Kembali terjebak pada fatamorgana mengerikan di alam bawah sadarnya, Andreas tahu ia tak punya jalan keluar selain terus mengikuti alurnya hingga usai. Kesakitan menyembilu tiap kali mimpi tersebut datang bertandang, selalu menyiksanya dengan rasa pedih yang sama. Titik-titik peluh mulai membanjiri pelipisnya ketika mencoba berebut udara agar sesak yang ada sedikit diredakan.
Namun selama ia masih terperangkap di tubuh kurus ceking ini, tak ada yang bisa dilakukannya selain memilih tetap bertahan. Membiarkan rasa sakit turut puas menghantamnya dengan gamblang. Bahkan kedua matanya juga tak kalah ingin berkhianat, memaksanya agar tetap terjaga menyaksikan pemandangan mengerikan yang takdir sajikan.
Ia menunggu pasrah dalam luka dan kesakitan, sampai nanti perlahan roda kenangan ini akan segera memudar dengan sendirinya, kemudian pelan-pelan mengantarkan kesadarannya kembali mencumbu dunia nyata.
Sapuan lembut di puncak kepala adalah hal pertama yang pria itu rasakan saat ia berhasil menarik diri dari mimpi mengerikan tersebut. Meski belum tersadar seutuhnya karena masih didera rasa kantuk yang hebat, Andreas masih dapat menangkap samar-samar suara yang terdengar cukup dekat, seolah sedang berbisik lirih di telinganya.
"Lagi-lagi kamu mengernyit dan gelisah dalam tidur."
Andreas mengenali pemilik suara yang bergumam pelan di dekatnya. Namun kedua matanya terlampau berat untuk sekedar terbuka. Jadi ia hanya membiarkan suara itu kembali sibuk bermonolog dengan sendirinya.
"Apa ini yang selalu kamu rasakan setiap kali kenangan itu datang? Tersiksa hampir sepanjang malam?" lirih suara itu lagi, diikuti sapuan jemari yang sudah berpindah merapikan helai-helai anak rambutnya di garis pelipis.
"Tapi kamu selalu menyimpan rasa sakit itu untuk kamu nikmati sendiri, Deas. Kamu bahkan enggan untuk membaginya dengan siapapun."
"Kadang orang-orang seperti kita memang lucu. Ingin berteriak meminta pertolongan, tapi di satu sisi juga menolak saat orang lain ingin mengulurkan tangan."
"Jadi apa jalan keluar terbaik untuk manusia putus asa seperti kita, Deas? Karena bertahan tanpa kepastian dengan jiwa yang sekarat dari dalam, benar-benar hal yang melelahkan."
Ada titik basah yang bisa Andreas rasakan jatuh menyentuh bagian pelipisnya. Pertanda bahwa siapapun yang sedang bergumam di jangkauan pendengarannya, tengah menitikan air mata.
"Aku berharap setelah semua ini, ada masa di mana kita mendapatkan kelegaan yang kita cari, bahkan dengan cara paling menyakitkan sekalipun."
"Kamu masih ingat apa yang kamu katakan di hari pertama setelah janji pernikahan kita di altar? Agar aku tak mengharapkan apapun dari kamu, termasuk hati kamu. Karena tentang bagian itu ternyata kita berdua memang sama-sama hancurnya."
"Jadi mulai detik ini, aku ingin kita memilih jalan kita sendiri. Dan jika Tuhan cukup berbaik hati, aku berharap salah satu dari kita bisa keluar sebagai pemenang dari pertandingan panjang ini."
Itulah kalimat terakhir yang masih bisa Andreas tangkap di sela-sela rasa kantuk yang makin melingkup. Lalu sebuah kecupan ringan yang mendarat di sudut bibir pria itu, seolah menjadi pengantar tidur yang kembali membawanya ke batas terujung kesadaran.
Seandainya di menit tersisa itu ia sanggup menahan diri dan memilih terjaga dari rayuan lelap. Atau bagaimana ia cukup peka dan mau berempati sedikit memahami makna tersirat dari kalimat-kalimat bernada putus asa tersebut.
