Share

Sebuah Alasan

“Hero, ada apa?” tanya Mana ketika melihat Hero terdiam mematung.

“O-oh ti-tidak ada apa-apa, Ibu,” jawab Hero tergagap.

Mana tahu Hero masih belum bisa bercerita lepas padanya, namun ia mengerti dan berharap nanti bisa dekat dengan Hero.  

“Ibu, boleh aku menanyakan satu hal?” Hero mengumpulkan suaranya yang tercekat di tenggorokan.

“Tentu boleh, Anakku.” Mana tersenyum menatap Hero yang berusaha memberanikan diri. “Selama Ibu bisa menjawabnya pasti akan Ibu jawab,” kata Mana.

“Apa dulunya Ibu adalah manusia sepertiku? Dan sebelum menikah dengan Ibu apa ayah punya sayap seperti cerita peri dalam dongeng? Terus yang paling penting, apa yang terjadi 16 tahun lalu?” pertanyaan-pertanyaan itu mengalir bebas seperti arus sungai.

“Katanya mau bertanya satu hal, tapi ternyata ada tiga pertanyaan,” ujar Mana lalu tertawa pelan, dilihatnya Hero juga tersipu malu. “Ibu hanya bisa menjawab dua pertanyaan pertama, pertanyaan yang paling penting itu tidak diceritakan pada kalian,” tegas mana dengan suara lembutnya.

“Benar, dulu Ibu juga manusia biasa. Saat menikah dengan Ibu 16 tahun lalu, ayahmu memang memiliki sayap, sepasang sayapnya berwarna perak dan berkilauan, Ibu pernah sekali melihatnya dan benar-benar mengagumkan. Tetapi, setelah hari pernikahan kami ... dia kehilangan sayap itu-”

“Karena menjalin ikatan dengan manusia?” tanya Hero memotong cerita Mana.

“Bukan, Anakku. Bukan karena itu, nanti akan Ibu ceritakan lagi saat kau sudah pandai berpedang,” ujar Mana membuat kesepakatan kecil pada Hero. Putra angkatnya itu pun mengangguk yakin.

***

Bola-bola api kecil di depan rumah setiap penduduk kota sudah padam, itu berarti waktu bergerak dan seharusnya sinar matahari dengan gagah menyapa di sebelah Timur. Namun harapan untuk melihat sang surya harus disimpan dalam-dalam, saat ini yang perlu Hero lakukan adalah latihan agar dia cukup kuat dan tak hanya menjadi beban.

Mereka latihan berpedang tak jauh dari area berkuda. Guru Farrabi juga melatih belasan remaja seusia Hero, ia pasti bertemu lebih banyak teman hari ini.

“Hero, ayo naik! Kita harus tiba lebih dulu sebelum Seema,” ajak Leander yang duduk di atas singa jantan peliharaannya. Hero dibuat terkejut sampai napasnya tertahan sejenak.

“Oh iya, ini Lyonell. Dia tidak akan mengigitmu, Hero.” Lean tersenyum lebar sambil mengelus Lyonell yang besarnya tiga kali dari singa biasa. Sesaat Hero bergidik ngeri terlebih taringnya panjang dan sorot matanya menyeramkan.

Warna rambut pendek Lean dan warna surai Lyonell jelas tak ada bedanya. Hero menggeleng-gelengkan kepala karena takjub dan heran.

Setibanya di tempat latihan, Leander meminta Lyonell segera pulang sebelum datang teman-teman yang lain, ia tidak ingin Lyonell berakhir main tangkap bola lagi dengan teman-teman Leander.

Di kota ini, hanya karena Lean dan Seema adalah keturunan bangsawan, bukan berarti mereka mendapat perlakuan khusus. Guru Farrabi tidak pilih-pilih dalam memperlakukan muridnya.

Hero dan Lean berharap bisa hadir lebih dulu dari Seema, namun gadis itu justru terkekeh melihat dua temannya baru saja tiba.

“Lean, Seema ternyata sudah di sana.” Hero menunjuk Seema yang berdiri di sebelah guru Farrabi. Sebagai pemanasan latihan, pagi ini Seema bersiap-siap melawan Arion.

“Jangan-jangan nanti Seema kalah lagi dari Arion,” tebak Lean saat melihat Seema mulai memasang kuda-kuda. “Hero, di antara murid guru Farrabi, Arion yang paling jago menggunakan pedang,” beritahu Leander.

“Dia pasti latihan dengan gigih,” ujar Hero sambil memperhatikan kuda-kuda Arion.

“Benar, dia putra tunggal dari keluarga Primrose. Ayahnya kepala keamanan kota, kuat dan setia,” kata Lean membenarkan kegigihan Arion dalam latihan berpedang.

“Satu tahun lalu Seema pernah memberikan tanaman bunga primrose pada Arion, instingku mengatakan sebenarnya Seema menyukai Arion,” ucap Leander yakin. Baginya, tindakan Seema mudah sekali ditebak.

“Sepertinya sekarang kita lebih baik memperhatikan mereka,” saran Hero yang tak melepaskan pandangannya dari gerak-gerik Arion.

“Hero, sebenarnya latihan pedang tidak wajib selama kau yakin dapat melindungi diri tanpanya,” Leander turut memperhatikan pergerakan Arion, namun ia masih berbicara, “Dan aku sangat yakin, tapi karena kau serius perihal ini dan Seema juga selalu hadir tepat waktu saat latihan, rasanya aku juga harus mulai fokus,” Leander turut membulatkan tekad.

