Senyum getir Velia muncul di ujung bibirnya. Dia perhatikan Mimi, gadis cantik yang mulai menginjak dewasa ini menunggu Velia menjawab pertanyaannya.
"Allan ... patah hati. Kekasihnya mengkhianati dia ..." Velia menjawab. Lebih baik dari awal Mimi tahu situasi Allan, karena toh mereka akan tinggal di bawah satu atap.
Mimi mendengarkan, tidak bereaksi kecuali tatapan matanya sedikit berubah. Yang jelas, dia masih ingin dapat penjelasan lebih lanjut.
"Allan terlalu cinta pada Yashinta. Yashinta ternyata hanya mempermainkan perasaannya. Lalu ... Yashinta meninggal ditabrak oleh pria yang juga dia lukai sama seperti Allan ... Dan itu terjadi di depan mata Allan. Sangat tragis ... Sampai sekarang, Allan belum bisa melepas kepedihannya." Velia melanjutkan.
"Oohh ..." Mimi cukup terkejut dengan apa yang Velia katakan. Dia memang tidak pernah pacaran, belum juga merasa jatuh cinta hingga begitu dalam, tetapi Mimi bisa memahami yang terjadi pada Allan.
"Jadi, kamu maklum, ya ... Misal nanti Allan akan kasar atau tidak peduli sama kamu. Itu bukan dia tidak suka kamu di sini, dia memang belum bisa seperti dulu, Mi." Velia tersenyum, tipis.
"Ya, Tante. Aku mengerti." Mimi mengangguk.
"Baiklah, kalau kamu mau merapikan kamar. Aku lanjutkan pekerjaan dulu. Nanti aku mau belanja, agak sorean. Kamu mau ikut?" Velia berdiri.
"Boleh, Tan. Aku juga perlu beli beberapa keperluan," sahut Mimi.
"Oke. Nanti kita pergi sama-sama." Velia kembali tersenyum, lalu dia keluar kamar itu.
Mimi termenung. Dia memikirkan kisah yang Velia ungkapkan tadi. Kasihan Allan, harus mengalami cerita cinta seburuk itu. Padahal dia pria yang baik. Jika dia memilih bersembunyi seperti itu, menghindari orang lain, pasti dia sangat hancur.
"Ahh ... Ini kamarku. Di sebelah kamar Kak Allan. Padahal, sebelum datang, aku membayangkan akan sering tertawa bersamanya. Seperti saat terakhir aku ke sini. Sekarang semua sudah berbeda." Mimi berkata pada dirinya sendiri.
"Bersiaplah, Mi. Ga tahu besok kayak gimana. Tetap semangat!" Mimi berdiri dan mulai membereskan barang bawaannya.
*****
Hari-hari berikutnya, Mimi mulai disibukkan dengan persiapan kuliah. Pagi ke kampus, siang, kadang menjelang sore, dia pulang. Dia jarang melihat Allan. Padahal serumah, kamarnya bersebelahan.
Kamar Allan selalu tertutup. Mimi tidak tahu apakah Allan di dalam atau tidak. Saat makan, Allan tidak pernah gabung dengannya dan Velia. Rasanya di rumah ini seperti hanya dihuni dua wanita. Sedang ada makhluk lain, tapi tidak nampak.
Minggu siang, sehari sebelum kuliah mulai, Mimi memilih membantu Velia membersihkan rumah. Velia dan Mimi berbagi tugas. Velia mengurung dapur dan makanan, Mimi menyapu dan mengepel seluruh ruangan.
Jujur, Mimi jarang sekali membantu beres-beres di rumahnya, kecuali kamarnya sendiri. Karena semua sudah ada yang mengerjakan. Tapi di rumah Velia, tidak ada pembantu. Mimi harus tahu diri. Mereka sudah baik menerima dia. Mimi harus bisa menjadi berguna di rumah ini.
"Never enough ... Never ... Never enough ..." Sambil bergerak menyelesaikan tugasnya Mimi bersenandung.