Mungkin ia tidak akan menyesali apapun tentang malam itu. Karena ketika pagi datang menjelang, saat ia terbangun di atas ranjang dengan sisi kosong di sampingnya, atau saat panggilan masuk dari nomor asing menginterupsi di tengah kebimbangannya, semua pengandaian itu pun tak lagi ada gunanya.
Tak peduli sekuat apapun ia memacu kecepatan mobil di antara lalu-lalang kendaraan, ataupun berlari tergesa menyusuri lobi rumah sakit dengan langkah panjangnya, namun begitu mendapati tubuh pucat wanita itu sudah terbaring kaku di atas brankar jenazah, tampak dingin tak tersentuh di ruangan hening ini, Andreas tahu bahwa ia sudah benar-benar terlambat.
Untuk kesekian kalinya, dengan luka baru yang sama, Andreas kembali ditinggalkan.
***
"Saya tidak bisa memberi pinjaman kembali di luar ketentuan perusahaan, Rena. Ada kebijakan yang harus dipatuhi. Apalagi jangka waktu pinjaman karyawan kamu sebelumnya baru akan jatuh tempo dua bulan lagi."
"Apa tidak bisa pengajuan pinjaman berikutnya saya minta keringanan untuk dimajukan? Tidak masalah kalau harus diberi bunga sedikit lebih tinggi, Bu. Saya benar-benar butuh untuk keadaan mendesak."
Wanita paruh baya itu menggeleng lemah. "Aturan pinjaman karyawan hanya berlaku enam bulan sekali, dan harus sesuai persyaratan yang ditentukan oleh manajemen. Dalam hal ini tidak diperkenankan untuk karyawan yang masih terikat perjanjian hutang sebelumnya, mengajukan pinjaman baru kembali. Itu akan melanggar peraturan yang berdampak bagi keuangan perusahaan."
Menyadari hanya jalan buntu yang akan ia dapatkan, tak peduli seberapa keras ia mencoba memohon dan meminta pengertian, Rena memutuskan untuk menyudahi usahanya. "Baik. Saya mengerti, Bu. Kalau begitu saya pamit permisi."
"Rena...," panggil wanita itu ketika Rena hendak berbalik berjalan keluar dari ruangan. "Saya minta maaf. Saya tahu kondisi kamu sedang sulit, tapi posisi ini juga tidak memberikan saya wewenang apa-apa untuk membantu."
"Sekalipun ingin, manajer biasa seperti saya tetap tidak bisa berbuat banyak. Saya harap kamu bisa mengerti."
Rena mengulas senyum tulus. "Tidak apa-apa, Bu. Apa yang Ibu Marisa lakukan untuk saya selama ini sudah lebih dari cukup." Seraya menundukkan kepala sekilas untuk mengundurkan diri dengan sopan, Rena kembali meneruskan langkah mencapai pintu keluar ruangan Manajemen Personalia. Ini adalah kali kedua ia menyambangi Divisi Human and Resources tersebut dengan alasan yang sama, yaitu mengajukan pinjaman karyawan di perusahaan tempatnya bekerja mencari nafkah selama hampir delapan tahun ini. Namun usahanya kali ini berakhir nihil, karena harus berujung sebuah penolakan.
Begitu pintu kaca tersebut tertutup, Rena menyandarkan diri sejenak dengan helaan napas panjang yang tak dapat menyembunyikan kegusarannya. Bu Marisa adalah satu-satunya orang yang terlintas untuk dimintai bantuan saat ia berada dalam situasi buntu seperti sekarang.
Gaji di bulan kemarin yang tersisa di dompetnya, jauh dari kata cukup membiayai proses hemodialisis sang Ibu. Gagal ginjal kronis yang diderita ibunya, mengharuskan wanita itu rutin melakukan hemodialisis atau cuci darah berkala setidaknya 2 sesi seminggu. Biaya yang digunakan pun tak bisa terbilang murah untuk proses rutin pengobatan tersebut.
Belum lagi tanggung jawab memberi uang saku bulanan pada Kayla agar dapat memenuhi kebutuhan kuliahnya. Meskipun Kayla sendiri selalu berusaha menolak, karena gadis itu bersikeras masih punya uang cukup dari sisa hasil beasiswa pemerintah yang rutin ia terima selama tiga bulan, ditambah gaji tak seberapa dari pendapatan pekerjaan sampingannya, tetap saja Rena tidak ingin melewatkan kewajibannya sebagai seorang kakak.
