Pria itu melangkah mendekati Allan, Velia, dan Mimi. Dia berdiri di hadapan Allan dan mengulurkan tangannya. "Selamat, Nak. Papa bangga padamu." Ferdinand melepaskan senyumnya pada Allan. Allan menatap papanya datar. Dia mengulurkan tangan berjabat tangan dengannya. "Terima kasih," ucap Allan. "Kenapa kamu datang?" Velia bertanya dengan nada ketus. Ferdinand melihat pada Velia. "Anakku diwisuda. Papanya harus hadir. Dan ini sangat terlambat. Seharusnya aku ada saat dia lulus SD, tamat SMP, dan tuntas SMA. Tapi aku tidak punya kesempatan. Kali ini, mana mungkin aku lewatkan, Lia." Velia mengepalkan tangannya kesal. Dia memegang tangan Allan dan berkata, "Allan, kita pergi." "Ya, Ma." Allan memutar badan dan melangkah meninggalkan Ferdinand di sana, mengikuti langkah Velia. "Permisi, Om." Mimi menyapa Ferdinand, sedikit mengangguk lalu menyusul Allan dan Velia. Ferdinand tidak menyerah. Dia mengejar ketiga orang di depannya. "Velia, kali ini saja. Beri aku kesempatan bersama pu
Sejak pembicaraan sore itu dengan Mimi, Velia berpikir lama tentang perjalanan panjang kehidupannya. Saat masih remaja, Velia kehilangan ayahnya karena kecelakaan kerja. Dia hidup hanya berdua dengan ibunya yang berjuang keras mencukupi semua kebutuhan hidup mereka. Hingga masuk SMA, Velia terpaksa bekerja sambil meneruskan sekolah. Dia menjadi guru les untuk anak-anak sekolah dasar. Perjuangan tidak mudah hingga Velia selesai SMA. Baru satu tahun kuliah yang susah payah dia kejar dengan biaya siswa, ibunya menderita sakit dan hanya beberapa bulan Velia harus melepas kepergian sang ibu untuk selamanya. Rasanya kata bahagia begitu jauh dari hidup Velia. Kemudian, saat di akhir-akhir masa kuliah, dia bekerja di sebuah perusahaan yang cukup bonafit. Di sana dia bertemu Ferdinand. Pria yang mapan, matang, dan cerdas. Seorang yang baik dan punya masa depan. Velia tidak bisa menolak, hatinya terpana pada Ferdinand yang memenuhi kebutuhannya akan kasih sayang. Usia Velia dan Ferdinand yang
Mimi merasa debaran di dadanya makin melanda. Pertanyaan Allan membuat Mimi memerah. Wajahnya merona. Dia marah dan cemburu karena model cantik itu. Apakah benar Mimi sudah cinta Allan? Rasa simpati dan kagum yang ada, sungguhkah berubah menjadi cinta buat Allan sebagai seorang pria? Allan menunggu Mimi menjawab pertanyaannya. Hati Allan juga berdenyut. Tentu saja dia mengharapkan Mimi bukan hanya sayang padanya sebagai seorang kakak, tapi gadis itu bisa cinta padanya sebagai laki-laki yang ingin membahagiakan hidupnya. "Eh ..." Sedikit rasa malu muncul di hati Mimi. Dia memandang Allan dan menghela nafasnya. "Kalau kamu merasa tidak ..." Mimi memegang kedua tangan Allan. "I love you." Mimi mengucapkan kalimat itu, lalu sedikit menunduk, makin degdegan rasa di hati. Allan tersenyum lega, hatinya menghangat. Dia genggam kuat tangan Mimi dan menatapnya. Mimi tidak berani melihat Allan. "Mi ... Ini beneran?" Allan bertanya.
