Share

10. Nehan Mahadi

Mimi makin sibuk tetapi makin bersemangat. Seminggu dua kali latihan paduan suara. Terasa hobinya tuntas tersalurkan di sana. Latihan vokal yang dia dapat mematangkan tekniknya dalam bernyanyi. Juga seru, dia makin punya banyak teman.

Yang lebih asyik lagi, Kak Nehan Mahadi. Mimi bisa melihatnya membuat harinya makin cerah rasanya. Nehan ramah, supel, dan ngocol. Seru banget latihan bersamanya. Tidak disangka, waktu mereka dibagi dalam kelompok kecil, Nehan menjadi mentor kelompok Mimi. 

Sekarang, Mimi mulai kenal dekat siapa Nehan. Dia dari Fakultas Teknik, sudah mulai mengerjakan skripsi. Dia asli dari Jember, salah satu kota di Jawa Timur. Lahirnya 24 Mei. Mimi mencatat semua informasi tentang Nehan. Dan apapun yang ada hubungannya dengan pria itu menarik buat Mimi.

Suaranya lagi kalau menyanyi, tenor abis. Bikin Mimi merinding saat dia menarik nada tinggi dan pakai falsetto. Teknik vokalnya benar-benar mantap dan matang. Misal dia pingin jadi penyanyi dan mendaftarkan diri ikut audisi pencarian bakat, Mimi yakin pasti lolos. 

“Oke, sampai minggu depan, ya? Kita akan coba satu lagu full. Jadi kalian berlatih di rumah, waktu pertemuan selanjutnya, kalian sudah siap.” Nehan memberi pesan terakhir sebelum latihan hari itu selesai dan mereka bubar.

“Siap, Kak!” Semua menjawab dengan semangat.

Mimi bersiap pulang. Dia lihat jam di tangannya sudah hampir jam lima sore. 

“Mi, bisa tinggal sebentar?” Nehan memanggil Mimi.

Deg! Dada Mimi berdegup. Dipanggil Nehan? Ada apa, ya?

“Iya, Kak.” Segera Mimi mendekat pada laki-laki itu.

“Mi, untuk lagu ini, pada bagian bridge, kita akan nyanyi bareng. Kamu pelajari, latihan minggu depan kita coba. Bisa?” Nehan menunjukkan bagian yang dia mau berduet dengan Mimi.

Hati Mimi berbunga. Ternyata kata-kata Nehan saat audisi dulu dipenuhi. Dia bukan sekedar iseng ngomong. Dia sudah merencanakannya. Sekarang dia beritahu Mimi soal itu.

“Iya, siap, Kak.” Mimi mengangguk mantap.

“Kamu pulang sendiri?” Nehan bertanya.

“Iya, Kak,” jawab Mimi.

“Kamu tinggal di mana?” Sambil berjalan meninggalkan ruang latihan mereka masih bicara.

“Di perumahan …” Mimi menyebutkan alamatnya tinggal.

"Oh? Aku lewat situ, sih. Mau bareng?" Nehan menawari. 

Serius? Pulang dengan kakak ganteng dan keren ini? Hati Mimi meletup. 

"Eh, bareng, Kak? Ga ngrepotin?" Mimi masih belum yakin. 

"Iya. Lumayan irit bayar ojol." Nehan menggoda Mimi. 

"Ehh ... boleh, deh. Makasih sebelumnya, Kak." Mimi mengiyakan juga. Makin degdegan rasanya. 

Mereka menuju ke parkiran. Nehan membuka mobilnya. 

"Masuklah," ucap Nehan. Dia lebih dulu masuk dan duduk di belakang kemudi.

Mimi ragu-ragu, berdua dalam mobil? Apa tidak apa-apa? 

"Ayo, ga usah malu. Teman-teman juga biasa kok, nebeng sama aku." Nehan tersenyum. 

"Iya, Kak." Mimi pun masuk dan duduk di sebelah Nehan. 

Nehan menjalankan kendaraannya. Mobil ini lumayan keren. Bukan yang paling baru dan nge-trend, tapi tergolong mobil kelas menengah. Mimi bisa mengira Nehan anak orang kaya. 

"Kamu asli Surabaya, kan?" Nehan mulai percakapan. 

"Iya, Kak." Mimi menjawab. Dia lihat Nehan sebentar, lalu kembali melihat jalanan. 

"Berarti sering pulang, dong. Kan dekat, dua jam aja?" Nehan membunyikan klakson, memberi kode dia akan menyalip kendaraan di depannya. 

