Kepala Danish rasanya berasap setelah mengerjakan dua jam penuh pelajaran Matematika bagian Matriks. Kalau saat pelajaran Fisika ada trampolin di dalam kepalanya, hingga membuat rumus-rumus itu memantul, kali ini sepertinya ada yang sedang menggoreng lele di sana. Apinya besar dan panas, persis penjual pece lele kebanyakan di sepanjang jalan Danish pulang.
Selain harus menghitung dan menyebutkan jumlah Ordo, dia juga harus mempelajari tentang transpose. Ada yang paham di sini? Danish pusing, dia harus belajar dua kali lipat lebih banyak dan lebih keras dari orang-orang kebanyakan untuk membuatnya benar-benar mengerti. Sebab Danish memang sepayah itu.
Katanya ya, kecerdasan itu diturunkan oleh ibu kandung. Berarti ibunya Danish pilih kasih karena hanya menurunkan kecerdasannya pada Dinara. Sementara Danish kebagian remahannya pun tidak. Semuanya dibawa oleh Dinara yang tamak akan kepintaran.
Untung saja Danish ganteng paripurna. Jadi itu semua tidak masalah, selagi ganteng, kebodohannya tidak akan kentara. Semua orang suka anak baik dan ganteng, bukan hanya perkara ganteng dan pintar saja, attitude juga penting.
“Nish gue ke toilet dulu, lo mau ikut?” ajak Hamam tiba-tiba dari sisi sebelah kirinya.
Danish bangkit dari posisi menelungkup di atas meja. “Pergi aja sendiri. Homo banget lo ngajak ke toilet bareng-bareng kayak anak cewek.”
Hamam menyengir lalu pergi, dan Danish menaruh kepalanya di atas meja kembali. Posisi ternyaman setelah ia terlalu lelah belajar, seolah otaknya adalah parutan kelapa dan baru saja diperas untuk dijadikan santan. Danish kopong, ambyar.
Oh, omong-omong soal Dinara, Danish merindukan kakaknya. Usia mereka terpaut jauh, dan sejak kecil keduanya tidak punya sosok ayah. Ibunya bekerja keras, Danish selalu bersama dengan Dinara, tumbuh di tangan kakaknya. Dan sekarang Dinara sudah 3 tahun bekerja di luar negeri.
Dinar, begitu orang-orang memanggilnya. Dinar yang artinya emas dalam bahasa Arab. Dan sosok Dinara memang mewakili perumpamaan tersebut. Dia banyak uang, cantik, pintar, berkilauan. Semua orang suka pada Mbak Dinar-nya. Siapa yang tidak suka emas, kan? Danish berusaha meniru, karena Dinara adalah role mode. Meski dirinya harus berakhir jadi emas imitasi tiruan saja.
“Say,” panggilnya pada Sayna yang berjarak dua bangku di belakang saat ini. Gadis itu punya posisi yang sama dengannya tadi. Merebahkan kepala di atas meja.
“Apa?” Sayna mendongak karena Danish mendekat ke arahnya dengan sebungkus Twisko dan Teh Kotak.
“Nih.” Anak lelaki yang mengaku paling ganteng di sekolahnya itu menyodorkan hadiah kecil yang sudah dia siapkan sejak istirahat kedua tadi. “Belinya kebanyakan.”
Danish menahan napas, dia takut ditolak sebenarnya, kalau Sayna tiba-tiba murka dan melempar Teh Kotak ke wajah gantengnya, bagaimana? Dia kan selalu galak kalau diajak bicara di depan orang banyak. Tapi Danish hari ini entah kerasukan apa dan ingin mencari peruntungan itu, dia juga tidak mengerti. Mungkin otaknya error karena matematika matriks barusan.
“Dih, masa lo ngasih gituan, Nish? Kasih cokelat kek, kok malah ciki?” Tania, teman dekatnya Sayna, menyerobot di tengah-tengah mereka.
“Itu Twisko bukan ciki, bisa baca nggak sih?” Danish ngegas. Diserobot Tania saat debaran dalam dadanya tidak keruan bukan perkara baik.
“Nish, sewot bener.” Tania protes. Danish sedang mempersiapkan mental untuk ditolak, dia tidak tahu bagaimana gentingnya posisi dan perasaan Danish saat ini. Danish sangat tegang. Tapi bukan burungnya yang tegang.
“Nggak sih, maksudnya—”
“Makasih ya, Nish. Duitnya mau gue gantiin?”
