Share

6. Senyum Allan

Velia tersenyum manis. Dia duduk di sebelah Mimi. 

"Kamu kenapa?" Velia melihat Mimi tampak tegang. 

"Maaf, Tan, aku tadi ga kasih kabar kalau pulang agak malam. Habis kuliah jalan sama teman. Ada film bagus diajak nonton. Tante pasti kuatir aku ga ada kabar." Mimi menjelaskan. 

"Iya. Aku telpon beberapa kali kamu ga angkat. Mau memastikan saja, kamu ikut makan malam atau tidak," ujar Velia. 

"Ooh ... Lain kali aku pasti kasih tahu kalau pulang lebih lambat, Tan. Maaf." Mimi masih merasa bersalah. 

"Ga apa-apa." Kembali Velia tersenyum pada Mimi. "Gimana kuliah? Asyik, 'kan?" Velia mencoba mengalihkan pembicaraan agar Mimi lebih cair. 

"Iya. Masih penyesuaian sih, Tan. Tapi menyenangkan. Entah kalau udah jadwal mesti kumpul tugas-tugas nanti. Belum lagi kalau ikut kegiatan lainnya. Masih pendaftaran juga," jawab Mimi. Sedikit reda rasa tegang yang tadi mengocok dadanya. 

"Hmm ... Kamu mau ikut kegiatan apa?" tanya Velia. Dia menuang air di gelas, lalu meneguk beberapa kali. Ternyata dia merasa haus juga. 

"Aku cuma mau ikut satu dulu, Tan. Ikut paduan suara. Aku hobi nyanyi, sih." Mimi tersenyum. 

"Iya, kamu suka bersenandung. Emang suara kamu bagus. Cocok itu," sahut Velia. Suara Velia lebih rileks dan renyah. 

"Makasih, Tan. Sebenarnya pingin gabung di pecinta alam juga. Cuma masih baru, takut belum bisa atur waktu. Lihat semester berikut kayak gimana." Mimi meletakkan gelas yang dari tadi dia pegang. 

"Baiklah. Kamu istirahat saja sekarang. Kamu pasti sudah lelah. Aku besok harus ke kantor. Ada tamu, bisanya hari Sabtu. Mau bagaimana lagi? Padahal pingin santai di rumah." Velia berdiri. 

"Biar aku yang beres-beres rumah, Tan. Aku ga ada acara, kok." Mimi mendongak, melihat pada Velia. 

"Atur saja." Velia tersenyum. Velia lebih dulu meninggalkan dapur. 

Beberapa menit berikut, Mimi pun ke kamarnya. Sudah hampir jam sepuluh malam. Tapi Mimi belum merasa ngantuk. Mungkin karena dia menikmati hari ini. Menyenangkan dengan dua teman barunya. Sayang, ditutup teguran tidak enak dari Allan. 

"Kak Allan ... Aku mesti gimana ya, menghadapi kamu? Mau ngajak ngobrol aku takut. Tapi kita ini tinggal serumah. Masa kayak musuhan?" gumam Mimi. Setiap membayangkan Allan ada rasa gundah di ujung hatinya. 

Mimi masih ingat Allan suka sekali tersenyum, bahkan lebar, saat dia terakhir bertemu sebelum pindah ke sini. Allan suka bercerita lucu membuat Mimi tertawa ngakak. Rasanya senang sekali, seperti punya kakak laki-laki yang Mimi tidak pernah miliki. Mimi punya satu kakak perempuan. Melisa namanya. Dia sudah menikah dan tinggal dengan suaminya. Ada kalanya Mimi membayangkan bagaimana rasanya punya kakak laki-laki. 

"Aku cari topik ngobrol apa biar bisa cair suasana sama Kak Allan?" Sambil berbaring Mimi berpikir. 

"Ah ... tanya soal kuliah aja kali." Mimi tersenyum. "Ga masalah, kan, meski beda kampus, beda fakultas. Ada poin yang sama gimana menghadapi dunia perkuliahan."

Mimi masih berpikir mencari cara biar bisa kembali berteman dengan Allan. Pelan tapi pasti, mata Mimi makin berat, lama-lama Mimi tertidur juga. 

*****

Pagi menggantikan malam. Mentari menyeruak membuka hari, memberi kehangatan pada seluruh alam. Burung kembali berkicau. Bunga-bunga mulai bermekaran dan kupu-kupu mulai beterbangan mengitarinya. 

Mimi, seperti janjinya pada Velia, dia membereskan rumah. Velia sudah pergi setelah sarapan. Dengan semangat Mimi beredar di seluruh rumah dari bagian depan sampai belakang. Dia ingat pesan mamanya, sebelum berangkat ke Malang. 

"Jangan manja lagi. Kamu tinggal sama orang lain, jangan cuma numpang makan dan tidur. Mesti peka apa yang kamu bisa bantu dan kerjakan. Harus bisa."

Makanya Mimi berusaha keras melakukan yang dia bisa saat dia berada di rumah. Dan hari ini kesempatan dia melakukannya dengan leluasa. 

