"Hari ini pulang jam berapa, Sayang?" tanya Ardi. Ia sudah sampai di kampus putri kesayangannya. Kegiatan rutin yang selalu dia lakukan yaitu mengantar anak gadisnya ke kampus.
"Selesai kelas jam tiga, nanti langsung pulang."
"Ya sudah, tunggu Ayah, ya?"
"Aku bisa naik bus atau ojek online, Yah. Kasihan kalau Ayah harus jemput aku dan balik lagi ke kantor."
"Justru Ayah lebih tenang kalau kamu Ayah antar jemput. Kejahatan sekarang ada di mana-mana, Re. Ojek online sekalipun."
Rea hanya diam, percuma saja membantah ayahnya. Tetap tidak akan menang.
"Atau ...," sambung Ardi. Melirik Rea yang kini menatapnya.
"Atau?"
"Atau minta antar jemput Kavi aja."
Rea menganga, menatap ayahnya tak percaya. Dari sekian banyak solusi, kenapa harus itu yang keluar dari mulut ayahnya?
"Ayah bercanda? Masa iya ngojekin mantan, Yah?"
Ardi terbahak. Bukannya ia tak tahu perihal hubungan Rea dan Kavi. Meskipun sudah berakhir satu tahun yang lalu, Ardi tahu bahwa perasaan Rea masih sebesar itu untuk Kavi.
"Ya, nggak apa-apa, dong. Takut baper lagi?"
"Y-ya, nggak, lah. Ngapain aku baper sama mantan?"
"Yakin? Awas, ya, kalau balikan lagi."
Rea mulai gelisah. "Emang Rea nggak boleh balikan sama Kavi?"
"Jadi ada rencana mau rujuk lagi sama dia?"
"Ya ... nggak gitu juga, Yah. Tahu ah! Ayah ngeselin!"
"Hahaha..." Ardi sampai di depan kampus Rea.
"Rea masuk, ya, Yah. Semangat kerjanya!" Rea menyalami Ardi. Tak lupa mencium kedua pipi Ardi.
"Kamu juga. Jangan mikirin Kavi saja," balas Ardi jahil. Wajah Rea memerah tipis.
"Ayah rese! Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Ardi masih menatap punggung Rea hingga anak semata wayangnya itu sudah tak terlihat lagi.
Rea pernah bertanya pada Ardi, "Ayah, nggak mau menikah lagi? Rea nggak apa-apa kok, punya Mama baru."
Ardi hanya menggeleng saat itu sambil tersenyum. Cintanya sudah di bawa mati oleh istrinya. Meninggalkan berlian paling berharga di hidupnya yaitu Rea. Sudah tak ada lagi niatan untuk kembali menikah sekarang ini. Baginya, Rea adalah segalanya saat ini. Seseorang yang menjadi tanggung jawabnya. Dia hanya ingin berjuang merawat Rea. Karena Ardi hanya punya Rea.
"Rea!" teriak Ara dari depan lab. Gadis itu melambaikan tangannya. Rea memutar matanya.
"Selamat pagi, Cantik," sapa Ara.
"Norak! Minggir, gue mau lewat." Rea lantas menabrak bahu Ara. Gadis malang yang kena omel Rea itu merengut dan menyusul sahabatnya.
"Kenapa, sih? Masih pagi, woy, jangan nge-gas dulu."
"Emang gue bajay pake nge-gas?"
"Lah, kocak! Bajay mah ngeles, Neng. Cantik-cantik, kok, bego, sih."
"Orang yang lo bilang bego ini nyatanya juara dua lomba bangun rancang tata ruang tiga bulan lalu dan bertahan di rantai cumlaude dari semester awal, Sist."
"Kok Anda belagu, ya?" ketus Ara sebal.
Rea tersenyum miring. Ara memang selalu kalah jika dia mulai mengungkit prestasinya. Ya, beginilah cara bercanda mereka. Rea hanya akan menyombongkan pencapaiannya pada Ara. Ara sendiri tidak akan menanggapi serius kesombongan Rea. Sereceh itu memang mereka berdua.
