Share

14. Mengakhiri Perjanjian

Koridor kelas 3 adalah sarang penyamun. Bukan hanya para siswa laki-lakinya yang menyebalkan dan suka mengatai Danish sok ganteng dan macam-macam, para siswi perempuannya pun tak kalah mengerikan. Kalau anak kelas 1 dan kelas 2 paling hanya meneriaki Danish tiap dia lewat dengan berbagai pujian, maka kelas 3 berbeda. Mereka bahkan nekat menyeret Danish ke kelasnya lalu diarak keliling koridor untuk dipamerkan, diajak selfie bersama, bahkan ada yang terang-terangan minta cium, minta jadi pacar sehari juga ada.

Danish gila tiap melewati koridor itu.

“Bang buruan ada apa?!” Suara Danish menyentak Randy yang tengah duduk di hadapannya sambil memainkan ponsel dengan satu kaki terangkat ke atas meja. Tadi dia menyuruh Danish ke markas, tapi tahu-tahu sekarang menyuruhnya ke kelas. Dasar penyamun kurang ajar!

“Bentar, bentar, elah!” Randy menekan tombol di bagian samping ponsel baru setelah itu menatap Danish. “Lo ke mana aja? Anak-anak bilang lo udah beberapa hari nggak ngumpul di markas, bahkan Hokage-hokage aja nggak ada yang tahu lo ke mana.”

“Buset, ya gue di kelas lah, Bang. Capek gue naik mulu ke markas tuh di lantai 5. Kelas gue di lantai 2. Gila aja kan gue kali-kali istirahat lah.” Danish membual alasan.

“Yakin?” Randy Tanjung memiringkan bibir. “Bukan karena sesuatu yang lain, nih?”

“Sesuatu yang lain apaan, elah?”

“Lo nggak ada niatan buat berhenti dari keanggotaan ninja Konoha, kan?” Di sekolah ini, bisik-bisik dengan angin pun bisa terdengar dengan cepat. “Nish!” bentaknya, dan Danish terperanjat.

“Ada, Bang.” Danish menjawab jujur. “Gue kan bentar lagi mau ujian.”

“Gue yang mau ujian,” sangkal Randy buru-buru. “Nih, ya sejak lo sama temen-temen lo itu gue kasih wewenang di sekolah ini, kita semua aman, kita selalu menang. Lo gue angkat jadi Hokage juga bukan tanpa alasan, Nish. Lo yang terkuat di antara semua ninja yang pernah gue kenal. Apa jadinya kalau lo keluar?”

“Gue keluar nggak akan tiba-tiba bikin pasukan kita lemah lah, Bang.” Danish menyangkal juga. “Masih ada Angga, Aryan, Oliv, Anggun, Andre, Ricky, Rian...” Danish menyebutkan nama teman-teman yang paling dia ingat saat bertarung di garda terdepan bersamanya. “Mereka semua hebat.”

“Si Angga yang tiap tawuran cuma nontonin sambil makan nabati itu? Si Aryan yang nggak ada tampang-tampangnya jadi tukang gelud? Dan banci-banci kayak Oliv sama Anggun? Yang lainnya gue nggak kenal, Nish. Dan di antara orang-orang ini cuma lo yang paling bener kalau bertarung.”

Mimpi apa Danish terjebak dalam kebanggaan tidak penting ini? Awal mula geng sekolah terbentuk adalah ketika mereka baru saja menyelesaikan masa orientasi, dan Randy Tanjung sebagai ketua yang berkuasa saat itu merekrut semua anak potensial. Termasuk di dalamnya Danish, Angga dan Aryan yang memang sudah saling kenal sejak dulu.

Masa kejayaan Randy adalah neraka. Dia senang memalak dengan alibi uang keamanan, padahal jelas-jelas keamanan sekolah mereka diserahkan kepada sekuriti, kenapa juga perlu membayar sejumlah uang pada Randy?

Namun menjelang pertengahan tahun, Randy menyerahkan kedudukan, dia jadi pemantau, tugas-tugas ketua diemban oleh Danish dan kawan-kawan. Tidak ada yang benar-benar jadi ketua sungguhan, karena kekuatan anggota baru cenderung imbang. Jika Danish paling jago di lapangan, maka Angga hebat menyuarakan seruan dan penggerak serangan, sedangkan Aryan banyak bertindak sebagai penasihat serta pengatur strategi perang.

