Share

Mimpi

Mereka bertiga berjalan pelan menuju istana. Hero mendongak melihat langit Kota Gardraff tak berubah sama sekali, masih tampak sendu seperti kemarin. Tak bisa membedakan siang dan malam di sini, para penduduk hanya dapat melihat jam seperti yang diajarkan oleh manusia yang pernah datang.

“Menjelang jam malam, apa ada tanda khusus di kota ini?” tanya Hero, mengingat sejak kedatangannya ke sini Hero belum pernah tidur. Otaknya terlalu sibuk memikirkan banyak hal sehingga ia selalu terjaga di kamarnya.

“Sebentar lagi kau akan melihat ada cahaya yang menyala,” jawab Leander. Dan benar saja, di depan rumah setiap penduduk menyala bola-bola api kecil berwarna ungu pucat.

“Itu ide adikku, dan ayah yang mewujudkannya,” ujar Seema dengan wajah bangga. Ia terlihat bahagia karena Genio bisa memikirkan ide cemerlang. Ini dimulai sejak Seema membakar habis tanaman Leander empat tahun lalu. Genio memang masih anak-anak, tapi menurutnya jika api bisa menyebar luas maka lebih baik benar-benar nyalanya disebar namun tetap dikendalikan.

“Dia jenius, tidak seperti kakaknya,” sindir Lean dan berhasil mendapat tatapan mengerikan dari Seema. “Oops!” kata Lean menutup mulutnya dengan tangan.

“Apa kalian belum pernah melihat matahari, bulan, dan bintang?” Hero mengajukan pertanyaan lagi.

“Jangankan matahari, bulan, dan bintang, saat langit memerah atau berwarna biru saja kami tak pernah melihatnya,” keluh Leander. “Tapi ada di buku, setahuku itu buku yang paling banyak dibaca anak-anak. Para guru di kota ini juga sering mendongeng tentang empat musim yang tidak pernah kami rasakan.” Dalam benaknya Leander juga ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi 16 tahun lalu, namun ia harus bersabar.

Kota Gardraff masih tampak memukau walau tak berbintang. Dalam belenggu sendunya langit ini, ada pula beberapa peri kecil dari bunga yang kemampuannya tak memudar, mereka menyebarkan cahaya kecil sehingga tanaman di kota ini dapat tumbuh dengan baik. Sayangnya kemampuan mereka tak bisa mengubah warna langit apalagi membuat matahari muncul. Mereka bahkan tidak bisa lagi bersuka cita merayakan pergantian musim.

“Oh iya, bagaimana dengan kekuatan ayahku?” meski Hero agak canggung menyebut Atalla dengan sebutan ayah, ia ingin menuntaskan rasa penasarannya yang satu ini.

 “Selain api ungu, ayahku bisa bergerak dengan cepat dan hebat dalam memanah. Sementara bibi Xalma, selain memiliki kekuatan yang dapat mengendalikan pohon dia juga terkenal karena keahlian meracik obat-obatan. Lalu paman Atalla ... ayahmu, Hero, dia petarung yang sangat kuat, dapat mengendalikan air, dan seperti yang kau tahu ... dia dapat memanggil manusia ke sini, dan mungkin ada kekuatan lain yang tidak kami ketahui,” jelas Seema. Ia kemudian melanjutkan, “Ayahku pernah bercerita, paman Atalla harusnya memiliki pedang keluarga Gladiolus, namun 16 tahun lalu pedang itu hilang. Aku bahkan sudah sekuat tenaga diam-diam mencarinya di setiap sudut kota ini,” ujar Seema.

Mereka kemudian sama-sama terdiam, sibuk dengan isi kepala masing-masing. Seema ingat dulu Atalla mendatangkan hujan buatan saat apinya menjalar nyaris tak terkendali. Dan Leander dalam diamnya masih digerogoti tanya tentang peri sekelas bangsawan seperti dirinya masih tak bisa terbang.

Sejauh ini dalam perkiraan Leander, kemungkinan terbesar yang terjadi adalah disebabkan pernikahan antara peri dan manusia sejak 16 tahun lalu. Mungkin ada perjanjian terikat sehingga kekuatan bangsa peri di Kota Gardraff banyak yang memudar, atau ada kekuatan lebih besar yang telah menyegel kemampuan setiap peri di kota ini hingga menjadi sangat terbatas.

Sementara itu, Hero hari ini bisa mengusir beberapa rasa ingin tahunya. Cerita dari Seema dan Leander selama mengelilingi kota pelan-pelan mulai mengikis rasa penasaran.

