Tentang Edrea Lovata, yang masih terjebak cinta untuk Kaviar Putra Liandra, mantan kekasihnya semasa SMA yang masih belum padam. Keduanya dipertemukan kembali sebagai mahasiswa di fakultas yang sama. Satu tahun berlalu dengan begitu berat sejak mereka putus. Tampaknya, Semesta masih enggan untuk berhenti mempermainkan Rea. Kavi memang kembali muncul di hadapannya. Namun, dia tidak sendiri, ada sosok lain yang juga memujanya. Yang senantiasa ada disampingnya. Mampukah Rea mengubur lagi perasaannya setelah kehadiran Kavi? Apa yang akan Kavi jelaskan atas kepergiannya dulu yang tiba-tiba? cover by: chikandriyani
View MoreSeorang gadis tampak membuang napasnya. Bola matanya bergerak acak memandangi aula kampus yang terlihat ramai pagi ini. Namanya Edrea Lovata yang akrab disapa Rea, mahasiswa semester tiga jurusan arsitektur, anggota BEM F departemen Kominfo.
Gadis itu bersandar pada tembok sambil mengamati para mahasiswa baru yang mondar-mandir mencari kelompoknya.
Hari yang sibuk, pikirnya. Jika bisa, ingin rasanya dia pergi ke tengah aula, berteriak membubarkan kerumunan massa, dan dia bisa cepat pulang lalu tidur. Sayangnya, dia belum segila itu. Tidak sekarang, mungkin nanti.
Di matanya, para mahasiswa baru yang melaksanakan Ospek hari ini tak lebih dari sekadar nasi tumpeng berjalan. Lihat saja topi kerucut berwarna kuning yang mereka kenakan, benar-benar seperti nasi tumpeng. Melihatnya saja sudah membuat dia kelaparan. Baju setelan hitam putih para mahasiswa baru itu juga mengingatkan Rea pada SPG sebuah produk yang biasa dia temui di mal atau ruko-ruko di perumahannya.
"Kapan kelarnya sih ini acara? Ngantuk banget gue. Mana tugas Pak Karsono belum kelar pula. Nasib mahasiswa sok sibuk."
"Hoy, Edrea," panggil lelaki bernama Arsan. Arsan ini Kadep Infokom alias atasannya.
"Apa?"
"Kerja, malah nyantai di mari. Tuh, ambil kamera lo di si Gilang. Bentar lagi dia pidato, minta di-candid yang cakep katanya buat postingan di IgE. Kartu mahasiswa lo, nih." Arsan melempar kartu tanda pengenal Rea yang dia temukan di ruang Ormawa.
"Mau difoto sama fotografer sekelas Andreas Darwis pun, kalau udah jelek mah jelek aja." Rea lantas berjalan melewati Arsan menuju tempat di mana Gilang berada.
Tidak perlu diambil hati. Seketus apa pun Rea, dia tetap menjalankan tugasnya dengan baik walau harus menggerutu di awal. Tolong, jangan dicontoh.
"Rea." Langkahnya terhenti dengan kaku. Sang empu nama menegakkan badannya. Dia hapal suara ini, suara yang masih dia rindukan. Suara dari seseorang yang masih berdiri angkuh menjajah hatinya sejak SMA hingga saat ini.
"Kavi? Lo ... di sini?"
Ya, Kaviar Putra Liandra, mantan pacar Rea di SMA. Benarkah sudah mantan? Bahkan keluar kata putus saja tidak. Karena Kavi menghilang tanpa kabar setahun yang lalu, bisakah Rea menyebut dia mantan?
Kavi tersenyum tipis, membenarkan topi kerucut miliknya yang sudah penyok di mana-mana. "Iya. Nggak nyangka bakal ketemu kamu di sini. Sekarang udah jadi kating, ya kamu. Jadi ambil jurusan arsitektur?"
"Iya. Hehehe," tawa Rea terdengar sangat dipaksakan. Tidak tahu juga kenapa dirinya tertawa. Seakan ingat sesuatu saat melihat senyum Kavi, Rea bertanya, "Jangan bilang lo ambil jurusan ...." Rea sengaja menghentikan kata-katanya, berharap tebakannya salah. Namun, yang dia dapat malah senyum Kavi yang semakin lebar. Ya ampun, ternyata gini ya, senyumnya cowok yang udah jadi mantan. Kenapa makin mempesona, sih? Eh, mantan? Kapan putusnya?
"Iya, ngambil arsitektur. Cuma beda angkatan."
