Share

3. Welcome, Mimi!

Pagi cerah sekali. Matahari bersinar terang. Tetapi udara terasa dingin. Begitulah musim kemarau. Memang panas terik di siang hari, namun dingin sekali saat malam hingga pagi. 

Velia sudah sibuk membereskan rumah. Ini hari Sabtu, dia tidak ke kantor. Kesempatan dia membersihkan bagian mana yang tak tersentuh saat dia sibuk di hari kerja. 

Allan masih tidur di kamarnya. Semalam setidaknya tiga kali dia terbangun karena mimpi buruk, seperti malam-malam sebelumnya. Jadi ketika pagi datang, saat hari baru dimulai, dia justru kelelahan dan terlelap. 

Sejak matahari baru menyeruak dan menebarkan cahaya merah, Velia sudah sibuk. Ruang depan hingga ke dapur. Semua dia bersihkan. Terasa nyaman dan lega, melihat rumah bersih. 

"Ruang depan dan tengah beres. Ruang makan dan dapur juga tuntas, tinggal taman belakang." Velia dengan semangat menuju taman belakang. 

Dia mengambil selang air dan mulai menyiram bunga-bunga di taman itu. Satu dua mulai menampakkan kelopaknya, bermekaran. Cantik. Rasanya senang melihat berbagai bunga yang bermekaran. Bisa memberikan rasa tenang ketika sedang lelah dan penat dari semua kesibukan. 

"Sini, biar aku lanjutkan." Allan memegang selang air di tangan Velia. 

Velia menoleh. Dia lihat wajah Allan. Datar, tidak kucel dan kuyuh. Berarti dia sedang dalam situasi cukup baik. 

"Bagaimana tidurmu?" tanya Velia. 

"Ya, gitu, deh." Allan menjawab tanpa ekspresi. 

"Oke," tukas Velia. 

"Aku lapar. Mama sudah masak?" Allan bertanya. 

"Baiklah, aku siapkan sarapan. Yang praktis saja. Nasi goreng telor sosis, kamu mau?" tanya Velia lagi. 

"Apa aja." Allan fokus pada tanaman di depannya. Tangannya mulai melanjutkan menyiram tanaman-tanaman itu. 

Velia menuju dapur, mulai menyiapkan bahan untuk nasi goreng. Dia melihat ke arah luar, pada Allan. Dia terlihat cukup tenang pagi ini. Velia tersenyum. 

"Hmm ... Bagusnya aku buatkan lemon tea, biar dia makin tenang dan nyaman." Velia tersenyum kecil. Setengah jam semua sudah siap. 

Tidak lama Allan juga sudah selesai. Dia masuk dan menuju ruang makan. Sarapan sudah tersedia di meja. Segera Allan dan Velia menikmati sarapan sederhana tapi lezat. 

Sesekali Velia memperhatikan Allan. Mood cowok itu masih cukup baik, Velia lega. Karena Mimi akan datang hari itu. Tentu saja dia berharap Allan akan bersikap baik pada Hendra, Viviana, dan Mimi. 

"Lan, kamu ga lupa kalau Mimi datang hari ini, kan?" Velia meletakkan sendok di tangannya, melihat pada Allan. 

"Nggak. Dia datang kan mau ketemu Mama. Ga usah ingatin aku lagi." Allan mengangkat lemon tea dan meneguknya beberapa kali. 

"Lan, tetap kamu temui dong, tamu kita. Apa alasan Mama kalau kamu ga ikut menyambut mereka saat datang? Apa kamu mau Mama bohong?" Velia menatap Allan. Dia membujuk Allan agar mau menemui tamunya nanti. 

Allan meletakkan cangkir tehnya lagi. Dia melihat pada Velia. "Oke. Sebentar saja," ujar Allan. 

"Terima kasih." Velia tersenyum. 

Dan tepat, bel pintu berbunyi. 

"Kurasa itu mereka. Aku ke depan dulu." Velia berdiri dan menuju ke ruang tamu. 

Dia buka pintu depan. Ya, tamu yang ditunggu sudah tiba. 

"Haiii ... Vian! Senangnya bisa bertemu lagi!" Dengan senyum lebar Velia memeluk Viviana. Sahabat lama, sejak mereka masih kuliah. "Apa kabar, Primadona kampus?"

"Baik. Kamu tetap saja cantik. Lihat aku, makin melebar ke kiri dan ke kanan." Viviana memegang kedua pinggangnya. 

"Haaa ... Itu tanda kamu bahagia bersama Mas Hendra." Velia melihat pada pria yang berdiri sedikit di belakang Viviana. "Apa kabar, Mas?"

"Baik, masih semangat!" Hendra ikut melebarkan bibirnya, mengalami Velia. 

"Dan ... Mimi! Astaga?! Sudah sebesar ini! Lebih tinggi dari aku. Cantik sekali." Velia memeluk gadis langsing dengan rambut hitam lurus sepunggungnya. 

Gadis itu maju, menyalami Velia, lalu mencium punggung tangan Velia. 

"Tante ..." Senyumnya manis sekali. 

"Welcome, Mimi!" Velia memeluknya. 

"Ayo, mari masuk ..." Velia mengajak ketiga tamunya ke dalam rumah. 

