Hafidz sudah tidur, aku turun dari ranjang dengan perlahan. Aku meraih ponselku yang sedari tadi terdengar ada pesan masuk di sana.[Bu, saya dapat amanah dari Mbak Flo untuk menyampaikan sebuah surat untuk Mbak Alina. Kemarin saya lupa mengantarkan. Saya langsung pulang, sampai di kampung baru ingat ada surat buat Mbak. Saya kirim pakai eskpedisi saja, ya, Mbak?]Pesan dari pembantu Flo. Tumben Flo tidak berkirim pesan saja atau ngomong langsung denganku.[Baiklah, mbak. Saya akan kirim alamat di sini, ya. Makasih sebelumnya,][Sama-sama, Bu. Saya nitip Mbak Flo. Mbak Flo itu sebenarnya orang baik, hanya saja dia merasa kehidupan tidak berpihak padanya,][InsyaAllah, Mbak,]Aku pun mengirim alamat rumah ini padanya. Sengaja aku tidak memberitahu keadaan Flo, agar dia tak kepikiran.Usai mengirim pesan balasan itu, aku segera keluar. Mama dan Mas Ubay tampak serius menonton televisi. Mama terlihat syok, sedangkan Mas Ubay memilih membuang pandangan ke arah lain."Berita apa, Ma?"Mama
Assalamu'alaikum Alina.Mungkin ketika kamu membaca surat ini, aku sudah tak bisa lagi menyapamu, apalagi membuat hatimu hancur seperti dulu.Maafkan aku ya, Al. Terlalu banyak hal buruk yang aku lakukan padamu. Sedari dulu, saat kita masih putih abu-abu. Kamu tau, Al. Aku melihatmu sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna. Meski kamu tak memiliki harta. Mungkin itu sebuah keseimbangan yang Tuhan ciptakan, agar kamu tetap seperti itu. Sedangkan aku, aku memiliki segalanya. Apa saja yang kuminta akan dikabulkan dengan sekejap mata. Tapi, aku tak memiliki orang yang mencurahkan kasih sayang seperti yang ibu dan bapakmu berikan. Aku tak tahu, apa salahku, sehingga untuk dicintai saja aku harus mengemis terlebih dahulu.Kadang aku merasa aku bukanlah anak yang diinginkan orang tua. Mereka memang mencukupi segala kebutuhan, tapi mereka tidak menyirami jiwaku dengan kasih sayang. Al, maafkan jika aku punya keingin merebut cinta yang tercurah untukmu untuk kumiliki. Aku menginginkan hid
Aku kembali ke rencana semula, mandi lalu duduk di taman belakang bersama Hafidz, melihat akuarium besar yang berisi ikan-ikan hias dan mahal milik Mas Ubay.****Jam sudah menunjukkan angka tiga sore. Hafidz sudah tidur lagi, kenyang setelah minum ASI. Aku kembali menaruhnya di kamar. Ponselku bergetar, sengaja aku tidak mengaktifkan nada deringnya biar Hafidz tidak kaget lalu terbangun.Lea? Tumben anak itu menelpon. Biasanya hanya ngoceh di grup rempong."Assalamu'alaikum, Lea,""Wa'alaykumussalam warahmatullah, Kakak ipar, perutku sakit. Sepertinya aku akan segera melahirkan,""Ya Allah, le. Suamimu mana?" Tanyaku panik."Mas Arsyad sedang ada di persidangan. Aku ga enak menelpon dia, takut ganggu, Bang Ubay juga ga aktif ponselnya,""Astaghfirullah, Lea. Kamu bertahan ya, aku akan segera ke sana. Kamu tarik napas dalam-dalam lalu buang perlahan, jangan sampai ngeden. Oke! Terus beristighfar jangan putus," "Oke! Jangan lama-lama ya, Kakak ipar," rintihnya masih sempat-sempatnya
Kelahiran anak pertama Lea memberikan suasana begitu berbeda, kasih sayang tercurah untuknya. Tangis haru Mama dan anak perempuannya itu mewarnai hari istimewa dimana lahirnya anggota baru keluarga ini."Selamat, ya Lele!" Mas Ubay mengecup puncak kepala adiknya itu haru, matanya berkaca-kaca."Jangan panggil Lele, lagi napa, Bang. Nanti kalau anakku nanya kumisku dimana, aku harus jawab apa?" sungut Lea. Kami tertawa, di saat keadaan seperti ini, mereka masih sempat saling melempar candaan.Teman-teman di grup rempong juga datang memberikan selamat. Anak Lea yang berjenis kelamin perempuan itu ibarat anugerah yang turun di saat mereka sedang di timpa kemalangan. Kematian Floren dan masuk rumah sakit jiwa-nya Bibi Rosita seakan sebuah musibah di atas musibah. Mama tak henti-hentinya menangis. Namun, tetap bersyukur Bibi Rosita masih selamat dalam aksi bunuh dirinya.****Setelah beberapa hari dirawat, Lea akhirnya di ijinkan pulang. Kini dia tinggal di rumah Mama. Bersama denganku. Ka
