Share

15. Pertarungan Terakhir

Sayna marah, jelas saja tadi Danish berjanji untuk menyusulnya ke kantin dan yang terjadi adalah Danish tidak muncul sama sekali bahkan sampai bel masuk kembali berbunyi. Dan membujuk Sayna tidak semudah Danish menghaturkan maaf lalu memberi penjelasan sampai akhirnya mereka berbaikan. Tidak seperti itu.

Pertama kali Danish muncul ke kelas pun, saat Herdian masih di perjalanan menyusul guru mata pelajaran berikutnya, aura horor itu begitu menusuk. Kelas 2 IPA 3 sangat suram dengan diamnya anak-anak setelah kemunculan Danish yang dipelototi oleh Sayna hingga jam pelajaran berakhir. Horornya nyaris mengalahkan acara uji nyali Uka-uka dan Dunia Lain.

“Say,” panggil Danish untuk kali ke sekian, sebab gadis itu berjalan lempeng di sebelahnya, menganggap Danish sebagai makhluk kasat mata, tidak melihat atau mendengar suaranya. “Sayna gue minta maaf.”

“Minta maaf buat yang mana?” Gadis itu kontan berhenti sambil menolehkan kepala. “Buat berduaan sama Lianka kemarin atau buat hari ini karena lo ingkar janji dan main sama anak geng lo lagi?”

Danish mengerjap, beberapa anak perempuan memerhatikan dan Danish enggan kalau pembicaraan mereka didengar. Lantas dia menarik lengan Sayna lembut lalu membawanya duduk di bangku dekat taman sekolah, sementara Danish di hadapannya berdiri sambil menyelipkan jari ke sela-sela tas.

“Buat dua-duanya,” jelas Danish pelan. “Gue punya alasan buat dua-duanya, Say. Lianka kemarin kesorean, gue udah paksa dia naik taksi tapi dia nggak mau. Dan gue baru tahu kalau dia kayak gitu cuma buat ngucapin perpisahan aja, ngasih kita selamat dan janji buat ngedukung. Dan tadi itu—”

“Penting banget emang, Nish?”

“Apa?”

“Dukungan kayak begituan itu? Ngelakuin hal nggak penting kayak gitu itu?”

“Sayna...” Danish duduk di samping gadis itu. “Penting dalam kamus orang itu berbeda, yang menurut lo nggak penting belum tentu buat orang lain.”

“Dan lo merasa itu penting?”

Danish diam untuk beberapa waktu. “Sampai kemarin mungkin... iya.” Dia menganguk dan ada kilat luka di mata Sayna-nya, jelas bahwa gadis itu tidak suka mendengar kenyataan yang terlontar barusan. “Karena gue yang mulai, gue sering kasih mereka tumpangan, harapan, dan gue pikir Lianka bisa jadi akhir buat semuanya. Mewakili cewek-cewek yang gue perlakukan sama.”

Sayna menggelengkan kepala. “Terserah, Nish. Gue nggak ngerti sama jalan pikiran lo.”

“Gue janji kemarin buat yang terakhir kalinya.”

Sayna mengangkat wajah yang terus menunduk untuk menatap ujung sepatu sepanjang mereka berbincang dan menoleh ke arahnya, menatap Danish lekat-lekat, dan yang baru Danish sadari bahwa bola mata Sayna berwarna cokelat, cantik dan menghanyutkan. Untuk beberapa nano detik matanya membawa Danish menyelam, dan sudut bibirnya tertarik membuat sebuah lengkungan yang ternyata menular ke bibir Sayna. Gadis itu tersenyum, tiba-tiba saja, seperti terhipnotis.

“Dan buat geng Kobang?” tanyanya kemudian.

“Tadi gue ngobrol lumayan lama karena minta keluar,” jelas Danish pelan. Sejujurnya, masih ada perasaan tidak rela di sudut hati yang susah sekali dia ungkapkan. Sayna mungkin tidak tahu bahwa geng Konoha tidak seburuk reputasinya. “Tapi ada beberapa hal terakhir yang harus gue lakukan sebagai tanda perpisahan.”

“Apa?” Sayna mengerutkan alis.