Mereka duduk di ruang tamu. Berbicara ini dan itu karena lama tidak bersua. 

"Allan mana? Lagi kerja?" Viviana menanyakan Allan sekarang. 

"Ada. Di dalam. Tadi kami masih sarapan." Velia berdiri. "Aku panggil sebentar."

Velia menuju ke ruang makan dan memanggil Allan. Sedikit malas, Allan mengikuti mamanya ke ruang depan. 

"Ini, Lan. Om Hendra, Tante Viviana, dan Mimi." Velia menunjuk pada tamu di depannya. 

"Apa kabar, Allan?" Hendra mengulurkan tangannya. Senyum ramah dia lempar pada Allan. 

"Baik, Om." Allan menjabat tangan Hendra. Tidak ada senyum di wajah pria tampan itu. 

Viviana dan Mimi memperhatikan Allan. Dia seperti tegang sekali. Apa dia sedang kurang sehat? Yang mereka ingat Allan pemuda yang ramah. 

"Lan ..." Viviana ganti bersalaman dengan Allan. 

"Iya, Tante." Datar, sedikit dingin. 

Allan hanya mengangguk. Lalu dia menoleh pada Mimi. Cukup terkejut dengan perubahan gadis di depannya itu. Beda sekali dengan saat terakhir mereka ketemu. Mimi terlihat lebih dewasa, tapi sesuai usianya. Dan dia cantik sekali. Ada sedikit polesan, tipis dan simple di wajahnya, membuat dia terlihat lebih segar. 

"Mi ...," sapa Allan, tetap tanpa ekspresi. 

"Hai, Kak!" Senyum manis Mimi melebar. "Apa kabar?" 

Mereka bersalaman. Mimi tak henti menatap Allan. Tampan, gagah, dan cool. Tapi tidak seperti dulu. Dulu wajah Allan ramah dan mudah tersenyum. Kenapa dia seperti patung yang bisa bergerak saja? 

"Ya, baik." Terasa kaku Allan menjawab. 

"Ma, aku masuk. Maaf." Allan berbalik badan dan cepat meninggalkan ruangan itu menuju ke ruang belakang, ke kamar kerjanya. 

"Allan kenapa, Vel?" Viviana langsung bertanya. "Lagi sakit?"

Velia memang tidak pernah cerita apapun soal Allan. Karena dia dan Viviana juga jarang berkomunikasi. 

"Allan sedang tidak baik. Dia mengalami kejadian yang buruk dan ... masih menata hatinya. Aku minta maaf untuk sikapnya yang tidak ramah pada kalian." Velia memberikan  sedikit penjelasan. 

"Oohh ..." Viviana kembali menatap ke ruang dalam, meski Allan tak ada lagi di sana. 

"Aku paham. Pasti ada hal yang sangat berat. Tidak apa-apa. Kamu sabar saja, Vel." Hendra ikut bicara. Dia sangat yakin pemuda itu mengalami hal sangat pelik, hingga berubah seperti itu. 

"Ya, Mas. Cuma itu doaku, minta sabar yang panjang." Velia tersenyum. Tipis dan ada kesan sedih sedikit terurai di sana. 

Tidak berapa lama, Hendra dan Viviana pamitan. Mimi pun resmi jadi penghuni rumah kecil dan cantik itu.

"Nah, ini kamar kamu, Mi. Ayo, masuk." Velia mengantar Mimi ke kamar tempat dia akan tinggal selama di rumah ini. 

Kamarnya tidak terlalu luas. Di dalamnya dilengkapi dengan tempat tidur, lemari, dan meja belajar dengan kursinya sekaligus. 

"Sederhana saja, Mi. Beda dengan kamar kamu di rumah. Tapi mudah-mudahan kamu nyaman." Velia membuka tirai dan jendela. 

Tampak taman depan dari jendela. Jalan di depan rumah juga terlihat. 

"Tidak apa-apa, Tante. Ini nyaman juga buat aku." Mimi tersenyum. 

"Kamu bisa merapikan barang-barang kamu. Apa perlu dibantu?" tanya Velia. 

"Ga usah, Tan. Barangku ga banyak, kok." Mimi membuka tas ranselnya. Ada buku dan peralatan sekolah di sana. Tidak ketinggalan di membawa gitar kesayangannya. 

"Di sebelah kamar Allan. Tapi, karena situasinya sedang begini, kamu baik-baik sama dia. Ya?" Velia menepuk pundak Mimi. 

"Eh ... Iya, Tan." Mimi menyahut, tapi sedikit bingung dengan kata-kata Velia. 

"Apa aku boleh tahu, apa yang terjadi sama Kak Allan, Tan?" Mimi memberanikan diri bertanya. 

Velia memandang Mimi. Haruskah dia ceritakan saat itu? Saat gadis manis ini baru tiba? 

*

*

Thanks for reading. Lanjut bab berikut yuk ... 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sukmawati Dewi
sedikit koreksi.. sebaiknya kata aku dalam percakapan Allan dan mamanya diganti dengan sebutan mama. kesannya seperti teman sebaya kalau orangtua menyebut dirinya aku di hadapan anak.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status