Hah? Apa katanya? Danish tidak salah dengar? Sayna bilang apa? Boleh diulang?
“Nish, Sayna bilang makasih tuh!”
“Eh, iya iya,” jawabnya buru-buru. “Nggak usah diganti sih bukan gue kok yang beli. Tadi Aryan apa Angga tuh, belinya kebanyakan tapi nggak kemakan karena keburu bel masuk bunyi.”
“Oh ...”
“Kirain sengaja beli.” Tania menyahut lagi. “Beliin cokelat aja ya lain kali.”
“Buat siapa?” tanya Danish polos.
“Sayna lah!” kata Tania langsung. “Eh, apa buat gue? Buat gue juga nggak papa sih, Nish. Nggak akan nolak. Hehe.”
“Dih, emang siapanya gue mau dikasih cokelat segala?”
“Gue?” tanya Sayna, segera setelah Danish melempar umpan pada Tania barusan. Gadis itu menatapnya serius sambil menunjuk dada. Dan Danish melongo dibuatnya.
“Eh, maksudnya—”
“Kita semua temenan kan, ya. Hahaha.” Tania cepat mengambil alih dan terlihat mencoba memahami situasinya. “Pokoknya Nish, orang ganteng itu milik bersama. Lo nggak usah mikirin apa-apa. Kita ikhlas kok udah meskipun cuma temenan. Ya, kan? Ya, kan?”
Danish tersenyum canggung. Dia ingin membantahnya, tapi tidak bisa, karena Sayna tengah menatapnya lurus-lurus, sambil meremas bungkus Twisko yang dia pegang. Entah kenapa dengannya hari ini. Yang jelas, itu menyeramkan.
ªªª
Sayna selalu mengalami nyeri perut ketika tamu bulananya datang. Seperti hari ini misalnya, dia tidak ikut jam pelajaran terakhir dan berbaring sendirian di ruang UKS. Sayna tidur dengan kompres hangat dari silicon bag yang mengompres perut, kemudian dibangunkan saat bel pulang sekolah sudah bergaung dan ruang UKS akan ditutup.
Gadis itu bangun dari posisi berbaringnya, meraih tas sekolah dan memeriksa ponsel, dia sudah minta jemput sejak satu jam yang lalu pada ibunda tapi belum direspons juga. Sayna juga meminta agar Tania tidak perlu menjemputnya ke UKS karena berpikir dia bisa pulang lebih cepat dijemput sang ibu.
Namun sampai sesore ini, ibunda belum muncul juga. Sayna haus, dia ingat seseorang memberikannya minuman dingin—yang sekarang sudah tidak dingin, di kelas tadi. Saat dia merogoh tasnya, Sayna menemukan minuman yang dikemas dalam bentuk kotak persegi panjang gendut itu. Minumannya sejak kecil, entah kenapa Sayna sangat menyukainya dibanding dengan minuman teh yang lain.
Dan untuk itu semua, ada rasa bangga yang menyelip di dalam dada juga kepalanya. Karena minuman ini, Danish menghafalnya dengan mudah. Di klub taekwondo beberapa tahun lalu, Danish memberikannya pertama kali, entah kapan dia memperhatikan Sayna selalu memilih teh ini jika dihadapkan pada showcase berisi minuman. Sejak saat itu, kalau Danish membelikan semua orang minuman, dia selalu menyisihkan Teh Kotak untuk Sayna. Selalu. Bolehkah dirinya berbangga atas hal itu?
“Say, lo dari mana?”
Apa pepatah pucuk dicinta ulam pun tiba, cocok untuk takdir Sayna yang seringkali berhadapan dengan Danish? Dan apakah masih ada yang ingat kalau Sayna pernah bilang jika Danish selalu ada di mana-mana, muncul begitu saja, berotasi di sekitarnya, seolah tidak ada siapa pun di dunia ini selain Danish—dan dua temannya yang ganteng juga.
Namun Danish lebih sering muncul dibanding mereka.
“Dari UKS,” jawabnya cepat sambil menyeruput habis Teh Kotak yang dia pegang dan menyelipkan wadah kosongnya ke saku tas sebelah kanan alih-alih membuangnya ke tong sampah.
“Kok sampahnya dibawa?” Danish lagi-lagi bertanya. “Mau gue bantu buangin? Sini.” Pemuda itu meminta wadah kosong Teh Kotak yang tidak Sayna buang.
