Manik matanya menelusuri apartemen yang dia singgahi. Dia sejenak terkesima, dengan sekitar. Jack ialah Jack, pria dengan serba perfeksionis, dengan rapi. Tak heran, saat dia menjajaki kakinya di apartemen pria itu, semua terasa begitu sempurna. “Pria itu sangat cool,” kata Lula, sambil melihat foto yang tergantung di depannya. Dimana foto tersebut, menampilkan dirinya bersama dengan mungkin keluarganya. Ya, ada Eve dan juga Tante Camila disana. Lula sedikit mengenal keluarga Jack, karena pertemuan yang tak sengaja sebelumnya. “Apa ponsel ini?” Jack tiba - tiba datang dengan napas yang terengah. Memperlihatkan ponsel yang ada di tangannya. Wanita itu mengangguk, karena memang yang di genggam oleh Jack ialah ponselnya yang tertinggal. “Benar Pak. Itu ponsel milik saya.”Jack masuk, dan memberikan ponselnya kepada Lula. “Ambil lah.”Lula meraih ponselnya, dan tersenyum, “Terima kasih. Maaf merepotkan Bapak malam - malam. Sepertinya Bapak kedatangan tamu, malam - malam.”Jack mengeru
Garis senyum tergambar di wajahnya. Entah kenapa, kejadian semalam membuat wanita itu jadi berdebar. Tak biasanya rasa ini yang di rasakan oleh Lula. Dia merasa bahagia? Kebahagiaan apa yang sedang dia rasakan? Entah, rasa itu semu … dan tak bisa di gambarkan olehnya. Emil, yang baru saja datang, mengerutkan alisnya. Terheran - heran melihat Lula yang bengong, “La! Ngapain senyum - senyum engga jelas?”Merasa di panggil, wanita itu memutar bola mata ke atas, tepat Emil berdiri di dekatnya. “Engga apa - apa Mil,” kata Lula sambil melirik Emil.“Ha? Ih, aneh!”Emil mengambil posisi duduk di samping Lula. Dia menekuk tangan kanannya, menjadikan tumpuan kepalanya sambil menatap Lula. “Rasanya mau ambil cuti.”“Cuti? Ngapain, Mil?”“Mau nikah gue.”“Ha?! Sama siapa? Emang punya pacar Mil?”“Ya engga!” ujarnya sambil mendengus. “Terus?”“Ga tau. Pokoknya gue pengen nikah Lula …”Lula memutar bola matanya, “Yang aneh sebenernya bukan aku, Mil, tapi kamu.”“Yaa abis gimana ya, La. Habis
Penerbangan yang panjang yang memuakan ini selesai. Lula bergegas turun mengikuti badan jakung yang ada di depannya yang mendahului pergi. Honolulu. Siapa yang tak tau kota seindah ini? Semua orang pasti memimpikan untuk pergi kesini. Ibarat kata, seperti Balinya negara Hawai. Sesampainya kami turun, pria itu berhenti, dan membuat Lula ikut terhenti."Selamat pagi Pak Jack." Seorang pria menghadang jalan mereka, seolah menyambut kedatangan. Manik mata Lula menelisik sebuah name-tag, bertuliskan Billi. "Selamat pagi Billi. Apa hotel sudah siap?" "Tentu Pak. Semua yang Bapak perintahkan sudah siap. Saya datang untuk menjemput dan mengantar ke hotel.”Pria bernama Billi itu mengambil alih koper yang di bawa oleh Jack sebelumnya. Sementara pria itu memutar kepalanya sedikit menoleh ke arah wanita itu, "Bawa kopernya sekalian." Lalu setelah mengatakannya, Jack, pria itu berjalan begitu saja. Billi, tersenyum, "Boleh saya yang membawanya Nona?" "Ah, tidak perlu. Saya bisa membawanya
“Halo Jack?”“Hai, apa kabar?”Gladys, dia memejamkan matanya. Deguban jantungnya membuat wanita itu sedikit takut, jika Jack merasa curiga. “Dis, kamu baik - baik saja?”“Ah, ya, tentu. Aku baik - baik saja Jack. Ada apa menelpon? Apa ada masalah di sana?”Terdengar helaaan napasnya, “Tidak. Aku hanya merindukan kamu, Dis.”“Aku juga sangat merindukan kamu. Setelah semuanya beres, mari bertemu dan melepas rindu.”“Ya, tentu saja. Mari kita bertemu.”“Um, Jack, sepertinya aku harus menutup telponnya. Aku akan menghubungi kamu nanti.”“Baiklah. Aku mencintai kamu, Dis.”“Aku lebih mencintai kamu.”Beep!Gladys menggenggam telponnya dan meremasnya dengan gugup. Dia tak tau, apa yang sudah dia lakukan. Dia, mengkhianati Jack.Grap!Tubuhnya di rengkuh dari belakang. Matanya melebar sempurna, dan memutar tubuh dengan cepat. Tangannya menahan dada bidang itu untuk mendekat. “Rey?!”Rey masih dengan jarak namun menatap lekat Gladys, dengan tangan yang melingkar di pinggangnya. “Aku menci
