Dayinta melihat pada Ricky. Kenapa Ricky jadi ketakutan begini? "Tidak mau, aku mau pulang. Dikasih obat saja pasti aku akan sehat dengan cepat," Rikcy yang menjawab, tapi dia tidak berani terang-terangan melihat pada dokter. "Akan cepat pulih kalau setidaknya bisa tinggal semalam. Karena bisa ditangani lebih intens, peralatan lebih memadai." Dokter menerangkan. "Nggak. Day, kita pulang!" Ricky menaikkan nada suaranya. "Ky, bisa cepat sehat. Semalam saja, kok. Oke?" Dayinta membujuk Ricky. "Nggak, kita pulang!" Makin keras suara Ricky. Dayinta merasa Ricky jadi kayak bocah yang merajuk karena tidak dituruti kemauannya. "Dok, apa tidak masalah kalau pulang? Resikonya bagaimana?" Dayinta masih bingung antara dia ikut saran dokter atau mengikuti kemauan Ricky. Dokter memandang pada Ricky. Dia tahu pasien seperti ini pasti ada kisah buruk dengan dunia kedokteran. "Tidak apa-apa jika bisa dirawat di rumah. Akan ada cukup banyak obat. Dan pastikan semua aturan dipenuhi. Jika sampai
Dayinta tersenyum. Dia memandang Ricky yang semakin harii semakin membuat dia sayang. Cowok itu sama sekali bukan tipenya. Jauh dari gambaran Dayinta cowok yang akan jadi pujaan hatinya, yang akan berdampingan dengannya. Namun, lambat laun, Dayinta merasa jika seseorang yang dia butuh memang seperti Ricky. Jelas, bukan secara fisik, karena Ricky tidak tinggi dan gagah seperti Allan. Dia biasa saja. Tidak terlalu tampan, penampilannya pun apa adanya. Tetapi Ricky punya sesuatu yang membuat Dayinta merasa aman berada di sisi cowok itu. Sikapnya yang jujur, penyayang, dan sabar, itu yang Dayinta butuhkan. Dayinta sendiri merasa heran dia bisa sayang begitu dalam pada Ricky. "Makanan sudah siap." Dari pintu Mimi masuk. Dia membawa semangkuk bubur dan minuman hangat, buat Ricky. "Hei, thank you. Aku memang lapar." Ricky tersenyum. Dia bangun, duduk di tepi ranjang. "Sini, biar aku bantu," ujar Dayinta. Dia meminta mangkuk dari tangan Mimi. Dayinta menyuapi Ricky. Bagus juga, meski kond
Sudah empat hari Ricky berada di rumah Allan. Kondisinya cepat membaik. Ricky sangat nurut sama Mimi dan Dayinta yang merawatnya. Kedua gadis itu cerewet sekali, juga tegas mengurus semua keperluan Ricky. Saat mereka kuliah, Allan yang akan menemani Ricky. Di situ Ricky makin kenal Allan seperti apa. Allan pria yang baik. Dia cukup ramah dan menyenangkan. Ada saat dia suka bercerita, tapi lain kali dia bahkan tidak bicara apa-apa, hanya datang mengintip Ricky lalu pergi lagi. Velia juga ikut memperhatikan Ricky. Dia memastikan selalu ada makanan buat Ricky. Apalagi saat rumah sepi. "Hari ini jadwal kontrol ke dokter. Kalau melihat perkembangannya, kamu jauh lebih baik. Jam empat kita berangkat?" Dayinta melipat selimut di ranjang. Ricky sudah selesai mandi dan bersiap akan ke dokter sore itu. "Iya. Masih sepuluh menit lagi." Ricky turun dari ranjang, meraih jaket hitam di dekat bantalnya. "Aku bawain minum dan roti, mungkin nanti lama antre di dokter." Dayinta memperhatikan Ricky.
