Sudah seminggu ini Nazwa resah. Ia tak mengerti mengapa Rafi begitu keberatan dengan rencana pernikahannya dengan Kafka. Ia merasa ada yang Rafi inginkan darinya. Ia kenal tabiat Rafi. Nazwa masih saja termangu mengingat percakapannya dengan Rafi saat ia mengantar Salsabila dan Hanif ke rumahnya. Pekan ini adalah jatah Salsabila dan Hanif bersamanya, setelah beberapa pekan yang lalu mereka berada di rumah Rafi.
“Benar apa yang dikatakan Bila, kalau Kafka ingin menikahimu?” tanpa pengantar apapun, Rafi bertanya pada Nazwa yang betul-betul tak menduga kalau Rafi akan membahas masalah pribadinya.
“Mengarah ke sana. Sebetulnya kami sedang mempersiapkan segalanya,” urai Nazwa pelan.
“Secepat itukah hati kamu berubah terhadapku, Naz?” tanya Rafi.
“Maksudnya?” taut Nazwa tak mengerti.
“Ya. Secepat itu kamu bersedia menjalani hubungan menuju pernikahan. Padahal kita resmi berpisah baru dua tahun sepuluh bulan. Tapi kamu sudah melabuhkan hatimu pada orang lain!” sindir Rafi.
Nazwa beristighfar dalam hati mendengar ucapan Rafi. Laki-laki dewasa dihadapannya ini memang masih saja berfikir seperti anak-anak. Dimana semua orang harus mengerti dan mengabulkan setiap keinginannya.
“Raf, pertanyaan kamu tuh, lucu ya?!” ujar Nazwa menanggapi perkataan Rafi.
“Lucu?” Taut Rafi tak mengerti.
“Lucu! Karena perpisahan ini kan keinginan kamu sendiri. Kamu yang melepaskan aku. Kok sekarang kamu yang keberatan kalau ada orang yang berniat baik terhadapku,” cela Nazwa tak mengerti.
“Siapa yang keberatan?” sanggah Rafi.
“Kamu! Pertanyaan kamu yang berkaitan dengan perasaanku terhadap kamu, bukan artinya kamu keberatan kalau aku menyerahkan hatiku pada orang lain?” seru Nazwa balik.
“Aku hanya berpikir tentang anak-anak, Naz.” Kilah Rafi.
“Anak-anak? Ada apa dengan mereka? Aku lihat mereka bisa menerima Kafka. Lagi pula Kafka juga sayang dengan mereka. Ia menerima aku satu paket dengan anak-anak.” Nazwa menghela nafas sejenak. “Kamu tahu, bahkan ia yang meminta kami tidak menjalani hubungan ini terlalu lama karena adanya anak-anak. Kafka tidak ingin orang berfikir negative tentang stastusku yang janda ini.” tukas Nazwa lagi.
Rafi terdiam sejenak sebelum kembali bertanya. “Apa kamu sudah bertanya kepada anak-anak, apa pendapat mereka, Naz?”
“Belum. Mengapa memang?” taut Nazwa tak mengerti.
“Seharusnya kamu juga menimbang pendapat mereka, sebelum memutuskan kelanjutan hubunganmu dengan kafka. Mereka juga yang akan hidup bersama Kafka kelak. Bukan hanya kamu,” cibir Rafi.
Deg. Perkataan Rafi menyentak hatinya.
“Naz, kalau aku boleh tahu, apa yang membuat kamu memutuskan menikah dengan Kafka? Sebaik apakah Kafka di matamu? Apa yang kamu lihat dari seorang Kafka?” kali ini Rafi bertanya dengan suara pelan.
Ditatapnya wanita yang duduk di hadapannya ini. Nazwa. Nazwa Rengganis namanya. Wanita yang menemaninya dalam bahtera rumah tangga selama dua belas tahun lamanya. Wanita yang telah melahirkan dua malaikat kecilnya, Salsabila dan Hanif. Wanita yang telah begitu sabar dan pengertian akan semua perilaku dan tabiat-tabiatnya yang sulit. Dan wanita yang telah dicampakkannya tanpa memberikan wanita itu kesempatan untuk membela dirinya sendiri. Tanpa tahu alasan yang menjadi penyebab perceraian mereka. Ironisnya, semua kebaikan Nazwa terpampang dengan jelasnya saat ia tak lagi memiliki Nazwa. Memang benar ucapan orang bijak, kita akan menyadari telah kehilangan sesuatu yang sesungguhnya berharga untuk kita justru pada saat kita tak lagi memilikinya.