Sejak tiga Hokage baru berkuasa, pergerakan geng mereka senyap dan tidak terendus pihak keamanan sekolah. Tidak ada palak-memalak uang. Semua anggota wajib membayar uang kas untuk berbagai keperluan dan dipegang oleh Anggun sebagai bendahara Konoha. Meski beberapa anak yang punya uang lebih harus membayar lebih besar demi menyumpal mulut Randy agar orang itu tidak mengganggu ketenteraman lagi.

“Lo tahu adik kita kan, Nusantara Dua?”

Danish mengangkat kepala. Sialnya lagi, sekolah ini berdiri beberapa cabang di bawah naungan yayasan yang sama. Jika mereka Nusantara Satu alias Nyusu maka tentu saja ada Nusantara Dua sebagai adiknya. Bodohnya, sekolah-sekolah musuh kadang melakukan serangan salah sasaran kepada siswa Nusantara Dua karena seragam yang mereka pakai sama persis. Dan sayang sekali, di sana tidak terdapat geng atau apa, maka tugas Konoha juga melindungi adik-adik dari sekolah yang satu yayasan dengan mereka. Sial.

“Kenapa, Bang?” tanya Danish malas-malasan. “Salah sasaran lagi Zamrad?”

“Nggak, mereka sengaja nantang,” ucapnya serius. “Besok kita nyerang. Kali ini gue ikut.”

Danish mengernyit heran, Randy Tanjung sudah hampir setahun tidak pernah terjun ke lapangan. “Kalau lo turun gue nggak ikut, ngapain kan? Ada lo udah pasti menang.”

“Nggak bisa gitu dong, Nish!”

“Bisa.” Danish bersikeras. “Udah ya, gue balik ke kelas.”

“Nish, ah! Woy! Gue nggak bisa stay lama, kan gue mesti belajar buat ujian. Woy! Danish! Gue udah kelas 3, woy!”

Danish tidak menggubris, dia memanjangkan langkah di koridor para penyamun itu dan menutup telinga rapat-rapat seolah tidak mendengar apa pun. Anggap saja semua teriakan itu adalah lebah berdengung, atau nyanyian putri duyung terkutuk di laguna yang suka menggodai para pria patah hati untuk dijadikan makan malam.

Karena lift penuh, Danish berbelok ke kanan menuju tangga, tetap mengabaikan jerit-jerit mengerikan yang bergaung, dia harus menuju markas, Angga dan anak geng Konoha pasti ada di sana. Mereka perlu meluruskan sesuatu.

“Nish!” Hamam tahu-tahu muncul dari arah tangga dan tengah naik menuju ke arahnya. Di sebelah kanan pemuda itu terdapat plastik teh es manis ala Mpok Jenab, penjual es teh legendaris di kantin sekolah.

“Ngapain lo ke sini?”

“Ngejemput lo, sekalian bawain minum.” Hamam mengacungkan plastik es teh cap Mpok Jenab berisi es batu itu ke udara yang tentu saja membuat Danish kebingungan setengah mampus.

“Mana es teh-nya?”

Hamam cengengesan. “Gue kan ke sini naik tangga tuh, terus di perjalanan nan terjal dan mendaki itu gue haus, jadi gue minum deh es teh-nya.”

“Sampai habis?” tanya Danish.

“Iya.” Hamam menyengir polos.

Danish menggelengkan kepala, kadang berteman dengan sesama idiot juga membuatnya lelah. Dia tidak banyak menggubris dan berlarian menuruni anak tangga, Danish harus kembali ke gedung sebelah—tempat kelasnya berada dan naik ke lantai 5 menemui para anggota geng sebelum bel masuk berbunyi.

“Nish, lo mau ke mana buru-buru amat?” Hamam di belakangnya menyusul tergopoh-gopoh. “Sayna nungguin dari tadi.”

“Sial!” umpatnya kesal, ingat pada gadis itu dan janji-janji yang sudah dia ucapkan namun belum dia tunaikan.  “Bilang sama dia gue ada urusan.”

“Urusan apa? Ke mana? Sama siapa? Sampai kapan selesainya? Ngapain aja? Gue mesti laporan ke Sayna, Nish!”

