แชร์

Bab 7 - Pengaruh Fajar

ผู้เขียน: Rizki Adinda
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2024-10-15 15:27:21

"Kau tahu, keputusan ini akan membawa banyak konsekuensi."

Fajar menatap Rendra tajam di ruang tamu rumah besar keluarga Santoso, wajahnya keras tanpa menyembunyikan kemarahan yang telah ia tahan selama beberapa waktu.

Rendra duduk berhadapan dengannya, matanya tajam namun tenang, seolah siap menerima apa pun yang akan disampaikan oleh sepupunya.

"Aku paham, Fajar," jawab Rendra pelan namun tegas. "Aku sudah memilih jalan ini, dan aku siap menanggung semua risikonya."

Fajar menghela napas, menatap Rendra dengan tatapan yang sulit ditebak. "Rendra, ini bukan hanya soal dirimu. Ini soal keluarga, soal harga diri kita. Kau tahu, bukan hanya Paman yang akan merasa kecewa. Seluruh keluarga besar akan merasa dikhianati oleh keputusanmu.”

Rendra hanya menatapnya, mencoba menahan rasa sakit yang terasa menghimpit di dadanya. Meski ia berusaha kuat, kata-kata Fajar tetap terasa menyayat, seperti pisau tajam yang menusuk harga dirinya.

Ia tahu bahwa keputusannya untuk memperjuangkan cinta dengan Arum tak akan mudah diterima oleh keluarganya, namun ia juga tahu bahwa mengikuti rencana pernikahan yang tak diinginkannya akan menghancurkan kebahagiaannya.

"Aku paham, Fajar," ulang Rendra, suaranya lebih berat. "Tapi, jika aku menyerah pada cinta hanya demi kehormatan keluarga, hidupku akan hampa. Aku tak bisa berpura-pura mencintai Intan, dan aku tak bisa menjalani hidup yang dipaksakan kepadaku."

Fajar mendengus, lalu menatap Rendra dengan tatapan tajam yang penuh dengan rasa kecewa. “Kau tak pernah benar-benar paham tanggung jawab, Rendra. Kau tak pernah menghargai semua yang telah diberikan oleh keluarga ini. Kau hanya memikirkan dirimu sendiri.”

Namun, sebelum Rendra bisa membalas, Fajar mengangkat tangannya, menahannya untuk berbicara lebih lanjut. “Kau tak perlu menjawab. Aku tahu kau tak akan mengubah keputusanmu. Tapi aku hanya ingin kau ingat, bahwa pilihan ini akan memisahkanmu dari semua yang telah kau miliki.”

Rendra terdiam, meskipun hatinya memberontak, ia tahu bahwa Fajar juga tengah mempertaruhkan harga dirinya di depan seluruh keluarga. Tapi Fajar menutup percakapan itu dengan satu kalimat yang membuat Rendra terkejut.

“Aku akan bicara pada Paman,” kata Fajar. “Tapi jangan berharap aku akan mendukung keputusanmu ini.”

Rendra mengangguk, meski hatinya terasa berat. Ia tahu, apapun yang terjadi, Fajar telah memutuskan untuk menentangnya.

**

Beberapa hari kemudian, Arum menerima kabar dari Rendra yang mengatakan bahwa keputusan itu sudah resmi, dan keluarga Santoso tidak lagi mendukungnya. Bahkan, semua akses ke fasilitas keluarga telah dicabut.

Kini, Rendra menjalani hidup mandiri, dan ia siap untuk memulai segalanya dari awal demi cinta mereka.

Di sisi lain, keluarga Arum juga mulai merasa resah dengan keputusan besar yang diambil oleh putrinya. Kakaknya, Bima, yang selama ini berusaha mendukung, merasa bahwa hubungan ini terlalu berisiko bagi adiknya.

Arum mengerti kekhawatiran keluarganya, namun ia tetap teguh pada pendiriannya. Ia tahu bahwa ini adalah keputusan terberat dalam hidupnya, dan ia siap menjalani segala konsekuensi bersama Rendra.

Malam itu, ketika Arum dan Rendra bertemu di taman kota yang menjadi tempat mereka berbicara sejak kepulangan Rendra, mereka duduk di bangku yang sama, merasakan kehangatan dalam kebersamaan yang begitu sederhana namun penuh makna.

“Kita akan mulai dari awal, Rendra,” kata Arum, mencoba menyemangati mereka berdua. “Kita mungkin tak punya dukungan keluarga, tapi kita punya satu sama lain.”

