Velia tersenyum manis. Dia duduk di sebelah Mimi.
"Kamu kenapa?" Velia melihat Mimi tampak tegang.
"Maaf, Tan, aku tadi ga kasih kabar kalau pulang agak malam. Habis kuliah jalan sama teman. Ada film bagus diajak nonton. Tante pasti kuatir aku ga ada kabar." Mimi menjelaskan.
"Iya. Aku telpon beberapa kali kamu ga angkat. Mau memastikan saja, kamu ikut makan malam atau tidak," ujar Velia.
"Ooh ... Lain kali aku pasti kasih tahu kalau pulang lebih lambat, Tan. Maaf." Mimi masih merasa bersalah.
"Ga apa-apa." Kembali Velia tersenyum pada Mimi. "Gimana kuliah? Asyik, 'kan?" Velia mencoba mengalihkan pembicaraan agar Mimi lebih cair.
"Iya. Masih penyesuaian sih, Tan. Tapi menyenangkan. Entah kalau udah jadwal mesti kumpul tugas-tugas nanti. Belum lagi kalau ikut kegiatan lainnya. Masih pendaftaran juga," jawab Mimi. Sedikit reda rasa tegang yang tadi mengocok dadanya.
"Hmm ... Kamu mau ikut kegiatan apa?" tanya Velia. Dia menuang air di gelas, lalu meneguk beberapa kali. Ternyata dia merasa haus juga.
"Aku cuma mau ikut satu dulu, Tan. Ikut paduan suara. Aku hobi nyanyi, sih." Mimi tersenyum.
"Iya, kamu suka bersenandung. Emang suara kamu bagus. Cocok itu," sahut Velia. Suara Velia lebih rileks dan renyah.
"Makasih, Tan. Sebenarnya pingin gabung di pecinta alam juga. Cuma masih baru, takut belum bisa atur waktu. Lihat semester berikut kayak gimana." Mimi meletakkan gelas yang dari tadi dia pegang.
"Baiklah. Kamu istirahat saja sekarang. Kamu pasti sudah lelah. Aku besok harus ke kantor. Ada tamu, bisanya hari Sabtu. Mau bagaimana lagi? Padahal pingin santai di rumah." Velia berdiri.
"Biar aku yang beres-beres rumah, Tan. Aku ga ada acara, kok." Mimi mendongak, melihat pada Velia.
"Atur saja." Velia tersenyum. Velia lebih dulu meninggalkan dapur.
Beberapa menit berikut, Mimi pun ke kamarnya. Sudah hampir jam sepuluh malam. Tapi Mimi belum merasa ngantuk. Mungkin karena dia menikmati hari ini. Menyenangkan dengan dua teman barunya. Sayang, ditutup teguran tidak enak dari Allan.
"Kak Allan ... Aku mesti gimana ya, menghadapi kamu? Mau ngajak ngobrol aku takut. Tapi kita ini tinggal serumah. Masa kayak musuhan?" gumam Mimi. Setiap membayangkan Allan ada rasa gundah di ujung hatinya.
Mimi masih ingat Allan suka sekali tersenyum, bahkan lebar, saat dia terakhir bertemu sebelum pindah ke sini. Allan suka bercerita lucu membuat Mimi tertawa ngakak. Rasanya senang sekali, seperti punya kakak laki-laki yang Mimi tidak pernah miliki. Mimi punya satu kakak perempuan. Melisa namanya. Dia sudah menikah dan tinggal dengan suaminya. Ada kalanya Mimi membayangkan bagaimana rasanya punya kakak laki-laki.
"Aku cari topik ngobrol apa biar bisa cair suasana sama Kak Allan?" Sambil berbaring Mimi berpikir.
"Ah ... tanya soal kuliah aja kali." Mimi tersenyum. "Ga masalah, kan, meski beda kampus, beda fakultas. Ada poin yang sama gimana menghadapi dunia perkuliahan."
Mimi masih berpikir mencari cara biar bisa kembali berteman dengan Allan. Pelan tapi pasti, mata Mimi makin berat, lama-lama Mimi tertidur juga.
*****
Pagi menggantikan malam. Mentari menyeruak membuka hari, memberi kehangatan pada seluruh alam. Burung kembali berkicau. Bunga-bunga mulai bermekaran dan kupu-kupu mulai beterbangan mengitarinya.
Mimi, seperti janjinya pada Velia, dia membereskan rumah. Velia sudah pergi setelah sarapan. Dengan semangat Mimi beredar di seluruh rumah dari bagian depan sampai belakang. Dia ingat pesan mamanya, sebelum berangkat ke Malang.
