Share

4. Pramoedya dan Sanjaya

Suasana divisi pemasaran yang selalu ramai mendekati jam makan siang, kini tampak lebih riuh dari biasa saat beberapa karyawan wanita terlihat sibuk berkumpul membentuk setengah lingkaran, mengerubungi meja kubikel seseorang yang sedang menampilkan portal berita di laman mesin pencarian. Termasuk di sana ada Mala yang dikenal Rena sebagai teman sebelah kubikelnya, terlihat juga sedang ikut bergabung di antara kerumunan.

Mala yang baru menyadari kehadiran Rena ketika wanita itu melangkah memasuki ruang divisi dengan kernyitan heran, tanpa menunggu lama pun segera beralih dari tempatnya, menghampiri Rena dengan pekikan nyaring dan bola mata yang membulat selebar-lebarnya. 

"Astaga! Kamu dari mana aja, Ren? Satu divisi kita udah dibuat seheboh ini, tapi kamu malah sibuk keluyuran."

Rena masih mengerut kening kebingungan dengan tingkah berlebihan Mala. Padahal tidak sampai setengah jam ia meninggalkan kursi kerjanya, tapi begitu kembali ke ruangan, orang-orang justru sudah berkumpul heboh entah meributkan apa. Termasuk rekan kerja sebelah mejanya.

"Kamu harus dengar berita gila ini, Ren! Anak-anak divisi kita, bahkan nyaris satu gedung lagi sibuk ikut-ikutan membahasnya. Aku sampai sekarang aja masih belum percaya padahal sudah melihat beritanya berkali-kali. Bahkan kabar ini udah masuk headline news portal berita nasional. Tinggal tunggu waktu sampai media tv juga ikut mengangkatnya." 

Rena hendak menolak untuk meladeni apapun yang menarik perhatian Mala hingga membuatnya sehisteris itu, atau topik mengejutkan manapun yang lagi hangat diperbincangkan oleh rekan-rekannya yang lain. Namun Mala sepertinya tak ingin melepaskan Rena begitu saja, sehingga dengan sekuat tenaga ia berusaha menyeret perempuan itu agar mengikuti langkahnya bergabung dengan kumpulan orang banyak tersebut. 

"Jadi ini beneran kecelakaan tunggal?" Suara Mas Tian, salah satu senior copywriter di mana merupakan satu-satunya lelaki yang bergabung di sana, terdengar tak ketinggalan menimpali obrolan.

"Kecelakaan tunggal yang disengaja mungkin, Mas. Lihat aja, bagian depan mobilnya bahkan hancur lebur begitu pas nabrak pembatas tol. Kecepatannya sebelum tabrakan pasti di atas rata-rata kalau sampai berhasil membuat bumper depannya penyok nggak berbentuk," sahut suara yang lain.

"Maksudnya dia bunuh diri gitu?" tanya Mas Tian lagi dengan heboh.

"Dugaan lainnya dia mabuk berat pas berkendara. Karena dari berita yang beredar, masih ada aroma alkohol tercium jelas waktu petugas keamanan dan ambulans mindahin dia dari kursi pengemudi."

"Aku masih nggak percaya kalau Namira Sanjaya bisa mabuk-mabukan sampai seteler itu, apalagi sampai ceroboh menyebabkan kecelakaan yang merenggut nyawanya sendiri. Maksud aku, selama ini kan dia selalu menampilkan citra perempuan baik-baik menurut kelasnya. Selain itu dia juga selalu berusaha menjaga nama baik keluarga Sanjaya. Karir dan kehidupan pernikahannya juga terlihat aman-aman aja. Kenapa justru harus berakhir tragis seperti ini?"

Namira Sanjaya. Itulah nama yang tertangkap netra Rena ketika pandangannya menyapu judul berita pada portal media massa di layar depan. Meskipun terbilang jarang mengikuti perkembangan kabar tentang publik figur, selebgram, atau orang terkenal manapun di jagad pertelevisian ataupun dunia maya, tapi entah kenapa nama itu tak begitu asing menyapa pendengarannya.

"Namira Sanjaya?" bisik Rena terlebih seperti gumaman.