Danish membuang pandang, memilih untuk tidak menjawabnya sebab dia yakin bahwa Sayna tidak akan setuju pada hal itu. Mereka diam untuk beberapa waktu, membiarkan beberapa orang berbisik untuk menggunjingkan keduanya, dan Danish terpaku saat bertatapan dengan Angga, Aryan juga Oliv dari jauh. Angga menyunggingkan senyum dan mengacungkan ibu jari ke arahnya, Aryan tetap jadi patung, sementara Oliv melambaikan tangan.

Memikirkan bahwa dirinya harus jauh-jauh dari sobat kentalnya itu membuat sesuatu di balik tulang dadanya berdenyut. Aryan dan Angga teman Danish sejak dulu sekali, orang yang sudah tahu borok-boroknya, yang tidak pernah meninggalkannya. Tapi... bukankah sesuatu yang kita anggap baik tidak selalu memberi efek baik juga?

Pemuda itu menoleh ke samping dan mendapati Sayna masih terus menatapnya sejak tadi, orang ini yang akan membawa Danish ke jalan yang benar. “Yuk, pulang! Michiko udah nungguin mama sama papanya naikin dia buat kali pertama.” Danish bangkit duluan sambil menjulurkan tangan, meminta Sayna ikut dengannya. Tapi bukan Sayna kalau gadis itu menurut begitu saja.

“Sekali lagi lo pake perumpamaan mama dan papa gue slepet lo, Nish,” ucapnya dengan wajah cemberut sedangkan di sebelahnya, Danish tertawa heboh.

“Kan lucu sih, Say. Anak-anak SD aja pacaran udah pake ayah bunda, kita jangan mau kalah dong!”

“Terus kalau kita putus nanti jadi janda sama duda?”

“Emang sekarang kita udah jadian?”

Sayna mendadak menghentikan langkah, dan Danish suka ekspresi tertangkap basah yang membayang di mata gadis pujaannya itu. Dia mendecih pelan, Danish lagi-lagi tertawa, lalu keduanya berjalan dengan tenang ke arah parkiran.

“Tapi, Say, gini lho.” Danish membuka kembali percakapan mereka sambil berjalan di sebelah gadisnya dengan riang. “Masa kita belum jadian aja udah ngomongin putus sih? Jangan jadi janda sama duda dong, siapa tahu nanti kita jadi mama papa beneran, iya nggak?”

“Bacot lo, Nish.” Gadis itu melengkungkan senyum tertahan di bibirnya.  

Danish menyengir. “Pernah nggak, Say, lo kepikiran jodoh lo lagi apa sekarang?”

“Nggak,” jawab gadis itu datar tanpa terlihat peduli atau apa.

“Kok gitu?”

“Ngapain gue kepikiran kalau gue tahu dia lagi ngapain aja sekarang.”

“Hm?”

Danish tertinggal di belakang, sebab Sayna meneruskan langkah dan tidak terlalu peduli pada apa yang telah diucapkannya barusan. Sementara di sisi lain, Danish memeras kerja otaknya mati-matian, menarik ulur kesimpulan, sebelum bola lampu di atas kepalanya menyala dan memberi pencerahan bahwa Sayna barusan membalas gombalan yang gagal Danish selesaikan.

“Ah... Saynaaaa!” pekiknya dengan aura super bahagia sementara yang namanya dipanggil berlari cepat ke parkiran sambil menutup wajah.

Jadi, mereka berdua kejar-kejaran ala film India dari jalan setapak taman sekolah sampai menuju tempat parkir, dengan Danish yang terus meneriakkan nama Sayna sambil merentangkan tangan ala Shakrukh Khan, sementara Sayna terus membalasnya dengan berbagai kalimat penyangkalan.

“Gue nggak kenal, gue nggak kenal sama ini orang!” tegasnya kemudian dan malah memancing tawa setiap orang yang menyaksikan.

ªªª

Sayna: Nish, nanti sore kita mulai belajar bareng. Gue tunggu di Crematology.

Sial. Danish menepuk jidat tatkala mendapati pesan itu saat dia baru membuka ponselnya pagi ini. Bagaimana caranya mengatur jadwal sekolah, tawuran serta belajar tambahan? Hari ini adalah jadwalnya menyerang anak-anak Zamrad demi seutas tali kutang. Danish sudah berjanji pada teman-teman gengnya, dia tidak mungkin ingkar.

Dan Sayna... mana mungkin lagi dia menolak ajakan gadis itu. Jangankan menolak, justru hal itu yang sangat Danish tunggu-tunggu. Dia sangat menantikan hari di mana Sayna bersedia mengajaknya jalan-jalan berdua tanpa embel-embel tidak sengaja bertemu. Jadi, Danish harus bagaimana sekarang? Dia galau berat.