Sangat jelas Mimi mendengar Andini berkata pada Allan. Model cantik itu suka pada kekasih Mimi. Allan terlihat terkejut dengan yang Andini katakan. Apalagi Mimi. Apakah Allan tidak memberitahu Andini kalau dia punya pacar? Makanya Andini berani mengungkapkan isi hatinya? "Mimi?!" Allan berdiri melihat pada Mimi yang seketika wajahnya memerah. "Maaf, aku mengganggu. Lanjutkan saja. Sebaiknya aku pulang." Mimi berkata dengan menahan air mata yang hampir jatuh. Lalu dia berbalik dan segera melangkah. Allan berniat mengejar Mimi, tapi Andini lebih cepat menarik tangan Allan. "Itu kekasih kamu?" tanya Andini. "Ya. Aku harus mengejar dia." Allan melepaskan pegangan Andini dan cepat-cepat mengejar Mimi. Mimi sudah di luar ruangan. Dia menunggu ojek online yang dia pesan. Allan mendekati Mimi. "Mimi, kamu marah?" tanya Allan dengan gamang. "Nggak. Aku hanya ga mau mengganggu. Kaka
Dengan lesu dan merasa kacau, Allan masuk ke dalam rumah. Hingga jam delapan malam lewat baru Allan bisa sampai di rumah. Allan hanya ingin bertemu Mimi dan memeluk gadis itu. Hatinya sangat perih dan sakit. Kamar Mimi masih menyala. Berarti gadis itu belum tidur. Allan mengetuk pintu kamar Mimi. Di dalam Mimi tengah duduk dan membaca sebuah buku. Dia mencoba mengalihkan marah di hatinya dengan masuk dalam kisah yang dia baca. Tok tok tok! Lagi pintu kamarnya diketuk. Mimi tahu Allan ada di balik pintu itu. Malas, tapi dia tak bisa menghindar. Mimi bangun dan melangkah ke pintu. Dia membukanya dan melihat Allan di sana, berdiri dengan wajah kuyu. "Mi ...," ucap Allan lirih. Mimi tidak mengatakan apa-apa. Dia juga memandang Allan dengan muka tidak gembira. "Please ... give me a hug ...." Mata Allan berkaca-kaca. Sejak tadi Allan memendam semua sedih. Sekuat mungkin dia berusaha tidak menangis. Di depan Mimi rasanya ingin dia tumpahkan semuanya. "Kak ...." Mimi menatap Allan yang
Lea menatap Andini dengan marah. Anak gadisnya berteriak pada Ferdinand? Seumur hidup tidak pernah Andini bicara kasar pada orang tua. Lea sangat terkejut. "Andini? Kenapa kamu bicara seperti itu pada papa kamu?" ujar Lea. "Tanya saja padanya, kenapa aku muak melihat dia!" Dan Andini berbalik, dia membanting pintu dengan keras. Dia melompat ke atas kasur dan kembali menangis. Dia ingin memberitahu mamanya, tapi ternyata tidak semudah itu. Sisi lain hatinya juga tidak sanggup. Dia tidak ingin melihat mamanya menangis. Berat, berat sekali situasi ini. "Kak Astari ...." Andini ingat kakaknya. Kakaknya baru saja menikah tiga bulan lalu dan tinggal dengan suaminya. Apakah sebaiknya dia bicara pada kakaknya? Nanti pasti suami Astari juga akan tahu. Lalu ... Andini semakin bingung. Di depan pintu kamar Lea memandang Ferdinand. Pasti ada masalah besar. Tidak mungkin Andini akan bersikap seperti itu pada papanya jika ini hanya sekedar dia ingin sesuatu dan papanya tidak mau memberikan. "Ka
Sebelum Velia semakin bingung, Allan mulai mengatakan bagaimana dia bisa tahu tentang Andini. Pertemuan yang tidak sengaja dengan Ferdinand, lalu muncul Andini. Allan menduga, Ferdinand sebenarnya datang ingin bertemu Andini di event itu. Ternyata dia justru bertemu Allan lebih dulu, kemudian Andini melihat mereka. Velia panik dan kacau. Dia seketika berubah cemas dan sedikit pucat. Pikirannya sudah berputar ke mana-mana. Jika istri dan anak-anak Ferdinand tahu, lalu menghubunginya. Mereka akan mengata-ngatai dia perebut suami orang. Wanita tidak tahu diri. Dia paling tidak mau itu yang dia dengar. Dia hanya korban dari laki-laki yang tidak bisa menahan nafsu, lalu terjerat pernikahan yang salah. Velia pun tertipu. "Mama ...." Allan merangkul bahu Velia. "Ya ... ya ...." Velia bingung berkata apa. Tapi dia harus tetap tenang. Dia yakin pasti dia bisa lewati ini. Semua itu sudah lewat. Semua itu sudah lama terjadi. "Maafkan aku ...." Allan merasa bersalah. Seandainya dia tidak perna
Hampir dua minggu berlalu sejak Allan tahu kenyataan siapa Andini. Tidak ada kabar apapun datang dari keluarga Ferdinand. Andini tidak memberi kabar, Ferdinand juga tidak menghubungi. Allan cukup lega. Mungkin mereka memilih melupakan saja. Karena Allan dan Velia hanya masa lalu Ferdinand. Entah kenapa, Allan juga berharap Andini baik-baik saja. Ibu dan kakaknya juga. Dia tidak mau gadis yang baik hati dan ramah itu akan merasakan rumah yang hampa seperti dirinya. Hari ini Allan dan Mimi pergi menemui Yudha. Boleh dikata, setidaknya sebulan dua kali Allan akan datang mengunjungi sahabatnya itu. Yudha semakin ceria dan bersemangat. Meskipun dari balik terali besi, dunianya tidak berhenti. Allan dan teman-teman terus mendukung. Dalton, yang juga punya galeri sendiri, menjadi tempat Yudha memasarkan hasil karyanya. Untuk teman-teman napi yang lain yang berhasil Yudha latih, juga bisa menyalurkan hasil karyanya di galeri Dalton ataupun Allan. Mimi memperhatikan Allan dan Yudha yang bicar