Mala yang berdiri di dekatnya, masih dapat menangkap dengan jelas pertanyaan yang terlontar secara spontan dari bibir Rena. Perempuan itu pun mengangguk membenarkan. "Iya, Namira Sanjaya. Putri bungsu dari politikus terkenal Hendrawan Sanjaya, sekaligus menantu satu-satunya Pak Antonio Pramoedya, salah satu komisaris utama dan pendiri perusahaan kita."

"Jadi perempuan itu istri Pak Andreas Pramoedya? Anak dari Pak Antonio?" gumam Rena lagi.

Mala kembali mengangguk, berbisik lirih di telinganya. "Temen aku yang kerja di lantai atas bilang sendiri di grup chat kantor kalau Pak Andreas nggak kelihatan sejak tadi pagi. Kemungkinan dia sibuk mengurus kematian istrinya. Aku bahkan masih nggak percaya setelah dengar berita ini. Padahal aku juga cukup mengidolakan Namira Sanjaya waktu dia masi aktif-aktifnya di dunia model dan perfilman, sebelum memutuskan pensiun dan jadi menantu keluarga Pramoedya."

Barulah Rena paham alasan kenapa anggota divisinya, atau mungkin hampir seisi gedung kantor terlihat menaruh atensi teramat besar pada berita kematian mengejutkan ini. Nama Namira mungkin tidak terlalu akrab di telinga Rena, tapi jika sudah menyangkut nama besar seperti keluarga Pramoedya, orang-orang yang merupakan pilar penyangga penting di tempat ia bekerja mencari nafkah, tentu bukan sesuatu yang mudah dilewatkan.

Meskipun dirinya tidak sering terlibat langsung di bagian direksi yang kerap bersentuhan dengan para petinggi perusahaan, sosok Andreas Pramoedya sebagai Direktur Utama yang berpengaruh penting pada bagian paling vital tempat kerjanya, cukup menangkap seluruh atensi Rena.

Selain karena nama pria itu kerap meluncur menjadi topik pembicaraan di waktu senggang oleh teman sesama divisinya, baik itu pembahasan mengenai penampilan fisiknya yang memang punya daya tarik di mata karyawan wanita, atau riwayat pendidikan bahkan latar belakang nama Pramoedya yang melekat di belakang namanya, hingga berujung pada kehidupan rumah tangga pria itu setelah kabar pernikahannya dengan seorang publik figur yang merupakan putri bungsu salah satu politikus ternama, Rena juga cukup tahu banyak tentang sepak terjang seorang Andreas Pramoedya.

Menjadi salah satu karyawan terlama di Ciputra, sebuah perusahaan manufaktur berbasis food and beverage, membuat Rena dapat menyaksikan langsung perjalanan Andreas Pramoedya dari awal pria itu memulai karir sebagai manajer keuangan, hingga berujung pada peningkatan jabatannya yang pesat sebagai salah satu jajaran dewan elit direksi.

Namun bukan hal itu yang menjadikan sosok Andreas begitu melekat di ingatan hampir semua pegawai di tempat ini, tak terkecuali bagi Rena sendiri. Melainkan bagaimana sikap penuh kontroversi yang selalu dilakoni pria itu sejak awal ia menginjakkan kaki sebagai kepala divisi di salah satu departemen yang dipegangnya. 

Mulai dari melakukan kudeta untuk menjatuhkan beberapa komisaris dan dewan direksi yang diduga bermain kotor menggelapkan uang perusahaan, membongkar habis produktivitas dan kinerja karyawan yang tercatat kurang berkompeten, sehingga mengakibatkan terjadinya PHK besar-besaran, sampai yang paling melekat erat di ingatan Rena adalah sikap angkuh nan dingin yang sudah menempel erat pada kepribadiannya.

Intinya, Andreas Pramoedya adalah sosok yang ikonik di ingatan siapa saja yang mengenal pria itu, sekaligus menjadi mimpi buruk tersendiri bagi mereka yang berseberangan dengannya.