"Re, gue mau bahas man—"
"Stop! Gue nggak menerima pembahasan apa pun tentang mantan."
"Lah? peka bener. Tapi gue serius, Re."
"Gue lebih dari serius, Ra," ucap Rea tajam. Ia sedang tidak ingin membicarakan Kavi. Apa lagi Rea sudah bisa mengira topik apa yang akan Ara bahas mengenai Kavi.
"Lo kenal Kina?" tanya Ara yang tak mengindahkan tatapan tajam Rea.
"Ara, gue peringatin—"
"Setelah Kavi nganterin lo kemarin, dia balik ke kampus buat ketemu Kina. Mereka pulang bareng. Sebelum Kavi nawarin diri ke lo, mereka berdua sempat ketemu. Gue nggak tahu apa yang mereka omongin tapi kayaknya Kavi bersikeras buat ketemu lo."
Rea menghembuskan napasnya pelan. Kenapa Ara harus membahas ini? Tak tahukah dia bahwa Rea sudah susah payah melupakan Kavi yang sialnya kembali muncul di hidupnya? Dan mencoba mendobrak paksa dinding yang mati-matian Rea bangun atas kehadiran Kavi.
"Tolong, langsung ke intinya, Ra."
Ara terdiam menatap Rea. Menjadi sahabat Rea sejak kelas satu SMP membuatnya tahu benar perjalanan cinta Rea dan Kavi. Rea bukan tipe orang yang mudah didekati. Ara sendiri tidak langsung bisa masuk dan menjadi sahabat Rea. Dilihat dari luar, Rea memang orang yang asyik, tapi sebenarnya, sahabatnya itu sulit percaya pada sebuah hubungan.
"Kalian masih saling cinta—"
"Are you fucking kidding me? Cuma gue, Ra ... cuma gue yang masih cinta. Lo nggak lihat Kina di sebelahnya?"
"Buat apa dia bela-belain nganterin lo kalau sudah nggak sayang lagi?"
Rea menatapnya tajam, air matanya sudah siap jatuh kapan saja. Rea maju selangkah, seakan menantang Ara.
"Kalau dia cinta, dia nggak akan ninggalin gue, Ra. Dia nggak akan ngebiarin gue luntang-lantung nyariin dia. Dan dia ... nggak akan berakhir sama Kina sekarang."
"Sekarang gue tanya, apa maksud lo ngasih tahu ini semua ke gue, Ra? Apa bakal ada yang berubah antara gue sama Kavi?"
Ara diam. Menatap sedih sahabatnya yang kini menangis tanpa suara. Untunglah hanya ada mereka berdua di kelas.
Rea menghapus air matanya, tersenyum seperti biasa ke arah Ara seolah semua baik-baik saja.
"Gue minta maaf, Ra. Gue lepas kontrol."
Gue yang seharusnya minta maaf, Re. Gue pikir lo bakal sedikit bahagia kalau tahu Kavi begitu inginnya nganterin lo pulang.
«••CLBK••»
Kavi tidak setampan itu memang. Dia memiliki rahang yang tegas, alis tebal, tatapannya yang tajam, dan bibirnya yang terlihat penuh. Kavi ini masuk kategori laki-laki yang wajahnya tidak akan membosankan dipandang sekali pun berjam-jam.
"Gila! Ini kantin apa venue konser SuJu, sih? Ngapain anak fakultas lain makan di sini? Nambah-nambahin karbondioksida aja. Tanpa mereka pun kantin sudah penuh," gerutu Rea. Di sampingnya ada Ara dan Anggit yang mengangguk setuju.
"Gara-gara mau lihat si Gilang and the genk, tuh."
"Sinting emang! Gilang nggak seganteng itu sampai harus ditongkrongin begini," ketus
Rea. Mereka sudah dapat tempat duduk. Agak jauh dari tempat jualan makanan."Kalian tunggu di sini saja, biar gue yang pesan. Pada mau makan apa?" tanya Anggit.
