Dag dig dug di dada Mimi makin jadi memandang wajah tampan di depannya. Sebenarnya Allan masih lebih ganteng, tapi ada raut khas wajah Nehan yang membuat dia begitu menarik.
"Sampai minggu depan. Aku sudah mikir kita bisa duet bareng, nih, di satu momen nanti." Nehan kembali tersenyum.
Kata-kata itu membuat Mimi makin melambung. Duet? Sama di keren ini? Wajah Mimi memerah.
"Ah, iya, Kak ...," ujar Mimi sambil tersenyum malu-malu, lalu dia berjalan keluar ruangan besar itu.
“Dia cantik sekali.” Bram bicara sambal melihat Mimi yang berlari kecil meninggalkan ruangan itu.
“Mau, Bram?” ujar Nehan.
“Kalau masih jomblo, oke. Tapi aku sudah ada cewek, Bro, harus setia,” tukas Bram menoleh pada Nehan.
“Cie … setia …” Nehan menggeleng. Bram selama ini dikenal suka gonta ganti pacar.
“Udah, Guys, lanjut … masih panjang antrian.” Finda nyeletuk.
“Oke.” Dan terdengar nama yang lain dipanggil untuk maju memulai audisinya.
Di luar ruangan, Mimi merasakan lebih lega. Perlahan degupan jantungnya melambat, bukan, kembali normal.
Sambil terus berjalan menjauh dari aula itu, Mimi menyusuri hatinya. Dia merasa ada degupan aneh di dadanya saat dekat Nehan. Apa dia naksir kakak tingkatnya itu? Detak jantungnya begitu cepat, rasanya kikuk dan serba salah di dekatnya, tapi dia terkagum-kagum pada Nehan.
"Namanya juga unik. Nehan. Apa artinya?" Pikiran Mimi masih dipenuhi Nehan. Mimi jadi ga sabar, kalau nanti mulai berlatih, pasti seru bertemu dengan Nehan lagi.
Pikirannya dipenuhi Nehan. Dia sudah tingkat berapa, dari fakultas apa. Orangnya seperti apa. Mimi berjalan terus ke arah gerbang kampus. Padahal harusnya dia ga perlu jalan jauh. Langsung pesan ojol bisa. Tapi karena melamun dia berjalan lumayan jauh.
"Mimi!!" Itu suara Dayinta. Mimi menoleh. Dayinta berlari kecil mendekati Mimi. "Kamu udah kelar? Hasilnya?"
"Lolos! Minggu depan mulai latihan. Kamu gimana?" Mimi bertanya soal latihan karate Dayinta.
"Lancar, ga ada masalah." Dayinta melangkah di sisi Mimi.
“Bagus, deh,” tukas Mimi. “Langsung pulang, kan?”
“Iya, udah gerah banget. Aku udah pesan ojol, dikit lagi nyampai.” Dayinta memperhatikan ponselnya, mengecek driver sampai di mana.
“Eh, aku malah lupa belum pesan. Bentar.” Mimi berhenti. Dia segera buka aplikasi ojol dan memesan kendaraan.
“Tuh, driver-ku datang. Aku duluan, Mi. Sampai besok.” Dayinta melambai, berlari kecil ke arah driver yang ada sudah menunggu.
“Bye …” Mimi melambai pada Dayinta.
Tiga menit berikut driver Mimi datang juga. Segera dia meluncur menuju rumah.
*****
Seperti biasa rumah itu sepi. Di dalam Allan sedang menyelesaikan gambarnya. Meski dengan emosi yang naik turun, akhirnya dia bisa selesai juga melukis kejadian kecelakaan Yashinta. Lukisan dengan background gelap itu terpampang di depannya. Allan memandanginya. Hatinya bergemuruh.
“Wanita gila! Kamu benar-benar tak punya hati! Allan dan aku bersahabat sudah lama. Bisa kamu mempermainkan aku dan Allan begini!? Lebih baik kamu mati!” Teriakan itu kembali muncul di kepala Allan.
Yudha, sahabatnya, kalap, setelah mengetahui Yashinta mempermainkan cintanya, sengaja menghancurkan persahabatannya dengan Allan.
“Hee … hee …” Tawa mengejek muncul di bibir seksi Yashinta. Terlihat dia senang dengan ledakan emosi Yudha.