Dan terlibat dengan orang-orang seperti itu adalah hal yang sudah pasti ingin dihindari oleh Rena. Kehidupannya selama ini sudah lebih dari kata sulit, ia tak ingin menambah drama baru jika suatu saat bersinggungan dengan manusia sejenis Andreas Pramoedya atau siapapun yang selevel dengannya. Karena bagi orang dengan tampuk kekuasaan seperti mereka, menghancurkan hidup orang lain sama mudahnya dengan menginjak semut di pinggir jalan. 

***

"Ayolah, Ren. Acara besar ini hanya setahun sekali, masa kamu nggak tertarik menyempatkan waktu buat hadir?" 

Rena terus menyuapi makan siangnya, berusaha mengabaikan rengekan Mala yang sedari tadi berkeras mengintilinya dari ruang divisi sampai ke kafetaria kantor dengan bujukan yang sama. Agar ia turut hadir di acara ulang tahun perusahaan yang rutin dirayakan menjelang akhir tahun malam nanti.

"Ada atau nggaknya aku di sana, nggak ada pengaruhnya juga. Jadi kamu nggak perlu ngotot maksa aku buat ikut."

Mala makin mencebik tak senang mendengar itu. "Tahun lalu kamu juga menolak hadir. Oh, yang dua tahun kemarin juga kamu nggak bisa hadir. Apa susahnya ikut datang bersenang-senang menikmati acara, sih, Ren? Itu saat paling bagus buat kita mencari koneksi sebanyak-banyaknya. Syukur, kalau bisa punya kesempatan naik jabatan."

Rena ingin mencibir motivasi yang ada di pikiran gadis di depannya. Sangat omong kosong sekali kalau seorang Nirmala Rahayu datang ke acara sebesar perayaan ulang tahun perusahaan dengan niat sedangkal itu. Ibarat ada udang di balik bakwan, Rena bisa menduga bahwa ia justru punya agenda lain mengincar pria-pria potensial untuk dijadikan target pacar idealnya. Syukur-syukur kalau nanti dapat diajak serius ke pelaminan.

Perbedaan prinsip di antara mereka seperti inilah yang memicu Rena agar tak perlu mengiyakan ajakan Mala ke acara atau pesta manapun. Bahkan ketika divisi mereka berhasil mencapai target bulanan penjualan, dan memutuskan membuat perayaan kecil-kecilan dari keberhasilan itu, Rena lebih memilih mengurung diri beristirahat di kontrakan mungilnya daripada harus begadang ikut karaokean dan minum-minum di kafe bar bersama para rekan sejawat.

Sejak dulu, Rena sudah ditempa keadaan untuk mendedikasikan hidup sepenuhnya pada kerja keras dan kebutuhan finansial keluarganya. Sebagai anak sulung dari dua bersaudara, punggungnya harus cukup kuat memikul tanggungjawab yang tak bisa terbilang ringan. Semua makin terasa rumit ketika lelaki satu-satunya di keluarga mereka, yang juga berperan sebagai tulang punggung mencari nafkah, harus berpulang dalam keadaan menyedihkan, meninggalkan hutang yang tak sedikit jumlahnya kepada sang istri dan anak-anak.

Maka meluangkan waktu bersenang-senang dengan orang lain adalah pilihan terakhir yang Rena inginkan. Bahkan ia tak dapat mengingat lagi kapan terakhir kali mempunyai waktu khusus bersantai untuk dirinya sendiri, karena di sepanjang 28 tahun perjalanan hidupnya, Serena Amerta hanya memusatkan tujuannya secara total dan utuh pada pekerjaan.

"Jadi kamu benar-benar nggak mau datang?" Mala bersama sikap keras kepalanya adalah sesuatu yang kadang sulit ditangani.

Rena mengedik bahu acuh tak acuh. "Ada strategi proyek pengembangan brand kopi robusta yang harus dikerjakan. Jadi aku akan lebih memilih lembur di kontrakan daripada ikut rencana menjaring koneksi sebanyak-banyaknya yang kamu tawarkan tadi."

Mala mencebik mendengar kalimat berbumbu sindiran halus itu. Sedangkan Rena yang menyaksikan muka cemberut Mala, hanya mengulum senyum geli dan kembali menyantap makan siang tersisa di piringnya.