Rendra menggenggam tangan Arum, menatapnya dengan penuh cinta. “Aku bersyukur kamu tetap bersamaku, Arum. Kamu adalah alasan aku memiliki keberanian untuk memilih hidup ini. Bersamamu, aku merasa cukup, apa pun yang terjadi.”

Mereka berdua tersenyum, menikmati momen itu, namun di dalam hati, mereka sadar bahwa keputusan ini akan membawa mereka pada jalan yang penuh tantangan.

**

Di sisi lain, di rumah keluarga Santoso, Fajar duduk bersama Argono dan anggota keluarga lainnya. Suasana ruangan terasa tegang, dengan tatapan tajam yang ditujukan pada Fajar. Argono duduk di depan, wajahnya menunjukkan kemarahan yang belum sepenuhnya reda.

“Kita tak bisa membiarkan Rendra terus begini,” ujar Argono dengan suara berat. “Jika ia memilih untuk meninggalkan kita demi gadis itu, maka kita tak punya kewajiban lagi untuk mendukungnya.”

Fajar mengangguk, meski ada rasa tak nyaman di dalam hatinya. Ia tahu bahwa Rendra adalah sepupunya, saudara yang telah ia kenal sejak kecil. Namun, kesetiaan Fajar terhadap keluarga dan tanggung jawabnya sebagai pewaris membuatnya tak bisa sepenuhnya membela Rendra.

“Aku setuju, Paman,” jawab Fajar akhirnya. “Namun aku harap kita bisa memberinya kesempatan untuk kembali jika suatu saat ia menyadari kesalahannya.”

Argono menghela napas, raut wajahnya keras dan penuh determinasi. “Jika ia memang ingin kembali, ia harus membuktikan kesetiaannya pada keluarga ini. Tapi untuk saat ini, biarkan dia merasakan akibat dari pilihannya sendiri.”

Fajar mengangguk, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini adalah yang terbaik bagi keluarga. Namun, di dalam hatinya, ia masih merasakan kekosongan yang tak bisa ia ungkapkan.

Fajar mungkin tak sepenuhnya setuju dengan keputusan Argono, namun sebagai bagian dari keluarga besar Santoso, ia tahu bahwa ia tak punya pilihan selain mendukungnya.

**

Waktu berlalu, dan Rendra serta Arum menjalani hidup sederhana namun bahagia. Mereka tinggal di sebuah apartemen kecil, jauh dari kemewahan yang dulu dimiliki Rendra. Meski kadang hidup terasa sulit, Rendra merasa bebas, tanpa tekanan keluarga yang mengatur setiap langkahnya.

Bagi Arum, menjalani hidup bersama Rendra adalah kebahagiaan yang tak bisa ia dapatkan dari hal lain.

Namun, di balik kebahagiaan itu, Arum masih merasakan kekhawatiran yang mendalam. Ia tahu bahwa keputusan mereka akan selalu membawa konsekuensi, dan meskipun mereka telah siap menghadapinya, Arum tetap merasa bahwa suatu saat, mereka akan diuji oleh tantangan yang lebih besar.

Suatu sore, ketika mereka tengah menikmati secangkir teh di balkon apartemen, Rendra menerima telepon yang membuatnya terdiam. Itu adalah Fajar.

“Rendra,” suara Fajar terdengar dingin di seberang telepon, “aku ingin bicara.”

Rendra terkejut, meskipun ia berusaha menjaga nada suaranya agar tetap tenang. “Fajar… ada apa?”

“Aku tahu kita telah membuat keputusan yang berbeda, tapi ini bukan berarti aku bisa melupakanmu sebagai saudara,” kata Fajar dengan nada serius.

“Aku hanya ingin mengingatkanmu bahwa keputusanmu ini akan selalu membawa dampak bagi kami semua. Jadi, jangan pernah menganggap ini hanya soal dirimu dan Arum saja.”

Rendra merasakan emosi campur aduk. Ia ingin menjelaskan perasaannya, namun di sisi lain, ia tahu bahwa Fajar hanya akan menganggap semua ini sebagai bentuk egoisme. “Aku mengerti, Fajar. Tapi aku juga tahu, ini adalah jalan yang harus aku ambil. Aku tak ingin menjalani hidup dengan kebohongan.”

Fajar terdiam beberapa saat sebelum akhirnya melanjutkan, “Jika kau memang sudah memutuskan, aku berharap kau siap untuk menanggung semua yang datang setelah ini.”