Mimi sampai di kamar belakang. Ruangan yang dia belum pernah masuk. Mimi membuka pintunya. Dia mencari saklar lampu karena kamar itu gelap. Tirainya tidak dibuka. Begitu lampu menyala, segera mulut Mimi melongo.
"Wow ..." Mimi terpana dengan apa yang ada di depannya.
Ruangan ini penuh lukisan. Lukisan alam, hingga lukisan karakter. Pria dan wanita. Semua bagus. Ada yang dipajang di dinding, ada yang diletakkan di meja, bahkan berjajar bersandar di dinding di lantai.
"Ya Tuhan ... Ini bagus-bagus banget ... Lukisan Kak Allan sekeren ini?" Mimi melangkah mendekat dan memperhatikan satu per satu lukisan yang ada di ruangan itu.
Mimi masih terpana dengan hasil karya Allan. Dia bayangkan andai semua itu dijual dan jadi uang, Allan akan jadi orang kaya baru, jutawan muda. Sayang semua keindahan karya tangan Allan hanya ditumpul seperti barang tak berguna.
"Berani sekali kamu masuk ke ruangan ini!!"
Seketika Mimi menoleh. Dia sampai sedikit melonjak karena kaget. Allan di depan pintu. Wajahnya merah padam dengan tatapan menyala.
"Ehh ... Aku ... Aku ... Mau ..."
"Jangan pernah masuk ke tempat ini! Paham?!" Setengah melotot Allan melangkah maju.
"Eh ... Iya, Kak ..." Mimi ketakutan. Jantungnya berdetak cepat sekali. Wajahnya sedikit pucat.
"Cepat keluar!!" Allan berteriak. Makin keras suara Allan.
Mimi dengan sapu di tangan segera meninggalkan ruangan itu. Dia seketika menangis dan berlari menuju ke kamarnya.
Velia yang mendengar teriakan Allan bergegas beranjak dari dapur. Dia mencari sumber suara teriakan. Tapi dia lihat Mimi berlari ke arah kamarnya. Velia mengikuti gadis itu. Di dalam kamar, Mimi duduk di tepi tempat tidur, sambil menangis. Dia menutup wajah dengan kedua tangannya. Masih sedikit gemetar rasanya karena terkejut dibentak tiba-tiba begitu oleh Allan.
"Mi, ada apa?" Velia mendekati Mimi, duduk di sebelahnya.
Mimi menggeleng, masih dengan tangan menutup wajahnya.
"Mi, bilang sama Tante, apa yang Allan lakukan sama kamu?" Lembut Velia berkata. Dia ingin membuat Mimi lebih tenang.
"Kak Allan ... Dia marah ... aku masuk ruangannya ..." Terbata-bata Mimi bicara.
"Allan ..." Gemas juga rasanya Velia dengan tingkah Allan. Apa dia harus sekasar itu pada Mimi?
"Maafkan Allan, Mi. Dia jadi sekeras ini. Maafkan, Mi." Velia mengusap rambut Mimi.
Mimi hanya mengangguk. Sejak kecil Mimi belum pernah dibentak dengan kasar oleh orang tuanya. Sekarang, dia harus menerima itu dari orang lain. Andai dia tidak tahu yang terjadi pada Allan, Mimi pasti sakit hati. Tapi dia coba menyadari, Allan memang masih belum baik.
"Jangan benci Allan, ya ... Masih panjang perjuangan Tante membawa Allan kembali. Aku harap, kamu bisa bantu Tante." Velia memandang Mimi.
Bantu gimana? Allan sekaku itu? Mimi disuruh apa? Mimi tidak mengerti yang Velia katakan.
"Sejak kejadian itu, Allan benar-benar menutup diri. Tidak pernah keluar rumah. Dengan kamu di sini, dia punya teman. Perlahan, kurasa hatinya bisa melunak." Itu harapan Velia.
"Aku ga tahu, Tan. Sekarang, aku takut sama Kak Allan." Mimi berterus terang mengatakan apa yang dia rasakan.
"Nanti aku akan bicara sama Allan. Ya?" Velia tersenyum. Allan membuat Velia juga terkejut karena bisa bertindak kasar pada Mimi.