Perkataan Ferdinand dengan nada sedih itu, sungguh menyayat hati Allan. Ini bukan kali pertama Ferdinand meminta maaf. Dia sudah lakukan berulang kali sejak dia kembali bertemu Velia dan Allan. Sayangnya, hingga hari itu Velia masih memilih menyimpan marah pada Ferdinand. Dia belum bisa melepas maaf buat mantan suaminya itu. Allan memandang wajah Ferdinand. Kesedihan sangat jelas tergambar di sana. Dia mungkin hampir putus asa meminta maaf dari Velia. Dan pintu hati Velia masih tertutup untuknya. "Iya, Pa. Aku akan bicara dengan Mama. Papa sabar ya, pasti Mama akan memaafkan Papa." Allan mencoba membuat Ferdinand tenang. Buat Ferdinand satu yang jadi halangan dalam hidupnya adalah maaf dari Velia. Sejak rahasianya terbongkar, Ferdinand banyak sekali berpikir. Tentang semua yang dia telah lewati hingga dia mulai menua. Keegoisan, keserakahan, ketidakrelaan melepas masa lalu, itu mungkin yang jadi penyebab dia menipu dua wanita baik yang dia nikahi. Apalagi saat dia sakit, rasanya ma
Pembicaraan dengan Allan pagi tadi masih terus terngiang di telinga Velia. Ferdinand sangat ingin bisa bicara dengan Velia dan menyampaikan maaf padanya. Hati Velia terasa getir. Perjalanan hidupnya yang tidak mudah sejak dia kecil hingga sekarang, salah satunya karena apa yang dia alami dengan Ferdinand. Masa depan indah yang terpampang di matanya, keluarga manis serta bahagia yang dia idamkan semua berantakan karena hanya sandiwara belaka. Sekalipun Velia menocba tegar, semua begitu berat dia lalui. Sekarang, dia kembali ditantang untuk menghadapi pria yang melukainya. Kesalahan pernikahan itu bahkan membuat Velia tidak pernah mau berpikir tentang cinta seorang pria. Hidupnya dia abdikan untuk Allan. Hanya itu. "Allan ...." Velia membuka pintu kamar kerja Allan. Di dalam ruangan itu, Allan dan Mimi sedang berdua. Allan dan Mimi menoleh ke arah pintu. Velia memandang Allan dengan tatapan galau. "Ya, Ma ...," ujar Allan. "Aku mau bicara pada papamu. Bisakah kamu bantu aku?" Velia
Sepanjang sore hingga malam hari itu, rumah Velia menjadikan sunyi dan tegang. Biasanya masih terdengar suara tawa Allan dan Mimi atau nyanyian merdu Mimi mengumandangkan lagu kesukaannya. Karena kabar Ferdinad, mereka lebih banyak diam dan menunggu. Waktu berjalan seolah begitu lambat. Menunggu adalah sesuatu yang tidak menyenangkan. Kini, mereka menunggu kabar dari Lea seperti apa kondisi Ferdinand. "Ada kabar?" Velia bertanya pada Allan. Dia melongok ke kamar Allan. "Masih sama, Ma. Belum ada perkembangan." Allan memandang Velia. "Ya, baiklah." Velia meninggalkan kamar Allan masuk ke dalam kamarnya. Allan berdiri, dia tinggalkan meja dan menuju kamar Mimi. Dia ketuk pintu beberapa kali. Mimi sudah ada di atas ranjang. Mendengar ketukan di pintu, Mimi bangun. Dia membuka pintu, Allan di sana memandang dengan gundah. "Ga bisa tidur?" Mimi mencermati wajah Allan. Dia tampak lelah, tapi pasti sulit tidur. "Boleh aku peluk?" Allan menatap Mimi. Wajahnya tetap cantik meski sedikit
Tatapan Astari tajam pada Andini. Bagaimana bisa adiknya mengusulkan ide gila begitu? Andini mengelus dadanya karena ucapan terkejut Astari ketika tahu apa yang ada di kepalanya. "Dini, ini ... ga semudah kita bertengkar sama teman, baikan, lalu kita bisa main bareng lagi," kata Astari sambil menggeleng-geleng keras. Andini mengusap-usap rambutnya, menyandarkan punggung dengan sedikit hentakan karena jadi bingung. "Oke, ultah Papa kita buat istimewa. Aku setuju. Dia pasti happy, kita mau merayakan hari jadi Papa. Dalam situasi apapun, kita tunjukkan kita tetap sayang Papa. Tapi ... kalau minta Allan dan ibunya ke sini ...." Astari kembali menggeleng. "Kamu kira itu bisa kita lakukan?" Andini dan Astari secepat kilat menoleh pada suara itu. Lea, mama mereka, berdiri tidak jauh dari mereka berdua. Sepertinya dia sudah mendengar apa yang dibicarakan kedua putrinya itu. Andini dan Astari saling memandang, kuatir Lea akan marah dengan ide itu. "Eh, Ma ... itu hanya kepikir saja ... Eh
Kelegaan memenuhi hati Allan. Mimi berhasil membujuk mama Allan untuk menerima undangan keluarga Ferdinand. Mereka akan datang ke acara ulang tahun Ferdinand. Allan menemui Velia dan memastikan jika kabar yang Mimi bawa itu benar. Setelah mendapat kepastian dari Velia, Allan langsung memesan tiket untuk perjalanan. Berdua saja dengan Velia. Sebenarnya Allan juga ingin Mimi ikut datang ke Bandung. Sayang, Mimi ada kegiatan di kampus. Dia menjadi salah satu panitia, sehingga tidak mungkin tidak hadir selama acara. Pagi sebelum jam tujuh Allan dan Velia telah meninggalkan rumah. Mereka hanya akan menginap semalam di sana. Allan juga telah memesan hotel untuk dia dan Velia. Ini kali kedua Allan ke Bandung untuk bertemu keluarga Ferdinand. Perasaannya sangat berbeda dengan saat pertama dia pergi. Jika yang pertama dia merasa cemas dan kuatir akan penolakan, kali ini dia bisa tenang selama perjalanan. Velia yang merasa galau dan resah. Sejak dia bercerai dengan Ferdinand baru dua kali dia