***

Seema dan Leander masuk ke istana, dan memutuskan untuk istirahat sebab keesokannya juga dipenuhi kegiatan penting. Mereka akan mengasah kembali kemampuan berpedang.

Hero awalnya ingin melangkahkan kaki untuk masuk, namun ia merasa butuh menyendiri saat ini. Berjalanlah ia menuju gerbang suci Kota Gardraff. Terpaan angin menggerakkan rambutnya, bunga-bunga wisteria juga bergerak pelan. Hero melihat satu pohon bunga yang tampak baru ditanam, di sanalah Seema menemukan cincin ruby merah.

Hero lelah, ia duduk bersandar di gerbang sambil memandangi pohon raksasa yang pertama kali ia lihat saat tiba di Gardraff. Dalam benaknya Hero berpikir keras tentang apa yang bisa ia lakukan untuk Kota Gardraff dan penduduknya. Ia tidak bisa apa-apa.

Saat dibendung rasa bingung seperti ini Hero takut jika kehadirannya hanya merugikan orang lain. Ia tidak ingin hanya menjadi beban dan hidup senang di sini. Jelas Hero harus melakukan sesuatu.

Hero membenarkan letak punggungnya yang bersandar di bagian dalam gerbang, rasa lelah pun membuatnya terlelap.

***

"Di mana ini? Apa aku terlempar ke dunia lain lagi?" Hero memicingkan mata kala semburat cahaya menyeruak di hadapannya. Ada seseorang di sana, tepat di balik cahaya, namun Hero tak mengenali perempuan berambut merah gelap yang berdiri membelakanginya.

Di sebuah tempat dengan dinding berwarna kuning keemasan itu, Hero merasakan kehangatan menjalari seisi hatinya, seperti sebuah pelukan perjumpaan dari orang yang sangat mencintai Hero.

“Hero, Hero ... bangunlah.”

Suara itu, Mana menepuk-nepuk pelan lengan Hero. Membuka mata, rupanya tadi Hero hanya bermimpi. Ia tak sadar sudah terlelap.

 “Ibu tidak bermaksud mengganggumu, tapi kenapa kau terlelap di sini?” Mana memancarkan aura keibuan dan amat perhatian, namun bukanlah Mana yang dilihat Hero dalam mimpinya tadi.

 “Maafkan aku, Ibu ... tadi kami berkeliling kota dan sepulangnya aku ke sini,” jelas Hero. Ia takut sekali membuat Mana khawatir, di sisi lain juga senang ada sosok yang kini mengkhawatirkannya.

Tiga istana di Kota Gardraff ini sudah berdiri sejak ratusan tahun lalu, masing-masing memiliki tiga lantai, tersedia belasan kamar yang mewah, dan banyak ruangan lainnya. Istana keluarga Gladiolus berdinding putih dan atapnya berwarna merah. Sementara istana keluarga Wisteria berdinding putih dengan atapnya berwarna ungu gelap, sedangkan istana keluarga Lupine juga berdiri kokoh dengan dinding putih dan atapnya yang berwarna hijau.

Dalam perjalanan ke istana bersama Mana, Hero masih tak tahu siapa perempuan yang tadi sempat singgah dalam mimpinya? Sontak langkah Hero terhenti ketika mengingat sesuatu, perempuan yang memiliki rambut merah gelap panjang dan bergelombang itu memakai cincin ruby merah di jari manis tangan kanannya.

Hero mengingat lagi, perempuan itu juga mengenakan gaun panjang berwarna perak dan memakai mahkota bunga. Tak ada sepatah kata yang terucap, bahkan Hero tak melihat wajahnya, hanya saja ada percikan bahagia saat ia melihat perempuan itu dari belakang. Besok Hero akan menemui Eireena untuk melihat cincin ruby merah lagi, barangkali ada sesuatu yang ia lewatkan.

Mengingat di siang hari mereka akan latihan berpedang, Hero harus mengunjungi perpustakaan pada malamnya. Sekarang ia memiliki misi yang perlahan mulai jelas, tentang hal-hal apa saja yang ingin Hero lakukan di Kota Gardraff. Bisa atau tidaknya, itu urusan nanti, yang pasti ia benar-benar ingin menyingkirkan langit sendu yang menyelimuti kota ini.

Hero ingin membuat seluruh penduduk kota dapat memandangi langit biru di siang hari dan menatap bintang-bintang bertaburan di langit malam. Seperti malam itu, malam yang Hero kira akan menjadi akhir hidupnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status