Selain itu, ia juga berharap uang saku bulanan yang ia kirimkan, lebih dari cukup untuk membuat Kayla berhenti bekerja sampingan sepenuhnya, dan justru lebih memilih fokus menyelesaikan sekolah dan merawat ibu mereka.
Di kondisi terdesak ini, Rena selalu dibuat patah arah dalam mencari jalan keluarnya. Dan satu-satunya tempat terakhir yang bisa diandalkan, juga tak dapat berbuat banyak.
Ia juga tidak bisa menyalahkan Bu Marisa karena menolak memberi bantuan saat dibutuhkan. Walau bagaimanapun, wanita paruh baya itu sudah sangat berjasa mengantarkan hidupnya hingga berada pada posisi lebih layak di perusahaan bonafide seperti sekarang. Sesuatu yang bahkan tak pernah terpikirkan atau mampu dimimpikan oleh tamatan sekolah menengah seperti dirinya.
Tanpa tawaran dan bimbingan Bu Marisa, mungkin sampai hari ini ia hanya akan mampu bekerja serabutan atau tetap menjadi kasir swalayan dengan gaji pas-pasan. Jadi jika kali ini Bu Marisa terpaksa menolak permintaannya karena terikat oleh kebijakan perusahaan, Rena harus setahu diri itu untuk memakluminya.
Menegakkan kembali badan dari sandaran pintu, Rena memutuskan bergegas kembali ke kubikelnya sebelum istirahat jam makan siang datang, memilih melanjutkan sisa pekerjaan sebagai pelarian dari kekacauan pikiran yang ada. Nanti saja. Ia akan mencari solusi dari semua masalah ini nanti saja. Untuk menit sekarang, ada tanggungjawab lain yang harus ia selesaikan.
"Sejak awal Ciputra dibangun oleh Pak Mateo Pramoedya dan Pak Tama Hudoyo, kakek saya, branding kuat terhadap kepercayaan masyarakat dan kepercayaan investor tidak dipungkiri adalah salah satu kunci utama bagaimana Ciputra bisa bertahan sejauh sekarang.""Sudah menjadi tugas mutlak bagi setiap eksekutif mengemban tanggung jawab itu tanpa cela. Kegagalan dalam memisahkan kehidupan pribadi dan profesionalitas pekerjaan, adalah kesalahan yang tidak boleh ditoleransi dengan mudahnya. Apalagi jika hal tersebut sudah berdampak besar merugikan perusahaan, seperti menghadirkan pemberitaan buruk media dan kehebohan masyarakat yang merusak citra perusahaan, serta penurunan saham yang cukup signifikan di pasar modal.""Maka dari itu, tanpa bermaksud mengurangi rasa hormat terhadap pimpinan, keputusan pemberhentian sementara ini saya rasa harus juga mempertimbangkan keadilan yang lebih merata. Dan tentunya dengan sanksi setegas-tegasnya, agar ke depan dapat menjadi pembelajaran bagi kita bersama.