“Gue bawa motor aja,” ucapnya dengan alis berkerut, khawatir orang-orang ini akan mencurigainya untuk bisa kabur. “Gue ada pelajaran tambahan, jadi harus cepet-cepet kabur setelah bikin musuh babak belur.”

Aryan di hadapannya mengernyit. Penyerangan akan dilakukan pukul 2 siang, dan matahari pukul segitu sedang gencar-gencarnya. Sementara di hadapan mereka sekarang berdiri seorang Danish Adiswara yang tumben-tumbenan tidak takut pada matahari dengan menolak naik mobilnya siang bolong begitu. Apa ini bisa dijadikan catatan baru untuk rekor MURI?

“Pokoknya, habis jumatan kita ngumpul lagi, jangan lupa pada makan siang dulu, isi energi.” Randy Tanjung—yang biasanya tidak pernah ikut lagi kali ini kembali mengambil posisi sebagai ketua geng. Dia mengajak serta beberapa anak kelas 3 yang dulu sempat aktif dan bergabung di garda terdepan Konoha.

“Oke gini.” Angga mengajak para ninja dari kelas 2 untuk berembuk ke arahnya setelah selesai mendengarkan instruksi dari anggota geng senior. “Kita ke Bulungan, soalnya Zamrad paling deket ke daerah sana. Paling enak kalau digiring ke arah belakang blok M, gue nggak tahu Tanjung bakal negoisasi atau enggak, jadi kita siap-siap aja.”

Danish mendengarkan dengan seksama meski debar dalam dadanya tak keruan. Dia bisa saja mati konyol hari ini, tawuran di daerah Blok M bukan main, polisi bisa dengan cepat meringkus mereka semua, dan dirinya tidak bisa bergabung dengan para Hokage. Danish harus menyiasati diri untuk berbagai kemungkinan di lapangan sebab dia akan kabur dengan motornya sendiri.

Aryan menjelaskan strategi seperti biasanya. Menandai titik-titik di mana mereka menyimpan kendaraan dengan aman, dan ke mana arah lari paling masuk akal dibanding berhambur tak keruan. Berdasarkan pengamatan, jika situasi tawuran segera diendus oleh polisi terdekat, mereka hanya punya waktu sekitar 8 menit untuk bertarung dengan tenang sebelum adegan kejar-kejaran.

 “Heh, ulet keket, urusan kita belum selesai!” Suara teriakan Tanjung terdengar menggema ketika Agung cs bermunculan dari pasar Blok M ke arah mereka. Di tangannya, Andre dan Rian terjinjing dengan wajah bonyok serta seragam sekolah berantakan, sepertinya pancingan mereka gagal.

“Lain kali kirim umpan yang gesit.” Agung menyengir dengan gigi rebondingan dan senyum cerah berkilau yang dipantulkan sinar matahari. Lalu gerombolan berbaju hijau itu mendorong Rian dan Andre ke hadapan Randy, keduanya babak belur.

Belum apa-apa saja mereka sudah kalah dua.

Danish, Aryan dan Angga berdiri di belakang mobil, menunggu kapan komando serangan itu bergaung dari Randy hari ini, sebab pertarungan yang sekarang adalah perjuangan untuk tali kutang pacarnya Randy, jadi biarkan dia yang memimpin.

“Gue tadinya nggak akan ngasih ampun.” Randy Tanjung memulai negoisasi tahap berikutnya setelah berhasil mengamankan 2 anggota geng yang terluka bahkan sebelum tawuran sempat dimulai. “Tapi berhubung kita masih bisa ngomong baik-baik, ada niatan buat sujud di kaki gue nggak hari ini?”

Agung dan teman-temannya tertawa sumbang. “Kalau ini perkara tali kutang, mumpung kita di pasar nih, lo pilih sendiri mau kutang yang modelan gimana buat gantiin punya pacar lo kemaren itu. Biar gue beliin dua biji, mayan buat gonta ganti.”

“Bangsat!” Randy memekik. “Kita SMA Nyusu menentang segala bentuk pelecehan terhadap susu maupun antek-anteknya.”

“Goblo, malu gue.” Danish, Aryan dan Angga di belakang mobil merosot turun setelah mendengar ocehan komandan tawuran mereka hari itu. Ini adalah alasan dan penyebab tawuran paling memalukan seumur hidup.

