Ini aneh, Raga tidak pernah menghubunginya lagi sejak terakhir mereka berpisah di rumah sakit. Terhitung sudah hampir sebulan.
Apa Raga marah karena Rea harus pergi ke rumah sakit, dan mengacaukan acara jalan-jalan mereka?
Nggak, Raga bukan orang yang kayak gitu, deh. Masa iya, ada orang ngambek setelah tahu anggota keluarga temennya masuk rumah sakit.
Apa Raga sakit? Atau sibuk, mengingat Raga juga anggota BEM di kampusnya?
"Re, awas!" Sebuah tangan dengan cepat menarik tubuh Rea mundur ke belakang.
"Hah?" Jantung Rea berdegub kencang. Dirinya berada di pinggir jalan raya dengan motor dan mobil laku lalang dengan kecepatan yang tidak pelan.
Seorang gadis tampak membuang napasnya. Bola matanya bergerak acak memandangi aula kampus yang terlihat ramai pagi ini. Namanya Edrea Lovata yang akrab disapa Rea, mahasiswa semester tiga jurusan arsitektur, anggota BEM F departemen Kominfo. Gadis itu bersandar pada tembok sambil mengamati para mahasiswa baru yang mondar-mandir mencari kelompoknya. Hari yang sibuk, pikirnya. Jika bisa, ingin rasanya dia pergi ke tengah aula, berteriak membubarkan kerumunan massa, dan dia bisa cepat pulang lalu tidur. Sayangnya, dia belum segila itu. Tidak sekarang, mungkin nanti. Di matanya, para mahasiswa baru yang melaksanakan Ospek hari ini tak lebih dari sekadar nasi tumpeng berjalan. Lihat saja topi kerucut berwarna kuning yang mereka kenakan, benar-benar seperti nasi tumpeng. Melihatn
"Hoy! Ngelamun aja. Nggak ke Ormawa?" Ara, gadis kuncir kuda yang menjadi sahabat Rea sejak SMP menepuk pundaknya cukup keras."Nggak dulu, lah. Suntuk.""Kenapa? Takut ketemu mantan? Yaelah, hari gini gagalmove on? Tenggelam aja ke laut."Rea memukul lengan Ara. Menjejal mulut bocor sahabatnya itu dengan saus tomat yang memang sudah tersedia."Nggak usah sok tahu. Gue nggak ada jadwal piket atau rapat hari ini.""Nggak perlu nyocolin saus ke mulut gue juga kali. Pedes, nih.""Mulut lo emang pantes dicocolin. Masih untung saus tomat, bukan sambel."Rea berdiri, menya
"Hari ini pulang jam berapa, Sayang?" tanya Ardi. Ia sudah sampai di kampus putri kesayangannya. Kegiatan rutin yang selalu dia lakukan yaitu mengantar anak gadisnya ke kampus."Selesai kelas jam tiga, nanti langsung pulang.""Ya sudah, tunggu Ayah, ya?""Aku bisa naik bus atau ojek online, Yah. Kasihan kalau Ayah harus jemput aku dan balik lagi ke kantor.""Justru Ayah lebih tenang kalau kamu Ayah antar jemput. Kejahatan sekarang ada di mana-mana, Re. Ojek online sekalipun."Rea hanya diam, percuma saja membantah ayahnya. Tetap tidak akan menang."Atau ...," sambung Ardi. Melirik Rea yang kini menatapnya.
