Share

Sorot Mata Seorang Ayah

Latihan tadi siang menguras cukup banyak tenaga, Hero merasakan otot-otot tubuhnya menegang. Kakinya bahkan terasa nyeri dan berat sekali jika tetap memaksakan pergi ke perpustakaan malam ini. Sepertinya ia memang harus menunda untuk melihat cincin ruby merah.

Namun ia tak bisa hanya terus uring-uringan di atas tempat tidur, meski Mana sudah menyarankan agar Hero istirahat saja, justru dua kakinya yang nyeri itu seolah ingin mengajak berjalan-jalan.

Hero menapakkan kaki pelan-pelan, ia beranjak menghadapi cermin di kamar dan merapikan rambutnya. Karet gelang dari Lean sepertinya akan terus ia gunakan. Karena kamarnya berada di lantai dua, ia pun menuruni anak tangga dengan hati-hati, Hero tak bisa cepat seperti biasa karena kondisi kakinya sekarang.

Mana sedang mengunjungi laboratorium untuk melihat obat-obatan yang berhasil dibuat Xalma. Sementara Atalla, Hero tak melihatnya sejak ia pulang dari latihan. Hero baru menyadari ia masih belum banyak tahu tentang aktivitas ayahnya.

Di luar, bola-bola api ungu pucat kembali menyala. Barisan bunga gladiol di sepanjang jalan seolah menuntun langkah Hero kembali ke tempat itu, gerbang suci Kota Gardraff. Ia merasa nyaman saat berada di sana.

Gerbang itu berdiri kokoh, di bawah atapnya dapat menampung banyak orang untuk berteduh. Keseluruhan gerbang adalah susunan bata merah tua yang tebal dan kuat dengan tinggi belasan meter. Di sisi kiri dan kanan gerbang terdapat dua menara dilengkapi empat jendela dan atap yang mengerucut.

Pintunya yang berbentuk setengah lingkaran hanya satu tepat berada di tengah, terbuat dari deretan baja sebesar pergelangan tangan remaja dengan ujung bagian bawahnya yang runcing, dan tersusun vertikal berjarak, persis seperti tombak peninggalan bangsa peri di ruang khusus dalam perpustakaan. Susunan baja pada pintu gerbang kota ini ajaibnya tak mengeluarkan suara ketika terbuka dan tertutup secara vertikal. Baja-baja kuat dengan ujungnya yang menyerupai tombak itu naik dan turun dengan sendirinya.

Hero memang tidak sedang berada di dunia modern seperti sebelum ia tertabrak dan jatuh ke jurang, namun gerbang ini amat peka, bisa terbuka dengan sendirinya saat ada orang yang mendekat. Seperti pintu-pintu gedung pencakar langit yang pernah dimasuki Hero untuk mencari pekerjaan dulu.

Di bagian dalam gerbang berjejer rapi pohon bunga wisteria, dan sekarang Hero berjalan menuju pohon raksasa yang berada di bagian luar gerbang, pohon ini masih berdiri kokoh sama seperti ketika kedatangannya pertama kali di Kota Gardraff. “Kau hebat bisa sekuat ini,” kata Hero menepuk-nepuk batang pohon. “Aku masih saja lemah seperti dulu, latihan hari pertama saja kondisiku sudah begini,” ujarnya lagi.

Sebenarnya Hero masih ingin ke perpustakaan, namun kata-kata Arion terus terngiang di benaknya. Ia berjalan-jalan pelan mengitari danau kecil di antara gerbang dan pohon raksasa. Saat nyeri di kakinya mulai terasa membaik, Hero pun melakukan pemanasan. Ia berlari-lari kecil, melakukan push up, sit up, back up, squat jump, dan melakukan gerakan lain untuk meregangkan otot.

Saat di panti asuhan, Hero cukup sering olahraga, hanya saja saat ia melakukan push up maka teman-teman yang lain akan duduk di atas punggungnya, lengannya kesakitan tapi lagi-lagi ia tak pernah mengeluh.

Sekarang ia cukup berkeringat hingga napasnya terengah-engah. “Mulai sekarang aku harus melatih fisikku,” ujarnya pada diri sendiri. Hero membulatkan tekad akan latihan di tempat ini setiap malam, sengaja tidak di area latihan atau di tempat lain di dalam kota, Hero tak ingin menjadi pusat perhatian terlebih dirinya yang saat ini masih belum cukup kuat.

Setelah ingin membuat seluruh penduduk kota dapat memandangi langit biru di siang hari dan menatap bintang-bintang bertaburan di langit malam, Hero juga ingin melindungi Kota Gardraff seperti Arion. Ia ingin melindungi senyum penduduk kota. Saat ia bersama Seema dan Leander berkeliling kota, para penduduk yang beraktivitas menyapa dengan ramah, Hero ingin melindungi mereka semua.

***

“Latihan sendiri di malam berikutnya jangan lupa membawa ini,” Atalla tiba-tiba muncul dan melemparkan sebilah pedang kayu pada Hero. Beruntung Hero refleks menangkapnya. “Kalau terus berlatih kau pasti bisa menjadi kuat, Hero,” ujar Atalla.