"Bakso sama es teh manis saja. Lo, Re?"
"Samakan saja," jawab Rea. Kepalanya langsung bersandar di atas meja, memerhatikan gerbang masuk kantin.
Anggit mengangguk. Cewek berhijab hijau tosca itu segera berlalu membelah lautan manusia
Tak sampai lima menit, mata bulat Rea dapat menangkap sosok Gilang, Arsan, dan Kavi yang baru saja masuk area kantin. Tidak ada pekikan atau teriakan tertahan memanggil nama mereka. Namun, bisa Rea rasakan hampir seluruh pandangan kaum hawa di sini mengarah pada tiga cowok itu.
Gilang dan Arsan dekat, itu biasa. Namun, Gilang dan Kavi?
Sejak awal Kavi di terima menjadi anggota BEM, Gilang memang sudah gencar mendekatinya. Arsan bilang, Kavi ini cocok untuk maju ke permira tahun depan mencalonkan presiden BEM.
"Nggak usah dilihatin mulu, copot mata lo nanti," tegur Ara.
"Kepala gue mengarah ke arah sana, nggak mungkin gue nggak ngelihat mereka," balas Rea tanpa bergeming dari posisinya.
"Gilang sama Arsan sih, emang ganteng, tapi, Kavi?"
"Kavi itu manis. Wajahnya nggak ngebosenin mau dipandangin sampai semaleman juga," gumam Rea membalas pertanyaan Ara. Sahabatnya itu melirik.
"Ngaku juga lo kalau Kavi itu manis."
"Gue nggak pernah nyangkal kalau Kavi manis, Ra. Semua yang di kantin ini pun sepaham sama gue," balas Rea dengan malas. Dia menguap sebentar sambil memegangi perutnya yang mulai keroncongan.
"Ini bukan dunia novel, tapi, ada ya orang kayak mereka? Dikerubungi banyak cewek."
Anggit baru saja kembali dan duduk di sebelah Rea. Rea mengangkat kepalanya saat Anggit mulai menghalangi pandangannya.
"Siapa yang dikerubungin cewek, Ra?" tanya Anggit.
"Tuh, Presiden BEM dan Kadep. Kominfo kita." Ara menunjuk tiga cowok itu menggunakan dagunya. Anggit mengikuti arahan Ara dan tersenyum.
"Lo nggak bangga fakultas kita punya idola?"
"Kalau itu nguntungin gue, why not, Git?" jawab Rea asal.
"Nyatanya gue biasa aja. Nggak untung, malah rugi! Kantin penuh. Udara kian menipis," sambung Ara sok puitis di akhir kalimat.
Makanan pesanan mereka datang bertepatan dengan Arsan yang juga ada di hadapan mereka lengkap dengan menu makan siangnya. Rea menaikkan satu alisnya.
"Hello, Ladies," Arsan tersenyum manis. Matanya sampai menyipit menatap Rea yang kini mendengus.
"Melek, San, jangan merem mulu," ledek Rea. Adara dan Anggit langsung tertawa geli melihat Arsan yang menatap Rea kesal.
"Sialan! Tumbenan kantin penuh. Numpang makan di sini, ya?"
"Heh!" Tanpa menunggu persetujuan Rea, Arsan langsung mengambil duduk tepat di depan Ara. Gilang ada di hadapan Anggit dan Kavi duduk di depan Rea.
Cewek itu menghela napas pasrah sambil menatap mantan kekasihnya yang kini tersenyum. Keenamnya makan bersama, tentu di iringi banyak tatapan iri dan memuja dari seisi kantin.
"Memang ulah siapa kantin ini bisa jadi penuh kayak area konser gini?" tanya Ara.
"Ulah siapa?"
"Nggak usah sok polos, Lang. Punya muka jangan kegantengan. Yang susah gue nih, mau makan saja kudu nyempil-nyempil dulu," gerutu Rea.
