Share

2. Kenangan yang Bergantian Datang

Pesona Yashinta memang tidak bisa ditolak. Tapi untungnya, otak Allan masih waras. Dia selalu bisa menahan diri tidak sampai melakukan hal yang tak sepatutnya pada Yashinta.

"Aku heran sama kamu, Lan. Cowok lain tuh, kalau pacaran mau ini itu dari kekasihnya. Biar makin mesra dan lengket. Kamu kenapa sih, ga mau mesra dikit lagi?" Satu kali Yashinta mencoba merayu Allan.

"Aku sayang kamu, Yash. Makanya aku jaga kamu. Ga boleh aku ambil sesuatu yang belum saatnya. Kamu ngerti, kan?" Allan mengusap pipi Yashinta.

"Aku jadi malu, aku kok rasanya agresif banget sama kamu." Yashinta melingkarkan kembali tangannya di leher Allan.

Allan, memang sangat memegang teguh prinsip yang mamanya selalu tanamkan padanya. Jangan melakukan hubungan bebas dengan wanita. Tunggu hingga sah. Itu artinya Allan sayang setulus hati.

Siapa yang mengira justru Yashinta, yang menipu Allan. Betapa sakit hati Allan ketika mengetahui kenyataan itu. Yashinta, menjalin hubungan dengan laki-laki lain, Yudha. Yang tak lain adalah sahabat Allan sejak dia SMA. Tidak bisa dipercaya, Yudha pun membuka hati pada Yashinta. Semua jadi berantakan dan porak poranda ketika Allan menemui kenyataan ini.

"Pria itu lemah dan bodoh ... Kamu tahu itu. Hanya permainan kecil saja, dia langsung dapat aku taklukkan." Begitu yang Yashinta katakan.

"Haa ... haaa ... Aku puas, Lan! Melihat kamu dan Yudha ada di bawah kakiku!! Haa ... haa ...!!" Tawa Yashinta begitu lepas, merasa menang.

"Damn!!" Allan terbangun.

Dia segera duduk dan mengusap wajahnya. Keringat memenuhi dahi dan lehernya. Sedang hati Allan kembali terasa panas. Semua luka yang memang belum tertutup itu terasa menganga. Masih terus saja kejadian-kejadian yang menghancurkan hidupnya menghantui dia.

"Uufhhh ..." Allan mengembuskan napasnya dengan keras.

Dia melihat keluar jendela kamar yang terbuka separuh. Langit mulai gelap, berarti sudah senja. Allan berdiri dan menutup jendela beserta tirainya. Terasa sekarang dia benar-benar lapar. Dia belum makan dari pagi.

Allan keluar kamarnya dan menuju ke rumah makan. Dia duduk dan mulai makan jatah makan siangnya. Belum sampai setengah piring dia habiskan, terdengar seseorang masuk rumah dari pintu depan.

Allan tahu, itu mamanya. Di rumah ini hanya dia dan Velia yang tinggal. Wanita yang lembut tapi tegas. Penyayang dan pejuang tanpa lelah. Tidak ada papa lagi bersama mereka. Ya, sejak Allan usia tujuh tahun, papa berpisah dengan mamanya. Mama memilih pergi dari kehidupan suaminya.

Itu luka dan kehilangan pertama yang Allan rasakan. Yang cukup berat harus dia lewati. Meski andai papa masih mengurus keperluannya, Velia tak pernah mengijinkan Allan berkomunikasi dengannya. Jika terjadi, dia akan sangat marah.

"Hei, kamu baru makan sekarang?" Velia muncul dengan tas plastik besar di tangannya.

"Aku tadi ketiduran, baru bangun." Allan menjawab datar, dengan wajah kuyuh dan kucel. Dia menyuapkan nasi ke dalam mulutnya, mengunyah perlahan.

Velia meletakkan tas di meja dan mengeluarkan isinya.

"Anak bos ulang tahun. Dia bagi-bagi bingkisan. Makan malam. Lumayan kan, aku ga repot masak." Velia tersenyum.

Dia buka kotak yang besar, isinya nasi lengkap dengan ikan bakar, sayur dan krupuk. Ada tiga buah jeruk dan sekotak kecil cake. Velia duduk di depan Allan. Dia mengambil satu buah jeruk dan mengupasnya.

"Allan, kamu ingat Om Hendra dan Tante Viviana?" Velia memandang Allen.

Allan mengangkat wajahnya melihat Velia. Dia coba mengingat siapa yang Velia maksud.

"Yang punya anak cewek ... Milano." Velia memberi clue lagi.

"Hmm ... Mimi?" kata Allan.

"Ah, ya ... Panggilannya Mimi." Velia kembali tersenyum.

"Kenapa?" tanya Allan.

"Mimi ... Dia diterima kuliah di Universitas Brawijaya. Om Hendra dan Tante Viviana akan menitipkan Mimi tinggal di sini dengan kita. Tadi sebelum aku pulang, Tante Viviana menelpon," kata Velia. Lalu dia memasukkan jeruk ke mulutnya.