“Ahh!!” Yudha menonjok dinding kelas yang sudah sepi.
“Yudha! Sudahlah … Kita pergi saja!” Allan cepat menarik Yudha dan mengajak temannya itu keluar kelas.
Yashinta masih tersenyum sinis dan merasa menang, memandang dua pria yang telah dia taklukkan.
Di luar kelas, Yudha menyentakkan lengannya yang dipegang Allan.
“Kamu bisa terima dihina dan direndahkan perempuan itu?!” Yudha menatap Allan tajam.
“Aku marah dan sakit hati. Tapi ga harus kayak gini, Yudha. Kita sudah tahu semua sekarang. Aku ga mau musuhan lagi sama kamu.” Allan bicara tegas pada sahabatnya itu.
Allan anak tunggal. Yudha, buat Allan seperti saudara. Hubungan mereka sangat dekat selama ini. Tapi gara-gara Yashinta, mereka sempat saling membenci dan bermusuhan.
“Aku mengira kamu menikungku, Lan. Sahabatku, yang kuanggap saudara, tiba-tiba bermain api di belakangku dengan cewek yang aku sayangi … Aku ga bisa dibuat gini, Lan!” Yudha benar-benar tidak bisa menerima perlakukan Yashinta.
Yudha memang cinta mati pada Yashinta. Semua yang Yashinta mau, dia dengan suka memberikannya. Uang, barang mahal, kewemahan, semuanya, hingga di ranjang sekalipun. Prinsip Yudha menjaga kemurnian hubungan sampai pernikahan akhirnya luntur karena alasan cinta pada gadis itu. Ternyata semua hanya palsu dan permainan Yashinta belaka.
Dan karena itu, Yudha benar-benar kalut. Kemarahan yang tak terkendali membuat Yudha nekad menabrak Yashinta, hingga gadis yang dia cintai itu tewas di tempat kejadian. Yudha menangis meraung-raung melihat Yashinta tewas. Antara puas membalas sakit hatinya, menyesal, dan juga perih, semua meledak di sana.
Allan mengusap wajahnya. “Uuffhhh …”
Yudha berada di penjara. Allan belum pernah menengok sahabatnya itu. Entah bagaimana kabar Yudha, Allan tidak tahu lagi.
Tok tok tok!
Pintu ruangan itu diketuk. Allan menoleh ke pintu. Dia tahu Mimi yang ada di sana. Beberapa hari terakhir, Velia selalu pulang lebih malam, Mimi yang menyiapkan makan malam. Selesai dia masak, dia akan memanggil Allan makan, lalu dia masuk ke kamarnya.
Allan bangun dari kursinya, melangkah ke pintu. Dia buka pintu dan melihat Mimi berdiri di sana.
“Maaf, makan malam sudah siap, Kak. Silakan makan.” Lalu gadis itu melangkah menjauh.
Allan hanya menatap Mimi yang menuju kamarnya. Allan ke ruang makan. Masakan sederhana yang Mimi buat. Itupun dia lihat resep di G****e, tapi rasanya tidak buruk, meski tidak sangat enak. Allan duduk, menghadapi sup dengan ayam goreng dan kerupuk, plus sambal di piringnya.
“Thank you, Mi.” Allan bergumam. Lalu dia mulai makan. Tidak ingin makan, tidak merasa lapar. Hanya makan saja.
Selesai itu, Allan ke depan, ke kamarnya, yang ada di sebelah kamar Mimi. Hampir dia membuka pintu, ia mendengar Mimi bernyanyi. Diiringi dentingan dawai gitar yang Mimi mainkan.
“Never … never enough … Never never…” Pelan terdengar karena pintu kamar Mimi juga tertutup.
“Suara kamu bagus memang,” Allan menikmati suara manis dan merdu Mimi. Lumayan juga permainan gitarnya.
Allan masuk ke kamarnya, dia pergi mandi. Berlama-lama dia mengguyur badannya di bawah shower. Puas mandi, Allan berganti pakaian dengan kaos putih dan celana pendek coklat. Baru selesai, pintu kamarnya diketuk.
Allan yakin, Mimi yang ada di sana. Dia membuka pintu, seperti de javu, Mimi di sana berdiri memandang Allan.
