Brraaakkk!!!
Terdengar suara seperti benda dilempar dengan keras dari arah kamar depan rumah mungil dan cantik itu. Segera Velia mematikan kompor dan lari menuju kamar depan.
Dia membuka pintu dan masuk ke dalam. Berbagai benda berserakan di lantai. Sedangkan anaknya, Allan, duduk bersandar di dinding, sambil menutup wajahnya dan menangis. Perlahan, Velia mendekati Allan, berjongkok di sisinya. Dia sentuh lembut pundak pria muda yang gagah, anaknya satu-satunya itu.
"Allan ...," panggil Velia lembut.
"Biarkan aku sendiri, Ma. Biarkan aku sendiri." Allan menjawab panggilan Velia, dengan tangan masih ada di depan wajahnya.
"Mana bisa aku tinggal kamu dengan keadaan seperti ini? Allan, ayo, bangun. Jangan begini. Tidak ada gunanya kamu tangisi." Velia tidak tahu harus bagaimana menghadapi Allan. Hatinya terasa tersayat setiap melihat Allan kacau begini.
Sudah hampir setahun, Allan masih belum bisa melupakan kejadian mengerikan yang dia alami. Allan begitu marah dan terluka hingga memilih menutup diri dari semuanya. Bahkan dengan Velia, ibunya, Allan juga memilih lebih banyak diam. Dunia Allan benar-benar runtuh dan hancur berkeping-keping. Itu yang tampak di mata Velia.
Putranya yang penuh semangat, hanya menjadi penghuni kamar dan rumah ini. Tidak pernah sekalipun dia mau keluar dari pagar rumah mereka. Bahkan ke teras rumah saja bisa dihitung dengan jari. Rumah ini seolah-olah menjadi gua pertapaan Allan.
"Mama ga paham yang aku rasakan. Mama ga akan ngerti." Allan mengusap wajahnya, memandang mamanya yang duduk bersimpuh di sisinya. Gemuruh di dada Allan menekan seperti akan meledak setiap ingat luka yang tertoreh di sana.
"Mama tahu, Lan. Dikhianati orang yang kita sayang, itu sangat menyakitkan. Mama sangat tahu. Tapi apa mau tetap begini? Hidup kamu masih berlanjut. Dan ..."
"Mama kalau cuma mau kuliahin aku, mending aku keluar. Aku ga butuh." Nada suara Allan meninggi dan ketus. Allan berdiri, berjalan meninggalkan kamarnya.
Velia hanya menatapnya dengan gamang. Sedih, kuatir, dan jujur saja, sedikit putus asa menghadapi Allan. Velia berdiri dan mulai membereskan barang-barang yang berserakan di mana-mana itu. Buku-buku, peralatan gambar dan tulis, satu per satu Velia merapikannya lagi.
"Ya Tuhan ... Beri aku kesabaran yang berlimpah menghadapi Allan. Aku harus berbuat apa agar dia berani menghadapi kenyataan, lalu mau menjalani hidupnya lagi?" bisik hati Velia. Hampir putus asa rasanya berharap Allan bisa kembali baik seperti dulu.
Selesai dengan kamar Allan, dengan hati yang masih pedih, Velia kembali ke dapur. Dia meneruskan memasak menyiapkan makan siang untuknya dan Allan.
Untung saja kantornya hanya berjarak dua blok dari rumah. Dia bisa dengan mudah menengok Allan ketika ada waktu, setidaknya saat istirahat siang. Setelah kejadian kematian kekasih Allan yang tragis, dan Allan begitu terpuruk, Velia memang minta waktu untuk dia bisa lebih memberikan perhatian pada Allan.
Baiknya, pimpinan tempat kerja Velia memaklumi. Asal pekerjaan Velia tetap bagus, dia diberi keleluasaan untuk menolong Allan agar bisa pulih.
Di kamar belakang rumah itu, ada sebuah ruangan yang cukup luas, dengan banyak jendela kaca di sekelilingnya, tetapi gorden kamar itu hampir tak pernah dibuka.
Allan masuk ke ruangan itu yang sebenarnya adalah ruang kerjanya. Semacam galeri kecil tempat Allan membuat karyanya. Allan adalah mahasiswa seni lukis. Dia sudah di semester terakhir waktu dia mengalami tragedi tahun lalu. Karena kejadian itu Allan sudah tidak berpikir menuntaskan studinya.
