Share

5. Harus Tahu Membawa Diri

Perkuliahan dimulai. Mimi merasa dia seolah masuk ke dunia baru dengan menjadi seorang mahasiswi. Suasana belajar sangat berbeda dengan saat Mimi masih duduk di bangku SMA dan disebut siswa. Awalnya aneh juga tidak dipanggil anak-anak atau murid-murid, tetapi saudara. 

Belum lagi kelas yang jumlahnya besar, isinya makin beragam orang yang asalnya dari berbagai kota di Indonesia. Malah tidak sedikit yang berasal dari pulau lain. Mimi bersemangat dengan situasi baru ini meski dia harus belajar cepat untuk menyesuaikan diri. 

Berjalan dua minggu kuliah, Mimi sudah mulai kenal sebagian besar teman sekelasnya. Dua yang cukup akrab. Dayinta dan Ricky. Mereka teman yang mengasyikkan. Mimi merasa ada yang menyemangati dia. Di rumah suasana selalu tegang karena harus menjaga perasaan Allan, maka di kampus, Mimi melepas semuanya. Dia bisa mengekspresikan dirinya. Mau tertawa, melucu, bercanda, bebas, jadi dirinya sendiri.

Dayinta berasal dari kota Cilacap. Kota kecil di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dekat dengan Pulau Nusakambangan. Sedang Ricky, dia asli dari Makasar. Tapi sejak SMP di Surabaya, lalu kuliah pindah di Malang. Mimi jadi makin merasa nyaman, karena dia juga lama di Surabaya, meski lahirnya di Malang.

“Mi, pulang ntar ikut aku, yuk!” ajak Dayinta. Ini kelas mereka yang terakhir hari ini.

“Ke mana?” tanya Mimi.

“Nonton. Ada film keren. Baru tayang.” Dayinta mendekatkan wajahnya ke arah Mimi, agar tidak perlu bicara keras. Dosen mereka sedang menyiapkan peralatan mengajar, kelas hampir dimulai.

“Hm … jam berapa?” tanya Mimi. Ikut setengah berbisik.

“Filmnya jam setengah lima. Ya? Besok libur, kan? Ga harus belajar.” Dayinta membujuk Mimi.

“Oke, deh.” Mimi mengangguk setelah beberapa saat berpikir. Dayinta tersenyum dan mengangkat jempolnya.

Usai kelas, kedua gadis itu berjalan bersama keluar kelas. Ricky mengikuti mereka, lalu mengejutkan keduanya.

“Bahh!!!” Keras sekali suara cowok itu di belakang Mimi dan Dayinta. Kontan kedua cewek di depan Ricky terlonjak kaget.

“Dasar! Iiih … Bisa jantungan, tahu?!” Dayinta spontan memukul lengan Ricky lalu menjewer telinganya.

“Aduhh!! Ampun!!” Ricky berteriak kesakitan.

“Jangan usil lagi!” sentak Dayinta. Mimi sudah ngakak melihat tingkah kedua temannya itu.

“Iya, janji. Auhh!!!” Ricky mengelus lengan dan telinganya. Ngilu dan panas rasanya kena serangan Dayinta.

“Kalian mau ke mana?” tanya Ricky. Mereka melanjutkan langkah meninggalkan kelas.

“Urusan cewek,” sahut Dayinta.

“Mau nonton,” jawab Mimi.

“Ahh … ikut, deh .…” Ricky tersenyum sumringah.

“Ngapain? Ganggu aja.” Dayinta menyahut ketus.

“Dayinta Putriana Azriel, yang cantik dan baik hati. Yuk, bersabarlah pada temanmu yang kece ini ….” Ricky membujuk Dayinta.

Mimi sudah tertawa lebar melihat Ricky mulai lagi aksinya.

“Hmm, ngerayu ….,” cibir Dayinta. 

Lalu Ricky menoleh pada Mimi. “Bernice Milano Antoneta Ferdian, boleh ya?”

“Kalau panggil nama lengkap pasti ada maunya. Kayak ngabsen aja. Iih …” Dayinta nyengir.

“Ntar aku traktir, mau?” bujuk Ricky lagi.

Dayinta melirik Mimi. Tersenyum tipis.

“Aku bayarin naik taksi online juga. Hm, oke, nggak?” Lagi sogokan bertambah.

“Baiklah … Berbaik hati sedikit tidak rugi. Come on!” sahut Dayinta.

“Mantap!!” Ricky menepuk pipi Dayinta karena kegirangan.

“Eh … tanganmu! Jangan sembarangan pegang-pegang!” seru Dayinta.

Ricky dan Mimi kembali ngakak. Mereka pun pergi bertiga. Memang seru dan mengasyikkan. Ricky anaknya easy going, bikin renyah suasana, dan yang paling bagus, dia melindungi kalau sama teman cewek. Siang menjelang sore itu menjadi hari yang menyenangkan buat Mimi. Apalagi filmnya seru sekali. Action comedy diselipi kisah romantis. Benar-benar pas buat menutup hari sibuk sebelum weekend.

