Di hadapan Mimi berdiri wanita lembut tapi tegas itu. Wanita yang buat Mimi seperti ibu keduanya. Dia ternyata rindu juga pada Velia. Mimi rindu pelukan dan senyum wanita itu. Senyum itu sedang tertuju pada Mimi. "Apa kabar, Sayang?" sapa Velia masih dengan senyum terurai di bagian bibirnya. Mimi memeluk Velia erat. "Aku baik, Tan. Aku sangat kangen sama Tante." Velia membalas pelukan Mimi. Velia pun merindukan gadis itu. Dia sudah terbiasa dengan nyanyian Mimi di rumah. Tawanya yang renyah dan riang memenuhi seluruh ruangan. Semua itu tidak ada lagi. Rumahnya kembali sunyi, dengan Allan yang tidak ceria, yang hanya berdiam diri di kamar atau di ruang kerjanya. "Untunglah kalau kamu baik-baik. Tante agak longgar pekerjaan hari ini, makanya sengaja pingin lihat kamu." Velia memegang kedua tangan Mimi, seperti tidak ingin melepas gadis itu. Kalau mau jujur jauh di dasar hatinya dia berharap Mimi juga cinta pada Allan. Karena bersama Mimi, Allan makin baik dan jauh lebih tenang.
Allan masih mempertimbangkan untuk bertanya lebih jauh tentang situasi papa dan mamanya hingga mereka bisa bersama. Bahkan yang membuat Allan ingin tahu lebih lagi adalah, mengapa Ferdinand sampai nekat berdusta, pada istrinya, pada Velia, sampai terjadi pernikahannya yang kedua. Apakah karena dia tulus cinta pada Velia? Apakah dia kecewa dengan istri pertamanya? Bagaimana bisa dia menyembunyikan begitu rapi kisah cinta dengan Velia? Semua pertanyaan itu sering berkeliling di kepala Allan. "Aku memang melakukan kesalahan dengan membiarkan diriku terlena dan tidak setia pada Lea. Dia wanita yang baik. Dia merawat dua kakak perempuan kamu dengan baik. Aku bahagia memiliki mereka. Tapi, saat bertemu mama kamu, aku tak bisa menahan diri. Velia wanita idaman buatku. Lea baik, hanya dia berbeda. Aku mencintai keduanya ..." "Jadi diam-diam kalian saling bertemu di belakang aku?!" Ayah dan anak itu dengan cepat menoleh ke arah pintu. Velia berdiri di sana dengan mata menyala. Dia sangat
Senyum Mimi menghilang. Dia tahu Dayinta galau. Bagaimana bisa Ricky menyukai dirinya. Dayinta dan Ricky itu bagai langit dan bumi jaraknya. Seperti utara dan selatan yang tidak pernah bisa ketemu. Tapi siapa yang tahu misteri hati dan cinta. Dayinta cewek yang kuat, penuh semangat, pemberani, dan tangguh. Ricky, dia cowok yang tidak terkesan macho, rada ngalem, selengekan, tapi setia kawan dan perhatian. Justru kesannya Dayinta lebih macho dari Ricky. "Day, Ricky baik, kan? Selama ini dia care, tulus, dan ga lelah bantuin kamu dan aku. Kurasa dia serius dengan cintanya. Pikirkan deh, untuk terima dia." Mimi menyampaikan apa yang ada di pikirannya. "Kamu yang bener saja." Dayinta menyahut. Bagaimana bisa dia menerima Ricky kalau hatinya masih nyangkut sama Allan? Meskipun benar, Dayinta sadar, Allan tidak akan melihat padanya, karena pria dingin itu cinta Mimi, bukan berarti dia lalu dengan gampang menerima Ricky. "Bisa dicoba, Day." Mimi membujuk Dayinta. "Beli baju bisa dic
Hati Ricky tidak bisa tenang sejak dia melihat Nehan bersama seorang gadis di dalam mobil tadi. Dia harus memastikan bahwa pikirannya tentang Nehan salah. Gadis yang bersama Nehan bukan siapa-siapa, hanya teman saja. Kebetulan, ada teman Ricky yang tinggal satu tempat kos dengan Nehan. Jadi Ricky memutuskan pergi ke sana untuk mendapat informasi tentang Nehan. "Hei, tumben kamu ke sini. Ada perlu apa?" sambut teman Ricky begitu Ricky sampai di tempat kosnya. "Suntuk aja, Man. Tugas lagi penuh, pingin refreshing." Ricky menepuk bahu Diman. Diman mengajak Ricky masuk ke kamarnya. "Tugas banyak itu dikerjakan. Kok malah maunya nyantai." "Kamu lagi kerja tugas?" tanya Ricky. Mereka sudah di dalam kamar. "Nggak. Lagi nonton." Tanpa merasa bersalah Diman menjawab. "Sialan! Kirain kamu kerja tugas!" Bukan lagi menepuk, Ricky menonjok lengan Diman. "Adauhh!!" Diman sedikit berteriak karena sakit juga lengannya. Ricky ngakak. "Tapi kebetulan dong, aku ikutan deh, nonton. Film apa?" R