Di sisi lain, Allan juga sudah mulai dikenal. Beberapa lukisannya bahkan sudah dijual ke luar negeri. Sayang, pada akhirnya Allan lebih banyak memakai ruangan itu untuk melamun dan meratapi nasibnya.
"Lann ... All ... lannn ... tolong ..." Suara itu masih sering muncul mengganggu di kepala Allan.
"To ... loonngg ... aku ... Lan ..." Lagi suara itu datang."Tidak! Kamu pantas mati, Yash! Kamu pantas mati!" Allan mengepalkan kedua tangannya, berkata dengan kesal dan marah.
Dia memandang sebuah lukisan yang masih belum selesai, yang ada di depannya. Masih seperti sketsa hitam putih saja. Seorang gadis terbaring, di dekat sebuah mobil, dengan posisi setengah tengkurap, sebelah tangannya terulur, seolah minta pertolongan.
"Apa salahku sama kamu, Yash? Apa? Kenapa kamu tega melukai aku seperti ini?" Wajah Allan terlihat begitu kusut. Wajah yang nenunjukkan kepedihan, kekecewaan, dan penyesalan yang dalam.
Kembali bayangan kecelakaan mengerikan itu terpampang di depan matanya. Sebuah mobil dengan cepat menabrak tubuh sintal Yashinta yang tengah menyeberang jalan. Gadis cantik itu berguling-guling di atas aspal beberapa kali. Lalu kepalanya membentur garis pembatas di tengah jalan.
Bersimbah darah, Yashinta meminta Allan menolongnya. Dan beberapa detik berikut dia tidak bergerak. Napas Yashinta putus dari raganya.
"Aahh ... Yash ... Kenapa? Kamu tahu aku sudah siapkan semua untuk masa depan kita. Yash ..." Suara Allan makin lirih. Ya, Allan berjuang dengan semangat menjadi pelukis sebelum tuntas kuliah, agar bisa menabung untuk persiapan membeli rumah buat Yashinta dan persiapan pernikahan mereka. Allan sangat serius dengan hubungan kasih di antara dia dan Yashinta.
Dia pegang pensil panjang dan mulai menorehkan goresan di atas kanvas. Tapi entah kenapa, rasa sakit dan marah membuat dia tak mampu meneruskan apa yang dia gambar. Dia letakkan lagi dengan kasar, pensil yang dipegangnya.
Terdengar pintu ruangan itu dibuka seseorang.
Klekk!
Allan tahu, mamanya datang mengajak dia makan siang.
"Aku ga lapar, Ma." Allan berkata tanpa menoleh. Matanya masih menatap lurus ke gambar di depannya.
"Pagi kamu juga ga sarapan. Ayolah. Jangan begini terus. Lan, kamu lihat Mama ... Jangan lihat yang lalu. Lihat Mama ..." Velia yang sudah berdiri di sisi Allan, bicara, sedikit memohon.
"Nanti aku makan. Mama makan saja dulu." Masih sama, Allan tidak menoleh pada Velia.
"Huufhh ..." Velia mendesah. "Aku harus kembali ke kantor. Mungkin agak malam baru aku balik pulang. Please, jangan sampai ga makan."
"Hmm ..." Hanya gumaman yang terdengar dari Allan.
Velia memeluk pundak putranya, mengecup puncak kepalanya, lalu dia keluar dari ruangan itu, meninggalkan rumah, kembali ke kantor tempat dia bekerja.
Hingga lebih satu jam kemudian, baru Allan bangun dan berdiri, lalu dia ke ruang makan. Dia lihat, mamanya masak ayam bumbu pedas kesukaannya. Mama selalu mencoba membuat Allan nyaman dan senang.
Ada perasaan bersalah dalam hati Allan. Sungguh, sebetulnya ia tidak mau menyakiti perasaan wanita yang sudah melahirkannya ke dunia ini. Tapi, rasa itu tidak pernah mau pergi. Sekuat apapun dia berusaha untuk melupakan Yashinta, bayangan gadis itu tidak pernah mau pergi.