“Si Tanjung pake dijelasin segala lagi.” Angga menimbrung.

“Semangat ya kalian, para pembela tali kutang.” Aryan menyeringai, karena dia biasanya memang tidak pernah ikut turun. Tidak mau capek, kotor, panas dan berkeringat, masih mending Danish yang melakukan perawatan dulu sebelum bertarung.

“Pasukan ninja Konoha siap-siap!” Randy buka suara yang refleks membuat 3 pemimpin Konoha dari SMA Nyusu itu bangkit dari tempat berjongkoknya barusan. Kepala mereka menyembul dari bagian atas kap mobil yang parkir menyamping, ketiganya berjejer seperti tangga, yang membuat senyum Randy melebar hingga ke telinga. Merasa bangga karena memiliki ninja hebat di kubunya.

“Bawa pasukan lo juga tetep kalah jumlah, nyet!” Agung meludah ke samping. “Bawanya yang itu-itu mulu lagi, cowok-cowok bedakan.”

Agung tentu langsung menunjuk Danish, karena siapa yang siang bolong begini wajahnya putih pucat seperti kesemek kering?

“Bedakan juga mereka udah numbangin anak-anak lo berapa kali?” Randy menyombong dan tersenyum ke arah ninja juniornya.

“Ini masih lama?” tanya Danish, sebab dia sudah bersiap sejak tadi dan belum ada tanda untuk maju dan berkelahi.

Orang-orang yang berada di dekatnya segera menoleh, termasuk Angga dan Randy. “Kan kita ngasih lo waktu buat ritual dulu, nyet! Buruan elah, gue nggak tahu mesti ngomong apaan lagi,” bisik Randy kepadanya.

“Dih, udah nih gue udah siap tinggal nyerang doang,” balas Danish ikut berbisik.

“Heh!” panggil Agung dari seberang mereka. “Lagi pada ngapain? Ngeper liat jumlah kita semua?”

“Anjeng!” umpat Angga sembari membanting kemasan nabati-nya ke kaca mobil yang terbuka. Di hadapan mereka sekarang, bukan hanya anak berseragam hijau ala ulet keket khas Zamrad, tapi anak-anak SMK Penerbangan juga turut bergabung, memberi kerabatnya bantuan.

“Sial, kita harus berantem mati-matian sekarang.” Aryan juga ikut mengumpat, padahal dia biasanya diam aja.

“Nish, udah siap, kan? Sunblock SPF 55 udah dipake semua?” Angga meraba-raba wajahnya yang separuh tertutup masker, menepuk-nepuk pipi Danish pelan. “Oke, udah. Lengket kayak peju biasanya.”

“Monyet,” umpat Danish dari balik masker. “Bang Randy, buruan! Gue udah siap!”

Randy di hadapannya mengangguk dan kembali membelakangi mereka, lalu pemuda itu mengacungkan tangan ke udara, disusul dengan suara Angga yang bergema setelahnya dan langkah Danish yang maju paling dulu setelah melihat aba-aba.

“Serang!”

Teriakan itu bergaung di udara, Danish langsung melayangkan pukulan dan tendangan setelah peregangan singkat saat berlarian menuju kubu lawan. Ini akan jadi pertarungan terakhirnya, akan jadi penampilan terbaiknya dan Danish akan melakukannya dengan sepenuh jiwa. Masa bodoh dengan alasan mereka bertarung adalah karena tali kutang yang ditarik dengan lancang, tapi kehadiran SMK Penerbangan sebagai bala bantuan untuk Zamrad justru membuat adrenalinnya terpacu makin tinggi. Danish menghajar anak-anak itu dengan jurus membabi-buta.

“Kostum lo bagus, Nish.” Oliv di sebelahnya berkejaran dengan balok di tangan. “Udah kayak ninja betulan.”

“Tengkyu,” ucap Danish sambil tersenyum senang meski tangan dan kakinya bergerak liar untuk menghantam lawan.

Dia terengah untuk beberapa saat, merasakan nyeri di bahu kanan sebab pukulan helm dari Zamrad sempat mengenainya. Danish melihat ke sekitar, Angga dan Aryan ikut turun ke lapangan, karena jumlah lawan mereka dua kali lipat dibanding biasanya, Konoha tidak perlu siasat, mereka hanya harus turun dan bertindak.