“Terima kasih, Ayah.” Hero tersenyum.

“Senang bisa mendengarmu memanggilku ayah tanpa ragu.” Ucapan Atalla justru membuat Hero tersipu. Seumur hidupnya baru kali ini ada orang yang bisa ia panggil ayah.

“Bagaimana Ayah tahu aku ada di sini?” Ia memberanikan diri untuk bertanya dan tak terdengar kaku. Atalla tak menjawab, namun kedua bola mata hitam kecokelatan miliknya hanya melirik danau di dekat mereka. Ia lalu tersenyum.

Berpikir sejenak, Hero kemudian paham bahwa Atalla mampu mengendalikan air. Kenyataan bahwa ia bisa menjadi putra lelaki bertubuh tinggi dan berwibawa ini sungguh menakjubkan bagi Hero. Di bahu lebar Atalla pastilah ada banyak beban yang dipikul, Hero ingin meringankannya.

“Hero, menurutmu bagaimana Kota Gardraff ini?” tanya Atalla.

Mendapat pertanyaan ambigu seperti itu, Hero terdiam sesaat. Ia sedang mengira-ngira, apa boleh jika ia menjawab dan berpendapat lebih jauh? Apakah pertanyaan Atalla ini adalah tanda izinnya agar Hero dapat leluasa bercerita? Entahlah, namun Hero ingin mencoba.

“Aku tidak pernah tinggal di lingkungan sebaik ini, Ayah,” jawab Hero dengan suara pelan namun penuh ketegasan. “Aku menyukai Gardraff dan penduduknya,” lanjut Hero lagi, “Aku yakin ada banyak orang yang ingin tinggal di tempat seperti Kota Gardraff, namun aku merasa memang ada yang kurang.” Hero menghentikan kalimatnya meski terkesan menggantung.

“Sesuatu yang kurang?” timpal Atalla.

“Benar, Ayah. Matahari, langit biru, bulan dan bintang, lalu musim semi, musim panas, musim gugur, dan musim dingin,” papar Hero. Di sebelahnya, Atalla hanya menarik napas berat, dan sorot mata itu seperti menyimpan rahasia ribuan halaman. Hero ingin mengoreknya satu per satu, ia sungguh ingin membantu Atalla melindungi Kota Gardraff.

“Ayah senang kau nyaman di sini, Hero,” ujar Atalla lalu berdiri, ia membelakangi Hero dan hendak beranjak pergi.

“Ayah!” panggilan dari Hero menghentikan langkah Atalla. “Sekarang aku memang lemah, tapi aku akan menjadi kuat demi melindungi kota dan semua orang di dalamnya, karena itu, Ayah ... beritahu apa yang bisa kulakukan?” Kata-kata yang selama ini tercekat di tenggorokan akhirnya bisa Hero katakan.

“Terima kasih, Hero ... Ayah harap kau bisa menjadi ksatria hebat. Teruslah tumbuh lebih kuat,” jawab Atalla. Namun rupanya jawaban itu tak bisa diterima Hero.

“Suatu hari nanti, aku pasti akan menjadi lebih kuat dari Ayah!” pekik Hero dengan suara bergetar, “Jadi, Ayah ... bagi bebanmu padaku, jika benar Ayah menganggapku sebagai anak,” tegas Hero. Ia masih berdiri di belakang Atalla, mendongak melihat kepala sang Ayah. Saat Atalla berbalik, mereka pun bertemu pandang. Empat bola mata yang memiliki warna serupa itu terbakar oleh problema yang berbeda.

“Melihat tatapanmu seyakin dan sekeras ini, entah kenapa Ayah merasa sedih,” ujar Atalla pelan. Sorot matanya iba namun bukan pada Hero. Tindakan berani yang baru saja Hero lakukan mengingatkan Atalla saat ia seusia Hero. Namun terlintas lagi detik-detik kematian ayahnya yang tak pernah Atalla lupakan.

“Baiklah, Hero! Ayah akan membagi beban besar padamu, dengan syarat kau harus lebih kuat. Jika nanti kau bisa mengalahkan Ayah, apa pun pertanyaan dan permintaanmu akan Ayah jawab dan Ayah wujudkan.” Setelah mengatakan itu dengan nada suara bak seorang pemimpin perang, Atalla pun beranjak pergi.

Kali ini, Hero tak menghentikan langkah Ayahnya. Sekarang Hero tahu bahwa ia harus menjadi pantas terlebih dulu sebelum memikul beban berat. Sekarang Hero paham jika ia ingin tahu lebih banyak lagi berarti Hero harus menjadi kuat untuk menampung kenyataan yang mungkin jauh lebih menyulitkan dari yang Hero bayangkan.

Dan andai nanti keadaan memaksa Hero menyerah, ia harus lebih gigih lagi sehingga keadaan sendirilah yang akan menyerah pada akhirnya. Bukan Hero. Terlebih sekarang ia yakin, nama yang diberikan Atalla bukan tanpa alasan. Hero yakin ada harapan besar yang diselipkan Atalla di dalam nama putranya.

“Tunggu saja, ayah! Aku pasti akan menyelami segala rahasia dalam sorot matamu,” lirihnya pelan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status