Allan melangkah kembali ke dalam kamarnya yang kini terlihat rapi. Dia tau, pasti mamanya yang sudah merapikan kamar itu untuknya. Pemuda itu membanting tubuhnya ke atas kasur, dia berusaha untuk memejamkan matanya dan tidur. Allan berharap dengan tidur dia dapat menghilangkan kenangan bersama Yashinta. Tapi, bukan pergi wajah perempuan itu malah datang dalam mimpi.
"Haa ... haa ... Pria bodoh! Siapa yang cinta sama kamu!? Haa ... haa ... Aku cuma mau main-main sama kamu! Allan, Allan ..." Tawa lebar dari gadis berkulit putih dan bersih. Tinggi dan bagus posturnya.
Sakit, perih, saat gadis yang paling Allan cintai mengucapkan itu dengan senyum dan tawa menyeringai.
Yashinta. Siapa saja akan mudah jatuh hati padanya. Ramah, cerdas, penuh semangat, dan berprestasi. Allan merasa sangat beruntung saat Yashinta, primadona kampusnya, mendekatinya. Allan yang awalnya malu melangkah, dengan tangan terbuka menerima Yashinta dan menjalin hubungan asmara dengan gadis itu.
Hampir dua tahun, semua berjalan menyenangkan. Hari-hari penuh warna, meski sibuk dengan tuntutan akademik, tidak membuat Allan lelah. Semakin dalam cintanya pada Yashinta, saat gadis itu mengatakan akan berikan apapun yang Allan mau.
"Aku cinta kamu, Lan. Sangat. Aku rela jika kamu minta diriku seutuhnya sekalipun. Karena aku tahu, kamu tidak akan meninggalkan aku." Mesra dan lembut, Yashinta berbisik.
Allan melambung menembus angkasa rasanya. Yashinta yang memberinya ciuman pertama yang belum pernah dia lakukan. Gadis yang pertama dia cintai. Tapi Allan tidak mau melakukan lebih. Dia ingin menjaga Yashinta sepenuh hati.
"Kamu takut? Ini pembuktian cinta kita, Lan." Yashinta sesekali membuka peluang Allan bisa merenggut dirinya.
Allan menatap mata indah kekasihnya itu. Dadanya berdegup kencang, saat Yashinta memeluknya erat. Kedua tangan Yashinta melingkar di leher Allan.
"Lan ..." Pesona Yashinta makin kuat.
Makin tajam Allan menghujamkan pandangan pada gadis cantik itu.
*
Reading next chapter, ya ...
Pesona Yashinta memang tidak bisa ditolak. Tapi untungnya, otak Allan masih waras. Dia selalu bisa menahan diri tidak sampai melakukan hal yang tak sepatutnya pada Yashinta. "Aku heran sama kamu, Lan. Cowok lain tuh, kalau pacaran mau ini itu dari kekasihnya. Biar makin mesra dan lengket. Kamu kenapa sih, ga mau mesra dikit lagi?" Satu kali Yashinta mencoba merayu Allan. "Aku sayang kamu, Yash. Makanya aku jaga kamu. Ga boleh aku ambil sesuatu yang belum saatnya. Kamu ngerti, kan?" Allan mengusap pipi Yashinta. "Aku jadi malu, aku kok rasanya agresif banget sama kamu." Yashinta melingkarkan kembali tangannya di leher Allan. Allan, memang sangat memegang teguh prinsip yang mamanya selalu tanamkan padanya. Jangan melakukan hubungan bebas dengan wanita. Tunggu hingga sah. Itu artinya Allan sayang setulus hati. Siapa yang mengira justru Yashinta, yang menipu Allan. Betapa sakit hati Allan ketika mengetahui kenyataan itu. Yashinta, menjalin hubungan dengan laki-laki lain, Yudha. Yang t
