/ Romansa / Hati yang Tak Pernah Siap / Secangkir Awal yang Tak Biasa

공유

Secangkir Awal yang Tak Biasa

작가: Faelelfa
last update 최신 업데이트: 2025-07-23 16:26:46

Pagi itu, cahaya matahari menyusup pelan melalui celah tirai kamar, menari-nari di atas seprai yang masih berantakan. Zea mengerjap perlahan, kelopak matanya terasa berat akibat tidur yang tak benar-benar lelap.

Suasana kamar begitu tenang, nyaris hening namun di dalam dirinya, masih tersisa riak-riak perasaan yang semalam belum sempat diredam sepenuhnya.

Ia menoleh ke sisi ranjang. Kosong.

Tak ada kehangatan sisa tubuh Adrian. Tak ada napas berat atau suara langkah di kamar. Hanya dirinya dan sunyi yang membekas.

Zea menarik selimut, menyingkap tubuhnya, lalu menurunkan kaki ke lantai dingin tapi justru rasa itu membangunkannya.

Saat membuka pintu kamar dan menuruni tangga, sesuatu yang tak biasa langsung menyambutnya.

Aroma roti panggang. Telur orak-arik dan kopi?

Langkahnya melambat. Matanya terbelalak ketika melihat meja makan telah tertata rapi dua piring lengkap, segelas jus jeruk segar, dan secangkir kopi yang masih mengepul.

Di dapur, berdiri Adrian. Lengan kemejanya t
이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요
잠긴 챕터

최신 챕터

  • Hati yang Tak Pernah Siap   Kembali Dengan Perasaan Berbeda

    Angin Bandung berembus lembut, membawa aroma khas udara pegunungan yang jauh dari hiruk-pikuk kota metropolitan. Jalanan basah sisa hujan pagi tadi, dan dedaunan hijau bergoyang pelan seiring langkah kaki Zea yang keluar dari mobil hitam milik Adrian. Di sampingnya, Adrian masih setengah tertatih, tapi ia tetap berjalan tanpa bantuan. Pria itu menoleh pada rumah bernuansa hangat yang akan mereka tinggali untuk sementara waktu. “Tidak buruk juga tempat ini,” gumamnya pelan. “Lebih tenang dari Jakarta,” balas Zea. “Dan jauh dari orang-orang yang terus memaksa kita untuk memilih hal yang bukan kita.” Adrian menyeringai tipis. “Rayyan?” Zea tak langsung menjawab. Ia menatap hamparan rumput dan suasana pegunungan di kejauhan. Lalu, perlahan berkata, “Kupikir mereka mengirim kita ke sini bukan hanya urusan bisnis, tetapi tempat ini memang indah.” Adrian mendesah. “Agar Rayyan tak bisa mengganggu lagi.” Zea akhirnya mengangguk. “Kamu juga merasa itu?” Adrian menoleh padanya. “Orang t

  • Hati yang Tak Pernah Siap   di Balik Luka, Ada Kamu

    Udara pagi masih dingin saat sinar matahari menyelinap pelan dari balik jendela kamar. Langit tampak pucat, seolah tahu bahwa rumah itu tengah menyimpan sisa luka dan ketegangan yang belum sepenuhnya pulih. Adrian duduk bersandar di tempat tidur. Punggungnya masih terasa ngilu setiap kali ia bergerak. Beberapa memar membiru di bagian lengan dan dada, sementara kaki kirinya masih dibalut dan belum cukup kuat untuk menopang tubuhnya sepenuhnya. Namun yang paling membuatnya tak nyaman bukanlah rasa sakit melainkan kenyataan bahwa ia tidak bisa ke kantor, tidak bisa memimpin, tidak bisa melindungi seperti biasanya. Pintu kamar terbuka perlahan. Zea masuk dengan nampan sarapan, diiringi aroma harum teh dan roti panggang madu. “Selamat pagi, Tuan Bos yang sedang pensiun sementara,” ucap Zea ringan. Adrian menoleh. Meski wajahnya masih pucat, sudut bibirnya terangkat kecil. “Kalau kamu yang jadi perawatnya, pensiun selamanya pun aku rela.” Zea tersenyum, meletakkan nampan di atas meja