Ih, enak saja. Danish mana tahu kalau bungkus ini berharga bagi Sayna. “Gue lagi bikin kerajinan di rumah dari karton bekas Teh Kotak sama susu UHT.”
Danish melongo. “Oh, gitu? Ada tugas, ya? Tugas apaan sih?”
Danish memang pelupa parah, dia punya ingatan ikan seperti dori atau terkena alzheimer di usia muda, Sayna juga tidak tahu. Yang jelas dia akan jadi seorang dokter spesialis suatu hari nanti dan akan meneliti ada apa dengan Danish sebenarnya. Apa ini sebuah penyakit? Atau dia hanya benar-benar menangkap dan menyimpan informasi penting? Tapi sepenting apa sih informasi yang disimpannya sampai tugas sekolah sendiri pun dia lupa? Padahal Sayna berbohong soal cangkang Teh Kotak barusan.
Eh, omong-omong kalau Sayna sudah jadi dokter, memang apa hubungannya dengan Danish sampai mau memeriksakannya segala? Pacar juga bukan, suami apalagi. Sayna mengibaskan tangan. “Udah ah, gue mau pulang. Lagi PMS nih, bawaannya pengen nabok orang.”
“Pulang naik apa?” tanyanya tak menyerah.
Oh, apakah dia berpikir Sayna mau naik motornya itu? Duduk di jok belakangnya yang sudah dicicipi banyak gadis? Buru-buru Sayna mengibaskan pikiran anehnya barusan. “Mesen takol aja. Udah ya, gue jalan dulu. Males ngomong banyak.”
Sayna melangkah pergi. Ini sudah terlalu sore, dan seingatnya Danish hari ini punya jadwal pulang bareng Chaca, seperti yang sudah direncanakan sejak dua hari yang lalu. Eh, kenapa Sayna hafal sekali pada hal-hal seperti ini sih?
“Say,” panggil Danish. Suara itu begitu menginterupsi langkah Sayna. Dia segera berbalik, mendapati Danish seperti anak kecil berdiri polos di sebelah motornya yang masih bersandar di tiang.
“Apa?” Sayna balas bertanya.
“Kunci motor gue hilang.”
Kunci hilang, untuk yang kesekian kalinya.
“Tuh, kan!” Sayna mengambil langkah seribu setelah menutup mata untuk beberapa nano detik dan mengambil napas dalam. Dia kesal sekali pada keteledoran Danish yang seperti ini. “Lo tuh ya, udah kunci loker sampai enam kali hilang. Sekarang kunci motor pake segala hilang! Bukan hilang nih pasti, lo cuma lupa naro doang!”
Sayna memarahinya, seperti... ibu ke anak. Seperti... seorang saudara pada saudaranya. Seolah Danish dan Sayna memang sedekat itu, padahal tidak. Hubungan mereka absurd. Sayna sendiri bingung. Dia tidak mau mengakui Danish terang-terangan sebagai teman, apalagi orang yang disukainya. Eh, dia bilang apa barusan?
“Ya, maaf. Gue kayaknya emang lupa.”
Danish menunduk, lagaknya memang sudah seperti dimarahi dan dihukum seorang ibu yang anaknya menghilangkan tutup tupperware seharga delapan puluh lima ribu—itu baru tutupnya. Dan Sayna, entah sadar atau tidak justru mendalami peran itu.
“Nih ya, makanya kunci motor lo tuh gantungin ke lobang hidung biar kayak sapi, gelantungan ke mana-mana dan nggak susah dicari.” Sayna terengah. Bagus sekali PMS hari ini, ada bahan untuk dijadikan sasak tinjunya di depan sana, dia bernama Danish Adiswara Caka. “Tungguin di sini!” katanya judes saat hampir dekat dengan Danish dan berbelok lagi untuk kembali masuk gedung sekolah.
“Mau ke mana?” tanya Danish pelan, terlihat ciut, padahal gosipnya dia panglima tawuran. Panglima tawuran? Yang saat ini hampir pipis di celana karena kehilangan kunci motor saja? Sayna tidak percaya.
“Gue ke loker lo, nyari kunci!” jawabnya, masih tetap ngegas.
Sayna tidak tahu kenapa dan sejak kapan semua ini dimulai. Tapi dia adalah orang yang paling sering memergoki Danish saat kehilangan barang-barang. Enam kali kunci loker dan yang ketujuh Sayna memutuskan untuk menyimpannya satu sebagai cadangan, Danish pegang kunci yang satunya. Dan sekarang... kunci motor, masa Sayna harus pegang cadangannya juga? Memangnya Danish itu siapanya sih?
