Hari-hari berlalu. Mimi makin membaik. Kesedihannya perlahan menghilang. Apalagi dia fokus dengan studinya. Ujian sudah di depan mata. Hingga akhir bulan Mimi akan bergelut dengan berbagai ujian. Mimi tidak mau memikirkan yang lain. Setiap ingat Nehan, dia akan cepat alihkan dengan melakukan berbagai aktivitas. Viviana sudah balik ke Surabaya. Tapi setiap hari berulang kali Viviana akan menghubungi Mimi, memastikan jika putrinya itu baik-baik saja. Velia dan Allan juga sama. Mereka terus mendampingi Mimi agar dia cepat pulih. "Mi, kalau ujian selesai, kamu pulang?" tanya Allan. "Iya, Kak. Aku mau pulang." Mimi menjawab sambil tangannya menyirami bunga-bunga di taman depan. Sementara Allan merapikan sederetan tanaman di sisi yang lain. "Aku antar, ya? Jadi papa mama kamu ga usah jemput ke sini." Allan menawarkan diri. "Oh, oke ...." Mimi menoleh pada Allan. Lalu dia kembali memperhatikan tanaman yang dia siram. "Ada rencana ke mana gitu, liburan?" tanya Allan lagi. "Belum tahu, K
Mimi memandang Allan. Pria tampan di depannya itu menunggu jawaban Mimi. "Aku ... Beri aku waktu ... Aku akan memikirkannya." Mimi mengalihkan pandangan. Dia melihat keluar jendela mobil, lurus ke depan. Allan sedikit kecewa. Meskipun dia tahu sangat mungkin Mimi tidak akan segera menjawab, dia tetap berharap, ada peluang Mimi bisa menerima dia. "Oke. Aku akan menunggu. It is okay." Allan mengulum senyum tipis di bibirnya. Lalu kembali dia menjalankan mobilnya. Perjalanan mereka berlanjut. Dan suasana tidak seceria sebelumnya. Baik Allan maupun Mimi tidak banyak bicara. Senyum dan canda hanya sesekali saja terdengar. Hingga tiba di rumah keluarga Mimi, kekakuan belum juga mencair. Setelah mobil di parkir, segera Mimi turun. Sambil. Menenteng kopernya, Mimi bergegas masuk ke rumah. Dia mencari Viviana, sang ibu. Viviana memeluk Mimi erat. Dia sangat lega putrinya pulang dengan keadaan baik. Mimi bisa tersenyum lebar. Sangat melegakan. "Terima kasih sudah mengantar Mimi, Allan. Ka
Mimi membuka pintu lebar-lebar dan membiarkan Allan masuk. Lalu dia mengantar Allan ke kamar tamu yang ada di sebelah kiri ruang tamu. "Kakak istirahat saja. Atau, Kakak mau makan?" Mimi bertanya pada Allan. "Aku sudah makan. Om dan Tante ....""Papa dan Mama sudah di kamar. Kalau ga perlu apa-apa, aku ke kamarku, Kak," sahut Mimi. "Oke. Makasih, Mi." Allan tersenyum. Ingin sekali dia bertanya, apakah Mimi siap menjawab permintaannya. Tapi Allan ragu-ragu. Mimi melangkah menjauh. Muncul tiba-tiba ide di kepala Allan. Dia memanggil gadis itu. "Mimi!" Mimi menghentikan langkah dan menoleh. "Ehh, besok mau jalan?" tanya Allan. "Kakak ga ada urusan sama Andini?" balas Mimi. Yang Mimi tahu Allan ke Surabaya untuk keperluan pekerjaan. "Ternyata tadi udah langsung kelar. Jadi besok aku free. Mau ya?" pinta Allan. "Oke. Kakak mau ke mana, aku antar," ucap Mimi. "Lihat besok, deh. Sekarang kamu pasti udah capek," kata Allan. "Iya. Selamat malam. Selamat istirahat, Kak." Mimi menerusk
Liburan terasa panjang. Sehari, seminggu, dua minggu, Allan tidak sabar. Dia sangat rindu pada Mimi. Rasanya ingin segera bertemu lagi dengan gadis itu. Bagaimana tidak rindu? Saat Mimi bilang iya, mau jadi kekasihnya, malah mereka berjauhan. Allan mencoba mengulik agar Mimi mau segera balik ke Malang. Tapi Mimi belum goyah. Gadis itu juga masih asyik dengan liburannya. Sebenarnya Mimi ingin cepat ke Malang lagi. Dia sengaja tinggal lebih lama, karena akan memberi Allan kejutan. Tidak lama Allan akan merayakan ulang tahun. Dan saat itulah Mimi akan muncul di hadapan Allan. "Kangen. Serius, Mi. Tiap hari cuma mandang lukisan kamu. Senyum, sih, sayangnya ga bisa balas kalau aku ngomong." Allan sedikit cemberut. Mimi mesem, menutup mulut dengan tangan. Lucu sekali melihat ekspresi Allan. Dia bisa bersikap sok manja begitu. Padahal selama ini Allan selalu jaim dan berlagak dingin. Kalau dia bisa sampai begini, Allan benar-benar telah kembali pada dirinya yang sebenarnya. "Ketawa aja, y