Lagipula Rena masih punya masalah lain yang harus ia pikirkan. Setelah mendapat penolakan dari Bu Marisa dalam mengajukan pinjaman karyawan, Rena harus segera memutar otak mencari uang tambahan dalam membiayai prosedur cuci darah ibunya minggu ini. Tanggal gajian juga masih jauh dari jangkauan, jadi ia sendiri tidak mampu berharap banyak dari isi dompetnya yang tersisa.

"Menurut kamu Pak Andreas juga akan ikut hadir di acara malam nanti? Kamu tahu sendiri dia nggak pernah melewatkan acara perusahaan sekecil apapun itu. Apalagi di situasi yang mewajibkan Direktur Utama membawakan sambutan." Mala kini sudah mengganti topik pembicaraan yang lebih menarik minatnya, yaitu dengan mengajak Rena bergosip ria. Kebiasaan yang jujur saja malas dilakoni Rena, tapi sayang juga tak mampu ditolak karena orang-orang di lingkup kerjanya senang melakukan hal demikian, termasuk Mala.

"Istrinya baru meninggal dan dikuburkan tadi siang, apa yang kamu harapkan dari pria yang sedang berduka? Justru akan terlihat aneh kalau sampai dia memaksa muncul di saat yang salah dan mengundang perhatian orang banyak."

Mala menopang dagu seraya memutar sedotan dari gelas jus sirsak di tangannya. "Aku jadi penasaran, Ren, orang yang kelihatan tanpa empati kayak Pak Andreas memangnya bisa merasakan kehilangan? Setiap berpapasan di lobi kantor aja nggak ada satupun yang bisa baca suasana hatinya, saking terlalu minim ekspresi yang dia tampilkan."

"Dia juga manusia biasa. Kehilangan salah satu anggota keluarga pasti akan membuatnya terpukul," balas Rena menimpali.

"Tapi hubungan pernikahannya dengan Namira Sanjaya selama ini juga sama datarnya, Ren. Ya, memang sih hubungan mereka terlihat aman-aman aja di depan umum, nggak ada gosip miring apapun yang terendus oleh media sekitar. Tapi kebersamaan mereka masih cukup jauh dari kata harmonis."

Masih kukuh membahas topik yang sama, Mala melanjutkan. "Apalagi udah lima tahun menikah, dan Namira Sanjaya belum juga kelihatan bisa kasih Pak Andreas momongan. Kebayang nggak? Gimana tertekannya perempuan itu di tengah tuntutan dua keluarga besar terpandang sekelas Pramoedya dan Sanjaya. Apa jangan-jangan itu juga, ya, yang jadi alasan perempuan seanggun Namira memilih pelarian ke minuman keras dan justru berakhir menabrakkan diri---" 

Rena spontan mendelik tajam memotong apapun omong kosong yang ingin diteruskan Mala, sehingga gadis itu secara refleks mengatup rapat-rapat mulutnya usai mendapati tatapan setengah mematikan tersebut. Inilah salah satu hal yang tidak disukai Rena dari kegiatan menggosip. Terlalu mudah menciptakan prasangka buruk pada orang lain tanpa mengetahui dengan pasti latar belakang apa yang menaunginya.

Bermain asumsi tentang kehidupan seseorang yang belum tentu terbukti kebenarannya, justru akan berujung pada sebuah fitnah. Sedangkan jika asumsi itu terbukti benar, justru hanya akan melahirkan ghibah. Sama sekali tidak ada hal positif menguntungkan yang bisa didapatkan dari mengurusi kehidupan orang lain. 

"Daripada sibuk membahas kehidupan Pak Andreas dan almarhumah istrinya, lebih baik kamu fokus habiskan makan siang kamu yang masi tersisa setengah piring itu, karena waktu istirahat kita tinggal lima menit lagi."

Tak ingin membantah kalimat mutlak gadis sesensitif Rena, Mala hanya bergumam mengiyakan seraya menyuap nasi dan lauk miliknya dengan wajah tertekuk masam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status