Boom!!
Rea terdiam. Ia benar-benar tidak tahu bahwa keduanya akan bertemu kembali. Setelah Kavi menghilang tanpa kabar, Rea seperti tidak tahu arah mencari keberadaan cowok itu. Tidak ada yang bisa membantunya karena Rea tidak akrab dengan teman nongkrong Kavi. Rea hanya bisa berharap Kavi akan menghubunginya lebih dulu, mengajaknya bertemu, dan memberikan penjelasan padanya. Namun, berbulan-bulan berlalu, Kavi tidak juga menghubunginya. Hingga akhirnya hari ini, setelah satu tahun tidak bertemu, Kavi muncul di hadapannya, mengejutkannya dengan menjadi adik tingkatnya di kampus dan berada di fakultas dan jurusan yang sama.
"Kavi!" Baru saja Rea ingin membuka suara, seorang gadis bertubuh tinggi semampai menghampirinya.
Gadis yang cantik, pikir Rea. Matanya coklat bening, rambutnya coklat pirang dengan curly di bagian bawah, make up-nya minimalis membuat gadis itu semakin cantik. Jantung Rea berdegup semakin kencang.
"Kina?"
"Eh, pagi, Kak," sapa gadis bernama Kina. Kepalanya kembali menoleh ke arah Kavi "Kav, ayo, cari kelompok dulu."
"Tunggu—" Kina langsung menarik Kavi menjauh dari Rea yang masih termenung melihat mereka berdua. Ah, lebih tepatnya ke arah tangan yang saling bertautan.
Runtuh semua usaha move on gue.
~o0o~
Edrea Lovata atau yang akrab disapa Rea adalah mahasiswa semester tiga jurusan arsitektur. Selain seorang mahasiswa, dia juga freelancer di sebuah penerbit sebagai ilustrator. Cita-citanya menjadi seorang arsitek seperti mendiang sang ibu. Ayahnya adalah Ardi Diwanggani, seorang pengusaha sukses di bidang meubeul.
Rea menatap lesu barisan nama yang akan Arsan rekrut untuk bergabung di BEM departemen Kominfo. Salah satu nama yang menarik perhatiannya adalah Kaviar Putra Liandra. Iya, Kavi yang itu, mantan pacarnya semasa SMA. Rea menatap Arsan selaku ketua departemen Kominfo di BEM F.
"Ini udah final? Sepuluh orang yang bakal lo terima?"
Arsan mengangguk sambil melepas tasnya. Mata kuliahnya baru selesai dan dia langsung menuju Ormawa, markas anak-anak Kominfo dan seluruh organisasi kampus. Ormawa sendiri adalah sebuah gedung bertingkat dengan banyak ruangan yang khusus dijadikan markas seluruh organisasi kampus. BEM dan HMJ termasuk di dalamnya.
"Kenapa? Ada yang nggak sesuai?"
Ada, San, nama mantan gue di sini. Ah! Nggak mungkin gue bilang gitu, kan? rutuk Rea dalam hati.
"Nggak ada. Kapan mereka mulai gabung sama kita?"
"Masih bulan depan. Oh iya, Kaviar itu belum pasti. Gue belum ngobrol sama dia dan belum nawarin untuk masuk BEM juga. Gue udah ngawasin dia sejak hari pertama Ospek. Dia leader untuk kelompok Ubuntu, kan? Gue suka gaya kepemimpinan dia."
"San," panggil Rea seakan mulai tahu jalan pikiran Arsan. Cowok itu menatap Rea balik. "Lo nggak berencana nyiapin Kavi buat jadi calon Presma periode depan, kan?"
"Hahaha... menurut lo, Re?"
"Gue paham isi otak kalian para pemangku jabatan. Nggak bisa lihat bibit unggul dikit."
"Itu masih lama, Re. Masa jabatan kita juga masih panjang. Nanti aja mikirin itu, kita fokus ke proker aja. Lo udah susun semuanya, kan?
Rea mengangguk, "Nanti gue kasih laporannya. Gue pamit, masih ada kelas."
Rea keluar dari gedung Ormawa dengan langkah lesu. Tidak cukup mengetahui fakta bahwa dia dan Kavi satu fakultas, kini mereka juga akan satu organisasi. Rea tidak mengerti takdir macam apa yang sedang bermain-main dengannya. Satu tahun Rea berusaha melupakan cowok itu, dan saat Rea hampir berhasil, Kavi tiba-tiba muncul di hadapannya. Parahnya, dia tidak sendiri. Ada satu cewek yang kerap ada di sampingnya. Rea tidak berani menebak hubungan mereka seperti apa, tapi sudah pasti keduanya berpacaran.