“Sejak kapan lo jadi kacung dia?” tanya Danish emosi.

“Sejak barusan, sejak dia janji mau ngasih gue contekan tiap ulangan.”

“Gampangan banget lo.”

Danish berlari meninggalkan Hamam, menuju lift di gedung kelas dua dan melesat meninggalkan teman sekelasnya itu demi menuntaskan perasaan gondok dalam dadanya sekarang. Dia tidak peduli harus berdesakan dalam lift, terus mengabaikan jerit-jerit dan sapaan, konsentrasinya terpecah belah.

Dan sekarang dia sampai di markas, ruang penyimpanan alat-alat olahraga yang jarang dipakai untuk berkegiatan. Di sana, sudah ada Anggun, Oliv, Andre, dan Angga. Sisanya anak kelas 1 yang tengah push up, mungkin mereka melakukan keisengan fatal.

“Masih inget jalan ke sini, Nish?” Angga yang paling dulu menyapa. Seperti biasa, dia memegang Nabati SIP kemasan jumbo di tangan kanannya, menikmati camilan nenek-nenek itu dengan santai, berdiri di antara adik kelas mereka dengan tinggi badannya yang tidak seberapa.

“Siapa yang ngaduin ke si Tanjung kalau gue jarang ngumpul?” Danish langsung menanyakan maksudnya tanpa aba-aba, tanpa memperdulikan pertanyaan Angga sebelumnya. “Aryan yang kalau nggak diseret, nggak gue ancam pake santet aja jarang banget ke sini nggak masalah tuh, kenapa harus banget giliran gue diaduin ke manusia sebiji itu?”

“Weh, tenang dulu, tenang. Kenapa Hokage ketiga marah? Ayo, duduk dulu, duduk.”

“Diem!” bentak Danish pada Oliv yang barusan menggodanya. “Ga, jawab.”

“Gini.” Angga meletakkan camilan favoritnya itu dan menjilati jari-jari tangan sebelum mendekati Danish yang tengah murka.

“Kita semua sepakat nggak akan lagi ngelibatin anak kelas 3.” Danish menyela.

“Ih, bentar dulu kambing! Kan ini gue mau jawab,” jelasnya sambil berjinjit dan menepuk bahu Danish agar pemuda itu bersedia duduk dan Angga tidak sakit leher karena mendongak terus menerus. “Jadi, tadi tuh manusia ke sini, dia minta kita nyerang emang. Ada gangguan ke Nyusda, dan... kebetulan lo nggak ada. Jadi ya, kita jawab aja seadanya.”

“Jawab apa?” tanya Danish penasaran.

“Kalau lo udah beberapa hari nggak ikut ngumpul.”

“Kenapa dia nggak sekalian nanyain Aryan dan panggil Aryan ke sarang penyamun itu?”

“Karena Aryan udah biasa jarang ikut kumpul.”

“Tai!” umpat Danish kesal. Dia sendiri tidak tahu kenapa tiba-tiba jadi sangat kesal. Mungkin karena sendirian dipanggil ke kelas 3, atau mungkin karena Angga tidak membelanya di depan Tanjung, atau... sesederhana karena dia sudah ingkar janji pada Sayna hari ini meski sesungguhnya Danish tidak sudi melakukan itu.

“Gue denger Aryan hari ini bawa mobil. Mau nyerang?” tanyanya lagi, mengingat gosip yang disampaikan Hamam pagi ini.

“Nggak, nggak.” Angga mengibaskan tangan. “Ban motornya bocor jadi dia bawa mobil. Besok kita nyerang, di bawah pimpinan Tanjung.”

“Najis gue nggak sudi.” Danish menolaknya buru-buru.

“Nish, lagi PMS, ya? Marah-marah mulu,” tanya Oliv yang baru selesai menghitung push up untuk anak-anak kelas satu dan menyuruh mereka bubar dari hadapannya.

“Marah dia, kayak burung dalam sangkar. Pengin terbang bebas tapi ditahan sama pawangnya.” Anggun tertawa dengan mulut terbuka seperti kudanil gila. “Yang mana pawangnya, Nish? Yang suka lo jajanin Teh Kotak, ya?”