“Apa tidak terpikir olehmu, bahwa kita bisa kembali bersatu, Naz?” tanpa menunggu jawaban Nazwa, Rafi kembali bertanya.
“Tali yang terjalin lalu sengaja diputuskan, kemudian akan disambung kembali?” Nazwa bertanya pada Rafi dan dirinya sendiri. Ia menghembuskan nafas. “Maaf, Fi. Itu tidak ada dalam kamus hidupku!” Jawab Nazwa tegas.
“Bahkan demi anak-anak?” desak Rafi.
Nazwa terdiam. ia belum bisa menjawab. Sesungguhnya ia menyayangi Rafi dan kedua anaknya. Tetapi tindakan Rafi yang menggugat cerai dirinya di pengadilan itu yang membekas di hatinya. Nazwa tak pernah mengira pernikahannya akan berakhir seperti ini. Ia tak pernah mengerti kesalahan sebesar apakah yang pernah dibuatnya, sampai Rafi menjatuhkan talak untuknya. Seingat Naz, ia sudah memenuhi semua keinginan Rafi sebagai suaminya. Sewaktu Rafi ingin ia meninggalkan pekerjaannya dan konsentrasi mengurus keluarga, Naz segera resign dari pekerjannya setelah melahirkan Salsabila, anak pertama mereka. Sewaktu Rafi ingin Nazwa tidak lagi mengikuti klub tempat ia menyalurkan hobinya membuat kue dan menanam, Nazwa menurut.
Apapun keinginan dan perintah Rafi telah dipatuhinya, walaupun ia harus merelakan kepentingan dan kesenangannya sendiri. Tapi yang didapatnya adalah talak dari Rafi. Sampai detik ini pun, saat ia telah berhasil menghalau kesedihannya dan memutuskan untuk memulai hidup baru dengan laki-laki lain, Nazwa masih belum mengerti mengapa Rafi menceraikannya. Dan sekarang, mengapa justru Rafi yang seolah-olah menyalahkan keputusannya untuk menikah kembali?
Nazwa menggeleng tak mengerti. “Rafi, aku rasa kamu sudah tahu jawabannya. Terima kasih sudah mengantarkan anak-anak. Maaf, sudah larut sekarang. Aku ingin menemani anak-anak untuk istirahat,” Usir Nazwa halus.
Rafi menghembuskan nafasnya mendengar ucapan Nazwa. Ia tahu, akan sulit untuk merubah hati Nazwa. Tetapi, ia tidak akan mundur untuk mencapai keinginannya. “Baiklah. Aku pulang. Minggu depan aku akan jemput anak-anak untuk kembali menginap di rumahku,” seru Rafi kesal.
Saat itu Nazwa hanya mengangguk mengiyakan. Ia menutup pintu begitu Rafi berbalik badan dan melangkah meninggalkan rumahnya. Setelah itu ia menuju ke kamar Salsa dan Hanif, mengucapkan selamat tidur dan masuk ke dalam kamarnya sendiri.
Sudah tujuh hari lamanya ia berpikir dengan keras, berusaha mencari tahu dan mengerti alasan Rafi mengucapkan itu semua. Kembali kepadanya? Nazwa tersenyum tak percaya. Bisa-bisanya laki-laki yang hidup bersamanya selama dua belas tahun itu mengucapkan kalimat itu dengan mudah.
Kamu yang melepaskanku Fi! Kamu yang menceraikanku! Sekarang kamu ingin aku kembali padamu?! Egois sekali kamu! Rutuk Nazwa dalam hatinya. Aku tidak berpikir tentang anak-anak saat hendak menikah kembali? Hey, tidakkah kamu berpikir tentang anak-anak saat kamu melepaskanku?! Kembali Nazwa berteriak dalam hatinya.
Dering telepon membuyarkan percakapan tentang isi hati dan kepalanya yang berada di kepalanya beberapa hari ini. Ia mengangkat gagang telepon dan membuka salam, “Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam. Maaf, bisa saya bicara dengan Nazwa Rengganis?” suara lembut seorang perempuan membalas salamnya.