Gilang terbahak mendengar Rea memuji parasnya. Bawahannya ini memang unik. Ia memuji tapi nadanya seperti mengejek. Tidak ada nada kagum atau hal positif lainnya.
"Gue terharu dikatain ganteng. Jadi pengen gue bawa pulang lo, Re."
"Kalau sudah begini, gue berharap kalian pindah jurusan," gumam Rea. Gilang menatapnya bingung.
"Kenapa, Re?"
"Gue risi makan dilihatin orang-orang. Artis bukan."
"Mereka kan bukan lihatin lo, Re. Ngapain lo yang ribut?" tanya Anggit.
Rea mengangkat bahunya. Memilih tidak menjawab pertanyaan retorik Anggit. Jelas-jelas dia tahu maksud Rea, buat apa masih tanya?
"Re," panggil Kavi. Rea mengangkat kepalanya, menjatuhkan pandangannya pada Kavi.
"Kamu masih nggak suka sawi sama bihunnya, kan? Sini biar aku yang makan. Jangan dibuang," Kavi berucap dengan pelan. Selain Ara, memang tidak ada yang tahu bahwa Kavi dan Rea pernah terlibat satu rasa yang sama. Bahkan mungkin sampai sekarang.
Tanpa banyak bicara, Rea langsung memberikan sawi dan bihun miliknya pada Kavi.
Kayak ada yang anget-anget gitu, ya, Re? Doi masih inget kalo lo nggak suka sawi sama bihun.
Arsan diam-diam melirik. Dia memang sudah curiga dengan kedekatan Rea dan Kavu. Dari awal mereka disatukan dalam organisasi, Rea sudah memperlihatkan sikap acuhnya. Kavi yang lebih banyak mendekatkan diri, sedangkan Rea lebih memilih menjaga jarak. Biarlah, Arsan tidak ingin peduli.
Rea sudah selesai makan, begitupun Anggit dan Ara. Rea menatap Arsan, Gilang, dan Kavi. "Gue duluan, ya? Ra, Git, Lo berdua mau langsung ke lab atau masih mau di sini?" tanya Rea.
"Langsung ke lab saja," jawab Ara. Anggit mengangguk.
"Bro, kita duluan," pamit Rea. Arsan mengangguk, memandangi Rea yang kini berjalan meninggalkan mereka.
Tak lama, Kavi ikut berdiri. "Gue juga cabut duluan, ya? Bentar lagi dosen gue masuk."
"Oke, Kav, pikirin baik-baik yang gue tawarin tadi," ucap Gilang lengkap dengan aura pemimpinnya.
Kavi hanya mampu tersenyum dan mengangguk. Berjalan meninggalkan kantin dengan kedua tangan tersimpan di saku celana jeans-nya.
*****
"Dia minta ilustrasinya pakai cat air? Peralatan lukis gue masih ada apa nggak, ya?" gumamnya.
Rea memandang lurus ke depan. Matanya menemukan sosok Kina sedang bersandar pada dinding gerbang parkiran. Menarik napas sejenak, Rea kembali berjalan ke arah yang sama dengan Kina.
Rea benar-benar tak pernah berharap bahwa ia akan berbasa-basi dengan Kina. Namun, takdir sedang usil dengannya kali ini. Kina melihatnya dan kini tersenyum manis.
"Kak Edrea," sapanya.
Rea tersenyum singkat. "Kinara, kan? Panggil Rea saja."
"Kak Rea. Kalau begitu panggil Kina juga, Kak. Baru selesai kuliahnya?"
"Nggak, sudah dari tadi selesai."
Rea tidak tahu harus apa lagi di sini. Sekadar info, Rea bukan ahlinya basa-basi.
"Pulang bareng teman?" Kina mengangguk ragu dengan wajah merona tipis. Untuk sepersekian detik, Rea menyesal sudah bertanya. Karena di detik berikutnya, sebuah suara yang sangat dia hapal memanggil namanya.