"Apa? Tinggal di sini?" Allan kaget. Dia setengah melotot menatap Velia.

"Iya. Daripada kos di luar, lebih baik sama kita. Om Hendra dan Tante Viviana akan lebih tenang kalau dia bersama kita. Ada kamu dan aku nanti bisa jaga dia." Velia menjelaskan alasan kenapa Mimi akan tinggal di rumah ini.

"Ma, kenapa ga bilang aku dulu? Aku ga suka kayak gini. Mama tahu aku ga siap bertemu orang lain." Allan menjawab ketus.

"Lan, mereka bukan orang lain. Om Hendra dan Tante Viviana sahabat aku dari lama. Kamu tahu mereka seperti apa. Kamu juga kenal Mimi. Bagus kalau dia ..."

"Ma?!" Allan berkata sedikit keras. Velia tidak melanjutkan kata-katanya. Dia tatap putranya yang jadi kesal sekarang.

"Lan ..." Velia berpikir keras bagaimana melunakkan hati Allan kali ini. Dalam bayangannya jika Allan ada teman di rumah pasti baik untuknya.

Mimi gadis yang baik dan ramah. Periang dan penuh semangat. Siapa yang tahu gadis itu bisa membuat Allan akan kembali normal.

"Pikirkan, Mimi tidak pernah jauh dari orang tuanya. Dia anak bungsu. Pasti tidak mudah melepas Mimi jauh tanpa orang yang dia kenal. Justru karena ada aku dan kamu, mereka lega. Mimi pasti aman di sini." Velia membujuk Allan.

Allan diam. Dia tidak bisa mengelak yang mamanya katakan itu benar. Tapi situasi Allan, dia tidak mau berinteraksi dengan siapapun. Termasuk Mimi.

"Mengertilah, Lan. Toh, Mimi juga akan sibuk kuliah. Dia tidak akan sering di rumah. Paling sore saat selesai kuliah." Lagi Velia mencoba membuat Allan terbuka.

"Terserah." Allan berdiri. "Asal, dia ga mengganggu aku. Mama pasti paham maksudku."

Allan beranjak meninggalkan kursinya.

"Lan, makanan kamu belum habis." Velia melihat Allan.

"Ga selera. Perutku jadi eneg." Allan menjawab sambil melangkah menjauh, kembali ke kamarnya. Dongkol sekali dapat kabar begini tiba-tiba.

Velia menghela napas dalam. Dia bereskan piring Allan.

"Tuhan, kumohon tolong putraku. Sampai kapan dia begini? Dia harus hidup dengan baik. Bagaimanapun juga satu kali aku ga bisa mendampinginya lagi. Akan seperti apa hidupnya nanti? Ya Tuhan ...," batin Velia.

Di kamarnya, Allan duduk termenung. Pikiran Allan terbawa pada apa yang mamanya katakan. Mimi, Allan masih ingat jelas gadis itu. Terakhir ketemu, kira-kira tiga tahun lalu. Saat itu keluarga Mimi sedang berlibur ke kota Allan tinggal, ke Malang.

Mereka sempat berkunjung, lalu Velia dan Allan mengantar mereka menikmati indahnya salah satu pantai di Malang Selatan. Kenangan yang manis. Mimi banyak bercerita dan tertawa. Meski jarang bertemu dia dan Mimi cukup akrab. Saat itu Mimi masih kelas sepuluh.

Mimi juga sempat bertemu Yashinta. Allan dengan riang mengenalkan Mimi sebagai adiknya pada Yashinta.

"Pacar Kak Allan, gila ..." komentar Mimi saat memberi nilai buat Yashinta.

"Gila gimana? Dia sehat!" Allan tertawa.

"Cantik, kayak model body-nya! Kenal di mana?" ujar Mimi. Sebagai sesama perempuan Mimi kagum dengan kecantikan dan keelokan Yashinta.

"Kampus. Cocok kan, sama aku?" tanya Allan. Rasa bangga muncul di dada Allan, terlihat dari senyum cerah di wajah cowok itu.

"Hhmmm ... kalau aku terawang, ya ... Ga segitu pas, sih ..." Mimi memicingkan matanya.

"Hah? Kenapa?" Allan heran dengan ucapan Mimi.

"Kakak kurang ganteng, hee ... heee ... Kakak bagusnya sama aku!" Lalu gadis itu menutup mukanya dengan kedua tangannya. Allan ngakak mendengar yang Mimi katakan.

"Mimi ...," ucap Allan lirih. "Seperti apa kamu sekarang?"

*

*

Thanks for reading. Lanjut yuk ...

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Ayunina Sharlyn
Thank you, kak
goodnovel comment avatar
Kesatria Pena
Uwwaaawwwwww mantaabb
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status