"Jangan manja lagi. Kamu tinggal sama orang lain, jangan cuma numpang makan dan tidur. Mesti peka apa yang kamu bisa bantu dan kerjakan. Harus bisa."
Makanya Mimi berusaha keras melakukan yang dia bisa saat dia berada di rumah. Dan hari ini kesempatan dia melakukannya dengan leluasa.
Setelah membersihkan semua di dalam rumah, Mimi ke bagian belakang rumah. Dia menyiram tanaman di taman, seperti yang biasa dilakukan Velia, kadang Allan juga membantu. Lalu Mimi melihat ke seluruh taman. Segar. Tapi ada tumbuhan semacam pakis yang tumbuh di dinding, sedikit agak atas. Jika dibiarkan akan makin banyak dan itu merusak pemandangan.
"Harus pakai tangga, nih. Ga bisa kalau aku cuma naik di atas bangku." Mimi bicara sendiri.
Mimi menoleh ke sana sini, mencari jika ada tangga. Ternyata tangga disandarkan di dinding sisi luar kamar belakang yang menjadi gudang. Mimi mengangkat tangga itu. Ternyata cukup ringan. Dia pasang pada dinding di dekat tumbuhan itu tumbuh. Pelan-pelan Mimi mencoba naik.
"Pelan, Mi ... Harus hati-hati. Ga ada yang pegang tangga di bawah. Oke ...." Lagi Mimi bicara sendiri.
Allan dari pintu belakang memperhatikan. Sejak tadi dia melihat Mimi, sebentar-sebentar mengintip gadis itu. Melihat Mimi yang lincah dan penuh semangat membuat Allan sedikit terhibur. Ternyata gadis itu masih seperti dulu tingkahnya. Hanya terbungkus kemasan sedikit lebih dewasa yang tampak di luar.
Mimi membersihkan tanaman yang tumbuh di dinding. Sekalian lumut yang juga mulai tumbuh di sekitar tanaman itu. Dia meraih ke sebelah kanan.
"Ihh ... Tinggal dikit ... Uhh ... Ayo, bisa ...." Mimi melebarkan tangan, sedikit mendorong ke sebelah kanan.
Tiba-tiba tangga yang memang ringan, tidak begitu kokoh, ikut bergeser, miring, dan ...
"Aaaahhhhh!!!" Mimi berteriak dengan keras karena dia terguling bersama tangga.
Tap!!
Allan menangkap tubuh Mimi. Dengan cepat Allan memeluk Mimi, melindungi gadis itu sehingga tangga jatuh menimpa punggung pria itu. Mimi sangat kaget. Kejadiannya begitu cepat. Jantung Mimi berdegup kencang karena terkejut. Dia sampai merasa sedikit gemetar.
"Kak Allan!!" Mimi memanggil Allan. Dia juga terkejut karena Allan tiba-tiba sudah datang menolongnya.
Allan menegakkan lagi badannya dan memandang Mimi. Gadis itu setengah melotot melihat pada Allan.
"Kak Allan ga apa-apa? Mana yang sakit? Sini, aku lihat. Apa di sini?" Mimi dengan cepat mendekati Allan, berdiri di belakang Allan memijat-mijat punggung pemuda itu.
Allan berbalik dan melihat Mimi yang benar-benar cemas. Allan menarik ujung bibirnya. Dia merasa Mimi lucu sekali. Mimi jadi terdiam, menatap pada pria dingin dan kaku di depannya.
"Kakak senyum ...," ucap Mimi lirih.
Pemandangan langka. Ini kali pertama Allan tersenyum sejak Mimi datang di rumah ini. Wajahnya terlihat berbeda tidak lagi terkesan ketus dan galak. Wajah tampan yang menyenangkan itu sempat muncul meski sesaat.
"Kamu masuk sana, biar aku bereskan." Senyum Allan menghilang. Dia mengangkat tangga yang tergeletak di dekatnya.
Allan memasang lagi tangga menempel di dinding, dia meneruskan apa yang Mimi kerjakan. Mimi masih berdiri di tempatnya memperhatikan Allan.
"Masuk! Ngapain di situ?!" sentak Allan.
Mimi melonjak kaget dan cepat-cepat masuk ke dapur. Kembali Allan tersenyum kecil melihat tingkah gadis itu. Kembali tangannya membersihkan dinding dari tanaman yang menempel di sana.