"Rea?"
Rea tidak menjawab, dia hanya menoleh menghadap Kavi yang kini tengah memandanginya kaget.
Kenapa, Kav? Seperti sedang terciduk selingkuh?
"Kenapa belum pulang?" Jika kalian peka, ada kelembutan yang tersembunyi dalam nada bicara Kavi. Pandangannya sesekali beralih ke arah Kina.
"Ini mau pulang."
Rea meninggalkan keduanya. Belum jauh dari tempat Kavi berdiri, cowok masa lalunya itu kembali memanggilnya.
"Pulang sama siapa?"
Rea diam sebentar, bingung sendiri dengan jawaban yang harus dia kasih.
Memangnya, lo mau reaksi kayak apa dari Kavi? Rutuknya dalam hati.
"Naik ojek." Jawaban itu lah yang akhirnya Rea pilih. Dia semakin jauh melangkah sampai tidak bisa lagi Kavi pandang.
Ini aneh, Raga tidak pernah menghubunginya lagi sejak terakhir mereka berpisah di rumah sakit. Terhitung sudah hampir sebulan.Apa Raga marah karena Rea harus pergi ke rumah sakit, dan mengacaukan acara jalan-jalan mereka?Nggak, Raga bukan orang yang kayak gitu, deh. Masa iya, ada orang ngambek setelah tahu anggota keluarga temennya masuk rumah sakit.Apa Raga sakit? Atau sibuk, mengingat Raga juga anggota BEM di kampusnya?"Re, awas!" Sebuah tangan dengan cepat menarik tubuh Rea mundur ke belakang."Hah?" Jantung Rea berdegub kencang. Dirinya berada di pinggir jalan raya dengan motor dan mobil laku lalang dengan kecepatan yang tidak pelan.
Rea pulas dalam pelukan Lara. Gadis itu benar-benar seperti anak kecil yang erat memeluk ibunya. Tangan halus Lara mengelus kepala Rea.Dia tak mungkin lupa pada gadis yang sepanjang waktu selalu dicintai oleh Kavi. Bahkan saat mereka terpisah jarak, di tengah Kavi mati-matian memulihkan mental mereka yang harus kehilangan suami dan anak bungsunya, Kavi tak pernah melupakan Rea.Gadis cantik yang selalu menyebarkan warna baru di dalam keluarganya. Rea yang ceria, Rea yang selalu tersenyum ramah, kini hilang. Warna hidupnya redup seketika. Lara berusaha mencari saklar itu, tapi tidak bisa dia temukan. Rea begitu kehilangan, hatinya gelap, rona wajahnya memudar.Pintu kamar Rea diketuk pelan. Kavi berdiri di depan pintu yang dibiarkan terbuka sejak tadi."Abang, belum tidur?" tanya Lara lembut.Kavi menggeleng, meletakkan segelas air hangat untuk Lara minum. "Rea gimana?""Udah tenang. Ibu nggak dibiarin bergerak, nih."Kavi tersenyum t
"Re," peluk Ara sesampainya Rea di kelas. Teman-temannya yang sudah datang juga ikut memeluk Rea. Tangis gadis itu mulai tak terbendung.Sudah hampir seminggu ayahnya di rawat. Meski pikiran kalut, Rea tetap harus melanjutkan hari-harinya. Dia tidak boleh melalaikan pendidikan. Jika Ardi tahu Rea membolos selama tiga hari kemarin, dia pasti dimarahi."Gimana bokap lo? Ah, gue ... gue boleh nanya itu nggak?"Rea tersenyum tipis, "Bokap sedikit membaik, cuma dia masih betah tidur. Nggak kangen kali sama anaknya. Nggak ada Bokap, uang foya-foya gue harus dialihin buat duit sarapan, deh," candanya. Teman-teman Rea memaksakan senyum."Yang terbaik buat Bokap lo, Ra. Semoga lekas sadar, biar lo nggak galau lagi. Kayaknya lebih enak dijutekin dari pada lihat lo meler gini.""Tai lo."Husshh, language, Re," kata teman-teman Rea kompak.Melihat itu, mau tidak mau Rea tertawa. Yah, nggak buruk juga kuliah saat kondisi hati dan pikir