Taman samping dengan saung kayu jati dinaungi pohon-pohon flamboyan berbunga cukup rindang, selalu menjadi tempat ternyaman Mateo menghabiskan sisa senja untuk mengusir suntuk. Entah hanya sekedar membaca beberapa lembar halaman buku falsafah hidup, mengikuti perkembangan berita terbaru dari layar mini tablet miliknya, atau sekedar memberi pakan pada kumpulan koi dalam kolam berundak batu alam seperti apa yang bisa Andreas lihat ketika ia mengayun langkah mendekat.Sebuah cerutu dengan asap mengepul terselip di bibir keriput lelaki tua itu, satu kebiasaan yang sulit hilang sekalipun paru-paru rentanya berteriak kewalahan. Andreas tak perlu heran darimana ia mewarisi kebiasaan candu menyecap batang nikotin setiap kali ia merasa kalut, mengingat kakeknya sendiri adalah pencetus nomor satu menurunkan kebiasaan memuja racun karsinogen itu.Derit kayu terdengar sesaat setelah Andreas ikut mendaratkan diri ke atas saung tempat Mateo masih bergeming duduk. Dirogohnya bungkusan rokok yang sel
Rena mengedarkan pandangan ke setiap sudut kamar yang sudah menjadi tempatnya bermalam selama dua pekan belakangan. Menikmati momen-momen terakhir sebelum nanti ia kembali bergelung di kamar kontrakannya yang sempit, serta berbaur menghadapi kesibukan monoton dari balik meja kubikel kantor di keesokan hari. Rena mungkin akan sangat merindukan tempat ini. Bagaimanapun juga, waktu dua minggu yang ia habiskan, lebih dari cukup meninggalkan bekas nyata untuk ia ingat di kemudian hari. Mengembus napas panjang, gadis itu melipat selimut sebagai penutup dari usahanya membereskan kamar dan mengepak keperluannya untuk kembali ke Jakarta malam ini. Tidak banyak hal yang ia bawa, selain laptop bersama peralatan kerja lain dalam tas selempang kecilnya. Pakaian yang ia miliki pun hanyalah satu-satunya apa yang melekat di badan sewaktu hari pertama ia menginjakkan kaki ke villa ini. Di luar dari itu, mungkin hanya ada beberapa potongan baju yang sempat dibelikan Andreas se
Penolakan bukan hal baru dalam hidupnya. Beberapa belas tahun lalu, ia pernah berada di titik serupa, bahkan dengan rasa sakit yang jauh lebih besar. Saking hebatnya goresan luka tak terlihat itu, ia nyaris tak bisa merasakan lagi apapun. Termasuk untuk sebuah penyesalan dan amarah sekalipun. Dan satu-satunya hal yang tersisa hanya perasaan hampa dan kosong. Jadi seharusnya semua berjalan baik-baik saja bukan? Belasan tahun tidur diselingi semua mimpi buruk itu, buktinya ia masih bisa bertahan sejauh sekarang. Terbiasa berkawan dengan kehilangan dan perasaan tak diinginkan bukanlah sesuatu yang akan membunuhnya. Ya, Andreas sudah cukup familiar dengan kesakitan seperti itu. Hanya saja kenapa kali ini rasa tak nyaman yang datang sukar sekali memilih sirna? Mematikan puntung rokok kedua, ia menyandarkan diri ke kursi penumpang tanpa melepaskan pandangan dari biasan lampu hilir-mudik kendaraan di luar sana. Embusan napas beratnya terdengar samar. Nyaris setengah jam perjalanan ia hab
Rena terbangun dengan keadaan ruang terlampau gelap. Ia tidak yakin selama apa dirinya jatuh tertidur sampai baru kembali terjaga saat langit di luar telah menghitam menyongsong malam. Beringsut bangun, hal pertama yang ia lakukan adalah meraba dinding dan mencari saklar untuk mendapatkan penerangan. Kemudian dengan perlahan membawa tubuhnya menuju kamar mandi membersihkan diri. Langkah Rena terhenti di depan cermin dinding berukuran sedang, menggantung di atas wastafel berhadapan langsung dengan pintu kamar mandi. Netranya terpancang pada jejak lembab dari bayangan wajah yang dipantulkan di depannya. Seulas senyum miris naik terukir membingkai raut yang memang sudah tampak kacau dan menyedihkan itu. Ah, rupanya tanpa sadar ia bahkan larut menangis dalam tidur. Bertumpu pada pinggiran wastafel, Rena memejam mata berusaha meluruhkan kembali gejolak sesak tersisa. Sejujurnya, ia mulai membenci diri sendiri. Perasaan lemahnya dan ketidakberdayaan dalam memegang