Velia meninggalkan Mimi di kamarnya. Dia menemui Allan yang duduk membaca sebuah buku di ruangannya.
"Allan ...," panggil Velia.
Allan mengangkat kepalanya melihat pada Velia. "Dia ngadu? Ngomong apa sama Mama?" Ketus Allan berkata.
Velia duduk di sisi Allan. "Mimi ga ngadu. Aku yang minta dia cerita."
"Aku ga suka ada yang masuk ke sini. Tolong kasih tahu anak kecil itu ..."
"Lan ..." Velia menyela perkataan Allan. "Kita sekarang serumah, Mimi akan ada di sini hingga empat tahun. Berbuat baiklah sama dia."
"Aku ga ada urusan sama dia. Kalau dia ga tahan biar keluar dari rumah ini." Allan kembali melihat pada bukunya.
"Mama justru bersyukur ada Mimi. Dia ramah dan rajin. Mama merasa punya teman. Kamu juga harusnya begitu, kan?" ujar Velia.
Allan hanya melirik pada Velia.
"Kamu jangan begini, Lan. Kamu marah dengan hidup kamu lalu kamu limpahkan pada orang lain kemarahan kamu. Itu tidak adil." Velia memandang putranya. "Mimi tidak tahu apa-apa tentang apa yang kamu alami. Tidak benar dia harus merasakan luka kamu juga."
"Hidup tidak adil padaku, Ma. Untuk apa aku peduli tentang yang benar, baik, adil, dan segala hal itu. Apa artinya buatku?" Allan berkata dengan kesal.
"Allan ..." Velia ingin mengatakan sesuatu, tapi dia tahan. Sepertinya tidak ada gunanya.
"Sudahlah. Aku lanjutkan saja pekerjaanku." Velia berdiri dan pergi kembali ke dapur.
"Huh ... Awas saja dia buat aku marah lagi. Aku akan paksa dia keluar dari sini," tandas Allan. Dia tidak menyangka juga gadis kecil itu lancang masuk ke ruangannya. Benar-benar menyebalkan.
*
*
Akan membaikkah Allan? Atau makin jadi? Lanjut aja yuk ...
Perkuliahan dimulai. Mimi merasa dia seolah masuk ke dunia baru dengan menjadi seorang mahasiswi. Suasana belajar sangat berbeda dengan saat Mimi masih duduk di bangku SMA dan disebut siswa. Awalnya aneh juga tidak dipanggil anak-anak atau murid-murid, tetapi saudara. Belum lagi kelas yang jumlahnya besar, isinya makin beragam orang yang asalnya dari berbagai kota di Indonesia. Malah tidak sedikit yang berasal dari pulau lain. Mimi bersemangat dengan situasi baru ini meski dia harus belajar cepat untuk menyesuaikan diri. Berjalan dua minggu kuliah, Mimi sudah mulai kenal sebagian besar teman sekelasnya. Dua yang cukup akrab. Dayinta dan Ricky. Mereka teman yang mengasyikkan. Mimi merasa ada yang menyemangati dia. Di rumah suasana selalu tegang karena harus menjaga perasaan Allan, maka di kampus, Mimi melepas semuanya. Dia bisa mengekspresikan dirinya. Mau tertawa, melucu, bercanda, bebas, jadi dirinya sendiri. Dayinta berasal dari kota Cilacap. Kota kecil di perbatasan Jawa Tengah
Velia tersenyum manis. Dia duduk di sebelah Mimi. "Kamu kenapa?" Velia melihat Mimi tampak tegang. "Maaf, Tan, aku tadi ga kasih kabar kalau pulang agak malam. Habis kuliah jalan sama teman. Ada film bagus diajak nonton. Tante pasti kuatir aku ga ada kabar." Mimi menjelaskan. "Iya. Aku telpon beberapa kali kamu ga angkat. Mau memastikan saja, kamu ikut makan malam atau tidak," ujar Velia. "Ooh ... Lain kali aku pasti kasih tahu kalau pulang lebih lambat, Tan. Maaf." Mimi masih merasa bersalah. "Ga apa-apa." Kembali Velia tersenyum pada Mimi. "Gimana kuliah? Asyik, 'kan?" Velia mencoba mengalihkan pembicaraan agar Mimi lebih cair. "Iya. Masih penyesuaian sih, Tan. Tapi menyenangkan. Entah kalau udah jadwal mesti kumpul tugas-tugas nanti. Belum lagi kalau ikut kegiatan lainnya. Masih pendaftaran juga," jawab Mimi. Sedikit reda rasa tegang yang tadi mengocok dadanya. "Hmm ... Kamu mau ikut kegiatan apa?" tanya Velia. Dia menuang air di gelas, lalu meneguk beberapa kali. Tern
