Share

9. Suka Memandangnya

Dag dig dug di dada Mimi makin jadi memandang wajah tampan di depannya. Sebenarnya Allan masih lebih ganteng, tapi ada raut khas wajah Nehan yang membuat dia begitu menarik. 

"Sampai minggu depan. Aku sudah mikir kita bisa duet bareng, nih, di satu momen nanti." Nehan kembali tersenyum. 

Kata-kata itu membuat Mimi makin melambung. Duet? Sama di keren ini? Wajah Mimi memerah. 

"Ah, iya, Kak ...," ujar Mimi sambil tersenyum malu-malu, lalu dia berjalan keluar ruangan besar itu. 

“Dia cantik sekali.” Bram bicara sambal melihat Mimi yang berlari kecil meninggalkan ruangan itu.

“Mau, Bram?” ujar Nehan.

“Kalau masih jomblo, oke. Tapi aku sudah ada cewek, Bro, harus setia,” tukas Bram menoleh pada Nehan.

“Cie … setia …” Nehan menggeleng. Bram selama ini dikenal suka gonta ganti pacar.

“Udah, Guys, lanjut … masih panjang antrian.” Finda nyeletuk.

“Oke.” Dan terdengar nama yang lain dipanggil untuk maju memulai audisinya. 

Di luar ruangan, Mimi merasakan lebih lega. Perlahan degupan jantungnya melambat, bukan, kembali normal. 

Sambil terus berjalan menjauh dari aula itu, Mimi menyusuri hatinya. Dia merasa ada degupan aneh di dadanya saat dekat Nehan. Apa dia naksir kakak tingkatnya itu? Detak jantungnya begitu cepat, rasanya kikuk dan serba salah di dekatnya, tapi dia terkagum-kagum pada Nehan. 

"Namanya juga unik. Nehan. Apa artinya?" Pikiran Mimi masih dipenuhi Nehan. Mimi jadi ga sabar, kalau nanti mulai berlatih, pasti seru bertemu dengan Nehan lagi. 

Pikirannya dipenuhi Nehan. Dia sudah tingkat berapa, dari fakultas apa. Orangnya seperti apa. Mimi berjalan terus ke arah gerbang kampus.  Padahal harusnya dia ga perlu jalan jauh. Langsung pesan ojol bisa. Tapi karena melamun dia berjalan lumayan jauh. 

"Mimi!!" Itu suara Dayinta. Mimi menoleh. Dayinta berlari kecil mendekati Mimi. "Kamu udah kelar? Hasilnya?"

"Lolos! Minggu depan mulai latihan. Kamu gimana?" Mimi bertanya soal latihan karate Dayinta. 

"Lancar, ga ada masalah." Dayinta melangkah di sisi Mimi. 

“Bagus, deh,” tukas Mimi. “Langsung pulang, kan?”

“Iya, udah gerah banget. Aku udah pesan ojol, dikit lagi nyampai.” Dayinta memperhatikan ponselnya, mengecek driver sampai di mana.

“Eh, aku malah lupa belum pesan. Bentar.” Mimi berhenti. Dia segera buka aplikasi ojol dan memesan kendaraan.

“Tuh, driver-ku datang. Aku duluan, Mi. Sampai besok.” Dayinta melambai, berlari kecil ke arah driver yang ada sudah menunggu.

“Bye …” Mimi melambai pada Dayinta. 

Tiga menit berikut driver Mimi datang juga. Segera dia meluncur menuju rumah.

*****

Seperti biasa rumah itu sepi. Di dalam Allan sedang menyelesaikan gambarnya. Meski dengan emosi yang naik turun, akhirnya dia bisa selesai juga melukis kejadian kecelakaan Yashinta. Lukisan dengan background gelap itu terpampang di depannya. Allan memandanginya. Hatinya bergemuruh.

“Wanita gila! Kamu benar-benar tak punya hati! Allan dan aku bersahabat sudah lama. Bisa kamu mempermainkan aku dan Allan begini!? Lebih baik kamu mati!” Teriakan itu kembali muncul di kepala Allan.

Yudha, sahabatnya, kalap, setelah mengetahui Yashinta mempermainkan cintanya, sengaja menghancurkan persahabatannya dengan Allan.

“Hee … hee …” Tawa mengejek muncul di bibir seksi Yashinta. Terlihat dia senang dengan ledakan emosi Yudha.

“Ahh!!” Yudha menonjok dinding kelas yang sudah sepi.

“Yudha! Sudahlah … Kita pergi saja!” Allan cepat menarik Yudha dan mengajak temannya itu keluar kelas.

Yashinta masih tersenyum sinis dan merasa menang, memandang dua pria yang telah dia taklukkan.

Di luar kelas, Yudha menyentakkan lengannya yang dipegang Allan.