Danish ingin sekali menendang Oliv andai dia tidak ingat bahwa pemuda itu baru saja diserang dan diserempet motor oleh musuh mereka.

“Cemen!” Angga di sebelahnya ikut tertawa. “Lemah amat perasaan, disetir cewek aja lo manut, Nish. Gue denger dia anak taekwondo, harusnya kalau jadian sama dia kita ada perekrutan anggota lah! Ajakin tawuran bareng, lumayan kan kita dapat tambahan tenaga.”

“Anjing lo!” umpat Danish sambil melayangkan tendangan pada Angga dan pemuda mini itu tersungkur dengan bokong mendarat lebih dulu.

“Eh, santai, bos, santai.” Anggun segera melerai.

“Gue nggak pernah masalahin kalau gue yang lo hina dan lo bejek-bejek, Ngga! Tapi jangan cewek gue, bangsat!” umpatnya lagi, kasar. Di bawah sana Angga tertawa sambil mengaduh-aduh memegangi bokongnya yang ngilu. Danish yakin itu pasti sakit.

“Oke, gue inget ini sebagai serangan orang kasmaran ya, Nish. Jadi nggak akan gue ambil hati.” Angga berdiri dibantu Oliv dengan menarik tangannya ke atas. “Nah, bel udah bunyi. Ayo balik ke kelas,” ajaknya kemudian.

Angga dan emosinya kadang patut diacungi jempol. Dia bukan kaum sumbu pendek seperti Danish.

“Gue pengen berhenti,” ucap Danish dengan suara bergetar. “Gue nggak mau terus-terusan kayak gini, Ga. Nyokap gue janda dan kakak gue TKW, mati-matian kerja bukan buat nyekolahin gue jadi anak berandalan kayak gini.”

Angga menatapnya sebentar dengan alis mata berkerut lalu mengangguk. “Iya, gue ngerti. Ayo kita ke kelas,” ajaknya lagi.

“Sori,” gumam Danish pelan saat Angga berada tepat di sebelahnya. Angga melempar senyum sambil menepuk bahu Danish dengan gaya yang gentleman. “Andai gue sepinter lo, Ga, mungkin gue nggak harus milih. Gue tetap bisa jadi orang meski gue pernah nakal kayak gini. Tapi kalau gue terusin—”

“Udah, Nish, santai aja.” Orang di sebelah kiri Danish ikut menyahut dan melingkarkan tangan di sekitar bahu. “Lo tahu, nggak? Kita semua akan berhenti pada waktunya. Mungkin ini waktu lo.”

Sobat Danish yang satu ini bernama Anggun, bukan Anggun C Sasmi, namanya Anggun Wijaya, anak Satpol PP asal Pangandaran yang tinggal nomaden di Jakarta. Anggun tidak mewakili namanya sama sekali, dia benar-benar tidak ada anggun-anggunnya. Justru tinggi, besar, hitam seperti gorila dan jago pencak silat.

Geng Konoha yang keseluruh anggotanya disebut ninja tidak ada yang betul-betul berguru jadi ninja betulan, sebagian besar malah mirip tinja. Danish anak taekwondo, Angga menguasai boxing, Anggun di pencak silat, Aryan karate, dan yang lainnya hanya modal nekat plus jurus beladiri ala kutu kupret.

“Perpisahan ya, Nish, sekali lagi aja.” Oliv juga ikut buka suara. Dia bukan siapa-siapanya Chelsea Olivia, hanya nama saja yang mirip. Oliv dan Anggun memang seringkali disalahpahami berkat namanya yang feminim, tapi tidak apa-apa, mereka berdua hebat.

“Iya, lagian si Tanjung ikut. Biar nggak kena sasar lagi lo ntar.” Angga juga ikut menimbrung selama perjalanan mereka kembali ke kelas. “Kalau dia turun dan lo nggak ada, gue khawatir aja sih kepemimpinan geng diambil alih lagi, karena dia ngerasa kehilangan orang kepercayaan buat handle anak-anak. Dan lo tahu gimana kacaunya sekolah sama Konoha kalau dia ikut campur tangan, gue nggak mau itu sampai terjadi, Nish.”