"Ga terlalu sering, Kak. Sejak kuliah baru dua kali pulang. Tapi sering telpon papa dan mama," jawab Mimi. 

"Ooh ..." Nehan manggut-manggut. "Aku dulu kalang kabut waktu baru kos. Di rumah semua ada yang bantu. Lha, di sini harus bisa sendiri. Rasanya mau minta satu pembantu aku bawa ke sini, haa ... haa ... Tapi, akhirnya bisa juga." 

Mimi ikut mesem mendengar cerita Nehan. 

"Berapa orang yang kos di tempat kamu?" Nehan mengira Mimi kos. 

"Aku tinggal dengan temannya Mama. Jadi bukan kos." Mimi menjelaskan. 

"Ooh ... Gitu ... Lebih enak, ya, ga ribut. Kalau di kosan, kadang ribut ampun. Ada saja yang ga bisa ikut aturan, semau sendiri. Tapi karena biasa, ya udah ga ngefek." Nehan membelokkan mobil ke arah kiri. 

"Gimana kamu ikut paduan suara? Nyaman? Ada yang sulit?" Nehan tidak habisnya bertanya ini itu. Tapi membuat Mimi nyaman. 

"Nyaman, Kak. Aku senang. Hobi bisa tersalurkan, punya banyak teman juga. Dan Kak Nehan yang jadi mentornya, asyik." Jujur, Mimi mengatakan yang dia rasa, meski sedikit malu-malu. 

Nehan tersenyum lebar. Dia memperhatikan Mimi. Gadis lugu dan apa adanya. Sepertinya seru juga bisa dekat dengan Mimi. 

"Maksudnya aku baik?" tanya Nehan. 

"Gitu, deh ... Hee ... hee ..." Mimi melebarkan bibirnya. 

"Bentar lagi, sampai. Masuk gang depan itu, kan?" Nehan melihat ke jalanan di depannya. 

"Iya, Kak. Gang kedua masuk, rumah nomor 37." Mimi menjelaskan. 

"Oke." Nehan mengikuti arahan Mimi. 

Dua menit berikut mereka tiba di depan rumah Velia. Mobil berhenti tepat di depan pagar rumah. Mimi turun dari mobil hitam keren itu. 

"Terima kasih, Kak," kata Mimi. 

"Ga diajak mampir, nih?" Nehan menyahut. Sedikit basa basi, tapi jika boleh dia akan tahu lebih jauh Mimi seperti apa. 

"Eh ... Ga bisa, maaf ... Ga enak sama Tante Velia dan Kak Allan. Maaf, ya, Kak." Mimi menjawab gugup. 

"Ga apa, Mi. Aku cuma basa basi, kok. Bye." Nehan tersenyum lalu menjalankan lagi mobilnya, menuju ke arah keluar perumahan. 

Mimi membuka pagar, berjalan ke teras rumah. Begitu dia akan buka pintu, dari dalam pintu dibuka seseorang lebih dulu. Allan, dia berdiri di sana, memandang Mimi. 

"Sore, Kak." Mimi menyapa. 

"Pulang sama siapa?" Allan bertanya dengan nada kaku, agak ketus. 

"Itu ... Kakak mentor di paduan suara." Mimi menjawab dengan sedikit takut. 

"Oh ..." Allan masih menatap Mimi membuat Mimi salah tingkah. 

"Dia lewat arah sini, jadi diajak bareng." Mimi menambahkan. 

"Hm ..." Allan berbalik, berjalan meninggalkan Mimi, masuk ke dalam kamarnya. 

"Uuhhffhh ..." Mimi menarik napas dalam. "Kenapa aku merasa seperti berbuat dosa, ya? Cuma pulang bareng. Apa aku yang terlalu takut sama Kak Allan?"

Mimi masuk ke kamarnya. Dia letakkan tas, melepas sepatu, mengambil ponselnya. Dia chat Dayinta. 

-Day, lagi apa? 

Tidak lama Dayinta membalas. 

- abis mandi. Napa? 

Mimi tersenyum. 

- aku pulang bareng kak Nehan. 

Dayinta langsung membalas. 

- cius? Kakak keren itu? Kok bisa? 

Dayinta ga sabar, dia telpon Mimi. 

"Gitu ... Jadi barengan, deh," kata Mimi menceritakan gimana bisa dia diantar pulang Nehan. 

"Mi, kamu yakin suka dia?" Dayinta bertanya tanpa ba bi bu. Dia memang ceplas ceplos.

"Iya ... Aku mulai yakin ... Suka sama Kak Nehan ... Kok kayaknya dia mendekat, ya?" Gemuruh rasanya di dada Mimi bicara tentang Nehan. 