Mimi masuk ke rumah Allan. Dia tidak bisa menunggu lebih lama untuk waktu yang sudah dia rencanakan. Balik Malang saat ulang tahun Allan kurang tiga hari lagi. Saat komunikasi terakhir, Allan terlihat sangat galau. Dia tidak mengatakan kenapa, tapi Mimi tahu Allan butuh teman untuk bicara. Meskipun dia cukup dekat dengan Velia, ada hal-hal yang Mimi tahu Allan hanya menyimpan bagi diri sendiri. Mimi yakin kali ini juga Allan tidak bicara tentang kegalauan hatinya pada Velia. Mimi meletakkan tasnya dalam kamar, lalu dia menuju ke kamar Allan. Dia mengetuk pintu kamar kekasihnya. Ah, kekasih. Mimi masih merasa aneh dan lucu kalau ingat Allan telah menjadi kekasihnya. Tidak ada jawaban dari dalam kamar. Artinya Allan ada di ruang kerjanya. Segera Mimi beranjak ke kamar belakang, ke tempat Allan bekerja. Pintu ruangan itu sedikit terbuka. Mimi mendorong lebih lebar dan mengintip ke dalam. Di sana Allan sedang melukis di atas kanvas yang tidak begitu besar. Tampak dia sangat serius. Mi
Allan menatap laut luas di depannya. Ada beberapa kapal nelayan di kejauhan. Langit cerah dengan awan yang tak lelah bergerak dan berubah bentuk. Indah. Cantik. Lama, Allan tak melihat keindahan ini. Hari itu Mimi mengajak Allan ke pantai untuk merayakan hari ulang tahunnya. Hanya berdua, manis sekali rasanya. "Kak, lihat!" Suara ceria Mimi memecah lamunan Allan. Dia menoleh dan melihat Mimi sibuk membangun sebuah istana pasir. Senyum Allan melebar. Dia menghampiri Mimi. Tangannya seketika asyik bermain dengan kamera yang dia pegang. Dengan lincah dan cekatan Allan mengambil cukup banyak gambar, mengabadikan momen istimewa hari itu. "Jangan main kamera aja. Sini! Seru, Kak!" Mimi mengajak Allan ikut bermain pasir dengannya. "Oke. Aku mau buat istana ini jadi tempat kita dan anak-anak kita tinggal." Allan duduk di sebelah Mimi. Mimi menoleh. "Anak kita?" Mendengar ucapan Allan Mimi cukup kaget. "Iya. Kamu dan aku akan menikah nanti." Tangan Allan sudah memegang pasir. Lalu mulai
Allan melihat pada Velia. Seorang wanita yang kuat dan tegar. Allan semakin mengagumi mamanya dengan semua perjuangan yang dia lewati hingga Allan menjadi dewasa dan siap mengejar hidupnya sendiri. Sekalipun harus kecewa dengan pria yang pernah singgah dalam hatinya, Velia bisa bangkit dan hidup dengan baik. Prinsipnya yang kuat membuat dia tidak kalah dengan keadaan yang sulit. "Aku, ya ... beberapa waktu lalu masih kontak dia, Ma. Tapi, jangan kuatir, aku tidak akan beralih hati." Allan mendekati Velia. Dia menatap kedua mata Velia yang sedikit resah. "Buat aku, Mama pahlawan hidupku. Terima kasih sudah berjuang begitu hebat buat aku. Aku justru selama ini yang membuat Mama sedih dan kecewa." "Allan ...." Velia berucap lirih sambil memandang putranya yang hari ini genap dua puluh empat tahun. "Aku sayang Mama, sangat sayang. Papa, dia bagian yang tak bisa aku buang dari hidupku. Bagaimanapun karena dia, aku ada bersama Mama sekarang. Tapi percaya aku, Ma, aku akan tetap bersama Ma
Dayinta dan Ricky mengharap Mimi segera menjawab pertanyaan mereka. Apakah Mimi dan Allan memang berpacaran? Mimi menarik bibirnya, senyum manis mengembang di sana. Makin merona wajah gadis cantik itu. "Iya, aku udah jadian sama Kak Allan." Sedikit malu Mimi berucap. "Ahh ...." Dayinta merangkup bahu Mimi. Senyum Dayinta melebar. Dia senang, Mimi dan Allan bisa menjalin kasih. Mimi akan bahagia. Allan akan punya penyemangat dalam hidupnya. Mimi mampu mengobati luka hati Allan. Bersama Mimi, ke depan Allan akan lebih kuat menghadapi semua. Ricky memperhatikan Dayinta. Cewek itu terlihat gembira karena Mimi bisa jadian sama Allan. Ricky berharap itu tulus dari hati Dayinta. "Doakan aja aku dan Kak Allan akan baik-baik selalu. Seperti kalian. Hee ..." Mimi membalas rangkulan Dayinta. "Cerita gimana bisa akhirnya kamu jawab oke." Dayinta penasaran minta Mimi cerita. "Ihh, apaan kamu? Nggak ah, malu." Mimi makin bersemu merah. "Ada memori ga? Mau lihat, dong." Dayinta masih belum p