Rendra mengangguk, meskipun Fajar tak bisa melihatnya. “Aku siap, Fajar. Aku akan menjalani semua ini, dan aku tak akan menyesal.”

Fajar menutup telepon tanpa mengucapkan salam perpisahan, meninggalkan Rendra dalam keheningan yang berat. Arum, yang duduk di sampingnya, memperhatikan ekspresi di wajah Rendra yang tampak gelisah.

“Siapa yang menelepon?” tanyanya pelan.

“Fajar,” jawab Rendra, lalu menghela napas panjang. “Dia hanya ingin mengingatkan bahwa keputusan kita akan membawa dampak bagi semua orang.”

Arum menggenggam tangan Rendra, menatapnya dengan penuh kasih. “Rendra, kita telah memilih jalan ini. Dan apa pun yang terjadi, aku akan tetap bersamamu.”

Rendra tersenyum, meski ia merasakan kekhawatiran yang tak bisa ia hilangkan. “Terima kasih, Arum. Kamu adalah alasan aku bisa bertahan.”

Dengan hati yang teguh, mereka menatap malam yang mulai turun, merasakan ketenangan yang mereka temukan dalam satu sama lain. Meski mereka tahu bahwa jalan di depan akan penuh tantangan, mereka memilih untuk tetap bersama, untuk memperjuangkan cinta yang telah mengikat hati mereka.

Namun di balik langit malam yang tenang, badai yang lebih besar tengah menanti mereka, sebuah ujian yang akan mengguncang segalanya—dan menguji seberapa kuat cinta mereka dalam menghadapi takdir yang begitu berat.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Hati yang Terikat Takdir   Chapter 100 - Cinta yang Terlahir Kembali

    “Arum, apakah kamu yakin sudah siap?” suara lembut Rendra terdengar, suaranya mengandung keraguan sekaligus harapan. Mereka berdiri di sebuah taman kecil yang dikelilingi pohon-pohon berbunga, diapit oleh senja yang memancarkan cahaya keemasan.Arum mengangguk pelan, memandang Rendra dengan tatapan yang tenang namun sarat makna. “Aku siap, Rendra,” jawabnya dengan suara mantap. “Untuk segala hal yang telah kita lalui, dan apa pun yang akan datang.”Senja di taman itu menjadi saksi kehangatan dan kedamaian yang akhirnya bisa mereka raih. Hanya dihadiri keluarga terdekat dan sahabat-sahabat terbaik, mereka memutuskan untuk memperbarui janji pernikahan mereka dalam keheningan, jauh dari keramaian dan drama yang dulu pernah membayangi hubungan mereka.Di sudut taman, Ratna, yang hadir bersama Aldi, menatap Arum dengan senyum bangga di wajahnya. Aldi, yang berdiri di sebelahnya, menganggukkan kepala seolah ikut merasakan kebahagiaa

  • Hati yang Terikat Takdir   Chapter 99 - Kesuksesan Ratna

    "Arum, kamu datang juga akhirnya!" Suara Ratna terdengar penuh semangat saat melihat sahabatnya melangkah masuk ke galeri tempat pameran terbarunya. Ratna segera menghampiri Arum, memeluknya dengan erat."Aku kan sudah janji, Na. Aku ingin lihat langsung semua karya hebatmu ini," jawab Arum sambil tersenyum hangat, matanya penuh kekaguman melihat ruangan galeri yang dipenuhi karya-karya Ratna.Dinding-dinding galeri dihiasi dengan lukisan-lukisan batik kontemporer yang unik, setiap goresannya memancarkan ekspresi hati dan jiwa Ratna.Ratna tertawa kecil sambil memandangi Arum. “Akhirnya, aku bisa berdiri di sini, Arum. Setelah semua yang terjadi…,” suara Ratna melirih, mengingat perjalanan panjang dan penuh rintangan yang telah ia lalui.Arum menepuk lengan Ratna pelan, seolah ingin menguatkannya. “Kamu pantas mendapatkan ini semua, Na. Setiap kerja keras, setiap air mata. Aku bangga padamu,” kata Arum dengan tatapan yang tu