Sementara makan, suasana antara Ricky dan Dayinta sedikit kaku. Sangat beda dari biasanya. Yang umum terjadi kalau mereka ketemu keributan muncul. Tapi kali ini seolah keduanya tenggelam dalam dunia masing-masing. "Enak banget. Kamu mau nambah, ga?" Ricky memecah kesunyian di antara mereka. "Oh? Eh, nggak, deh. Udah kenyang aku. Kamu kalau mau nambah ya silakan aja." Dayinta menyahut. Dia melanjutkan menghabiskan sisa makanannya yang tinggal tiga suap. "Baiklah. Kamu ga usah galau. Mimi pasti baik-baik. Kita akan jaga dia. Oke?" Ricky menenangkan Ricky. Itu yang Ricky pikirkan. Dayinta resah karena kabar yang Ricky sampaikan. Dayinta sedikit lega, Ricky tidak curiga kalau dia gelisah justru karena penyataan cinta Ricky beberapa hari lalu. Dayinta menunggu apakah Rikcy berniat akan mengatakan lagi, meyakinkan Dayinta tentang hatinya atau dia memilih mundur dan tetap bersahabat saja. Tidak lama setelah itu, mereka pun pulang. Sampai di tempat kos, Dayinta langsung mencari Mimi. Dia
Mata Mimi dan Allan bertemu. Mimi merasa sangat gugup. Terakhir mereka bersama di rumah, Allan sangat marah pada Mimi. Bahkan dia mulai masuk ke pertapaan lagi. Dia tidak mau memberi Mimi kesempatan bicara. Sampai sekarang komunikasi mereka putus. Dan, di pameran ini mereka baru bertemu lagi. "Fotonya sangat bagus, Kak. Aku suka." Sedikit bergetar suara Mimi. "Hm. Kamu apa kabar?" Allan berkata dengan nada datar. Tidak ada senyum di sana. "Aku, baik. Ya ..." Mimi merasa kikuk dan canggung. Jika diingat saat-saat bersama yang menyenangkan, kini mereka seperti tidak saling kenal begini, aneh sekali. "Oke," ujar Allan. Dia tetap terlihat tampan, meski dingin sikapnya. Allan memandang Mimi. Dia sangat rindu gadis itu. Dia ingin kembali bisa punya saat berdua lagi, seperti ketika Mimi masih di rumah. "Ehmm, kamu ga ingin ..." "Allan!" Seseorang menepuk bahu Allan. Allan menoleh pada pria itu. Pembicaraan mereka terputus. Pria itu datang dengan seorang wanita cantik, modis, dan anggun
Wajah Allan masih memandang lurus pada Velia. Dia menghela napasnya dan meneguk tiga kali isi cangkirnya. "Di mana kalian bertemu?" Tidak ada jawaban dari Allan membuat Velia bertanya lagi. "Di pameran, kemarin." Suara Allan pelan, tidak gembira sama sekali. "Bersama kekasihnya?" tanya Velia memastikan jika itu yang membuat Allan semakin galau. "Aku tidak tahu. Dia sedang berdiri memandang foto yang aku sertakan di lomba. Sendirian. Hanya say hello, lalu Dalton memanggilku bertemu Andini." Allan meletakkan cangkirnya. Velia memandang Allan. Tidak ada yang terjadi. Allan hanya terbawa perasaannya sendiri. Dia pasti sangat merindukan Mimi. Velia tahu, hati Allan mulai dalam menyayangi Mimi. Tetapi kenyataan tidak berpihak padanya. "Lan, tetap jadilah kakak buat Mimi. Tidak apa-apa jika dia tidak bisa bersama kamu sebagai ..." "Ga usah bicara, Ma. Aku tahu." Allan berdiri. Dia tidak menghabiskan sarapannya. Dengan sedikit kesal Allan berjalan kembali masuk ke kamarnya. Velia mende
Ricky mengucek matanya. Itu kenapa pakai peluk dan cipika cipiki gitu? Setahu Ricky, sama Mimi juga Nehan nggak begitu. Ada yang aneh. Nehan dan cewek itu duduk berdua. Dekat, mata mereka saling pandang, tersenyum. Sesekali Nehan menepuk pipinya, lalu ci cewek juga memegang tangan Nehan. Ricky menoleh ke jam dinding, hampir jam delapan malam. Peraturan di kos ini kalau terima tamu cewek hanya sampai jam delapan. Ricky tiba-tiba ada ide. Apa reaksi Nehan kalau melihat Ricky muncul dan memergoki dia dengan cewek itu? "Man, aku balik, ya?" Cepat-cepat Ricky mengambil jaketnya yang tergantung di sandaran kursi di dekatnya. "Pulang? Udah selesai memata-matai?" ujar Diman heran. "Ada, deh. Aku cabut." Ricky keluar kamar Diman. Dia berjalan ke arah halaman rumah itu. Bagusnya dia parkir motornya di dekat teras. Mau tidak mau dia akan mendekat pada dua makhluk yang terlihat happy itu. Begitu sampai di dekat motornya, Ricky menoleh ke arah teras. Nehan duduk sedikit membelakangi Ricky. Cew