"Astaga!! Kenapa bisa gini?" Mimi mengusap dadanya. Mimi masih melihat Allan yang ada di atas tangga.
"Kalau senyum makin ganteng. Kenapa pakai pasang wajah sangar terus tiap hari?" gumam Mimi.
Mimi mengambil minuman dingin di kulkas. Dia pilih rasa jeruk kesukaannya. Dia teguk hingga setengah botol. Segar rasa tenggorokannya.
"Hmm, aku tahu gimana bisa meluluhkan hati membatu Kak Allan." Mimi tersenyum.
Dia kembali membuka kulkas. Dia mengeluarkan beberapa bahan. Lalu ke lemari penyimpanan juga. Dia akan membuat pancake. Dia pernah membuat di rumah bersama mamanya beberapa kali. Tidak rumit.
Segera Mimi memulai memasak. Tidak berapa lama bau harum sudah memenuhi dapur. Setelah jadi beberapa lembar, Mimi meletakkannya di piring kecil tiga lembar dengan toping keju dan coklat.
Mimi melihat ke belakang, Allan sudah tidak ada di sana. Mimi membawa piring itu ke rumah depan menuju kamar Allan. Di depan kamar Allan, Mimi ragu-ragu.
"Ketok ga? Ketok? Ahh ... gimana?" batin Mimi.
Tangan Mimi terangkat ke arah pintu dan ...,
Allan berdiri di altar menunggu Mimi akan masuk bersama Hendra. Hatinya berdetak makin kencang setiap melihat arloji di pergelangan tangannya, memastikan menit berjalan dan tidak lama lagi pengantinnya akan datang menemui dia. Velia duduk di kursi di deretan pertama. Ferdinand di sisinya. Momen yang tak pernah terpikir oleh Velia, mereka duduk bersama, menyaksikan putra mereka menikah. Kalaupun ada pikiran itu, Velia membuangnya jauh-jauh. Ferdinand suami orang lain. Dia singkirkan semua bayangan Ferdinand. Siapa yang tahu yang akan terjadi dalam hidup. Velia dan Ferdinand menjadi teman. Perlahan, Velia mampu mengubah sakit hati jadi pengalaman yang mendewasakannya. Cinta yang dalam pada Ferdinand, dia ubah menjadi rasa sayang pada seorang kakak. Lea duduk di belakang mereka bersama Astari, Devis, dan putra mereka yang lucu. Sayang, Andini tidak bisa datang pada acara pemberkatan. Dia mengatakan akan menyusul saat resepsi. "Mari hadirin sekalian, kita akan menyambut mempelai wanita
Hari-hari penuh kejutan seolah tiada habisnya. Itu yang Mimi rasakan. Kejutan baik dan menyenangkan, tetapi juga kejutan yang membuat hati rasa tidak karuan. Semua itu membuat up and down hari-hari yang dilalui. Megi, kejutan terakhir yang sempat membuat Mimi galau. Keinginannya untuk bersimpati membuka pintu lain yang tidak dia duga. Allan bertemu sahabat lamanya. Megi, yang Allan kenal dengan panggilan Rere. Setelah kunjungan ke rumah sakit hari itu, Allan terus berkomunikasi dengan Megi. Mimi tidak bisa melarang. Bagaimanapun mereka teman lama dan Megi sedang butuh bantuan. Allan juga selalu memberitahu Mimi apa saja yang Allan komunikasikan dengan temannya itu. Allan tidak ingin Mimi salah paham lalu hubungan mereka yang menjadi tidak baik. "Kamu yakin ga masalah Kak Allan dekat sama Megi?" Dayinta menimpali apa yang Mimi katakan padanya. "Aku harus larang? Hanya karena cemburu? Aku ga cemburu juga, sih. Hanya ada rasa ga nyaman saja." Mimi menelusuri hatinya. Dia harus percaya