Setelah membersihkan semua di dalam rumah, Mimi ke bagian belakang rumah. Dia menyiram tanaman di taman, seperti yang biasa dilakukan Velia, kadang Allan juga membantu. Lalu Mimi melihat ke seluruh taman. Segar. Tapi ada tumbuhan semacam pakis yang tumbuh di dinding, sedikit agak atas. Jika dibiarkan akan makin banyak dan itu merusak pemandangan. 

"Harus pakai tangga, nih. Ga bisa kalau aku cuma naik di atas bangku." Mimi bicara sendiri. 

Mimi menoleh ke sana sini, mencari jika ada tangga. Ternyata tangga disandarkan di dinding sisi luar kamar belakang yang menjadi gudang. Mimi mengangkat tangga itu. Ternyata cukup ringan. Dia pasang pada dinding di dekat tumbuhan itu tumbuh. Pelan-pelan Mimi mencoba naik. 

"Pelan, Mi ... Harus hati-hati. Ga ada yang pegang tangga di bawah. Oke ...." Lagi Mimi bicara sendiri. 

Allan dari pintu belakang memperhatikan. Sejak tadi dia melihat Mimi, sebentar-sebentar mengintip gadis itu. Melihat Mimi yang lincah dan penuh semangat membuat Allan sedikit terhibur. Ternyata gadis itu masih seperti dulu tingkahnya. Hanya terbungkus kemasan sedikit lebih dewasa yang tampak di luar. 

Mimi membersihkan tanaman yang tumbuh di dinding. Sekalian lumut yang juga mulai tumbuh di sekitar tanaman itu. Dia meraih ke sebelah kanan. 

"Ihh ... Tinggal dikit ... Uhh ... Ayo, bisa ...." Mimi melebarkan tangan, sedikit mendorong ke sebelah kanan. 

Tiba-tiba tangga yang memang ringan, tidak begitu kokoh, ikut bergeser, miring, dan ...

"Aaaahhhhh!!!" Mimi berteriak dengan keras karena dia terguling bersama tangga. 

Tap!! 

Allan menangkap tubuh Mimi. Dengan cepat Allan memeluk Mimi, melindungi gadis itu sehingga tangga jatuh menimpa punggung pria itu. Mimi sangat kaget. Kejadiannya begitu cepat. Jantung Mimi berdegup kencang karena terkejut. Dia sampai merasa sedikit gemetar. 

"Kak Allan!!" Mimi memanggil Allan. Dia juga terkejut karena Allan tiba-tiba sudah datang menolongnya. 

Allan menegakkan lagi badannya dan memandang Mimi. Gadis itu setengah melotot melihat pada Allan. 

"Kak Allan ga apa-apa? Mana yang sakit? Sini, aku lihat. Apa di sini?" Mimi dengan cepat mendekati Allan, berdiri di belakang Allan memijat-mijat punggung pemuda itu. 

Allan berbalik dan melihat Mimi yang benar-benar cemas. Allan menarik ujung bibirnya. Dia merasa Mimi lucu sekali. Mimi jadi terdiam, menatap pada pria dingin dan kaku di depannya. 

"Kakak senyum ...," ucap Mimi lirih.

Pemandangan langka. Ini kali pertama Allan  tersenyum sejak Mimi datang di rumah ini. Wajahnya terlihat berbeda tidak lagi terkesan ketus dan galak. Wajah tampan yang menyenangkan itu sempat muncul meski sesaat. 

"Kamu masuk sana, biar aku bereskan." Senyum Allan menghilang. Dia mengangkat tangga yang tergeletak di dekatnya. 

Allan memasang lagi tangga menempel di dinding, dia meneruskan apa yang Mimi kerjakan. Mimi masih berdiri di tempatnya memperhatikan Allan. 

"Masuk! Ngapain di situ?!" sentak Allan. 

Mimi melonjak kaget dan cepat-cepat masuk ke dapur. Kembali Allan tersenyum kecil melihat tingkah gadis itu. Kembali tangannya membersihkan dinding dari tanaman yang menempel di sana. 

"Astaga!! Kenapa bisa gini?" Mimi mengusap dadanya. Mimi masih melihat Allan yang ada di atas tangga. 

"Kalau senyum makin ganteng. Kenapa pakai pasang wajah sangar terus tiap hari?" gumam Mimi. 

Mimi mengambil minuman dingin di kulkas. Dia pilih rasa jeruk kesukaannya. Dia teguk hingga setengah botol. Segar rasa tenggorokannya. 

"Hmm, aku tahu gimana bisa meluluhkan hati membatu Kak Allan." Mimi tersenyum. 

Dia kembali membuka kulkas. Dia mengeluarkan beberapa bahan. Lalu ke lemari penyimpanan juga. Dia akan membuat pancake. Dia pernah membuat di rumah bersama mamanya beberapa kali. Tidak rumit. 

Segera Mimi memulai memasak. Tidak berapa lama bau harum sudah memenuhi dapur. Setelah jadi beberapa lembar, Mimi meletakkannya di piring kecil tiga lembar dengan toping keju dan coklat. 

Mimi melihat ke belakang, Allan sudah tidak ada di sana. Mimi membawa piring itu ke rumah depan menuju kamar Allan. Di depan kamar Allan, Mimi ragu-ragu. 

"Ketok ga? Ketok? Ahh ... gimana?" batin Mimi. 

Tangan Mimi terangkat ke arah pintu dan ..., 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status