Benar. Mereka memang tidak lagi terbilang asing. Semua hal yang terjadi dua minggu belakangan, menjadi bukti nyata bahwa hubungan yang mengikat keduanya justru lebih dari itu. Apalagi saat nyatanya Rena sendiri sudah mulai menerobos batas-batas masa lalu Andreas yang jarang tersentuh siapapun. Melihat kepribadian sosok tersebut lebih dekat dari orang-orang kebanyakan. Menjadi saksi dari luka lama lelaki itu yang memilih terkubur rapat-rapat. Apa yang tidak akan mungkin dilakukan jika mereka benar-benar asing. Rena cukup tahu. Dan pada akhirnya ia juga menyadari alasan apa yang membuatnya merasa terusik ketika Andreas mengingatkan tentang waktu singkatnya di tempat ini. Awalnya ia pikir keengganan itu murni berasal dari perasaan tak rela karena harus berpisah dari Mbok Irma dan Pak Umar yang sudah ia anggap sebagai orang tua kedua. Atau perasaan keberatan setelah harus melepas suasana tenang dan damai villa ini. Bentuk kenyamanan yang mungkin tak akan ia jumpai di sudut padat
Rena melangkah menuju teras depan dengan kotak P3K melekat dalam pelukannya. Ia merasa seperti de javu karena mengulangi hal yang sama meski dengan situasi berbeda. Tapi tindakan spontannya kali ini murni didasari oleh kehendak hati sendiri, tak seperti sebelumnya yang dilatarbelakangi paksaan nurani. Di undakan tangga beranda, Andreas tampak duduk membelakangi pintu masuk. Tak lupa anak kucing yang sempat ia selamatkan di atas pohon tadi, ikut berbaring malas di sampingnya. Sesekali menyundulkan kepala berbulunya, ketika lelaki itu masih sibuk membersihkan bekas darah pada luka dan sisa-sisa rumput dengan selang dari keran air yang biasa digunakan Mbok Irma menyiram tanaman. Rena semakin merapatkan jarak. Ia bisa mendengar jelas bagaimana lelaki itu mendesis lirih karena sedikit rasa perih dari luka terbuka terkena sapuan air. "Apa cukup parah?" tanyanya, begitu sampai dua langkah dari posisi Andreas terduduk. Suara seseorang yang muncul tiba-t
"Saya belum sempat menyampaikan masalah ini sewaktu anda mendarat dari Makassar kemarin. Meskipun belum ada surat panggilan resminya, tapi beberapa anggota direksi mulai mendesak para komisaris untuk mengambil sanksi tegas atas tindakan konferensi pers anda minggu lalu, yang dianggap berpengaruh merusak nama baik perusahaan di mata masyarakat." Andreas membiarkan suara Lukman tetap terjangkau di telinganya seraya ia menuruni undakan tangga beranda. Berjalan menuju Alphard hitam miliknya yang terparkir di pekarangan. Semenjak turun dari mobil dengan terburu-buru semalam, ia sempat melupakan pengisi daya gawainya yang tertinggal pada dashboard di dalam sana. Selain itu, ada beberapa berkas penting dari hasil negosiasi sengketa tanah kebun kakao Sulawesi yang belum ia keluarkan dari mobil setiba di apartemen kemarin. "Para petinggi berencana sepakat melangsungkan rapat jajaran eksekutif untuk mengusulkan pemberhentian sementara anda sebagai Direktur Utama,
Rena tak mengerti. Ia sungguh-sungguh tak mengerti. Menghadapi segala perubahan sikap Andreas secara tiba-tiba dan tak terduga, terasa seperti mencemari logikanya. Mulai dari kemunculan dadakan lelaki itu semalam, pelukan mengejutkan yang ia berikan, tawaran gila untuk menjadikannya teman tidur, hingga perubahan sikap aneh lainnya pagi ini di meja makan.Semua menjadi sangat membingungkan untuk Rena cerna. Dan ia rasanya bisa mati berdiri jika menyimpan segala kemelut ini seorang diri. Untuk itu, mencari nama Mala di layar kontak adalah pelarian terbaik. Ia membutuhkan seseorang sebagai tempat membagi keresahannya. Tentu saja dengan sedikit improvisasi kebohongan agar tidak membocorkan identitas si sumber kekacauan."Ya apa lagi, Ren. Udah jelas, kan? Kalau sampai main peluk-peluk begitu, apalagi sempat nawarin buat bawa kamu ke ranjang, itu tandanya dia memang minat sama kamu."Rena mendengus kesal. "Aku udah bilang tawaran teman tidur yang dimaksud bukan