Mimi, Allan, dan Velia mengantar Ferdinand, Lea, dan Astari, serta Bintang yang tampan ke bandara. Mereka akhirnya balik ke Bandung. Astari sudah cukup kuat. Begitu juga bayinya. Perusahaan juga sudah menunggu Astari kembali menata pekerjaan di sana. Melepaskan mereka pulang ternyata cukup mengharukan. Apalagi Mimi mulai terbiasa mendengar suara tangis bayi mungil itu. Mendengar Velia atau Lea menyanyi saat menggendong Bintang hingga bayi itu tidur dalam dekaoan mereka. Pasti akan lama bisa melihatnya lagi. Dari bandara, Allan meluncur menuju kantor Velia. Memang hari Sabtu, tetapi ada yang harus Velia kerjakan. Sedang Allan dan Mimi, meneruskan perjalanan kemudian ke rumah sakit. Mimi terus memikirkan Megi. Sejak tahu wanita itu kecelakaan, dia merasa iba dan ingin tahu seperti apa kondisinya. "Kamu mau menjenguk Megi? Dia yang selama ini bersikap mengesalkan sama kamu? Yakin?" Itu yang Allan katakan waktu mendengar permintaan Mimi. Mimi dengan mantap mengatakan memang ingin menje
Hati Mimi berdetak kencang. Pesan yang dia terima dari Megi membuat semua kegembiraannya seketika lenyap. Megi dipecat. Tentu saja dia sangat marah. Dia punya posisi dengan prospek bagus di kantor, sebagai asisten bagian pemasaran. Kalau sampai tiba-tiba itu lepas, dia harus mulai di tempat lain, tentu tidak mudah. Yang menjadi masalah adalah Mimi yang Megi anggap sebagai biang keladi! Sangat tidak masuk akal. Mimi ada di bagian lain di kantor itu. Dengan Megi juga jarang berurusan. Bagaimana bisa Mimi yang bersalah kalau Megi dipecat? Mimi berpikir, apa yang terjadi? Di mana letak kesalahannya? Dia bicara apa dengan Pak Guntur? Mimi tidak mengerti. Sepanjang malam Mimi jadi tidak tenang. Beberapa kali dia terbangun karena mimpi buruk. "Ah, Mi, kenapa kamu jadi takut kayak gini. Megi uda ga akan balik kantor. Tenang saja." Mimi menenangkan dirinya sendiri. Dia tegaskan kalau Megi hanya mengancam, karena dia kesal. Bisa jadi dia begitu kepada orang lain juga, bukan hanya Mimi. Mimi
Tangan Allan terulur, meraih jemari Mimi dan menyematkan cincin mungil di jari manis tangan kiri gadis berbalut gaun warna salem itu. Cantik, sangat pas buat dirinya. Mimi terlihat lebih dewasa tapi tidak terkesan lebih tua dari umurnya. Dengan senyum manis, sementara jantung yang terus meletup, Mimi ganti memasangkan cincin di jari manis tangan kiri Allan. Jarinya kuat, besar, dan panjang. Tangan Mimi terlihat begitu mungil berpegangan pada tangan Allan. Tepuk tangan terdengar dari keluarga yang hadir. Senyum menghiasi wajah orang tua Mimi, Viviana dan Hendra. Velia dan Ferdinand, kali ini duduk berdampingan. Ini hari istimewa Allan. Putra mereka resmi bertunangan dengan Mimi. Ferdinand tidak mengira, dia bisa hadir dan menyaksikan hari berharga ini. "Selamat ya ... makin sayang satu sama lain. Biar angin ribut menderu, tetap kokoh cintanya!" Melisa, kakak Mimi nyeletuk, membuat yang lain tertawa, sementara Mimi makin tersipu. Doa dinaikkan untuk keduanya. Agar dengan memasuki hub
Suara tangis bayi kembali terdengar, tapi kemudian hilang. Andini berdiri dan mendekat ke ruang bersalin. Dia yakin itu bayi Astari yang sudah lahir. Tangis yang membawa kebahagiaan. Sebuah kehidupan baru yang hadir. Mengubah banyak hal dalam kehidupan sebuah keluarga. "Suaranya kencang sekali. Pasti dia anak laki-laki yang kuat." Andini tersenyum. Hatinya campur aduk dengan kejadian tiba-tiba ini. Senang, tapi masih sedikit cemas. Apakah Astari baik-baik saja? Bayinya juga, apakah benar-benar sehat? Allan memandang Andini yang masih gelisah, tetapi senyum Andini belum hilang dari bibirnya. "Sudah tahu nama anaknya Kak Tari?" Allan bertanya. Andini kembali mendekati Allan, duduk di tempatnya semula. "Ya. Kak Tari pernah bilang, Bintang. Baru itu yang aku tahu, belum tahu lengkapnya. Aku ga sabar mau lihat dia." Pintu ruangan itu terbuka. Velia keluar dari sana. Allan dan Andini memandang Velia yang berjalan ke arah mereka. "Tan, gimana?" Andini menatap Velia. Velia tersenyum. "T