Gadis itu membuka loker Danish dengan kunci yang dia simpan di dalam tas, kunci loker Danish sendiri dipakaikan gantungan dengan huruf D sebagai inisial nama pemiliknya. Iya, Sayna yang melakukan itu, Sayna yang membeli gantungan untuknya. Karena... ya, agar tidak tertukar dengan kunci lokernya tentu saja.
“Nggak ada!” kata gadis itu dengan napas terengah setelah mengobrak-abrik loker Danish dan kembali ke parkiran. Danish sedang berteduh di bawah atap kanopi agak jauh dari motornya. Padahal sudah sore, buat apa juga dia berteduh?
“Nggak ada?” tanyanya sembari berjalan mendekat.
“Nggak ada,” tegas Sayna sekali lagi. “Nih anak sebiji kenapa sih suka banget nyusahin gue?” omelnya dengan tampang jengkel setengah mati.
Danish langsung menunduk, menatap ujung sepatunya sambil menggaruk kepala. “Terus gimana? Masa si Jalu gue tinggalin?” tanyanya.
“Si Jalu, si Jalu, pala lo!” Sayna kesal sambil menendang ban motor pemuda itu. “Ayo buruan!”
Sayna berjalan meninggalkan area parkiran. Dan kenapa Danish harus bertanya padanya, kan? Kenapa tidak bertanya pada Chaca dan Lianka atau Nana, Alesha, Shela, Nui, serta semua cewek yang pernah dia bonceng dengan motor Jalunya itu? Kenapa tidak tanyakan pada mereka saja?
“Say,” panggil Danish pelan dan gadis itu menolehkan kepala. “Mau ke mana?”
“Dorong motor lo dan kita cari tukang duplikat kunci!”
“Oh, iya ya.” Ekspresi di wajah itu langsung berubah. “Kok gue nggak kepikiran sih?”
“Kapan emangnya lo bisa mikir?” jawab Sayna sambil berbalik dan melangkah terburu-buru untuk meninggalkan Danish di belakangnya.
Dia bingung kenapa harus kesal, mungkin efek PMS, atau mungkin Danish memang menjengkelkan sekali hari ini.
ªªª
Gue Hellen Vianda. Panggil aja Helen, nggak usah disingkat-singkat jadi Hell, atau Len gitu, oke? Hell itu artinya neraka, kan? Nggak habis pikir gue kenapa nyokap ngasih nama gue kayak gitu, nggak paham bahasa asing apa gimana dah? Anaknya pas gede dipanggil neraka ke mana-mana.Oh iya, kenapa jadi kepanjangan gini mukaddimahnya?Gue di sini cuma mau cerita keadaan sekolah sejak tadi pagi. Jadi, di SMA NYUSU kalo lo ngeliat Kak Aryan bawa mobil Lexus-nya ke sekolah, itu udah sirine alami banget deh. Pasti bakal ada perang besar ini mah! Tapi hari ini belum diketahui apa pemicunya, gila aja pagi-pagi liat Kak Aryan bawa mobil sementara kemarin kayaknya nggak ada masalah apa-apa yang tersebar. Mungkin pas jam istirahat pertama, atau kedua, gue bisa berburu berita ke temen-temen lain.Bahkan bukan cuma kita anak-anak NYUSU, guru-guru sampai Wakasek Kesiswaan pun waspada liat Kak Aryan bawa mobil. Bu Sri namanya, guru Kewarganegaraan yang ngerapel ngurusin
Sayna memandangi telapak tangannya sendiri sejak bermenit-menit belakangan ini. Dalam masa OSPEK untuk mahasiswa baru Fakultas Kedokteran, berinteraksi dengan mayat atau cadaver tentu bukan cuma rumor belaka. Dia baru saja melakukannya, dan meski mayat itu tidak bangun lagi, Sayna tetap merasa ngeri. Kengerian itu masih menyisa di hatinya. “Salam dulu, Dek! Ajak kenalan. Coba cari ada tulisan apa di bawah kakinya? Jangan takut, mereka pernah hidup seperti kita, mereka yang akan bantu kalian menimba ilmu selama di sini. Anggap sebagai guru, hormati dan hargai keberadaannya.” Bukan mayat baru yang masih segar memang, kulit hingga tubuhnya sudah keras dan kaku seperti kayu, Sayna bisa menganggapnya boneka peraga kalau mau, tapi tetap saja, itu mengerikan. Dia sudah mencuci tangan berulang-ulang dan belum bisa menghilangkan kesan serta ingatan terhadap sentuhan cadaver di kulitnya barusan. “Hai, Sayna, ya? Dari Nusantara Satu?” Sayna men