Mimi tersentak. Pintu kamar Allan terbuka. Allan di balik pintu menatap pada Mimi. "Ngapain di sini?" Allan berkata dengan ketus. Mata galak muncul lagi dari dua bola mata hitam dan tegas itu. "Eh ... Ini ..." Mimi langsung gugup. Dia sampai bingung, mau bilang terima kasih, kata-kata itu seperti jauh sekali dari bibirnya. "Apa itu?" Allan melihat piring yang Mimi bawa. Harum masuk ke hidung Allan dan terbayang rasanya yang lezat. "Pancake. Buat Kak Allan ... ini ..." Mimi menyodorkan piring ke depan Allan. Melihat tatapan tajam Allan, Mimi makin ciut. "Cuma mau bilang terima kasih ... Eh, kalau ga suka ... Ga apa ..." Mimi menarik lagi tangannya. Dengan jantung berdetak tak beraturan, Mimi balik badan melangkah kembali menuju ke dapur. "Hei!" panggil Allan. Mimi seketika menghentikan langkahnya. Perlahan dia memutar tubuhnya. Allan berjalan ke arahnya. "Thank you." Allan mengambil piring di tangan Mimi. Dia membawa piring itu ke ruang belakang, ke tempat kerjanya.
Dayinta melambai pada Mimi yang berdiri di depan pintu kelas. Mimi tersenyum melihat sahabatnya, lalu berjelan mendekati Dayinta dan duduk di sisi cewek bertubuh bongsor itu. "Gimana? Berhasil?" sambut Dayinta. "Apanya yang berhasil?" Mimi mengeluarkan laptop dan membukanya, menyiapkan alat itu untuk kelas yang akan segera dimulai beberapa menit lagi. "Misi makanan kesukaan?" Dayinta memandang Mimi. Mimi menoleh pada Dayinta. "Belum, Day. Harus cari momen yang pas. Ga bisa asal. Kalau Kak Allan lagi bete, bukan dia mau makan, dia semprot aku, berabe urusan." Dayinta menanyakan rencana Mimi mau membuat makanan kesukaan Allan. "Ih, kayak mau nembak cowok aja pakai momen yang pas, biar spesial, tak terlupakan sepanjang hidup." Dayinta terkekeh. "Iya juga, ya ..." Mimi mengerutkan kening, menyatukan alisnya. "Emang ganteng ya, Kak Allan itu?" Dayinta jadi penasaran. "Ganteng. Jadi model atau artis juga cocok tampangnya. Tapi gitu, deh, mengerikan. Makhluk antik." Mimi men
Dag dig dug di dada Mimi makin jadi memandang wajah tampan di depannya. Sebenarnya Allan masih lebih ganteng, tapi ada raut khas wajah Nehan yang membuat dia begitu menarik. "Sampai minggu depan. Aku sudah mikir kita bisa duet bareng, nih, di satu momen nanti." Nehan kembali tersenyum. Kata-kata itu membuat Mimi makin melambung. Duet? Sama di keren ini? Wajah Mimi memerah. "Ah, iya, Kak ...," ujar Mimi sambil tersenyum malu-malu, lalu dia berjalan keluar ruangan besar itu. “Dia cantik sekali.” Bram bicara sambal melihat Mimi yang berlari kecil meninggalkan ruangan itu. “Mau, Bram?” ujar Nehan. “Kalau masih jomblo, oke. Tapi aku sudah ada cewek, Bro, harus setia,” tukas Bram menoleh pada Nehan. “Cie … setia …” Nehan menggeleng. Bram selama ini dikenal suka gonta ganti pacar. “Udah, Guys, lanjut … masih panjang antrian.” Finda nyeletuk. “Oke.” Dan terdengar nama yang lain dipanggil untuk maju memulai audisinya. Di luar ruangan, Mimi merasakan lebih lega. Perlahan degupan j