“Saya Nazwa Rengganis. Maaf, ini dengan siapa?” tanya Nazwa karena ia merasa kurang familiar dengan suara sang penelepon.
“Saya Renata, Nazwa. Sahabat Rafi. Begini, kalau boleh, saya meminta waktu untuk bertemu. Ada hal penting yang harus saya utarakan. Tapi rasanya jika melalui telepon kurang nyaman.”
Kening Nazwa bertaut. Hal penting? Soal apa?
“Halo Naz . . . Nazwa?!” Suara di seberang kembali terdengar karena Nazwa tak kunjung menjawab.
“Eh, iya. Maaf. Sebelumnya, hal penting apa ya?” tanya Nazwa mengutarakan rasa penasarannya.
“Mmh . . . Soal . . . Alasan kamu diceraikan oleh Rafi!”
**********
Bersambung
“Iya, Naz. Aku baru sampai di Jakarta. Aku mau bertemu Rafi dahulu. Dia bilang sudah mendapatkan hasil dari laporan kesehatan Nayla.” Kafka memberi kabar tentang dirinya pada Nazwa begitu menginjakkan kakinya di Bandara Soekarno Hatta.“Syukurlah,” terdengar hela napas lega Nazwa. “Dimana kalian mau bertemu?”“Rafi belum menentukan tempatnya. Aku sedang menunggu kabar dari Rafi.”“Kaf, aku … aku cemas akan hasilnya. Tapi aku sungguh penasaran.”“Tenanglah, Naz. Semua akan baik-baik saja.”“Tapi, bagaimana jika benar Nayla …,”“Nazwa Rengganis … Kamu percaya aku kan? Apapun hasilnya, aku tidak akan meninggalkan kamu. Rencana pernikahan kita akan tetap berjalan.”“Tapi keinginan Nayla …,”“Aku belum berbicara dengan Nayla langsung dan semuanya kita bisa bicarakan, Naz. Kamu tenang ya.”“Entahlah, Kaf. Aku …,”“Naz, aku butuh keyakinanmu, sayang. Please, jangan lagi menyerah dan berpikir semuanya kan terhenti di sini. Ingat Naz, ada Allah! Aku sebagaimana prasangka hamba-Ku, jadi berpiki
“Bagaimana pertemuan kamu dengan Kafka, Naz?” Bapak bertanya setelah makan malam mereka selesai dan saat ini berkumpul di ruang keluarga.Nazwa yang sedang mengelus kepala Hanif yang bersandar di dadanya, menghentikan gerakannya. “Kafka … setuju untuk melanjutkan pernikahan kami, Pak. Tapi saat ini dia belum bisa kembali ke Jakarta karena baru saja alih jabatan dengan pejabat sebelumnya. Kafka menitip salam untuk Bapak dan Ibu. Dia bilang akan secepatnya mengatur waktu untuk datang ke sini dan membicarakan kelanjutan rencana pernikahan kami,” jawab Nazwa.Ia sengaja tidak memberitahu kejadian yang sebenarnya karena takut Bapak dan Ibu justru kembali tidak menyetujui pernikahan mereka. Nazwa tahu benar jika kali ini ia berspekulasi dengan kenyataan yang ada, tetapi bukankah di setiap ketidakmungkinan selalu ada kemungkinan itu sendiri. jadi, ia memilih untuk melihat kemungkinan yang ada.“Jadi, Om Kafka akan jadi ayah aku juga, Bun?” tanya Hanif.Nazwa tersenyum seraya menganggukkan ke
“Tidak ada orang yang ingin rumah tangganya berantakan, Kaf! Kamu pikir, aku senang menikah berkali-kali?!” ujar Ewi sengit.Kafka menaikkan kedua bahunya tanda seolah tak mengerti atau bahkan tak peduli.“Jahat sekali pikiran kamu!” desis Ewi lagi.“Lalu, tindakan kamu meninggalkanku saat terpuruk dan menikah dengan lelaki lain, itu tidak jahat? Begitu?” cemoh Kafka.“Bisakah kamu melupakan hal yang sudah lalu?” ucap Ewi merendahkan nada suaranya.“Aku ingin sekali bisa melupakan peristiwa itu, Wi. Tapi sekeras apapun aku berusaha, ingatan itu tidak pernah hilang!” tekan Kafka. ‘Kamu tidak tahu aku sampai harus mengikuti terapi untuk bisa kembali waras’ lanjut Kafka dalam hatinya.“Jangan cengeng, Kaf! Kamu laki-laki!” cela Ewi.“Aku laki-laki yang punya hati, Wi! Punya perasaan! Tidak seperti kamu! Seorang perempuan yang justru bisa begitu tega, tak berperasaan!”“Kafka!” sentak Ewi tak suka dengan ucapan Kafka.“Apa? Mau bilang kalau kamu hanya berpikir rasional? Karena aku bangkru
