Kelegaan memenuhi hati Allan. Mimi berhasil membujuk mama Allan untuk menerima undangan keluarga Ferdinand. Mereka akan datang ke acara ulang tahun Ferdinand. Allan menemui Velia dan memastikan jika kabar yang Mimi bawa itu benar. Setelah mendapat kepastian dari Velia, Allan langsung memesan tiket untuk perjalanan. Berdua saja dengan Velia. Sebenarnya Allan juga ingin Mimi ikut datang ke Bandung. Sayang, Mimi ada kegiatan di kampus. Dia menjadi salah satu panitia, sehingga tidak mungkin tidak hadir selama acara. Pagi sebelum jam tujuh Allan dan Velia telah meninggalkan rumah. Mereka hanya akan menginap semalam di sana. Allan juga telah memesan hotel untuk dia dan Velia. Ini kali kedua Allan ke Bandung untuk bertemu keluarga Ferdinand. Perasaannya sangat berbeda dengan saat pertama dia pergi. Jika yang pertama dia merasa cemas dan kuatir akan penolakan, kali ini dia bisa tenang selama perjalanan. Velia yang merasa galau dan resah. Sejak dia bercerai dengan Ferdinand baru dua kali dia
Lea maju lagi dua langkah. Rasa kecewa yang selama ini menggelayut di hatinya tiba-tiba menguap. Rasa pilu karena dia pernah dikhianati, setelah bertemu langsung dengan Velia, semua itu seakan-akan terbang begitu saja. Lea memeluk Velia. Tangis Velia semakin jadi. Dia tidak bergerak, tidak juga menolak Lea. Ada kelegaan Velia rasakan, ada juga sedih yang masih berkejaran di dadanya. Perlahan Velia menata hati. Dia tidak mau kedatangannya ke Bandung akan berujung sia-sia. Dia membesarkan hati datang ingin semua yang pernah dia lewati akan menemukan ujung, lalu semua selesai. "Waktu terus berjalan. Anak-anak kita sudah dewasa. Mereka ingin melihat orang tuanya bahagia, tidak peduli apa yang terjadi di sekitar kita." Lea melepas pelukannya dan memandang Velia. Velia mengusap kedua pipinya dan mengangguk. "Aku tidak tahu bagaimana menghadapi Mbak Lea. Sekian tahun aku pergi, tidak ingin ada yang tahu jika aku pernah mengambil suami orang. Aku sangat takut, takut melukai hati seorang is
Kampus ramai dan meriah. Acara yang diselenggarakan di kampus Mimi untuk merayakan hari jadi universitas sukses besar. Pagelaran seni yang juga disiapkan berlangsung heboh. Panitia sangat puas dan bangga bisa mengadakan acara dengan lancar. Mimi yang sejak pagi sibuk, tidak merasa lelah karena hati yang gembira. Bersama panitia lainnya Mimi terus memastikan acara akan berakhir dengan baik hingga acara penutupan jam lima sore. "Great job, Guys! Thank you kerja kerasnya. Para dosen acungkan jempol buat kita. Huuhh!!" Ketua panitia bertepuk tangan girang saat mereka makan siang bersama. "Dahsyat kalian. Lanjutkan perjuangan!!" Salah seorang menimpali sambil angkat dua jempolnya. "Yesss! Lega banget. Ga sia-sia kerja keras selama ini!" Yang satu lagi berseru senang. "Mi, kamu jadi lo, isi acara. Jadi bintang tamu mewakili panitia saat penutupan nanti." Ketua seksi acara mendekati Mimi yang masih menikmati ayam bakar di depannya. "Hei, ngaco. Aku ga sempat latihan. Ntar lupa lirik cil
Di atas panggung lagi. Mimi merasa cukup tegang dan gugup. Di hadapan sekian banyak pandangan mata, degdegan juga rasa hatinya. Tangannya terasa dingin dan sedikit gemetar. Ketika Nehan sudah di sisinya rasa nervous makin meningkat. Jika dulu, bernyanyi bersama Nehan adalah sesuatu yang istimewa, apalagi ketika mereka pacaran, semua telah berbeda. Mimi menahan hati, takut air mata menitik karena rasa takut belum sepenuhnya hilang. Para penonton bersorak, berteriak memanggil namanya dan Nehan. Ini kejutan besar karena pasangan duet andalan kampus manggung bareng lagi. Suitan, seruan, dan semua kegembiraan seolah dilempar dari area penonton ke arah panggung. Namun, Mimi berjuang, agar bisa bernyanyi dengan lancar, hingga lagu usai. Itu saja. Di bawah panggung, Ricky dan Dayinta menatap ke arah Mimi dan Nehan dengan mata melotot. Mereka seolah tidak percaya menyaksikan Mimi bernyanyi lagi, berduet dengan Nehan. Tidak mungkin. Rasanya tidak mungkin. Apa yang terjadi? Mimi tidak mengatak