“Puas, kan?” ujar Dayinta saat mereka sudah di food court, makan malam selesai nonton.

“Hmm … banget. Ga nyesel aku ikut sama kamu.” Mimi mengangguk. Dia memutar garpu, melilitkan mie pangsit dan mulai makan.

“Ga rugi aku membujuk temanku yang cantik dan baik hati ini.” Ricky menimpali sambil memainkan alisnya menggoda Dayinta.

“Udah, makan, ga usah aneh-aneh,” tukas Dayinta. Rasanya Ricky selalu saja membuat dia kesal. 

“He … hee ….” Ricky melebarkan bibir mempertontonkan giginya yang sedikit ada gingsul di sebelah kiri.

Food court penuh. Ya, jam makan malam. Banyak orang pulang kerja pergi belanja sekalian makan malam. Sambil berbincang tentang film yang mereka tonton, ketiganya menghabiskan makanan masing-masing.

Selesai makan, bersiap pulang. Mimi berdiri dan melangkah meninggalkan meja. Mendadak seseorang menabraknya. Terkejut Mimi oleng hampir terguling. Cowok yang menabraknya cepat menangkap tubuh Mimi.

“Sorry, nggak sengaja …,” katanya. Suaranya berat, tapi enak didengar.

Mimi segera menegakkan badannya. Kembali pada posisi tadi. “Ga apa-apa.” 

Mimi masih memandangi cowok di depannya. Tinggi, hampir setinggi Allan. Kulitnya putih bersih, tampan. Dengan rambut cepak, keren banget. Terus terang saja, cowok itu cukup mempesona di mata Mimi. 

“Mi! Kamu ga apa-apa?” tanya Dayinta.

“Nggak … nggak apa-apa.” Mimi menoleh pada Dayinta dan Ricky yang menunggunya. Segera dia menyusul kedua temannya itu. Masih sempat Mimi menoleh pada cowok itu, yang sudah duduk di tempat tadi Mimi duduk.

*****

Tepat setengah sembilan malam, Mimi tiba di rumah. Suasana sepi seperti biasa. Mimi masuk langsung menuju ke kamarnya. Dia meletakkan tas, melepas sepatu, lalu jaketnya dan bersiap mandi. Lelah juga setelah sepanjang hari dari pagi beraktivitas di luar rumah.

Mimi mandi keramas biar segar dan bersih lagi. Lalu dia menuju ke dapur, ingin membuat teh lemon madu, untuk menghangatkan badan. Di sana ada Allan, dia sedang makan. Mimi berhenti di dekat pintu, berpikir, mau balik atau lanjut.

Allan mengangkat kepala, melihat Mimi. Kepalang basah, Mimi maju beberapa langkah.

“Malam, Kak.” Mimi menyapa.

“Kenapa pulang malam? Kamu ga kasih tahu sama Mama kalau lambat pulang?” Allan bertanya dengan suara datar, sedikit kaku.

“Ah … lupa … HP mati.” Mimi berhenti, merasa tangan dan kakinya panas dingin. Ya, seharusnya dia tetap kasih kabar. Itu juga yang biasa dia lakukan saat di rumahnya. Dia pasti memberitahu ke mana, dengan siapa, akan pulang jam berapa.

“Mama cemas. Kamu dihubungi ga bisa. Mama ga tahu mau tanya sama siapa.” Allan menatap Mimi. Tatapan tajam itu membuat Mimi menciut. 

“Maaf ….” Mimi menunduk.

“Ini memang bukan rumah kamu. Tapi ini juga bukan kos-kosan. Yang dengan semaunya kamu bisa datang dan pergi. Kos-kosan saja ada aturannya. Masa ga tahu gimana harus bawa diri?” Allan berdiri mengangkat piring dan gelasnya. Dia mencucinya di wastafel. Mimi hanya memperhatikan saja, tidak berani berkata apa-apa.

Allan tidak bicara lagi. Dia meninggalkan dapur. Mimi menghembuskan napas panjang. 

“Bodoh … kenapa kamu ga mikir, sih?” umpatnya pada diri sendiri. Harusnya tadi bisa dia pinjam ponsel Dayinta kalau sekedar buat chat saja. 

Dia bisa mengerti kalau Allan akan makin tidak menyukai dia setelah ini. Kesan dia cewek seenaknya, ga tahu aturan, pasti melekat di kepala Allan. Setelah kapan hari dia masuk ruangan kerja Allan tanpa permisi, lalu malah Mimi pergi sampai malam ga ada kabar. Ahhh ….

Dengan rasa bersalah dan hati galau, Mimi akhirnya mengambil air hangat saja, malas bikin minuman lagi. Baru saja meneguk air hangat di gelas yang dia pegang, Velia masuk ke dapur.

“Mi, kenapa sampai malam?” Velia bertanya. Tetap lembut, tapi ada nada cemas.

“Eh … maaf, Tan .…” Mimi memandang Velia.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status