"Rea-rea!"
Rea menoleh ke belakang, melihat Ara-sahabatnya berlari menghampirinya. "Ngapain lo lari-lari? Mau malak gue karena belum bayar bakso Mbak Tri?"
"Sembarangan kalo ngomong. Gue nyariin lo dari tadi. Kemana, sih? Gue mau ngajakin lo makan malah ditinggal."
"Ke Ormawa. Arsan nyuruh gue ke sana."
"Ah iya! Gue inget, Re. Si Kavi-"
"Stop!" Rea menutup mulut Ara cepat-cepat. Sahabatnya itu mencoba berontak. "Gue lepasin tangan gue asal lo janji buat diem. Paham?" ancam Rea.
Ara mengangguk. Rea lantas melepaskan bekapannya. Ara menghirup oksigen banyak-banyak agar masuk ke dalam paru-parunya. "Sinting lo, Re! Mau coba jadi penjahat buat bunuh gue, hah?"
"Siapa suruh punya mulut nggak ada saringannya. Ngapain lo nyebut-nyebut Kavi?"
"Gue cuma mau konfirmasi aja, itu anak kuliah di sini?"
Rea memutar bola matanya. Tanpa mau menjawab, gadis itu langsung meninggalkan Ara. "Eh! Kok diem aja? Yang tadi gue lihat itu beneran si Kavi? Mantan terindah lo?"
Langkah Rea terhenti dan berbalik menghadap Ara. "Siapa yang bilang dia mantan terindah gue? Kalau terindah, nggak bakal jadi mantan."
"Ya, Gusti, sensi amat hamba-Mu itu. Woy, Rea-rea, tungguin gue dong." Ara berlari kecil menghampiri Rea menuju kelas mereka.
Mantan terindah? Are you fucking kidding me? Gila kali gue nganggep dia terindah.
To be continued...
Ini aneh, Raga tidak pernah menghubunginya lagi sejak terakhir mereka berpisah di rumah sakit. Terhitung sudah hampir sebulan.Apa Raga marah karena Rea harus pergi ke rumah sakit, dan mengacaukan acara jalan-jalan mereka?Nggak, Raga bukan orang yang kayak gitu, deh. Masa iya, ada orang ngambek setelah tahu anggota keluarga temennya masuk rumah sakit.Apa Raga sakit? Atau sibuk, mengingat Raga juga anggota BEM di kampusnya?"Re, awas!" Sebuah tangan dengan cepat menarik tubuh Rea mundur ke belakang."Hah?" Jantung Rea berdegub kencang. Dirinya berada di pinggir jalan raya dengan motor dan mobil laku lalang dengan kecepatan yang tidak pelan.
Rea pulas dalam pelukan Lara. Gadis itu benar-benar seperti anak kecil yang erat memeluk ibunya. Tangan halus Lara mengelus kepala Rea.Dia tak mungkin lupa pada gadis yang sepanjang waktu selalu dicintai oleh Kavi. Bahkan saat mereka terpisah jarak, di tengah Kavi mati-matian memulihkan mental mereka yang harus kehilangan suami dan anak bungsunya, Kavi tak pernah melupakan Rea.Gadis cantik yang selalu menyebarkan warna baru di dalam keluarganya. Rea yang ceria, Rea yang selalu tersenyum ramah, kini hilang. Warna hidupnya redup seketika. Lara berusaha mencari saklar itu, tapi tidak bisa dia temukan. Rea begitu kehilangan, hatinya gelap, rona wajahnya memudar.Pintu kamar Rea diketuk pelan. Kavi berdiri di depan pintu yang dibiarkan terbuka sejak tadi."Abang, belum tidur?" tanya Lara lembut.Kavi menggeleng, meletakkan segelas air hangat untuk Lara minum. "Rea gimana?""Udah tenang. Ibu nggak dibiarin bergerak, nih."Kavi tersenyum t