Danish merenungkannya selama mereka berempat berjalan di lorong-lorong koridor yang mulai sepi sebab sebagian besar anak-anak sudah kembali ke kelas untuk menunggu jam pelajaran berikutnya. Angga benar, pertama kali mereka datang dan Randy Tanjung berkuasa dengan teman-temannya, sekolah ini dan geng berandalnya sangat mengerikan.

“Oke.” Dia mengangguk setuju. “Buat yang terakhir,” ujarnya dengan menenang-nenangkan debaran di dada. Merasa sangat bersalah pada Sayna tapi tidak bisa menolak hal ini juga. Danish tidak mungkin mengabaikan teman-teman yang sudah lama bergaul dengannya begitu saja.

“Apa pemicu serangan kali ini?” Danish merasa perlu tahu apa alasan mereka menyerang SMK Zamrad besok siang.

“Gini,” Angga seperti biasa, menjelaskannya seperti orang hendak diskusi kelas. “Lo tahu anak Nyusda yang diserang itu ceweknya si Tanjung?”

Danish menggaruk pelipis. “Mereka nyerang cewek sekarang?” benar-benar tidak bisa dibiarkan.

“Nggak bisa disebut penyerangan juga sih.” Angga ikut-ikutan menggaruk pelipisnya. “Ini cewek pas lagi jalan tali kutangnya ditarik gitu sama anak Zamrad, pelecehan seksual emang.”

“Lha?” Danish terperangah. “Ini bisa diselesaikan pake baku hantam satu lawan satu nggak, sih? Masa masalah beginian dijadiin alasan nyerang? Malu banget gue!”

“Ih, tunggu dulu, gue belum selesai.” Angga menghentikan Danish berjalan. “Jadi, mereka udah satu lawan satu, dan Bang Tanjung menang. Tapi nggak sampai di situ, mereka malah bawa pasukan dan ngeroyok si Tanjung nih, babak belur lah dia. Biar gimana juga dia masih anak Konoha, dia dikeroyok masa kita diem aja?”

Danish menggaruk kepalanya gusar. Angga benar, Tanjung merupakan anak geng yang solid sebenarnya, dia akan menghindari pertempuran besar kalau masih bisa diselesaikan satu lawan satu dulu. Tapi masalahnya, selain Danish sedang tidak minat ikut tawuran ini juga alasan yang... aduh, masa gara-gara tali kutang mereka tawuran?

“Galau lagi kan lo?” Angga di hadapannya cengengesan. “Gue sih, ayo aja. Mayan buat peregangan otot dan memicu adrenalin sih, gabut banget soalnya.”

Itu pasti pemikiran para jomblo, kata Danish dalam hatinya. Danish kan hampir tidak jomblo ya, jadi dia sangat sibuk. Boro-boro berpikir ikut tawuran.

“Tapi ini masalahnya... tali kutang doang.” Danish akhirnya buka suara lagi. “Kita perang besar-besaran demi ngebelain tali kutang anak orang.”

“Harga diri, Nish. Penghinaan itu.” Anggun menimpali.

“Bener, Nish. Mana masih sodaraan, kalau bukan kita yang bela, siapa lagi?” Oliv juga ikut bicara. “Lagian nih ya, lo masa lupa dari mana kita berasal?”

“Gue?” Danish menunjuk dada. “Dari nyokap sama bokap lah, dari setetes mani dan segenggam tanah,” jawabnya polos.

“Si ogeb!” Angga terkekeh setelah menoyor kepalanya. “Kita ini anak SMA Nusantara Satu alias SMA Nyusu! For your information, kita membela segala bentuk persusuan di dunia ini. Semua hal yang berkaitan dengan dunia susu-menyusu. Dan asal lo inget, yang namanya susu pasti berhubungan sama kutang, dan ini masalah dipicu sama tali kutang. Jadi jelas, kita semua harus turun buat membela harga diri dan lo ikut tawuran buat yang terakhir kali. Gimana?”

Danish melongo, rasanya dulu motto geng mereka bukan itu. Kenapa sekarang jadi meleset jauh, ya? Tapi tidak ada cara lain, Danish janji ini untuk yang terakhir kali, setelahnya dia akan kembali ke jalan yang benar. Danish harus menepati janjinya pada Sayna.

“Oke, gue ikut besok. Suruh Aryan bawa mobil kayak biasa.”

ªªª

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status