Pagi cerah sekali. Matahari bersinar terang. Tetapi udara terasa dingin. Begitulah musim kemarau. Memang panas terik di siang hari, namun dingin sekali saat malam hingga pagi. Velia sudah sibuk membereskan rumah. Ini hari Sabtu, dia tidak ke kantor. Kesempatan dia membersihkan bagian mana yang tak tersentuh saat dia sibuk di hari kerja. Allan masih tidur di kamarnya. Semalam setidaknya tiga kali dia terbangun karena mimpi buruk, seperti malam-malam sebelumnya. Jadi ketika pagi datang, saat hari baru dimulai, dia justru kelelahan dan terlelap. Sejak matahari baru menyeruak dan menebarkan cahaya merah, Velia sudah sibuk. Ruang depan hingga ke dapur. Semua dia bersihkan. Terasa nyaman dan lega, melihat rumah bersih. "Ruang depan dan tengah beres. Ruang makan dan dapur juga tuntas, tinggal taman belakang." Velia dengan semangat menuju taman belakang. Dia mengambil selang air dan mulai menyiram bunga-bunga di taman itu. Satu dua mulai menampakkan kelopaknya, bermekaran. Cantik. Ra
Senyum getir Velia muncul di ujung bibirnya. Dia perhatikan Mimi, gadis cantik yang mulai menginjak dewasa ini menunggu Velia menjawab pertanyaannya. "Allan ... patah hati. Kekasihnya mengkhianati dia ..." Velia menjawab. Lebih baik dari awal Mimi tahu situasi Allan, karena toh mereka akan tinggal di bawah satu atap. Mimi mendengarkan, tidak bereaksi kecuali tatapan matanya sedikit berubah. Yang jelas, dia masih ingin dapat penjelasan lebih lanjut. "Allan terlalu cinta pada Yashinta. Yashinta ternyata hanya mempermainkan perasaannya. Lalu ... Yashinta meninggal ditabrak oleh pria yang juga dia lukai sama seperti Allan ... Dan itu terjadi di depan mata Allan. Sangat tragis ... Sampai sekarang, Allan belum bisa melepas kepedihannya." Velia melanjutkan. "Oohh ..." Mimi cukup terkejut dengan apa yang Velia katakan. Dia memang tidak pernah pacaran, belum juga merasa jatuh cinta hingga begitu dalam, tetapi Mimi bisa memahami yang terjadi pada Allan. "Jadi, kamu maklum, ya ... Misal
Perkuliahan dimulai. Mimi merasa dia seolah masuk ke dunia baru dengan menjadi seorang mahasiswi. Suasana belajar sangat berbeda dengan saat Mimi masih duduk di bangku SMA dan disebut siswa. Awalnya aneh juga tidak dipanggil anak-anak atau murid-murid, tetapi saudara. Belum lagi kelas yang jumlahnya besar, isinya makin beragam orang yang asalnya dari berbagai kota di Indonesia. Malah tidak sedikit yang berasal dari pulau lain. Mimi bersemangat dengan situasi baru ini meski dia harus belajar cepat untuk menyesuaikan diri. Berjalan dua minggu kuliah, Mimi sudah mulai kenal sebagian besar teman sekelasnya. Dua yang cukup akrab. Dayinta dan Ricky. Mereka teman yang mengasyikkan. Mimi merasa ada yang menyemangati dia. Di rumah suasana selalu tegang karena harus menjaga perasaan Allan, maka di kampus, Mimi melepas semuanya. Dia bisa mengekspresikan dirinya. Mau tertawa, melucu, bercanda, bebas, jadi dirinya sendiri. Dayinta berasal dari kota Cilacap. Kota kecil di perbatasan Jawa Tengah
Velia tersenyum manis. Dia duduk di sebelah Mimi. "Kamu kenapa?" Velia melihat Mimi tampak tegang. "Maaf, Tan, aku tadi ga kasih kabar kalau pulang agak malam. Habis kuliah jalan sama teman. Ada film bagus diajak nonton. Tante pasti kuatir aku ga ada kabar." Mimi menjelaskan. "Iya. Aku telpon beberapa kali kamu ga angkat. Mau memastikan saja, kamu ikut makan malam atau tidak," ujar Velia. "Ooh ... Lain kali aku pasti kasih tahu kalau pulang lebih lambat, Tan. Maaf." Mimi masih merasa bersalah. "Ga apa-apa." Kembali Velia tersenyum pada Mimi. "Gimana kuliah? Asyik, 'kan?" Velia mencoba mengalihkan pembicaraan agar Mimi lebih cair. "Iya. Masih penyesuaian sih, Tan. Tapi menyenangkan. Entah kalau udah jadwal mesti kumpul tugas-tugas nanti. Belum lagi kalau ikut kegiatan lainnya. Masih pendaftaran juga," jawab Mimi. Sedikit reda rasa tegang yang tadi mengocok dadanya. "Hmm ... Kamu mau ikut kegiatan apa?" tanya Velia. Dia menuang air di gelas, lalu meneguk beberapa kali. Tern