"Re," peluk Ara sesampainya Rea di kelas. Teman-temannya yang sudah datang juga ikut memeluk Rea. Tangis gadis itu mulai tak terbendung.Sudah hampir seminggu ayahnya di rawat. Meski pikiran kalut, Rea tetap harus melanjutkan hari-harinya. Dia tidak boleh melalaikan pendidikan. Jika Ardi tahu Rea membolos selama tiga hari kemarin, dia pasti dimarahi."Gimana bokap lo? Ah, gue ... gue boleh nanya itu nggak?"Rea tersenyum tipis, "Bokap sedikit membaik, cuma dia masih betah tidur. Nggak kangen kali sama anaknya. Nggak ada Bokap, uang foya-foya gue harus dialihin buat duit sarapan, deh," candanya. Teman-teman Rea memaksakan senyum."Yang terbaik buat Bokap lo, Ra. Semoga lekas sadar, biar lo nggak galau lagi. Kayaknya lebih enak dijutekin dari pada lihat lo meler gini.""Tai lo."Husshh, language, Re," kata teman-teman Rea kompak.Melihat itu, mau tidak mau Rea tertawa. Yah, nggak buruk juga kuliah saat kondisi hati dan pikir
"Kavi!" panggil Rea sambil berlari ke arahnya. Cowok itu sedang duduk di depan ruang ICU dengan kepala menunduk."Rea." Kavi berdiri, dan Rea langsung memeluk Kavi erat. Tangisnya pecah membuat hati Kavi berdenyut."A-ayah ... Ayah gimana? Kenapa bisa masuk rumah sakit? Tadi pagi masih sarapan semeja sama gue, Kav.""Sshh! Tenang, tarik napas, lo nggak boleh kacau gini. Om Ardi nggak suka lo nangis." Tangan Kavi mengusap air matanya. Rasa hangat menjalar, Rea tenang seketika.Kavi melirik Raga yang berdiri di belakang mereka. Cowok itu mengangguk pada Kavi."Ga, duduk," ucapnya tanpa vokal. Mereka pasti habis kebut-kebutan di jalanan, dan itu tidak mudah."Gue beli minum dulu. Lo mau nitip apa?""Tolong, susu coklat buat Rea. Kalau bisa yang dingin. Sama nasi goreng buat lo, Rea, dan Bu Difa, kalau lo nggak lagi buru-buru." Keduanya melirik seorang wanita dewasa yang tampak diam mengamati Rea. Kavi mengangguk."Lo nggak p
"Halo," sapa Raga sambil tersenyum manis. Rea ikut tersenyum sambil bersandar di kap depan mobilnya."Feeling unwell?" tanya Rea.Raga menggeleng, "Gue lagi dalam kondisi terbaik sepanjang sejarah."Rea tak mau ambil pusing. Mungkin memang hanya perasaannya saja. "Mau ke mana kita?""Katakan peta, katakan peta," balas Raga sambil menirukan suara Peta dalam kartun kesayangan adiknya, Dora the Explorer.Rea tertawa sejenak, lalu wajahnya dibuat sedatar mungkin, "Serius?""Asem banget muka lo, kayak mangga muda. Kenapa, sih? Kena sindrom akatsuki?" Raga masih mengajaknya bercanda."Emangnya cewek ngambek cuma karena lagi PMS doang? Jalan, yuk," ajak Rea. Raga tersenyum saat Rea dengan seenaknya langsung masuk ke mobilnya.Raga menahan senyumnya saat sudah masuk mobil, "Nggak sabaran banget mau jalan sama gue. Kita bakal ke tempat di mana lo bisa lihat mahakarya gue yang lain.""Awas kalau nggak sesuai ekspektasi."
Kampus Suryadharma sedang sibuk mempersiapkan acara donor darah yang rutin diadakan setiap tiga bulan sekali. Bekerja sama dengan PMI setempat, acara ini akan diikuti serentak di seluruh fakultas kampus. Para dosen pun ikut mendonorkan darahnya."Edrea," panggil salah seorang anggota BEM F dari fakultas kedokteran."Yo, Ran, gimana persiapan?""Udah mateng, tinggal briefing aja. Kalian mau buat dokumentasi, kan?""Iya, jadi, siapa yang bakal ngeliput bareng gue?""Karena ini bukan acara khusus orang kampus kita, gue undang anak kampus lain buat ngeliput. Anaknya pernah ke sini, kok. Dia bilang mau sukarela-ah, itu orangnya," tunjuk Rani. Rea berbalik dan membulatkan matanya."Itu?" Rea mencoba meyakinkan.Seorang laki-laki berjalan dengan senyum manisnya menuju tempat Rea dan Rani berdiri. Senyum yang sangat familiar."Halo, Ran, Re, apa kabar?""Baik, lo sendiri gimana, Ga? Maaf, ya, gue agak sibuk jadi belum bisa konta
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments