Share

Sebuah Alasan

Author: Kikyo de Kira
last update Last Updated: 2021-09-17 11:31:53

“Hero, ada apa?” tanya Mana ketika melihat Hero terdiam mematung.

“O-oh ti-tidak ada apa-apa, Ibu,” jawab Hero tergagap.

Mana tahu Hero masih belum bisa bercerita lepas padanya, namun ia mengerti dan berharap nanti bisa dekat dengan Hero.  

“Ibu, boleh aku menanyakan satu hal?” Hero mengumpulkan suaranya yang tercekat di tenggorokan.

“Tentu boleh, Anakku.” Mana tersenyum menatap Hero yang berusaha memberanikan diri. “Selama Ibu bisa menjawabnya pasti akan Ibu jawab,” kata Mana.

“Apa dulunya Ibu adalah manusia sepertiku? Dan sebelum menikah dengan Ibu apa ayah punya sayap seperti cerita peri dalam dongeng? Terus yang paling penting, apa yang terjadi 16 tahun lalu?” pertanyaan-pertanyaan itu mengalir bebas seperti arus sungai.

“Katanya mau bertanya satu hal, tapi ternyata ada tiga pertanyaan,” ujar Mana lalu tertawa pelan, dilihatnya Hero juga tersipu malu. “Ibu hanya bisa menjawab dua pertanyaan pertama, pertanyaan yang paling penting itu tidak diceritakan pada kalian,” tegas mana dengan suara lembutnya.

“Benar, dulu Ibu juga manusia biasa. Saat menikah dengan Ibu 16 tahun lalu, ayahmu memang memiliki sayap, sepasang sayapnya berwarna perak dan berkilauan, Ibu pernah sekali melihatnya dan benar-benar mengagumkan. Tetapi, setelah hari pernikahan kami ... dia kehilangan sayap itu-”

“Karena menjalin ikatan dengan manusia?” tanya Hero memotong cerita Mana.

“Bukan, Anakku. Bukan karena itu, nanti akan Ibu ceritakan lagi saat kau sudah pandai berpedang,” ujar Mana membuat kesepakatan kecil pada Hero. Putra angkatnya itu pun mengangguk yakin.

***

Bola-bola api kecil di depan rumah setiap penduduk kota sudah padam, itu berarti waktu bergerak dan seharusnya sinar matahari dengan gagah menyapa di sebelah Timur. Namun harapan untuk melihat sang surya harus disimpan dalam-dalam, saat ini yang perlu Hero lakukan adalah latihan agar dia cukup kuat dan tak hanya menjadi beban.

Mereka latihan berpedang tak jauh dari area berkuda. Guru Farrabi juga melatih belasan remaja seusia Hero, ia pasti bertemu lebih banyak teman hari ini.

“Hero, ayo naik! Kita harus tiba lebih dulu sebelum Seema,” ajak Leander yang duduk di atas singa jantan peliharaannya. Hero dibuat terkejut sampai napasnya tertahan sejenak.

“Oh iya, ini Lyonell. Dia tidak akan mengigitmu, Hero.” Lean tersenyum lebar sambil mengelus Lyonell yang besarnya tiga kali dari singa biasa. Sesaat Hero bergidik ngeri terlebih taringnya panjang dan sorot matanya menyeramkan.

Warna rambut pendek Lean dan warna surai Lyonell jelas tak ada bedanya. Hero menggeleng-gelengkan kepala karena takjub dan heran.

Setibanya di tempat latihan, Leander meminta Lyonell segera pulang sebelum datang teman-teman yang lain, ia tidak ingin Lyonell berakhir main tangkap bola lagi dengan teman-teman Leander.

Di kota ini, hanya karena Lean dan Seema adalah keturunan bangsawan, bukan berarti mereka mendapat perlakuan khusus. Guru Farrabi tidak pilih-pilih dalam memperlakukan muridnya.

Hero dan Lean berharap bisa hadir lebih dulu dari Seema, namun gadis itu justru terkekeh melihat dua temannya baru saja tiba.

“Lean, Seema ternyata sudah di sana.” Hero menunjuk Seema yang berdiri di sebelah guru Farrabi. Sebagai pemanasan latihan, pagi ini Seema bersiap-siap melawan Arion.

“Jangan-jangan nanti Seema kalah lagi dari Arion,” tebak Lean saat melihat Seema mulai memasang kuda-kuda. “Hero, di antara murid guru Farrabi, Arion yang paling jago menggunakan pedang,” beritahu Leander.

“Dia pasti latihan dengan gigih,” ujar Hero sambil memperhatikan kuda-kuda Arion.

“Benar, dia putra tunggal dari keluarga Primrose. Ayahnya kepala keamanan kota, kuat dan setia,” kata Lean membenarkan kegigihan Arion dalam latihan berpedang.

“Satu tahun lalu Seema pernah memberikan tanaman bunga primrose pada Arion, instingku mengatakan sebenarnya Seema menyukai Arion,” ucap Leander yakin. Baginya, tindakan Seema mudah sekali ditebak.

“Sepertinya sekarang kita lebih baik memperhatikan mereka,” saran Hero yang tak melepaskan pandangannya dari gerak-gerik Arion.

“Hero, sebenarnya latihan pedang tidak wajib selama kau yakin dapat melindungi diri tanpanya,” Leander turut memperhatikan pergerakan Arion, namun ia masih berbicara, “Dan aku sangat yakin, tapi karena kau serius perihal ini dan Seema juga selalu hadir tepat waktu saat latihan, rasanya aku juga harus mulai fokus,” Leander turut membulatkan tekad.

Sejauh ini Arion lebih banyak menangkis serangan Seema, ia belum terlihat melancarkan serangan yang berarti. Napasnya teratur dan raut wajah Arion sangat tenang. Mereka latihan dengan pedang kayu, pedang sungguhan yang terbuat dari besi hanya digunakan oleh orang dewasa yang berlatih bersama Atalla, Dryas, dan Argana.

“Hero, apa kau ingin mencoba?” tanya Farrabi yang menghampiri Hero. Sempat ragu sebab tak pernah sekali pun ia latihan seperti ini, namun kaki Hero refleks berdiri.

Seema masih tak bisa menang dari Arion. “Bagaimana denganku yang hanya pernah memegang pisau dapur ini?” lirih Hero. Namun tidak ada salahnya mencoba, tadi ia juga sudah mempelajari gerakan Arion meskipun tak langsung mempraktikkan.

Bruukk!

Belum apa-apa Hero sudah terjatuh saat menangkis ayunan pedang Arion.

“Tidak masalah, kau hanya perlu berlatih lebih keras lagi,” ujar Arion, lelaki yang memiliki dua bola mata berwarna biru itu pun tersenyum. Ekspresinya bersahabat dan wibawanya bahkan sudah terlihat di usia yang tak beda jauh dengan Hero.

Arion mengulurkan tangan, Hero pun menyambutnya kemudian berdiri. Dalam keadaan seperti ini, ingatan Hero kembali melayang ke masa lalunya. Kala itu teman-temannya memanggil dengan sebutan Zero dan meneriakinya sebagai lelaki yang lemah.

Dalam hatinya Hero kesal, tapi ia sama sekali tak membenci teman-temannya. Ia hanya merutuk diri dan menyesalkan kenapa dirinya lemah.

“Dalam hal apa pun dia jelas lebih hebat dariku,” gumam Hero lalu kembali fokus pada pertarungan.

Telapak tangannya memerah bahkan terasa seolah ingin meledak pecah saat berusaha menangkis dan bertahan dari serangan Arion. “Kuat sekali lelaki ini,” pikir Hero, ia meringis dengan napas bergemuruh. Keringat menetes di wajah Hero dan detak jantungnya terpacu lebih cepat. Ia bersemangat.

“Suatu hari nanti, mampukah aku menandingi kemampuan Arion?” batinnya sambil sekuat tenaga bertahan.

“Hero, jangan memaksakan diri. Kau harus tenang dan memahami pergerakan lawan sebelum menyerang,” ucap Guru Farrabi saat melihat serangan Hero mulai acak.

“Aku sudah memperhatikan gerakan Arion sejak tadi, tapi aku masih tak bisa mengalahkannya,” gerutu Hero.

“Sudah kubilang kau harus berlatih lebih keras lagi mulai hari ini. Pedang sudah seperti sahabat bagiku sejak usia 6 tahun, jika hari ini jadi latihan pertamamu, jelas proses kita tidak bisa disamakan,” kata Arion di sela-sela bergerak menangkis serangan acak dari Hero.

“Jika kau ingin serius, saranku kau harus memiliki tekad yang kuat, miliki sebuah alasan yang bisa menjadikanmu kuat,” serangan Hero memang tak berarti apa-apa bagi Arion, napasnya masih tenang bahkan ia masih sempat memberikan nasihat pada Hero di tengah-tengah pertarungan.

“Bagaimana denganmu, Arion? Apa alasanmu?” Hero bertanya meski napasnya terengah-engah dan wajah putih pucatnya pun memerah.

“Aku ingin lebih kuat dari ayahku, aku ingin melindungi Kota Gardraff.” Tekad penuh keyakinan yang tumbuh dalam diri Arion bergema di alam bawah sadar Hero, sedetik ia lengah dan Arion pun mengayunkan pedang.

Sekakmat!

Hero terjatuh, pedang kayunya bahkan terlepas. Arion mengarahkan mata pedang tepat di antara kedua mata Hero, ini seperti deja vu. Benar saja, Hero pernah mengalami ini sebelumnya, di hari pertamanya menginjakkan kaki di istana Dryas pernah bercanda dengan melakukan gerakan tak terduga.

Arion tersenyum lalu menarik pedang kayunya. “Ayo bangun, apa kau mau tertidur di sini?” katanya lalu mengulurkan tangan.

“Sebentar saja, aku benar-benar lelah. Kuakui kau hebat, Arion.” Hero merebahkan tubuhnya di tanah. Ia nyaris kewalahan namun senang sebab terasa seperti uji nyali yang memacu adrenalin dan menghidupkan semangatnya dari dalam.

Berdiri di dekat Seema dan Leander, Farrabi cukup kagum pada Hero. Ini adalah latihan pertama, ia sama sekali belum mengajari Hero gerakan dasar, meski tadi ada beberapa gerakan acak, muridnya itu sudah cukup mumpuni mengingat Hero langsung terjun melawan Arion.

Hero masih terkapar, hanya saja sekarang ia tertawa lepas, teman-temannya yang melihat pun keheranan. Hero hanya senang, terlebih alasan kuat yang diungkapkan Arion membuat Hero harus sungguh-sungguh menyusun daftar misinya ke depan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hero Gladiolus and The Gate of Gardraff   Ayah dan Anak

    Setiap orangtua tentu menginginkan hal terbaik untuk anaknya. Begitu pula Atalla yang sudah menyanggupi tantangan Hero. Ia ingin melihat putranya tumbuh menjadi lebih kuat dan mampu melindungi banyak orang.Sementara itu, Hero bertaruh pada keberanian dan latihannya selama ini. Remaja lelaki yang menguncir setengah rambutnya itu pun tahu bahwa tidak mudah untuk mengalahkan Atalla. Namun, ia masih ingin mencoba dan tak mau menyia-nyiakan kesempatan sekecil apa pun.“Tidak masalah jika kau ingin mundur sekarang, Hero,” gertak Atalla sebelum pertarungan mereka dimulai.“Itu adalah hal yang tak mungkin kulakukan, Ayah,” ucap Hero dengan raut wajah yang serius.“Tapi ... kau bisa terluka,” kata Atalla sambil mengeluarkan pedang.“Hal yang sama juga berlaku untukmu, Ayah.” Hero tampak bersiap-siap untuk melancarkan serangan.Di detik selanjutnya ketika denting pedang beradu, pertarungan antara ayah d

  • Hero Gladiolus and The Gate of Gardraff   Lawan yang Seimbang

    Kekalahan tidak selamanya hanya menelurkan rasa putus asa, melainkan juga dapat menjadi sebuah motivasi untuk memperbaiki diri dan terus berlatih hingga mencapai versi terbaik diri sendiri.Seema tak hanya sekali atau dua kali saja kalah dari Arion, ia sama sekali belum pernah memiliki kesempatan untuk menang. Dengan memilih Arion sebagai lawannya di momen ujian ini, Seema ingin membuktikan bahwa kemampuannya sudah jauh lebih baik.“Arion, kau tak perlu ragu untuk menyerangku dengan alasan apa pun!” tantang Seema agar Arion tetap serius meski sedang bertarung dengan seorang gadis.“Tentu, aku tak pernah berpikir untuk mengalah,” ucap Arion sambil bersiaga.Seema cenderung lebih berani dan nekat dari gadis seusianya, tetapi bukan berarti ia tidak memiliki rasa takut. Jauh di dalam hatinya, ia merasa cemas jika teman-temannya dilukai oleh para iblis dan ia pun khawatir penduduk akan diserang.“Kali ini aku akan mengalahk

  • Hero Gladiolus and The Gate of Gardraff   Lupine Bersaudara

    Di bawah segel yang menyelimuti Kota Gardraff, kemampuan kaum peri memang terbatas, tetapi semenjak Atalla mengajarkan untuk memberi nama pada setiap kemampuan setidaknya energi mereka tak akan berkurang kecuali sudah benar-benar terluka parah.Tidak pernah terbayangkan oleh Leander harus berhadapan dengan Dann seserius sekarang. Mereka saling mengacungkan pedang dan bersiap untuk menyerang, sementara Lyonell dan Flash tampak siaga.“Aku tidak akan kalah darimu, Lean!” tukas Dann dengan mata cokelatnya yang menatap penuh hati-hati ke arah Leander.“Oh, ayolah! Aku pun tak akan membiarkanmu menang, Dann.” Leander mulai melancarkan serangan.Denting suara pedang yang beradu memecah keheningan hutan. Leander menangkis kecepatan Denocyphaca brassa milik Dann dengan bantuan akar-akar pohon. Hebatnya, Dann menggunakan dua pedang sehingga membuat Leander cukup kesulitan.Di detik selanjutnya, Leander melilit tubuh Dann dengan akar-

  • Hero Gladiolus and The Gate of Gardraff   Ujian Dimulai

    Dini hari dengan udara dingin menyeruak yang membuat bulu kuduk berdiri, wajah Hero dan Leander justru dipenuhi keringat karena berlomba menghancurkan dinding yang menghubungkan ruangan mereka.“Lihat saja, aku pasti bisa menghancurkan dinding ini lebih dulu!” ucap Leander yang sama sekali tak peduli dengan perban di tangannya.“Tak akan kubiarkan, lihatlah dinding ini sudah retak!” kata Hero sambil melayangkan pukulan tanpa henti seolah dinding itu adalah tumpukan pasir.“Dasar, kekanakan!” umpat Seema seraya mengatur napasnya.Mereka bertiga menunggu waktu pembebasan dari hukuman sebab hari ini ujian akan dimulai, sementara enam anggota sembilan pedang suci lainnya telah siap dengan segala bentuk ujian yang akan dilewati.“Tiga ruangan di pojok lantai atas cukup heboh,” komentar Dann sambil berjalan-jalan pelan memeriksa persenjataan yang akan digunakan. “Tombak ini sepertinya cocok denganku,&

  • Hero Gladiolus and The Gate of Gardraff   Mengalahkan Rasa Takut

    Setiap orang pasti memiliki rasa takut dalam dirinya, ketakutan akan kehilangan sesuatu, takut pada kegelapan, dan takut berhadapan dengan sosok yang jauh lebih kuat, serta ketakutan lainnya yang diam-diam bersemayam dalam hati.“Lean, apa kau tidak takut gagal melewati ujian besok?” tanya Hero sambil duduk bersandar di dinding. Keringat tampak mengalir di wajahnya karena latihan terus menerus.“Sejujurnya ... tentu takut, tapi aku percaya bahwa tak hanya ketampanan yang kumiliki, kemampuan dan kekuatan fisik juga,” jawab Leander percaya diri.“Konon, orang yang sombong akan kalah sebelum pertarungan dimulai,” timpal Seema yang menyinggung Leander.“Aku tidak menyombongkan diri, Seema! Memang itulah kenyataannya,” sanggah Leander dan perdebatan pun dimulai.Hero tersenyum mendengar kedua temannya bercekcok. Ia memandangi kedua tangannya yang sama sekali tak memiliki bekas luka meskipun Hero terus memu

  • Hero Gladiolus and The Gate of Gardraff   Ibu

    Pengalaman hadir sebagai peringatan agar tak melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. Kelalaian atau kecerobohan yang telah dilakukan memiliki peran layaknya sebuah pelajaran.Di dalam ruangan sempit, Hero terlelap dengan sebilah pedang di tangannya. Deru napas yang sangat kelelahan membuat remaja itu meringkuk dengan tenang. Ia memiliki alis tebal dan bulu mata yang lurus, jika benar-benar diperhatikan Hero memiliki tahi lalat kecil di bawah dagu.Di alam bawah sadarnya, Hero kembali lagi ke tempat itu dan seseorang yang mengaku sebagai ibunya sedang tersenyum lalu duduk di sebelah Hero.“Hero, tanganmu berdarah,” ucap perempuan itu sambil memegang kedua tangan Hero. Sejenak kemudian, luka lecet dan darah di tangan Hero pun hilang setelah diusap oleh perempuan berambut merah gelap itu.Cuaca di sana hangat, langitnya biru cerah, dan angin yang bertiup pelan menggerakkan rambut panjang bergelombang milik seseorang di sebelah Hero.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status