“Aku sudah makan.” Allan memandang Mimi.
“Eh, aku … mau ke minimarket sebentar, Kak.” Mimi minta ijin keluar rumah.
“Oh … pergi aja,” sahut Allan datar.
“Makasih.” Mimi balik badan dan menuju keluar rumah.
Allan kembali memperhatikan Mimi hingga hilang dari pandangannya. Mimi cantik, baik, perhatian, dan cerdas. Allan suka memperhatikan Mimi diam-diam. Dia merasa nyaman mendengar suara gadis itu yang suka bernyanyi sambil mengerjakan sesuatu. Kadang dia bertingkah lucu seperti ABG, Allan suka senyum sendiri melihatnya. Ada rasa nyaman mengembang di hati Allan ketika dia mengingat gadis yang baru dewasa itu.
“Mimi …,” ucap Allan lirih, dan dia masuk lagi ke dalam kamarnya.
Allan berdiri di altar menunggu Mimi akan masuk bersama Hendra. Hatinya berdetak makin kencang setiap melihat arloji di pergelangan tangannya, memastikan menit berjalan dan tidak lama lagi pengantinnya akan datang menemui dia. Velia duduk di kursi di deretan pertama. Ferdinand di sisinya. Momen yang tak pernah terpikir oleh Velia, mereka duduk bersama, menyaksikan putra mereka menikah. Kalaupun ada pikiran itu, Velia membuangnya jauh-jauh. Ferdinand suami orang lain. Dia singkirkan semua bayangan Ferdinand. Siapa yang tahu yang akan terjadi dalam hidup. Velia dan Ferdinand menjadi teman. Perlahan, Velia mampu mengubah sakit hati jadi pengalaman yang mendewasakannya. Cinta yang dalam pada Ferdinand, dia ubah menjadi rasa sayang pada seorang kakak. Lea duduk di belakang mereka bersama Astari, Devis, dan putra mereka yang lucu. Sayang, Andini tidak bisa datang pada acara pemberkatan. Dia mengatakan akan menyusul saat resepsi. "Mari hadirin sekalian, kita akan menyambut mempelai wanita
Hari-hari penuh kejutan seolah tiada habisnya. Itu yang Mimi rasakan. Kejutan baik dan menyenangkan, tetapi juga kejutan yang membuat hati rasa tidak karuan. Semua itu membuat up and down hari-hari yang dilalui. Megi, kejutan terakhir yang sempat membuat Mimi galau. Keinginannya untuk bersimpati membuka pintu lain yang tidak dia duga. Allan bertemu sahabat lamanya. Megi, yang Allan kenal dengan panggilan Rere. Setelah kunjungan ke rumah sakit hari itu, Allan terus berkomunikasi dengan Megi. Mimi tidak bisa melarang. Bagaimanapun mereka teman lama dan Megi sedang butuh bantuan. Allan juga selalu memberitahu Mimi apa saja yang Allan komunikasikan dengan temannya itu. Allan tidak ingin Mimi salah paham lalu hubungan mereka yang menjadi tidak baik. "Kamu yakin ga masalah Kak Allan dekat sama Megi?" Dayinta menimpali apa yang Mimi katakan padanya. "Aku harus larang? Hanya karena cemburu? Aku ga cemburu juga, sih. Hanya ada rasa ga nyaman saja." Mimi menelusuri hatinya. Dia harus percaya
Mimi, Allan, dan Velia mengantar Ferdinand, Lea, dan Astari, serta Bintang yang tampan ke bandara. Mereka akhirnya balik ke Bandung. Astari sudah cukup kuat. Begitu juga bayinya. Perusahaan juga sudah menunggu Astari kembali menata pekerjaan di sana. Melepaskan mereka pulang ternyata cukup mengharukan. Apalagi Mimi mulai terbiasa mendengar suara tangis bayi mungil itu. Mendengar Velia atau Lea menyanyi saat menggendong Bintang hingga bayi itu tidur dalam dekaoan mereka. Pasti akan lama bisa melihatnya lagi. Dari bandara, Allan meluncur menuju kantor Velia. Memang hari Sabtu, tetapi ada yang harus Velia kerjakan. Sedang Allan dan Mimi, meneruskan perjalanan kemudian ke rumah sakit. Mimi terus memikirkan Megi. Sejak tahu wanita itu kecelakaan, dia merasa iba dan ingin tahu seperti apa kondisinya. "Kamu mau menjenguk Megi? Dia yang selama ini bersikap mengesalkan sama kamu? Yakin?" Itu yang Allan katakan waktu mendengar permintaan Mimi. Mimi dengan mantap mengatakan memang ingin menje