Mimi makin sibuk tetapi makin bersemangat. Seminggu dua kali latihan paduan suara. Terasa hobinya tuntas tersalurkan di sana. Latihan vokal yang dia dapat mematangkan tekniknya dalam bernyanyi. Juga seru, dia makin punya banyak teman. Yang lebih asyik lagi, Kak Nehan Mahadi. Mimi bisa melihatnya membuat harinya makin cerah rasanya. Nehan ramah, supel, dan ngocol. Seru banget latihan bersamanya. Tidak disangka, waktu mereka dibagi dalam kelompok kecil, Nehan menjadi mentor kelompok Mimi. Sekarang, Mimi mulai kenal dekat siapa Nehan. Dia dari Fakultas Teknik, sudah mulai mengerjakan skripsi. Dia asli dari Jember, salah satu kota di Jawa Timur. Lahirnya 24 Mei. Mimi mencatat semua informasi tentang Nehan. Dan apapun yang ada hubungannya dengan pria itu menarik buat Mimi. Suaranya lagi kalau menyanyi, tenor abis. Bikin Mimi merinding saat dia menarik nada tinggi dan pakai falsetto. Teknik vokalnya benar-benar mantap dan matang. Misal dia pingin jadi penyanyi dan mendaftarkan diri ikut
Berkutat di dapur, Mimi akhirnya selesai juga membuat puding coklat buat Allan. Siang panas begini pasti cocok makan puding dingin dengan vla susu. Mimi tersenyum membayangkan Allan akan senang menerima kejutan Mimi. Siapa tahu pemuda tampan yang dingin itu akan menyisihkan kebekuannya dan melempar senyum pada Mimi. Mimi meletakkan puding di piring saji kecil yang manis. Dia akan tunggu sampai jam makan siang. Mimi tidak berani mengganggu Allan kecuali pada jam makan. "Ya, ini waktunya." Mimi melihat jam dinding di dapur. Dia berdiri akan memanggi Allan di ruang kerjanya. Baru empat langkah, Allan muncul. Dia rupanya sudah tahu ini saatnya makan siang. Kebiasaan Allan tidak begitu peduli dengan jam makan. "Eh, Kak ... Makanan siap." Mimi memandang Allan. Berharap mood cowok itu sedang bagus. "Oke." Allan melangkah mendekati meja. Dia membuka tudung saji dan melihat apa yang Mimi siapkan. Mimi menunggu reaksi Allan saat melihat puding di piring. Dia akan senang. "Ayo ... se
Mimi menghentikan mulutnya mengunyah makanan. Dia memandang Allan dengan gelisah. Ingin sekali dia menangis, tapi dia malu dan takut. Mimi menunduk, kembali mengunyah makanannya dengan cepat. Dia merasa butiran bening sudah bertengger di ujung matanya. Allan maju dan duduk di kursi di depan Mimi. Jujur saja, Mimi ingin berlari meninggalkan Allan, lalu masuk ke kamarnya. Tapi dia harus bertahan, harus bisa menghadapi Allan. "Maafkan aku ..." Allan menatap Mimi yang menunduk, pura-pura sibuk dengan makanan yang sudah kosong di atas piring. Mimi mencedok sayur sekali, sedikit saja. Dia pura-pura ingin lanjut makan, padahal dia hanya tidak mau melihat Allan. "Aku ... Tidak seharusnya aku marah sama kamu. Kamu sudah menyiapkan makanan buat aku, dan ... aku ga menghargainya." Kali ini Allan bicara lembut. Suaranya yang seperti ini yang dulu selalu Mimi dengar kalau Allan bicara. Mimi tidak menjawab. Tidak tahu mau bicara apa. Kalau dia buka mulut, Mimi takut air matanya tumpah. "Ma