya.Begitu sampai di depan pintu kaca yang terbuka sebagian, Lula sudah berdiri di sana. Dia berdiri dengan santai. Dengan menggunakan gaun linen putih melekat pada tubuh rampingnya. Angin pantai meniup rambut panjangnya ke belakang, menjadikannya sosok yang terlalu mencolok untuk disebut sebagai ‘kebetulan’.“Bagaimana bisa kau di sini?” suara Jack rendah dan mengeras, mencoba menahan amarah yang mulai mendidih.Lula tersenyum, tenang dan seperti biasa, sedikit menggoda. Ia melangkah pelan ke arah Jack, jarinya menyentuh dada pria itu dengan ringan.“Memangnya kenapa?” katanya lembut. “Aku hanya sedang menghabiskan uangku unt

  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 42 - Sebuah Kejutan

    Uap hangat menyembur dari balik pintu kamar mandi yang terbuka perlahan. Jack keluar hanya dengan celana panjang hitam, tubuh bagian atasnya telanjang. Air masih menetes dari ujung rambutnya. Napasnya terdengar berat, seperti seseorang yang memikul sesuatu yang tak kasat mata. Dia berjalan mendekat, menaiki ranjang. Gladys berdiri membelakangi jendela, tubuhnya dibawah siluet cahaya temaram lampu gantung. Dia menatap Jack dengan tersenyum, malam ini adalah puncaknya. Gaun tidur yang tadi dia pakai, kini sudah dia lepas, dan tergantung rapi di kursi. Sekarang, hanya selembar renda putih tipis yang membalut tubuhnya, halus, nyaris menyatu dengan kulitnya.Saat Jack mendongak, pandangannya sempat berhenti sejenak. Hanya menatapnya sekejap, tapi cukup membuatnya gugup.“Jangan menatapku seolah aku akan menculikmu, Jack.”“Tidak ada yang mengatakan hal tersebut.”Gladys semakin mendekat. Bahkan bisa Jack rasakan hembusan n

  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 41 - Kau bisa mengakhirinya

    Hotel Brington, Kamar 2905 Langit malam menggantung kelabu, mengintip lewat tirai tipis kamar hotel yang mewah dan remang. Satu-satunya cahaya berasal dari lampu gantung kristal di sudut ruangan, memantulkan bayangan emas pucat ke lantai marmer. Jack Adderson berdiri di dekat minibar, menuang dua gelas wine merah ke dalam kristal bening. Tangannya gemetar halus, nyaris tak terlihat oleh siapa pun kecuali dirinya sendiri. Wajahnya lelah, bukan karena hari yang panjang, tapi karena keputusan yang menggantung di kerongkongan. Pintu kamar diketuk satu kali. Lalu dua kali. Ia menoleh, menarik napas dalam, dan berjalan membuka pintu. Di sana berdiri Lula. Angin dari lorong luar mengibarkan sedikit ujung mantel panjangnya, memperlihatkan siluet dress hitam dengan belahan samar di sisi pahanya. Rambutnya tergerai sempurna, dan bibir merahnya terlihat mencolok di antara pencahayaan yang lembut. Ia tak berkata apa pun, hanya menatap Jack seolah seluruh dunia tidak ada di antara mereka,

  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 40 - Pernikahan

    Lula duduk di ruang tamu apartemennya, televisi menyala tanpa suara. Pancaran cahaya dari layar memantul di permukaan meja kaca, menari di dinding putih yang tenang. Di layar itu, terpampang wajah-wajah bahagia, Gladys Pramono dan Jack Adderson, berdiri berdampingan di altar yang megah, dikelilingi taman bunga yang dibuat seperti negeri dongeng.Serangkaian gambar bergerak cepat. Senyum Jack yang khas, tangan Gladys yang digenggam erat, sorakan para tamu penting, dan kalimat penutup dari pembawa berita. "Hari ini, pernikahan antara pewaris Pramono Corporation, Gladys Pramono, dan miliarder muda Jack Adderson resmi digelar. Selamat kepada Tuan dan Nyonya Adderson atas pernikahan mereka."Lula menyandarkan tubuhnya ke sofa. Rambutnya sedikit berantakan, satu tangan menopang dagunya, sementara jemarinya yang lain mengetuk perlahan lengan kursi. Tak ada air mata. Tak ada teriakan. Yang ada hanya satu senyum kecil—halus, menghina, seperti duri manis di pinggir bibir.“Akhirnya mereka meni

  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 39 - Kabar Burung

    Lula duduk sendirian di tepi ranjang, selimut tipis melingkari tubuhnya. Punggungnya tegak, tetapi matanya kosong menatap lampu gantung yang berayun perlahan di langit-langit kamar. Bayangan tubuh Jack masih terasa di kulitnya—sentuhannya, erangannya, bisikannya yang meresap sampai ke relung yang terdalam.Namun sekarang, hening. Dan hampa.Jack sudah pergi sejak satu jam lalu. Katanya ada rapat mendadak, tapi Lula tahu, itu hanya alasan yang mudah diucapkan oleh seorang pria yang terlalu pandai bersembunyi. Tidak ada ciuman perpisahan. Tidak ada pelukan. Hanya pintu yang tertutup pelan dan langkah yang menjauh.Pikirannya tidak berkutat di sana. Ia mengingat kembali bagaimana semuanya bermula—bukan dari tawaran pekerjaan sebagai sekretaris Jack, tapi jauh sebelum itu. Dari saat dunia seolah berhenti mengakuinya sebagai seorang anak.Ia anak dari Edhi Pramono. Anak kandungnya.Tapi setelah ibunya meninggal, pria itu menikah lagi, dan melupakannya. Dan sejak saat itu, Lula tak punya te

  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 38 - Persiapan Pernikahan

    Pagi itu, Gladys sudah sibuk dengan berbagai persiapan. Ia tidak ingin membuang waktu. Jika ini harus terjadi, maka semuanya harus sempurna. Di sebuah butik eksklusif, ia berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun pengantin putih dengan desain klasik yang elegan. Sofia duduk di sofa, mengamati putrinya dengan kritis. “Gaun ini bagus, tapi aku rasa kita bisa mencari yang lebih istimewa,” katanya akhirnya. “Sesuatu yang lebih… berkelas.” Gladys hanya tersenyum kecil. Ia tidak terlalu peduli gaun seperti apa yang akan ia kenakan, karena pikirannya jauh dari sini. Jack. Ia memikirkan pria itu—reaksinya saat ia setuju untuk menikah lebih cepat. Ada sesuatu dalam tatapannya yang tidak bisa ia artikan. Keraguan? Atau rasa bersalah? Gladys mengalihkan pandangannya ke cermin. Tidak, ia tidak bisa membiarkan pikirannya dipenuhi oleh hal-hal yang tidak perlu. Ia percaya bahwa Jack mencintainya. Salah satu pegawai butik mendekat, membawa beberapa pilihan gaun lain. “Nona Gladys, kami

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status