“Agung!” teriak Danish seperti biasa, mencari musuh bebuyutan sekaligus lawan legendarisnya. Dia masih merasa belum menang kalau gigi tonggos Agung belum ada yang patah atau pun goyah.

“Nish, di sini!” teriak Anggun dari sebelah kirinya.

Danish menyeringai dan berlari memecah kerumunan di sebelah kiri, pertarungan mereka kali ini cukup gila, Danish tidak bisa membayangkan bagaimana kacaunya nanti saat polisi datang, tapi dia tidak peduli, selama Agung belum tersentuh tangan itu artinya dia belum selesai.

“Kena lo!”

“Bego! Ini gue!” teriak Ricky yang jadi korban salah sasaran Danish barusan.

“Eh, sori-sori.”

“Makanya tu masker buka, Nish! Ketutup kan mata lo.”

“Masker buat nutup mulut sama hidung, bego.”

“Danish buruan! Ini gue pegangin!” teriak Anggun sekali lagi dengan tubuh tinggi besarnya yang memegangi kerah belakang Agung hingga lawan mereka itu menggantung seperti anak monyet dijinjing induk gorila.

Bugh! Danish memutar tumit dan berjinjit dengan satu kaki untuk melayangkan tendangan tepat di leher Agung dan pemuda tonggos dekil itu terjerembab. Danish seolah ditarik ke era pertarungan sebelumnya, dia menduduki Agung setelah sempat menginjak perut lawannya itu hingga Agung memekik kencang.

“Lain kali jangan cuma tali kutang, tali jemuran lo tarik sekalian.”

Bugh! Pukulan demi pukulan dia layangkan ke wajah Agung, di sekitarnya ada Anggun dan Ricky yang sibuk menghalau anak buah Agung untuk mendekat. Danish begitu bernafsu untuk setidaknya mematahkan dua gigi lawan sebagai kenang-kenangan di pertarungan terakhirnya, sebelum Agung memekik kencang setelah darah dan ngilu di tangan Danish semakin menggila.

“Bukan gue!” teriak Agung, setengah merengek, setengah lagi memohon ampun. “Bukan gue yang narik tali kutangnya.”

“Siapa?!” Danish balas berteriak. “Temen lo yang mana?”

“Guntur,” jawab Agung sambil meringis ngilu.

“Cuma satu doang?” Danish tidak langsung percaya. “Satu orang doang yang narik talinya?”

“Ya iyalah bego kalo yang nariknya sekompi itu cewek udah kayak diseret arus tsunami.”

Bugh!

“Si tai masih aja berani sama gue.” Danish tersenyum senang saat salah satu dari gigi ikonik Agung melonggar dan mengeluarkan darah segar. “Satu lagi.”

Bugh!

“Itu buat Oliv yang kapan hari lo serempet pake motor pagi-pagi,” ujarnya dengan cengiran lebar serta membuka masker yang menutup wajahnya sejak tadi. “Lo harus inget gue, Danish.” Pemuda itu mengedip genit sambil menepuk dada dan bangkit. “Nanti gue ganti biaya implan gigi,” ujarnya terakhir kali.

“Danish!” teriak Agung sesaat setelah Danish bangkit dari atasnya dan berjalan menjauh. “Jauh-jauh sama yang namanya Danish!”

Tawa Danish dan sebagian anak Konoha yang mendengarnya menggelegar di udara, sudah jadi rahasia umum kalau Danish bisa menggila seperti zombie di Train to Busan andai melihat sedikit saja ada luka di ujung kulitnya. Dan sekarang buku jarinya berdarah, memar-memar karena bekerja keras memukuli gigi Agung barusan.

“Hokage pertama, Danish lukaaaa!” teriak anak-anak gengnya saat melihat Danish berdiri terpaku sambil memandangi punggung tangan yang memar.

Dan seperti biasa, seseorang yang paling cerdas mendinginkan emosinya di lapangan sudah datang, lari tergopoh-gopoh lalu menarik tangannya yang terluka. “Itu droplets,” kata Angga dengan plester baru yang dia ambil dari saku. “Awas lo hati-hati kena virusnya Agung.”

Danish tertawa. “Gue harus karantina mandiri dua minggu.”