“Kamu bisa terima dihina dan direndahkan perempuan itu?!” Yudha menatap Allan tajam. 

“Aku marah dan sakit hati. Tapi ga harus kayak gini, Yudha. Kita sudah tahu semua sekarang. Aku ga mau musuhan lagi sama kamu.” Allan bicara tegas pada sahabatnya itu. 

Allan anak tunggal. Yudha, buat Allan seperti saudara. Hubungan mereka sangat dekat selama ini. Tapi gara-gara Yashinta, mereka sempat saling membenci dan bermusuhan.

“Aku mengira kamu menikungku, Lan. Sahabatku, yang kuanggap saudara, tiba-tiba bermain api di belakangku dengan cewek yang aku sayangi … Aku ga bisa dibuat gini, Lan!” Yudha benar-benar tidak bisa menerima perlakukan Yashinta.

Yudha memang cinta mati pada Yashinta. Semua yang Yashinta mau, dia dengan suka memberikannya. Uang, barang mahal, kewemahan, semuanya, hingga di ranjang sekalipun. Prinsip Yudha menjaga kemurnian hubungan sampai pernikahan akhirnya luntur karena alasan cinta pada gadis itu. Ternyata semua hanya palsu dan permainan Yashinta belaka.

Dan karena itu, Yudha benar-benar kalut. Kemarahan yang tak terkendali membuat Yudha nekad menabrak Yashinta, hingga gadis yang dia cintai itu tewas di tempat kejadian. Yudha menangis meraung-raung melihat Yashinta tewas. Antara puas membalas sakit hatinya, menyesal, dan juga perih, semua meledak di sana.

Allan mengusap wajahnya. “Uuffhhh …” 

Yudha berada di penjara. Allan belum pernah menengok sahabatnya itu. Entah bagaimana kabar Yudha, Allan tidak tahu lagi.

Tok tok tok!

Pintu ruangan itu diketuk. Allan menoleh ke pintu. Dia tahu Mimi yang ada di sana. Beberapa hari terakhir, Velia selalu pulang lebih malam, Mimi yang menyiapkan makan malam. Selesai dia masak, dia akan memanggil Allan makan, lalu dia masuk ke kamarnya.

Allan bangun dari kursinya, melangkah ke pintu. Dia buka pintu dan melihat Mimi berdiri di sana.

“Maaf, makan malam sudah siap, Kak. Silakan makan.” Lalu gadis itu melangkah menjauh.

Allan hanya menatap Mimi yang menuju kamarnya. Allan ke ruang makan. Masakan sederhana yang Mimi buat. Itupun dia lihat resep di G****e, tapi rasanya tidak buruk, meski tidak sangat enak. Allan duduk, menghadapi sup dengan ayam goreng dan kerupuk, plus sambal di piringnya.

“Thank you, Mi.” Allan bergumam. Lalu dia mulai makan. Tidak ingin makan, tidak merasa lapar. Hanya makan saja.

Selesai itu, Allan ke depan, ke kamarnya, yang ada di sebelah kamar Mimi. Hampir dia membuka pintu, ia mendengar Mimi bernyanyi. Diiringi dentingan dawai gitar yang Mimi mainkan.

“Never … never enough … Never never…” Pelan terdengar karena pintu kamar Mimi juga tertutup.

“Suara kamu bagus memang,” Allan menikmati suara manis dan merdu Mimi. Lumayan juga permainan gitarnya.

Allan masuk ke kamarnya, dia pergi mandi. Berlama-lama dia mengguyur badannya di bawah shower. Puas mandi, Allan berganti pakaian dengan kaos putih dan celana pendek coklat. Baru selesai, pintu kamarnya diketuk.

Allan yakin, Mimi yang ada di sana. Dia membuka pintu, seperti de javu, Mimi di sana berdiri memandang Allan.

“Aku sudah makan.” Allan memandang Mimi.

“Eh, aku … mau ke minimarket sebentar, Kak.” Mimi minta ijin keluar rumah.

“Oh … pergi aja,” sahut Allan datar.

“Makasih.” Mimi balik badan dan menuju keluar rumah.

Allan kembali memperhatikan Mimi hingga hilang dari pandangannya. Mimi cantik, baik, perhatian, dan cerdas. Allan suka memperhatikan Mimi diam-diam. Dia merasa nyaman mendengar suara gadis itu yang suka bernyanyi sambil mengerjakan sesuatu. Kadang dia bertingkah lucu seperti ABG, Allan suka senyum sendiri melihatnya. Ada rasa nyaman mengembang di hati Allan ketika dia mengingat gadis yang baru dewasa itu. 

“Mimi …,” ucap Allan lirih, dan dia masuk lagi ke dalam kamarnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status