Aku tertawa kecil, ingat gimana dulu Lala mengerjai Mas Ubay di mall. Lelaki itu benar-benar kapok hampir seharian mengelilingi tempat perbelanjaan dengan segala kemauan Lala yang aneh-aneh.."Tapi, Om ga kangen, gimana dong,""Hiks, kok Om begitu?"rajuknya. "Gapapa, tapi kalau perginya bareng Papanya Sabila, Om sih mau,"Lala cemberut. Katanya Papanya selalu sibuk. Jarang ada di rumah, Lala hanya di jaga oleh pembantu. Ya wajar saja, seorang pengusaha seperti Pak Freddy, sibuk luar biasa. Sama dengan Papa. Nyaris tak ada waktu untuk berkumpul kecuali hari libur.Mas Ubay pun menyalami Pak Freddy lalu memperkenalkan Ustadz Malik padanya. Lalu mereka pun memilih duduk di bangku tak jauh dari kami. Karena Pak Freddy tertarik juga untuk menjadi donatur tetap di pondok yang sedang dikelola oleh Ustadz Malik. Aku dan Lea memilih tetap diam di tempat. Bukannya tak menghargai tamu, tapi punya bayi begini, jauh dari kerumunan tamu, itu lebih baik.Dari sini, tawa Mas Ubay terdengar. Tampakny
Astaghfirullah, aku dan Lea saling tatap. Sedang Mas Ubay tampak salah tingkah."Nanti biar pulang sama saya aja, Ustadz,"Semua mata tertuju pada asal suara."Papa, Tante ini siapa? Kok papa mengajak pulang bareng kita?" Tanya Lala pada Pak Freddy."Ini adiknya Om ustadz. Nanti kita sekalian pulang, nganterin Tante Aisyah dan Om Ustadzdulu, ya?"Lala memperhatikan Aisyah lekat."Tante mau Lala anter?"Aisyah agak gugup, lalu menoleh ke arah Abangnya."Ga usah, Pak. Nanti Aisyah pulang bareng saya saja. Ga enak ngerepotin,""Gapapa, Ustadz. Nanti kita sekalian mampir, mau lihat-lihat pondok pesantren milik Pak Baihaqi ini,""Wah, MasyaAllah ..." Lirih Ustadz Malik."Aku mau bareng Pak Ubay aja," ujar Aisyah kekeuh."Maaf, Pak Freddy, Pak Baihaqi, Bu Alina, saya ijin pamit dulu. Bu Lea, saya pamit, terima kasih atas undangannya. Semoga anaknya menjadi anak yang sholehah," terburu ustadz Malik menarik tangan Aisyah. Ada raut kesal terlihat di wajah Aisyah."Kakak, kakak kenapa sih!" Ru
"Ga ada jawaban, Ma," aku berusaha agar tidak panik. Ponsel Lea pun tak bisa dihubungi. Sepertinya sengaja dimatikan."Lea! Buka pintunya! Atau ga, Abang dobrak!" Kini Mas Ubay mulai mengeluarkan ancaman.Hasilnya sama saja, Lea tetap tak keluar kamar. Papa yang baru saja keluar dari kamarnya setelah mendengar kabar tentang Lea, tampak juga panik."Telpon, Arsyad. Lagi ada acara pesta di rumah, seharusnya dia menyempatkan diri untuk menemani istrinya. Ini malah kerja!" sungut Papa. Baru kali ini aku melihat Papa sekesal itu. Arsyad memang terlalu pendiam, dan tak humble. Apa mungkin faktor pekerjaannya yang menuntutnya untuk selalu serius.Hampir sejam kami sibuk di depan kamar Lea. Hingga tangis Alifa terdengar nyaring dari dalam. Kepanikan makin menjadi. Arsyad pun datang, wajahnya tampaknya canggung. Mungkin dia paham ketika melihat tatapan Papa dan Mama yang tak bersahabat."Maaf, Ma, Pa, Arsyad tak bisa menghadiri acara aqiqah Alifa,""Kamu seharusnya mendahulukan anak dan istri.
POV Lea."Bu, Lea ijin melahirkan di rumah Mama, ya, Bu?"Ibu menatapku tajam. Lalu kembali asik dengan gadget mahalnya. Aku terdiam tak berani mengulangi kalimat, meski ingin juga mendengar jawaban dari Ibu.Setelah menikah, Mas Arsyad selalu mengajakku untuk mengunjungi Ibunya diakhir pekan. Namun, saat itulah menjadi waktu terberat bagiku. Ibu selalu memperlakukan seperti orang lain. Bahkan sering membanding-bandingkanku dengan mantan Mas Arsyad yang seorang pramugari."Tasya itu orangnya putih, tinggi, baik, ramah, dan punya penghasilan sendiri. Tak ada cacatnya, entah kenapa Arsyad malah milih kamu!" Aku terdiam, meski bara di hati begitu berkobar. Rasanya darah ini mendidih."Kamu punya penghasilan apa? Selain mengharapkan gaji suami?"Ibu terus memojokkanku. "InsyaAllah setelah lahiran, Lea mau ikut usaha restoran bersama istrinya Bang Ubay, Bu," jawabku."Hah? Usaha bareng saudara? Hari gini? Apa kamu ga mikir usaha apa yang bisa kamu kembangkan sendiri, tanpa berada di bawa