“Maksudmu?” tanya Kafka tak mengerti.“Sebetulnya karyawan di perusahaanku sebulan lalu baru saja menjalani medical check up di rumah sakit yang sama di mana anakmu menjalani tes. Dan baru beberapa hari yang lalu, kami menerima hasilnya. Logo rumah sakit itu sedikit berbeda aku rasa. Entahlah. Tapi aku sungguh penasaran ingin mengecek kebenarannya,” terang Rafi.“Maksudmu, hasil test kesehatan itu palsu?” tanya Kafka lagi.“Aku belum bisa memastikan, sampai kita mengeceknya langsung bukan?” Rafi balik bertanya.“Tapi aku belum bisa balik ke Indonesia dalam waktu dekat ini,” keluh Kafka terdengar putus asa.“Tenang saja. Aku akan membantumu. Aku yang akan mengecek langsung. Masalahnya, aku harus punya salinan hasil tes kesehatan itu, Kaf,” ujar Rafi.Kafka paham sekarang mengapa Rafi menyuruhnya menemui Ewi, mantan istrinya itu alih-alih mengantarkan Nazwa kembali ke hotel.“Aku yang akan mengantarkan Nazwa kembali ke hotel. Kalian bisa berbicara nanti setelah kamu berhasil dengan misi
Pupil mata Kafka melebar mendapati sosok yang sedang merangkul Nazwa-nya. Ya, perempuan yang sedang merebahkan kepalanya di dada laki-laki itu adalah Nazwa, calon istrinya. Ia sudah akan mengiyakan permintaan Nazwa untuk kembali melanjutkan pernikahan mereka. Tidak salah bukan, jika sejak saat itu Nazwa kembali menjadi miliknya. Walau jawabannya itu belum sempat didengar oleh Nazwa, karena kedatangan dan interupsi Ewi, mantan istrinya.“Nazwa!” tegur Kafka. Terdengar jelas nada tidak suka dari suaranya.Nazwa bergeming. Tubuhnya seperti kaku mendengar suara dari arah belakangnya itu. ia mengangkat kepalanya yang tadi direbahkannya di dada Razky. Ditatapnya Razky sebelum ia memutar tubuhnya ke arah sumber suara.“Kaf … ka?” lirihnya dengan nada terkejut.“Apa yang sedang kamu lakukan? Belum satu jam yang lalu kami memintaku untuk melanjutkan pernikahan kita. Lalu mengapa sekarang kamu bersandar pada dia!” tunjuk Kafka pada Razky penuh emosi.“Aku … aku hanya … me …,”“Apa kamu sedang m
Nazwa mengerjapkan mata untuk meraih kesadarannya. Netranya menangkap siluet wajah seorang lelaki gagah yang terkejut melihat kehadirannya.“Razky?” tanyanya juga dengan tak percaya.Lelaki gagah yang bernama Razky itu tersenyum dengan sangat manis mendapati Nazwa menyebutkan namanya.“Kamu sedang apa di sini, Angel?” Razky mengulang pertanyaannya yang memang belum terjawab oleh Nazwa tadi.“Aku … Aku …,” tiba-tiba Nazwa tergugu saat menjawab pertanyaan Razky. Sontak ia menoleh ke arah belakang, ke tempat di mana ia bertemu dengan Kafka, Rafi dan Ewi. Nazwa menunjukkan telunjuknya ke arah Café Seroja.Razky paham dengan gerakan Nazwa. “Oke … Kamu dari Café itu?” tunjuknya.Nazwa menganggukkan kepalanya.“Bertemu siapa? Kamu ada urusan bisnis di sini?” tanya Razky menggali informasi.Nazwa menggelengkan kepalanya.Razky mengernyitkan keningnya. Perempuan di hadapannya saat ini bukanlah Nazwa yang ia kenal. Setahunya, Nazwa adalah perempuan yang tidak mudah terguncang oleh suatu peristi