  • Hati yang Terikat Takdir   Chapter 98 - Awal yang Baru

    "Apakah kita benar-benar siap untuk ini, Ren?" Arum bertanya sambil menatap mata Rendra yang penuh keyakinan.Rendra menggenggam tangan Arum erat. “Kalau kita tidak mencoba, kita tidak akan pernah tahu, kan?”Mereka berdiri di depan rumah kecil yang baru saja mereka sewa. Rumah itu sederhana, jauh dari kemewahan yang pernah mereka bayangkan, tetapi terasa hangat.Hawa sore yang sejuk menyusup di antara dedaunan pohon mangga di halaman, membawa aroma tanah yang khas dan memberi suasana damai.Arum memandang rumah itu dengan senyum tipis. “Aku suka rumah ini, Ren. Sederhana, tapi terasa seperti rumah sungguhan.”Rendra tersenyum, menyadari bahwa itulah yang ia inginkan selama ini. Rumah kecil dengan Arum, bukan istana megah yang dipenuhi intrik dan beban masa lalu.“Kamu tahu, Arum, ini mungkin pertama kalinya dalam hidupku aku merasa benar-benar tenang. Tidak ada tekanan dari keluarga, tidak ada skandal, hanya...

  • Hati yang Terikat Takdir   Chapter 97 - Rekonsiliasi

    “Apakah kamu sungguh yakin, Arum?” Rendra menatap dalam mata Arum, seolah berusaha menemukan keyakinan di sana.Arum tersenyum lembut, menggenggam tangan Rendra. “Aku yakin, Rendra. Aku juga sudah lelah berlarut-larut dalam keraguan. Mungkin kita memang harus melalui semua ini untuk benar-benar mengerti apa artinya kebersamaan.”Rendra mengangguk pelan, mata cokelatnya berkedip-kedip menahan emosi. Mereka duduk berhadapan di taman kecil yang penuh kenangan, di mana mereka berkali-kali bertemu dan berkali-kali pula bertengkar.Namun, sore ini terasa berbeda. Udara sore terasa hangat, dan aroma bunga melati yang lembut memenuhi suasana.“Aku ingin kita mulai dari awal,” ucap Rendra dengan nada mantap. “Tanpa janji-janji besar. Cukup kita saling percaya dan berjalan bersama.”Arum merasakan haru mengalir di hatinya. Semua luka yang pernah ada, semua pertengkaran dan air mata, perlahan-lahan terasa memuda

  • Hati yang Terikat Takdir   Chapter 96 - Keputusan Arum

    “Kamu yakin, Arum?” Suara Dimas terdengar lembut, penuh perhatian. Mereka duduk di beranda rumah keluarga Arum, ditemani angin malam yang sejuk dan secangkir teh hangat di tangan masing-masing.Arum menatap secangkir teh di pangkuannya, jari-jarinya membelai pinggiran cangkir dengan gerakan pelan. “Aku... mungkin ini aneh, Om, tapi aku tetap merasa ada sesuatu di antara aku dan Rendra yang sulit aku lepaskan. Meskipun... semua hal yang terjadi membuatku bertanya-tanya.”Dimas mengangguk, mendengarkan dengan penuh perhatian. “Kadang cinta memang tidak mudah, Arum. Hubungan yang paling berarti sering kali yang paling sulit dipertahankan. Tapi, yang penting, kamu tahu kenapa kamu memilih untuk bertahan.”Arum menatap jauh ke depan, pandangannya melewati taman kecil di halaman rumah yang dipenuhi bunga-bunga warna-warni. Keindahan itu, sekilas, mengingatkan dirinya pada momen-momen indah yang pernah ia alami bersama Rendra.

  • Hati yang Terikat Takdir   Chapter 95 - Kemandirian Ratna

    “Aldi,” suara Ratna terdengar lembut, tapi tegas. Mereka duduk berhadapan di sebuah kafe kecil yang tenang, dikelilingi oleh keramaian orang-orang yang tenggelam dalam percakapan mereka masing-masing. Namun, di antara mereka berdua, suasana terasa begitu hening, hampir seolah waktu berhenti.Aldi menatap Ratna dengan cermat, wajahnya sedikit bingung. "Ada apa, Ratna? Kamu kelihatan... serius hari ini."Ratna tersenyum kecil, namun ada sedikit kesedihan dalam tatapannya. “Aku rasa kita perlu bicara. Tentang kita.”Mata Aldi memancarkan keterkejutan. "Maksudmu... hubungan kita?"Ratna mengangguk pelan, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Selama ini, kamu selalu ada untukku, bahkan di saat aku merasa paling jatuh. Kamu memberi dukungan yang luar biasa, dan aku sangat menghargainya. Tapi...”Aldi meraih tangan Ratna, menggenggamnya dengan lembut. “Tapi apa, Ratna? Apa yang kamu rasakan?”Ratna menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberania

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status