Share

Lingkar kesempatan

Sial!

Bagaimana bisa dia tak melihat bahwa bra miliknya tercetak jelas di kaosnya. Pasti ini karena minuman yang Eve tumpahkan, membuat terlihat jelas.

Dengan malu, Lula keluar dari kamar mandi. Dia menuju ke sofa, bergabung kembali pada Eve yang asik menonton.

Merasa kursi sofa bergoyang, Eve menoleh, “Sudah selesai berganti?”

“Iya. Terima kasih. Besok aku akan mengembalikannya setelah mencucinya.”

Eve terkekeh lalu berkata, “Kenapa terburu - buru? Santai. Aku tidak memaksa harus mengembalikan segera. Kamu bisa mengembalikan jika waktu senggang.”

“Ah, baiklah.”

*Dret*

Ponsel Eve bergetar. Dia melihat panggilan di atas meja dan tersenyum merekah.

“La, aku harus mengangkat panggilan sebentar. Kamu bisa tunggu di sini.”

Dia bangkit dari sana. Tinggallah Lula sendiri bersama televisi yang menyala dengan tayangan horror di sana.

Lula, menonton sendiri sambil sesekali memakan cemilan yang sudah di sediakan oleh Eve untuknya.

Tak seling beberapa detik, Lula terbatuk. Dia tersedak cemilannya dengan keras. Wanita itu menepuk dadanya sambil meminum.

Tayangan yang begitu horror, berubah menjadi erotis seketika. Layar di depannya menampilkan pasangan muda yang bercumbu di atas sofa dengan panasnya. Sang pria begitu lihai mengusap paha putih lawan jenisnya, dengan tak melepas tautan pada bibirnya.

Seketika suhu ruang ber— Ac menjadi panas. Saking panasnya, Lula menjadi berkeringat. Dia ingin mengganti channel televisi pun tak bisa karena remotenya tak terlihat. Pasti Eve lupa membawa bersamanya.

Lula memalingkan wajah, tak ingin melihat layar di depannya. Bisa - bisa dia terbakar panas saat berada di rumah milik orang. Oh tidak … dia terjebak saat ini.

“Sial! Bisa - bisanya film horror menjadi penuh adegan erotis yang panas.”

Meski tak melihat langsung dengan mata telanjang, namun sudut ekor mata Lula dapat melihatnya. Belum lagi, suara volume televisi yang terdengar dengan selingan desahan semakin membuat Lula salah tingkah.

Jack, yang akan turun, terhenti di tangga. Dia tiba - tiba melihat tayangan yang panas di hadapannya sedikit tertegun.

Bagaimana sang pria mencumbu wanitanya, menyentuh, dan membelai dengan penuh gairah. Jack merasa darahnya berdesir.

Mata Jack mengerjap. Dadanya berdebar dua kali lebih cepat. Terakhir kali dia bersenggama adalah beberapa bulan yang lalu. Itu pun, hanya sebentar.

Sial! Apa kali ini dia terpancing oleh sebuah tayangan televisi? Apa dia harus berakhir bermain sendiri untuk memuaskan miliknya?

Keduanya tanpa sadar saling terpancing gairah karena tayangan sialan itu.

“Lulaaa!” teriak Eve sambil berlari ke arah ruang tamu.

Lula gelagapan, “Eh— Iyaaa?”

Eve mendekat, “Aku harus ke luar sebentar. Bisakah kamu menungguku sebentar? Aku benar - benar dalam keadaan yang genting! Setelah semua selesai, aku akan mengantar kamu untuk pulang. Bagaimana?” heboh Eve.

Lula mengangguk, “Eng— iya. Engga apaa - apa. Kalau pun kamu engga bisa anterin pulang, aku bisa naik taksi kok. Santai aja, Eve.”

“No! Kamu harus diantar pulang. Soalnya, ini udah malam! Taksi? Big no! Kalau kamu dapat driver yang engga baik gimana? Nanti, kamu dijahatin, dibegal, atau dirampok? Arghh! No no no … engga bisa dibayangin. Pokoknya, tungguin aku balik! Sebentar doang, oke? Aku keluar dulu, see you!”

Eve langsung berlari. Meninggalkan Lula sendirian. Lula tak sengaja kembali menatap layar, dan memerah pipinya.

“Sial! Film horror macam apa ini? Kenapa penuh dengan adegan erotis?!” gerutu Lula.

Dia lebih baik ke kamar mandi untuk mencuci muka. Mungkin, jika dia menjauh, rasa panas di dalam dirinya dapat teredam.

Selesai mencuci muka, wanita itu keluar. Dia merasa jauh lebih baik di banding sebelumnya.

Lula berjalan ke luar sambil mengikat rambutnya ke atas. Membiarkan leher jenjang putihnya terekspos sempurna.

Setelah seharian bekerja, tubuhnya terasa begitu pegal dan kaku. Selesai mengikat rambutnya, dia meregangkan sedikit tangannya ke atas.