Lubang Hidung Danish First of all, ini bener-bener catatan nggak penting. Gue cuma lagi gabut dan nggak tahu mesti ngapain. Tapi tiba-tiba gue keingetan hal krusial ini. Jadi kayaknya dua tahun yang lalu, pertama kali gue sadar kalau Danish bukan cuma ganteng dan baik, yang dua hal ini mostly jadi daya tarik terbesar dia dan jadi alasan kenapa dia diincar banyak cewek. Khususon gue, ada satu hal lagi, lubang hidungnya. Gila, ya? Cewek gila mana yang naksir cowok gara-gara lubang hidung? Ada kok, gue orangnya. Honestly, gue udah naksir Danish sejak lama sih. Kan dia ganteng, banyak yang suka, jadi ya gue ikut seru-seruan aja buat mengagumi dia diam-diam tanpa kasih tahu ke orangnya atau ke siapa-siapa. Gue nggak nunjukin itu, gue takut Danish ilfeel sama gue dan mikir kalau gue sama kayak hama lain yang suka nempelin dia. No! Pokoknya jangan sampai derajat gue rendah di mata Danish. Gue harus jadi bucin yang berkelas.
Gadis itu menyengir, terlihat senang mengerjai pemuda yang masih bau amis dengan hormon dan imajinasi membumbung tinggi. Lalu dia sibuk dengan anak bulunya lagi, sementara Danish membuang muka dan menyapu tiap sudut kamar itu. Dia tidak akan ke sini untuk waktu yang tidak bisa ditentukan setelah penghuninya pergi.Kamar Sayna yang mengombinasikan warna pink, pastel, dan putih mengusung konsep kamar gadis-gadis ala Instagram. Danish berkeliling dan terpaku pada buku bersampul kuning di atas meja rias. Dia mendekat setelah berpura-pura memeriksa sesuatu di wajahnya karena tepat di atas meja itu adalah cermin berukuran besar, Danish melirik Sayna yang sibuk mengobrol dengan suara mencicit dengan Bolu mereka.Lubang Hidung Danish...Matanya otomatis melebar kala menemukan tulisan itu dan deretan huruf yang terangkai di bawahnya. Memo Sayna yang pernah Hamam kisahkan padanya waktu itu. Danish tidak menyangka jika ini benar-benar ada, benar-benar ditulis oleh gadisnya
Danish: Say, dessert yang kapan hari dibeliin si ibu namanya apa sih, lupa gue.Sayna: Yang mana?Danish: Yang ada kopinya.Danish: Duh, apaan itu namanya, ya?Danish: Tira... apa sih?Sayna: Misu?Danish: Miss you too :*Sayna: Dih!Danish: Hahaha, lo mau nggak? Gue serius nih, ntar gue bawain.Sayna: Apaan? Tiramissu?Danish: Iya.Sayna: Nggak ah, gue lagi kepengen donat kentang sih kalau ada. Yang pake gula dingin itu. Duh, jadi kebayang kan...Danish: Oh, ntar gue beli, gampang.Sayna: Oke, makasih.Danish: Mamanya Bolu lagi ngidam kayaknya nih, Michi sama Bolu otw punya dedek, anak ketiga kita :*Sayna: Ngga
Ekstra – EpilogHamam invited you to join Bujang NyusuHamam: Hai, temen-temen sepeliharaan gue! Kangen nggak nih?Danish: Njir, apaan ini?Arvin: Bujang Nyusu? Yang bener aja lo ngasih nama!Herdian: Ada baiknya kita berunding dulu masalah nama baru untuk grup ini.Hamam: Heh, lo udah official pensiun jadi ketua kelas, ya. Gosah ngatur-ngatur!Arvin: Ini kita berempat doang nih?Hamam: Gue masukin Rafid, Reno sih kaga, empet gue sama dia.Danish: Panggil si Rafid.Arvin: Fid!Herdian: Rafid!Rafid typing...Hamam: Oh, ada noh masih mengetik. Gue kangen sama lo pada btw. Aneh banget bolos sekolah selama ini, gue kan nggak pernah bolos.Danish: Lo nyindir