Mimi tersentak. Pintu kamar Allan terbuka. Allan di balik pintu menatap pada Mimi. "Ngapain di sini?" Allan berkata dengan ketus. Mata galak muncul lagi dari dua bola mata hitam dan tegas itu. "Eh ... Ini ..." Mimi langsung gugup. Dia sampai bingung, mau bilang terima kasih, kata-kata itu seperti jauh sekali dari bibirnya. "Apa itu?" Allan melihat piring yang Mimi bawa. Harum masuk ke hidung Allan dan terbayang rasanya yang lezat. "Pancake. Buat Kak Allan ... ini ..." Mimi menyodorkan piring ke depan Allan. Melihat tatapan tajam Allan, Mimi makin ciut. "Cuma mau bilang terima kasih ... Eh, kalau ga suka ... Ga apa ..." Mimi menarik lagi tangannya. Dengan jantung berdetak tak beraturan, Mimi balik badan melangkah kembali menuju ke dapur. "Hei!" panggil Allan. Mimi seketika menghentikan langkahnya. Perlahan dia memutar tubuhnya. Allan berjalan ke arahnya. "Thank you." Allan mengambil piring di tangan Mimi. Dia membawa piring itu ke ruang belakang, ke tempat kerjanya.
Dayinta melambai pada Mimi yang berdiri di depan pintu kelas. Mimi tersenyum melihat sahabatnya, lalu berjelan mendekati Dayinta dan duduk di sisi cewek bertubuh bongsor itu. "Gimana? Berhasil?" sambut Dayinta. "Apanya yang berhasil?" Mimi mengeluarkan laptop dan membukanya, menyiapkan alat itu untuk kelas yang akan segera dimulai beberapa menit lagi. "Misi makanan kesukaan?" Dayinta memandang Mimi. Mimi menoleh pada Dayinta. "Belum, Day. Harus cari momen yang pas. Ga bisa asal. Kalau Kak Allan lagi bete, bukan dia mau makan, dia semprot aku, berabe urusan." Dayinta menanyakan rencana Mimi mau membuat makanan kesukaan Allan. "Ih, kayak mau nembak cowok aja pakai momen yang pas, biar spesial, tak terlupakan sepanjang hidup." Dayinta terkekeh. "Iya juga, ya ..." Mimi mengerutkan kening, menyatukan alisnya. "Emang ganteng ya, Kak Allan itu?" Dayinta jadi penasaran. "Ganteng. Jadi model atau artis juga cocok tampangnya. Tapi gitu, deh, mengerikan. Makhluk antik." Mimi men
Dag dig dug di dada Mimi makin jadi memandang wajah tampan di depannya. Sebenarnya Allan masih lebih ganteng, tapi ada raut khas wajah Nehan yang membuat dia begitu menarik. "Sampai minggu depan. Aku sudah mikir kita bisa duet bareng, nih, di satu momen nanti." Nehan kembali tersenyum. Kata-kata itu membuat Mimi makin melambung. Duet? Sama di keren ini? Wajah Mimi memerah. "Ah, iya, Kak ...," ujar Mimi sambil tersenyum malu-malu, lalu dia berjalan keluar ruangan besar itu. “Dia cantik sekali.” Bram bicara sambal melihat Mimi yang berlari kecil meninggalkan ruangan itu. “Mau, Bram?” ujar Nehan. “Kalau masih jomblo, oke. Tapi aku sudah ada cewek, Bro, harus setia,” tukas Bram menoleh pada Nehan. “Cie … setia …” Nehan menggeleng. Bram selama ini dikenal suka gonta ganti pacar. “Udah, Guys, lanjut … masih panjang antrian.” Finda nyeletuk. “Oke.” Dan terdengar nama yang lain dipanggil untuk maju memulai audisinya. Di luar ruangan, Mimi merasakan lebih lega. Perlahan degupan j