“Fiyuh!” Angga meniup plester yang sudah dia tempel di tangan Danish. “Udah tuh,” ujarnya dengan senyum tersungging di sebelah bibir. “Selamat bertarung buat yang terakhir, Nish! Gue bakal kangen lari-larian nempelin plester luka pas tawuran.”

Mungkin suasana saat ini tidak ada romantis-romantisnya, tapi Danish tersentuh, dia tersenyum lebar sebelum kembali mengacungkan tangan di udara dan berteriak untuk melakukan penyerangan berikutnya. Mencari Guntur, biang keladi dari semua pertarungan ini. Mencari tersangka penarik tali kutang yang lancang sekali menghina SMA Nyusu secara tidak langsung.

“Nih, orang yang lo cari!” Aryan si patung hidup manekin pajangan Pasar Tanah Abang mendorong seseorang yang sudah tergolek lemah ke hadapannya. “Belum mati dia,” jelas pemuda itu melihat Danish melongo kebingungan.

“Lha, Yan?” Danish refleks melawan ketika ada serangan datang ke arah mereka, sementara di belakangnya, Aryan menginjak seseorang yang Danish anggap sebagai Guntur sambil memainkan ponsel dengan kedua tangan. “Woy, Yan!” panggil Danish melolong sebab Aryan melakukan hal yang tidak sepatutnya dia lakukan di tengah suasana tawuran.

“Gue disuruh berangkat les Bahasa Inggris sama nyokap,” decaknya dengan sebelah kaki menekan seseorang yang dia tahan di bawahnya. “Gue nggak bisa lama-lama.”

“Lha, iya gue juga!” pekik Danish tak fokus karena dia sibuk menghalau datangnya balok kayu serta senjata ramah lingkungan lain yang nyaris mampir ke badan.

“Sial!” decak Aryan sambil menendang dan berputar di sebelahnya hingga Danish bisa mengambil napas dengan tenang selama 2 detik. “Kapan sih polisi datang?” Dia menggerutu tidak senang.

Sejak kapan ada anak yang hobi tawuran tapi malah menantikan kedatangan polisi untuk membubarkan pertarungannya?

“Sampai kita menang,” ujar Danish dengan napas terengah. Di hadapan mereka, anak-anak SMK penerbangan berjatuhan dan menggelepar seperti lele kehabisan air. “Sampai kita semua bisa lari dan Zamrad sialan itu ketangkep semua.”

“Sinting lo!” umpat salah satu dari anak-anak itu dan sebagiannya lagi berlarian setelah Danish mendaratkan kaki di bokong mereka satu persatu.

“Lemah!” teriak Danish dengan senyum mengembang di wajah.

Pertarungan mereka berlangsung sengit, bagaimanapun hebatnya geng Konoha, tapi mengingat jumlah mereka yang terlalu sedikit membuat Danish dan para ninja hebat di gengnya kelelahan setengah mati. Satu dari mereka melawan setidaknya 3 orang sekaligus bertubi-tubi, beberapa anggota geng sendiri sudah banyak yang luka dan babak belur, hanya sebagian kecil yang masih memiliki wajah mulus dan kulit tak terkena lecet sedikit pun.

“Poli... si,” kata Tanjung terengah dengan ponsel yang dia tunjukkan di tangan kanan. “Polisi mau datang.” Senior Danish itu tertawa setelah mengatakannya. “Lari lo semua!”

Danish melongo, sempat membiarkan beberapa kali tubuhnya terkena pukulan benda tumpul, sementara Aryan sudah berlarian menuju tempat di mana mobilnya terparkir. Dan suasana di medan tempur sama sekali belum stabil, sebagian besar masih melakukan baku hantam yang tersebar di berbagai sudut.

Guys, polisi!” pekik Angga di tengah-tengah. “Lari!” teriakannya menggema dan membuat semua peserta tawuran dari dua kubu berpencar, terpecah belah, termasuk Danish yang kali ini tidak ikut mobil Aryan dengan Angga.

Dia buru-buru berlari sambil melepas jaket dan masuk ke gedung pasar Blok M, menuju parkiran tempat Michiko dititipkan. Jarak blok M ke Crematology hanya 3,4 kilometer saja, harusnya bisa ditempuh dengan waktu 7 menit melalui jalan Gunawarman. Danish ingat kalau Sayna menunggunya di sana. Tapi sebelum itu dia harus membersihkan diri, ganti baju kalau bisa, karena Sayna pasti akan menanyakan banyak hal padanya. Banyak sekali hal.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status