Hati Mimi berdetak kencang. Pesan yang dia terima dari Megi membuat semua kegembiraannya seketika lenyap. Megi dipecat. Tentu saja dia sangat marah. Dia punya posisi dengan prospek bagus di kantor, sebagai asisten bagian pemasaran. Kalau sampai tiba-tiba itu lepas, dia harus mulai di tempat lain, tentu tidak mudah. Yang menjadi masalah adalah Mimi yang Megi anggap sebagai biang keladi! Sangat tidak masuk akal. Mimi ada di bagian lain di kantor itu. Dengan Megi juga jarang berurusan. Bagaimana bisa Mimi yang bersalah kalau Megi dipecat? Mimi berpikir, apa yang terjadi? Di mana letak kesalahannya? Dia bicara apa dengan Pak Guntur? Mimi tidak mengerti. Sepanjang malam Mimi jadi tidak tenang. Beberapa kali dia terbangun karena mimpi buruk. "Ah, Mi, kenapa kamu jadi takut kayak gini. Megi uda ga akan balik kantor. Tenang saja." Mimi menenangkan dirinya sendiri. Dia tegaskan kalau Megi hanya mengancam, karena dia kesal. Bisa jadi dia begitu kepada orang lain juga, bukan hanya Mimi. Mimi
Tangan Allan terulur, meraih jemari Mimi dan menyematkan cincin mungil di jari manis tangan kiri gadis berbalut gaun warna salem itu. Cantik, sangat pas buat dirinya. Mimi terlihat lebih dewasa tapi tidak terkesan lebih tua dari umurnya. Dengan senyum manis, sementara jantung yang terus meletup, Mimi ganti memasangkan cincin di jari manis tangan kiri Allan. Jarinya kuat, besar, dan panjang. Tangan Mimi terlihat begitu mungil berpegangan pada tangan Allan. Tepuk tangan terdengar dari keluarga yang hadir. Senyum menghiasi wajah orang tua Mimi, Viviana dan Hendra. Velia dan Ferdinand, kali ini duduk berdampingan. Ini hari istimewa Allan. Putra mereka resmi bertunangan dengan Mimi. Ferdinand tidak mengira, dia bisa hadir dan menyaksikan hari berharga ini. "Selamat ya ... makin sayang satu sama lain. Biar angin ribut menderu, tetap kokoh cintanya!" Melisa, kakak Mimi nyeletuk, membuat yang lain tertawa, sementara Mimi makin tersipu. Doa dinaikkan untuk keduanya. Agar dengan memasuki hub
Suara tangis bayi kembali terdengar, tapi kemudian hilang. Andini berdiri dan mendekat ke ruang bersalin. Dia yakin itu bayi Astari yang sudah lahir. Tangis yang membawa kebahagiaan. Sebuah kehidupan baru yang hadir. Mengubah banyak hal dalam kehidupan sebuah keluarga. "Suaranya kencang sekali. Pasti dia anak laki-laki yang kuat." Andini tersenyum. Hatinya campur aduk dengan kejadian tiba-tiba ini. Senang, tapi masih sedikit cemas. Apakah Astari baik-baik saja? Bayinya juga, apakah benar-benar sehat? Allan memandang Andini yang masih gelisah, tetapi senyum Andini belum hilang dari bibirnya. "Sudah tahu nama anaknya Kak Tari?" Allan bertanya. Andini kembali mendekati Allan, duduk di tempatnya semula. "Ya. Kak Tari pernah bilang, Bintang. Baru itu yang aku tahu, belum tahu lengkapnya. Aku ga sabar mau lihat dia." Pintu ruangan itu terbuka. Velia keluar dari sana. Allan dan Andini memandang Velia yang berjalan ke arah mereka. "Tan, gimana?" Andini menatap Velia. Velia tersenyum. "T