"Kalau dia baik, lalu sayang kamu, ya kenapa nggak? Tapi bener dia ga punya pacar, Mi?" Dayinta berpikir. Nehan kan, ganteng, keren, punya potensi segitu bagus, mana mungkin ga punya cewek.

"Iya juga, ya ... Ah, aku ini kege-eran kali, Day. Merasa dia juga suka aku, makanya perhatian gitu. Ngajak duet, lalu ngajak pulang bareng," tukas Mimi. 

"Lihat aja nanti gimana. Kalau bener dia jomblo, mendekat, tancap, Mi. Kalau ternyata udah ada cewek, kamu ga akan kecewa banget. Iya, kan?" Dayinta sok menasihati Mimi. 

"Emang bisa gitu? Aku kok takut, Day," ujar Mimi. Dia duduk bersila di atas kasurnya. 

"Kamu belum pernah pacaran?" tanya Dayinta. Dari gelagat Mimi, jelas gadis ini masih polos banget. 

"Belum. Ga ada yang nembak. Pernah suka teman, dua kali. Eh, tiga kali, sama Kak Allan." Mimi memang sangat polos. 

"Kamu suka makhluk antik itu?" Dayinta agak kaget juga dengan pengajuan Mimi. 

"Hee ... hee ..." Mimi tersenyum malu-malu. "Dulu, waktu Kak Allan masih baik. Ga kayak sekarang."

"Sebelum dia jadi antik?" tukas Dayinta. 

"Hmm ... Kalau sekarang, lihat dia aja udah pingin ngacir," sahut Mimi. 

"Lalu, misi makanan kesukaan? Katanya mau coba luluhkan hatinya?" Dayinta mengingatkan rencana Mimi. 

"Eh, iya ... Aku sudah beli bahannya juga. Apa besok aja ya, aku buatin? Kan besok libur." Mimi berpikir.

"Coba saja. Setidaknya kamu di rumah jadi ga kayak asing sama dia. Kalau berhasil misi kamu," dukung Dayinta. 

"Okelah ..." Mimi memutuskan. 

*****

Hari libur lagi, Mimi bersiap akan melakukan misinya. Membuatkan puding spesial buat Allan. 

Dia ingat, Allan suka puding. Pernah mama Mimi bawakan Allan sekali duduk bisa habis lima potong. Kata Allan waktu itu, puding rasa coklat paling enak, paling dia suka. Dan hari ini Mimi akan buatkan puding coklat buat Allan. 

"Mi, Tante pergi dulu. Kamu ga usah bereskan semua kalau capek. Istirahat saja, kerjakan seperlunya. Minggu depan kita bereskan rumah sama-sama." Velia berpesan pada Mimi. Dia ikut kegiatan aksi sosial dengan teman sekantornya ke sebuah yayasan anak. 

"Iya, Tan," kata Mimi. "Tante pulang jam berapa?"

"Sepertinya sampai gelap baru bisa balik. Tempat yang dituju di pinggiran kota. Kamu minta bantuan Allan kalau perlu apa-apa." Velia mengangkat tasnya. 

"Ehh ... Iya ..." Ragu Mimi menjawab. 

"Kamu di sini Allan jauh lebih tenang. Dia tidak lagi mudah murung dan uring-uringan. Dia sudah lebih jarang mimpi buruk," ucap Velia sambil berjalan keluar rumah. 

"Mimpi buruk?" Mimi berkata pelan. 

"Ya ... Dia sering mimpi buruk tentang kejadian tragis yang dia alami. Tapi sekarang sudah makin jarang. Jika kamu bisa berteman dengannya, mungkin dia akan makin baik lagi." Velia menjelaskan situasi Allan. 

"Ohh ... Iya, Tan. Aku coba." Mimi mengangguk.

Setelah Velia pergi, Mimi menutup pintu rumah dan menuju dapur. Melewati ruang kerja Allan, Mimi berhenti. Dia menempelkan telinga di pintu, mencoba mendengar sesuatu. Sepi. Tidak ada suara apapun. 

Mimi menurunkan badannya. Dia mengintip dari cela kunci pintu. Sedikit terlihat Allan duduk menghadap kanvas. 

"Melukis terus. Sudah puluhan lukisannya. Sayang, cuma ditumpuk doang. Padahal dia bisa jadi seniman hebat. Sayang banget." Mimi berdiri, melanjutkan langkah kakinya ke dapur. Dia akan berikan kejutan buat Allan hari ini. 

*

*

Apa kejutan Mimi berhasil? Lanjut yukk ...  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status