Sejauh ini Arion lebih banyak menangkis serangan Seema, ia belum terlihat melancarkan serangan yang berarti. Napasnya teratur dan raut wajah Arion sangat tenang. Mereka latihan dengan pedang kayu, pedang sungguhan yang terbuat dari besi hanya digunakan oleh orang dewasa yang berlatih bersama Atalla, Dryas, dan Argana.

“Hero, apa kau ingin mencoba?” tanya Farrabi yang menghampiri Hero. Sempat ragu sebab tak pernah sekali pun ia latihan seperti ini, namun kaki Hero refleks berdiri.

Seema masih tak bisa menang dari Arion. “Bagaimana denganku yang hanya pernah memegang pisau dapur ini?” lirih Hero. Namun tidak ada salahnya mencoba, tadi ia juga sudah mempelajari gerakan Arion meskipun tak langsung mempraktikkan.

Bruukk!

Belum apa-apa Hero sudah terjatuh saat menangkis ayunan pedang Arion.

“Tidak masalah, kau hanya perlu berlatih lebih keras lagi,” ujar Arion, lelaki yang memiliki dua bola mata berwarna biru itu pun tersenyum. Ekspresinya bersahabat dan wibawanya bahkan sudah terlihat di usia yang tak beda jauh dengan Hero.

Arion mengulurkan tangan, Hero pun menyambutnya kemudian berdiri. Dalam keadaan seperti ini, ingatan Hero kembali melayang ke masa lalunya. Kala itu teman-temannya memanggil dengan sebutan Zero dan meneriakinya sebagai lelaki yang lemah.

Dalam hatinya Hero kesal, tapi ia sama sekali tak membenci teman-temannya. Ia hanya merutuk diri dan menyesalkan kenapa dirinya lemah.

“Dalam hal apa pun dia jelas lebih hebat dariku,” gumam Hero lalu kembali fokus pada pertarungan.

Telapak tangannya memerah bahkan terasa seolah ingin meledak pecah saat berusaha menangkis dan bertahan dari serangan Arion. “Kuat sekali lelaki ini,” pikir Hero, ia meringis dengan napas bergemuruh. Keringat menetes di wajah Hero dan detak jantungnya terpacu lebih cepat. Ia bersemangat.

“Suatu hari nanti, mampukah aku menandingi kemampuan Arion?” batinnya sambil sekuat tenaga bertahan.

“Hero, jangan memaksakan diri. Kau harus tenang dan memahami pergerakan lawan sebelum menyerang,” ucap Guru Farrabi saat melihat serangan Hero mulai acak.

“Aku sudah memperhatikan gerakan Arion sejak tadi, tapi aku masih tak bisa mengalahkannya,” gerutu Hero.

“Sudah kubilang kau harus berlatih lebih keras lagi mulai hari ini. Pedang sudah seperti sahabat bagiku sejak usia 6 tahun, jika hari ini jadi latihan pertamamu, jelas proses kita tidak bisa disamakan,” kata Arion di sela-sela bergerak menangkis serangan acak dari Hero.

“Jika kau ingin serius, saranku kau harus memiliki tekad yang kuat, miliki sebuah alasan yang bisa menjadikanmu kuat,” serangan Hero memang tak berarti apa-apa bagi Arion, napasnya masih tenang bahkan ia masih sempat memberikan nasihat pada Hero di tengah-tengah pertarungan.

“Bagaimana denganmu, Arion? Apa alasanmu?” Hero bertanya meski napasnya terengah-engah dan wajah putih pucatnya pun memerah.

“Aku ingin lebih kuat dari ayahku, aku ingin melindungi Kota Gardraff.” Tekad penuh keyakinan yang tumbuh dalam diri Arion bergema di alam bawah sadar Hero, sedetik ia lengah dan Arion pun mengayunkan pedang.

Sekakmat!

Hero terjatuh, pedang kayunya bahkan terlepas. Arion mengarahkan mata pedang tepat di antara kedua mata Hero, ini seperti deja vu. Benar saja, Hero pernah mengalami ini sebelumnya, di hari pertamanya menginjakkan kaki di istana Dryas pernah bercanda dengan melakukan gerakan tak terduga.

Arion tersenyum lalu menarik pedang kayunya. “Ayo bangun, apa kau mau tertidur di sini?” katanya lalu mengulurkan tangan.

“Sebentar saja, aku benar-benar lelah. Kuakui kau hebat, Arion.” Hero merebahkan tubuhnya di tanah. Ia nyaris kewalahan namun senang sebab terasa seperti uji nyali yang memacu adrenalin dan menghidupkan semangatnya dari dalam.

Berdiri di dekat Seema dan Leander, Farrabi cukup kagum pada Hero. Ini adalah latihan pertama, ia sama sekali belum mengajari Hero gerakan dasar, meski tadi ada beberapa gerakan acak, muridnya itu sudah cukup mumpuni mengingat Hero langsung terjun melawan Arion.

Hero masih terkapar, hanya saja sekarang ia tertawa lepas, teman-temannya yang melihat pun keheranan. Hero hanya senang, terlebih alasan kuat yang diungkapkan Arion membuat Hero harus sungguh-sungguh menyusun daftar misinya ke depan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status