Dayinta memandang Mimi. Lagi, Mimi menggeleng keras-keras. Dia tidak mau Dayinta memberitahu Allan apa yang terjadi dengan dirinya. "Ah, iya, Kak. Masih sibuk. Nanti biar Mimi hubungi Kak Allan. Aku segera kasih tahu Mimi." Dayinta berusaha tetap tenang bicara dengan Allan. Mimi mengembuskan nafas lega. Dayinta meletakkan ponsel dan memandang Mimi. "Aku belum kontak Kak Allan atau Tante Velia. Aku ga tau apakah mereka di sana baik-baik. Aku ga mau kasih kabar buruk. Mereka nanti akan cemas." Mimi menjelaskan alasannya agar Dayinta tutup mulut. Dayinta mengusap pundak Mimi. Dia mengerti apa yang Mimi risaukan. "Lalu kamu mau bilang apa?" tanya Dayinta. Mimi meraih tasnya yang ada di dekat bantal. Dia mengeluarkan ponselnya dan mencari nomor kontak Allan. Segera Mimi mengirim chat pada Allan. - Hai, Kak. Sorry, baru kelar acara. Aku baik-baik saja. Kakak tenang saja. Aku ajak Dayinta tidur di rumah. Mimi tunjukkan pesan yang dia kirim pada Dayinta. Dayinta mengangguk. Sepertinya
Semua keceriaan yang Mimi bisa rasakan hari itu lenyap seketika. Ternyata urusan dengan Sherly masih ada rentetannya. Sekarang bahkan meluas. Mimi masih belum merespon apa-apa terhadap semua berita yang menyudutkan dirinya. Mimi tidak tahu bagaimana meluruskan semua itu. Kabar negatif yang sudah beredar di dunia maya, tidak akan mudah dihilangkan. Sekalipun Mimi berusaha menangkis, belum tentu orang akan langsung berubah pikiran dan memandangnya dengan sisi positif. Seakan percuma saja misal Mimi memberi komentar atas postingan Sherly. "Mi, kamu ga jawab apa-apa di situ?" Dayinta memandang Mimi. "Ga akan menyelesaikan masalah, Day. Apa orang akan percaya? Sudahlah. Aku ga mau peduli." Mimi merasa penat. Dia tidak ingin hatinya tercabik untuk sesuatu yang dia tidak perlu menggubrisnya. Dengan lesu Mimi masuk ke dalam kamarnya. dia mengambil buku dan berusaha tenggelam dengan apa yang dia baca. Di ruang tengah, Dayinta da
Velia menoleh ke teras rumah besar itu. Lea dan kedua putrinya serta menantunya melambaikan tangan padanya dan Allan. Sedang Ferdinand, dia tersenyum tipis, duduk di kursi roda. Velia menyusul Allan masuk ke dalam taksi online yang menjemputnya untuk menuju ke bandara. Hati Velia penuh kelegaan. Tidak ada lagi cemas dan resah. Tidak pula rasa marah yang sekian lama terus tersimpan di dadanya. semua luka itu telah pergi. "Jalan, Pak." Velia berkata pada sopir. Perlahan mobil meninggalkan rumah megah dan cantik keluarga Ferdinand. Allah yang ada di sisi Velia tersenyum. Mamanya telah berhasil mengalahkan semua kepedihan dan kekecewaan masa lalunya. Sangat lega melihat Velia bisa tersenyum manis saat bersama Ferdinand dan Lea. Sedang Allan, ternyata menyenangkan punya dua kakak yang cantik dan perhatian. Astari, wanita yang tegas, berkharisma dan cerdas. Andini, dia lebih ceria dan manja. Walaupun begitu kesan dia wanita mandiri tetap terlihat. "Tuhan memang punya waktu untuk segala
Mobil Allan masuk area kampus Mimi. Tiba-tiba saja Mimi merasa sesuatu mendesak di dadanya. Ada sedikit cemas juga mencuat. Padahal sejak bangun dia merasa baik-baik saja. Allan menoleh pada Mimi. Tatapan Mimi berubah, tidak setenang tadi. Pasti dia merasa tidak nyaman dan gelisah menghadapi teman-teman kuliahnya. Allan sebenarnya sudah bilang sebaiknya Mimi di rumah saja. Paling tidak membuat dirinya tenang lebih dulu. Tapi Mimi ngotot minta ke kampus. Alasannya siang ada rapat evaluasi panitia. Dia harus datang. Allan memarkir mobil. Mimi tidak segera beranjak. Dia duduk menatap lurus keluar kaca mobil. Allan memandang Mimi. Dia memastikan apakah mimi mau lanjut kegiatan hari itu atau kembali pulang. "Kamu jadi turun?" tanya Allan. Mimi mengangguk. "Ya, Kak." Mimi melepas sabut pengaman dan keluar dari mobil. Allan ikut turun dan menemani Mimi menuju ke kelas. Biasanya Allan hanya akan menurunkan Mimi langsung dia tinggal pergi meneruskan urusannya sendiri atau kembali pulang. N