Gladys terbangun dengan kepala yang berat. Dia mengerutkan kening sambil memijat kepalanya. Tubuhnya hangat. Kulit telanjangnya tertutup oleh selimut tebal dan kukungan tangan kekar yang masih melingkar pada pinggangnya. Wanita itu membuka mata. Tepat di hadapannya ada wajah Rey yang terlelap. Gladys menghela napas, apakah dia melakukan hal yang tepat?Wanita itu memutuskan bangkit. Dia mencoba untuk menyingkirkan lengan Rey dari tubuhnya, namun, lengan itu seolah menahannya. Mata Rey yang tertutup kini terbuka. Manik miliknya menatap Gladys dengan bibir tertarik membentuk senyuman. “Morning,” ujar Rey dengan parau. “Aku harus pergi, singkirkan tanganmu,” ujarnya.Gladys mencoba menyingkirkan tangan Rey namun pria itu menahannya. Kening wanita itu mengerut heran. “Rey!” kesalnya. “Kenapa harus terburu - buru? Ini masih pagi, Dis.”“Kau gila?! Bagaimana jika Eve datang tiba - tiba!”“Kita berada di hotel. Apa kamu lupa?”Gladys mengeraskan rahangnya, “Dan apa kamu juga lupa? Bahwa
Sambungan telepon tidak dapat membatasi mereka untuk saling menggoda. Keduanya sibuk dengan kegiatan pelepasan hasrat mereka.“Lula, jangan menyiksaku,” kata pria itu di seberang sana.Ah, sepertinya hanya satu orang saja yang sibuk di sana. Sementara satunya, mencoba mempermainkannya di tempat yang berbeda.Segera setelah mendengar suara dari ujung sana, Lula segera mematikan sambungan telepon. Dia mengabaikan permintaan tunangan saudari tirinya itu. Melihat pria itu memohon, Lula begitu senang.Perempuan itu tersenyum simpul dan berkata pada dirinya sendiri, “Mari kita lihat apakah hidup putri kesayangan ayah itu akan sempurna selamanya?”Hanya membayangkan kehancuran hidup keluarga cemara itu, Lula tersenyum puas.
“Jangan pernah menemuiku lagi.""Kenapa? Aku putrimu. Kenapa aku tidak boleh menemuimu lagi, Dad?"Pria itu berbalik. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celana kain yang dia pakai. Helaan napas mulai terdengar samar.“Aku sudah memiliki keluarga lain. Seharusnya kau paham, Lula.""Aku juga keluargamu. Aku putrimu! Apa aku salah menemuimu sebagai seorang anak?""Salah! Istriku tidak menyukaimu. Dia tidak ingin aku berhubungan dengan masa lalu."Lula yang malang dia hanya berdecih, "Tapi aku masih anakmu, Dad! Sampai kapan pun, aku akan tetap anak untukmu. Bukan masa lalu!""Ini pertemuan terakhir kalinya. Jangan pernah menemuiku, atau sampai datang ke rumahku seperti kemarin."Setelah mengatakan omong kosong, pria baya itu pergi begitu saja. Mata Lula masih setia menatap punggungnya yang pergi menjauh. Matanya memanas, rahangnya mengeras, dan buku jarinya mengepal, "Aku membencimu.""Lula!"Wanita itu tersentak dalam lamunannya. Dia menoleh ke
Di atas kasur, Lula meregangkan tubuh. Semalam suntuk, dia harus menyelesaikan pekerjaannya. Karena Rey, sudah berkicau membuat kepalanya pening. Dia meminta pekerjaan di selesaikan malam itu juga, dengan kabar yang mendadak.Wanita itu bangkit, dan membenahi rambutnya yang berantakan. Menjepit rambutnya dengan jepit jedai berwarna putih, dan mengarah ke atas. Lalu, wanita itu turun dari kasur, mengenakan sandalnya menuju ke dapur.Mengingat hari ini adalah hari Minggu, Lula tak memiliki rencana apapun selain merebahkan diri bersantai di apartemennya. Namun, itu hanya wacana saja, sebelum dia menemukan isi kulkas yang kosong, dan hanya terdapat beberapa botol mineral yang dia simpan."Ah, sial. Aku belum berbelanja rupanya."Niat hati untuk bersantai. Namun, di luar dugaan. Tak ada bahan yang bisa dia masak. Dia harus terpaksa mencari sarapan, dan berbelanja bulanan nantinya.Wanita itu kembali naik ke atas, membersihkan diri sebelum pergi berbelanja nantinya. Di