  • Hati yang Tak Pernah Siap   Pilihan yang Membakar Luka

    “Aku…” Suara Zea terdengar pelan, nyaris seperti bisikan. Namun di dalam ruangan itu, semua orang diam. Tak ada satu pun suara selain detak jam dinding dan napas yang tertahan. “Aku memilih Adrian.” Suara itu kini lebih mantap. Tegas. Rayyan mematung. Seolah waktu berhenti. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi apapun, hampa, kaku, seperti tanah yang terlalu kering untuk menangis. Lalu senyum tipis muncul di sudut bibirnya, tetapi bukan senyum kebahagiaan. Itu adalah senyum dari seseorang yang baru saja kehilangan sesuatu yang sangat berharga dan tidak tahu kepada siapa harus menyalahkan selain dirinya sendiri. “Kenapa… Zea?” suaranya parau. “Apa yang dia punya yang nggak bisa aku beri?” Zea menunduk, menelan gumpalan emosi yang menghimpit tenggorokannya. “Karena… aku sadar. Saat Adrian terluka, saat aku duduk di bangku rumah sakit selama lima hari tanpa tidur, aku banyak berpikir…” Ia memandang Rayyan dengan sorot mata jujur. “Mungkin saat itu, Tuhan sedang menunjukkan padaku… ba

  • Hati yang Tak Pernah Siap   Di Antara Dua Nama

    Pria itu berdiri dengan tubuh tegak, wajahnya datar, tapi sorot matanya tajam. Seolah membawa banyak sekali pertanyaan, dan semua jawabannya hanya bisa berasal dari Zea. "Ikut aku sebentar," ucap Rayyan datar. Karena tidak tahan melihat Zea yang enggan untuk melangkah atau melepaskan genggaman Adrian, dengan cepat Rayyan menariknya. “Rayyan, jangan buat keributan di sini.” “Aku tidak akan teriak dengan keributan. Tapi aku tidak bisa diam melihat kamu begini, Zea.” Zea menepis pelan tangan kedua pria di samping kiri dan kanannya. “Lepas!" tegas Zea. Namun Rayyan tidak menyerah. Ia mengeluarkan sebuah ponsel dari sakunya, menampilkan galeri foto yang tak asing bagi Zea. Foto-foto mereka di pantai, di kafe tempat mereka sering berbagi senyum, video pendek di mana Rayyan dengan malu-malu menyematkan cincin imitasi ke jari Zea dan berkata, “Suatu hari aku janji, ini bukan lagi permainan.” Zea menggigit bibir. Kenangan itu seperti racun manis, masuk ke dalam darah lalu menyisakan ny

  • Hati yang Tak Pernah Siap   Hujan, Rasa Bersalah dan Sebuah Rasa

    Hujan turun semakin deras, tanpa aba-aba, menghantam bumi seperti ingin menguji keteguhan niat siapa pun yang sedang berjalan di bawahnya. Zea tak membawa payung. Jaket tipisnya nyaris tak berfungsi lagi, hanya menambah beban pada tubuhnya yang sudah lelah karena kurang tidur, kurang makan, dan terlalu banyak menangis. Tapi langkahnya mantap. Setiap detiknya hanya terisi satu suara: “Nasi goreng seafood. Untuk Adrian.” Ia tahu taman di seberang rumah sakit sering ada pedagang kecil yang menjual makanan panas, dan ia hanya berharap warung kecil itu masih buka di tengah guyuran deras ini. Di dalam kamar, Adrian duduk bersandar di ranjang dengan kepala yang masih sedikit pening. Tangannya mengusap pelipis, lalu menatap kosong ke luar jendela. Dia mengingat, semuanya. Ingatan itu kembali seperti hujan yang menimpa tanah kering pelan, tapi pasti menyerap masuk dan yang paling menghantamnya bukan kecelakaan, bukan rasa sakit saat tubuhnya terlempar dari mobil, tapi ekspresi Zea saat te

  • Hati yang Tak Pernah Siap   Dalam Kabut Ingatan

    Cahaya matahari menyusup malu-malu lewat sela tirai ICU, menyentuh wajah pucat Adrian yang mulai menunjukkan sedikit rona. Jemarinya kembali bergerak, kali ini lebih jelas. Kelopak matanya bergetar pelan. Dokter dan perawat yang sedang berjaga saling berpandangan. “Tuan Adrian?” panggil salah satu dari mereka, pelan. Kelopak itu akhirnya terbuka, perlahan. Pandangan kosong menatap langit-langit putih yang asing. Nafas Adrian tertahan sejenak, dadanya naik turun tak stabil. “Dia sadar!” seru perawat, buru-buru menekan tombol darurat. Dalam hitungan detik, beberapa dokter masuk ke ruangan. Adrian mengerjap, mencoba mengenali wajah-wajah di sekitarnya, tapi semua tampak buram dan jauh. “D… di mana aku?” Di tempat yang berbeda, Zea sedang tertidur dengan kepala bersandar di meja ruang tunggu ICU, tubuhnya terbungkus jaket tipis milik salah satu perawat yang iba. Suara langkah tergesa membangunkannya. “Nona Zea,” sapa perawat yang tadi pagi bergantian shift, senyumnya lebar. “Tuan Ad

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status