Rea ingat—jelas ingat—tiga puluh menit yang lalu motormaticKavi meninggalkan area kampus bersama Kina. Namun, kini laki-laki itu sudah ada di hadapannya lagi. Kemana Kina?"Lo ngapain di sini?""Tukang ojeknya bilang nggak bisa jemput kamu," jawab Kavi. Di pangkuannya sudah ada helm yang tadi Kina pakai."Hah?""Kamu tadi bilang pulang sama ojek, kan?"Bego banget, sih, Re! Lo kan tadi bilang begitu."Oh i-iya, ini lagi nungguin tukang ojek.""Ya sudah, yuk, pulang.""Hah? Nggak usah. Gue
Kavi baru saja selesai latihan paskibra dan langsung mengambil tempat duduk di sebelah Rea. Rutinitas mereka berdua adalah Rea yang selalu menemani Kavi latihan paskibra, begitu pun Kavi yang selalu menunggui Rea saat pertemuan PMR."Ini apa?" tanya Kavi saat Rea memberikan selembar kertas padanya.Rea tersenyum. "Buka, dong. Nanya mulu."Kavi tersenyum tipis, membuka lembaran tersebut dan terkejut saat melihat sebuah sketsa rumah minimalis. "Ini kamu yang gambar?""Iya, dong, masa Ayah. Ayah nggak bisa gambar. Bikin garis lurus aja harus percobaan lima kali.""Bagus banget! Rea pinter ih, gambar rumah. Ini tipe aku banget, Re. Minimal
"Pagi, Papa Ardi Diwanggani," sapa Rea dengan ceria. Wajahnya tersenyum kala menatap Ardi yang masih sibuk dengan penggorengannya."Pagi, Sayang. Gimana tidurnya semalam?" Ardi mencium kening Rea dengan lembut. Rea terlihat mengangguk sambil mencicipi tumis kangkung buatan papanya."Nyenyak seperti biasa. Agak insomnia, Yah. Hmm... enak." Rea bertepuk tangan sambil mengacungkan kedua jempolnya.Ardi adalah koki andalan di keluarga kecil mereka. Mamanya bisa memasak, tapi, tidak seenak buatan papanya. Malah, papanya lebih sering memasak untuk mereka, baik saat sarapan atau makan malam. Toh, Ardi memang suka memasak. Berbanding terbalik dengan mamanya yang baru masak setelah Rea lahir."Mikirin apa, sih? Pasti mikirin Ayah, kan? Kangen
Rea memasang wajah jengkel saat Ara masih menertawakan kebodohannya di ruang Ormawa tadi sore. Salahnya juga langsung berteriak panik begitu ada suara yang mengagetkannya. Untung lah cuma Ara yang melihatnya, semalu-malunya Rea, hanya dia dan sahabatnya saja yang tahu. Ara juga tidak mungkin menyebarkan aib Rea. Bayangkan jika orang lain yang melihatnya tadi. Atau yang lebih parah adik kelasnya. Bisa malu sampai ke ubun-ubun, kan?"Udah sih, Ra. Ketawa mulu lo. Kesel banget gue," omel Rea. Tawa Ara sudah mereda, tidak seperti tadi. Meskipun sulit, Ara berusaha untuk meredamnya.Ya, orang yang berdiri di depan pintu tadi adalah Ara, pelaku penyebab teriakan konyol Rea."Lagian lo ngapain, ha? Kayak orang idiot aja teriak-teriak sendiri."
Hari ini, Rea bersama dua orang temannya berangkat ke Yogyakarta untuk presentasi lomba yang mereka ikuti. Setelah melewati berbagai diskusi sampai pembuatan karya, mereka akhirnya lolos ke tahap selanjutnya bersama empat tim lain untuk tampil mempresentasikan hasil kerjanya."Ingat, selalu berdoa dan jaga diri di sana. Apapun hasilnya, kalian sudah melakukan yang terbaik. Bisa masuk lima besar saja sudah merupakan pencapaian yang besar." Rea, Paska, dan Desi tersenyum mendengar arahan dari dosen mereka. Seharusnya memanga da yang mendampingi, hanya saja Pak Agus hanya bisa menyusul ke sana."Siap, Pak, mohon doanya untuk kami. Semoga di sana lancar, syukur-syukur bisa juara," ucap Paska selaku ketua tim."Ya sudah, kalian langsung berangkat saja. Pesawatnya sebentar lagitake