Tulang - tulang miliknya terasa lebih enak, terangkat setelah berbunyi.

Tanpa sadar, apa yang Lula lakukan terekam di mata elang milik Jack. Pria itu terdiam melihat tubuh ramping Lula yang begitu padat berisi. Dua gundukan miliknya, tercetak jelas.

Jack memalingkan wajah. Dia memutus pemandangan indah yang sebenarnya dapat dia nikmati. Terlebih pemandangan itu, bereaksi pada miliknya di bawah.

Menyadari kehadiran Jack, Lula menjadi diam. Dia mendadak merasa atmosfer yang canggung karena pria itu tadi sudah berkata sarkas sebelumnya mengenai bajunya yang transparan itu.

“Eve sedang keluar. Tadi dia—” kata Lula berusaha menjelaskan.

Jack berdehem sebelum akhirnya membuka suara, “Saya tidak mencari Eve.”

Lula terdiam. Bibirnya membentuk sudut O, seolah paham.

Jack pergi ke atas tangga lagi. Sementara Lula, menggaruk tengkuknya dan kembali menuju sofa.

“Eve! Sungguh. Kenapa harus aku yang mengantarnya?” dengus Jack dengan ponselnya.

“Jack, Dia temanku! Kamu harus membantuku. Ben tak bisa dihubungi dan aku tidak ingin sopir yang mengantarnya! Kamu itu adik yang tak bisa membantu sama sekali! Seharusnya, kamu bisa diandalkan, Jack.”

“Aku bahkan tak mengenalnya. Untuk apa mengantar dirinya? Aku tidak mau.”

“Damn! Kamu harus mengantarnya. Aku akan menutup telepon. Kekasihku datang! Byee.”

“Hal—”

*Beep*

Panggilan diputus sepihak oleh Eve. Wanita itu seenaknya, seperti biasanya.

Dengan kesal, Jack memejamkan mata. Napasnya berat berhembus panjang. Sial! Kakaknya begitu menyusahkannya.

Jack mau tak mau harus mengantar wanita asing itu untuk pulang. Dia turun dari kamarnya dan mendapati wanita itu tenang duduk di sofa. Jika tadi dia sendirian, kini sudah ada Camila yang duduk bersamanya.

Camelia melihat Jack yang turun tersenyum. “Anakku! Akhirnya kamu ke sini juga. Eve sudah menghubungi kamu, darling?”

“Hm.”

“Bagus! Kamu harus mengantar Lula pulang. Kasihan, besok dia pasti bekerja. Cepat!”

Lula terbelalak. “Apa?!” serunya kaget.

Camelia menoleh, “Ah, kalian belum saling mengenal, ya? Lula, perkenalkan dia adalah putraku, Jack. Dia anak kedua. Anak pertamaku adalah Eve. Lalu Ben— yang rambut coklat tadi bersama Jack adalah putra bungsuku.”

Lula melirik ke arah Jack. Jack, tak membalas tatapannya. Dia menatap ke arah yang lain.

“Jack, antar sampai ke tujuan! Awas kalau kamu macam - macam dengan Lula!” desak Camelia.

Lula menggelengkan kepala, “Mom, aku bisa pulang dengan taksi. Lagi pula, mungkin Jack sedang sibuk. Jadi, tidak apa jika aku pulang sendiri,” ujar Lula sambil nyengir.

“No … kamu akan tetap di antar oleh Jack. Jika tidak, kamu menginap saja di mansion.”

Mendengar itu, Lula terdiam. Tidak mungkin juga Lula menginap di sini! Besok, dia harus masuk ke kantor. Dia akan kena marah Rey jika dia membolos bekerja. Gajinya pasti akan terancam jika begitu.

“Tapi Mom—”

“Tidak ada kata tapi, sayang. Jack yang akan mengantar kamu. Benar, Jack?”

Mendengar apa yang Camelia katakan, Jack hanya bisa berdehem. Lula tidak tahu apakah pria itu kesal atau tak mendengarkan keputusan dari Camelia untuknya.

Camelia lalu mengantar Jack dan Lula menuju pintu. “Ayo! Keburu malam. Cepatlah!” kata Camelia.

Tatapan mata Lula menatap Jack yang datar. Pria itu dengan santai menuju ke mobilnya dan masuk begitu saja tak menunggu Lula.

Lula, berpamitan lebih dahulu dengan Camila sebelum pergi, “Tante— eh, Mom. Lula pulang dulu. Terima kasih semuanya, maaf jika Lula merepotkan.”

Camelia tersenyum, “Mom malah senang dengan kehadiran kamu, Lula … sekarang, kamu pulang. Takut semakin malam nantinya. Hati - hati ya sayang.”

“Iya Mom. Sampai bertemu kembali besok!”

“Tentu, sayang. See you!”

Lula berbalik badan. Dia melangkah dengan gugup menuju mobil yang berada di garis yang sama dengan tubuhnya.

“Ini sungguh nyata?” batin Lula.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status