"Kavi!" panggil Rea sambil berlari ke arahnya. Cowok itu sedang duduk di depan ruang ICU dengan kepala menunduk."Rea." Kavi berdiri, dan Rea langsung memeluk Kavi erat. Tangisnya pecah membuat hati Kavi berdenyut."A-ayah ... Ayah gimana? Kenapa bisa masuk rumah sakit? Tadi pagi masih sarapan semeja sama gue, Kav.""Sshh! Tenang, tarik napas, lo nggak boleh kacau gini. Om Ardi nggak suka lo nangis." Tangan Kavi mengusap air matanya. Rasa hangat menjalar, Rea tenang seketika.Kavi melirik Raga yang berdiri di belakang mereka. Cowok itu mengangguk pada Kavi."Ga, duduk," ucapnya tanpa vokal. Mereka pasti habis kebut-kebutan di jalanan, dan itu tidak mudah."Gue beli minum dulu. Lo mau nitip apa?""Tolong, susu coklat buat Rea. Kalau bisa yang dingin. Sama nasi goreng buat lo, Rea, dan Bu Difa, kalau lo nggak lagi buru-buru." Keduanya melirik seorang wanita dewasa yang tampak diam mengamati Rea. Kavi mengangguk."Lo nggak p
"Halo," sapa Raga sambil tersenyum manis. Rea ikut tersenyum sambil bersandar di kap depan mobilnya."Feeling unwell?" tanya Rea.Raga menggeleng, "Gue lagi dalam kondisi terbaik sepanjang sejarah."Rea tak mau ambil pusing. Mungkin memang hanya perasaannya saja. "Mau ke mana kita?""Katakan peta, katakan peta," balas Raga sambil menirukan suara Peta dalam kartun kesayangan adiknya, Dora the Explorer.Rea tertawa sejenak, lalu wajahnya dibuat sedatar mungkin, "Serius?""Asem banget muka lo, kayak mangga muda. Kenapa, sih? Kena sindrom akatsuki?" Raga masih mengajaknya bercanda."Emangnya cewek ngambek cuma karena lagi PMS doang? Jalan, yuk," ajak Rea. Raga tersenyum saat Rea dengan seenaknya langsung masuk ke mobilnya.Raga menahan senyumnya saat sudah masuk mobil, "Nggak sabaran banget mau jalan sama gue. Kita bakal ke tempat di mana lo bisa lihat mahakarya gue yang lain.""Awas kalau nggak sesuai ekspektasi."
Kampus Suryadharma sedang sibuk mempersiapkan acara donor darah yang rutin diadakan setiap tiga bulan sekali. Bekerja sama dengan PMI setempat, acara ini akan diikuti serentak di seluruh fakultas kampus. Para dosen pun ikut mendonorkan darahnya."Edrea," panggil salah seorang anggota BEM F dari fakultas kedokteran."Yo, Ran, gimana persiapan?""Udah mateng, tinggal briefing aja. Kalian mau buat dokumentasi, kan?""Iya, jadi, siapa yang bakal ngeliput bareng gue?""Karena ini bukan acara khusus orang kampus kita, gue undang anak kampus lain buat ngeliput. Anaknya pernah ke sini, kok. Dia bilang mau sukarela-ah, itu orangnya," tunjuk Rani. Rea berbalik dan membulatkan matanya."Itu?" Rea mencoba meyakinkan.Seorang laki-laki berjalan dengan senyum manisnya menuju tempat Rea dan Rani berdiri. Senyum yang sangat familiar."Halo, Ran, Re, apa kabar?""Baik, lo sendiri gimana, Ga? Maaf, ya, gue agak sibuk jadi belum bisa konta